KISAH Lebai Malang menjadi salah satu cerita yang paling saya gemari di
masa kanak. Ayahlah yang memperkenalkan
tokoh cerita rakyat Melayu dari Sumbar ini, yang konon—justru—pertama kali
dibukukan di Perak, Malaysia, pada 1908.
Di awal 1970-an hanya ada empat jenis
hiburan malam untuk anak SD: belajar, membaca buku pinjaman dari sekolah (yang
judul dan jumlahnya terbatas), mendengar radio (hanya RRI), atau meminta
dongengan pengantar tidur dari Ayah. Mongondow, terutama Jalan Amal, di
tahun-tahun itu tidaklah semeriah kini, yang nyaris 24 jam tak henti berdenyut.
Jangankan anak-anak, orang dewasa saja agak
jerih kelayapan selepas magrib. Penerangan yang serba terbatas, rumah-rumah
yang masih jarang, ditambah bertaburannya kisah-kisah hantu, membuat nyali ciut
melangkah keluar rumah. Bukankah lebih baik meringkuk di bawah selimut
ketimbang digondol puntianak?
Di malam-malam seperti itulah Ayah
menuturkan aneka cerita dan dongeng. Selain Lebai Malang, cerita lain yang saya
suka tentang adalah kucing yang ahli menipu tikus. Tapi siapakah si Lebai
(guru agama) yang malang ini? Versi yang diceritakan Ayah mengisahkan bagaimana
si Lebai Malang bimbang apakah menghadiri ‘’baca doa’’ (kenduri, selamatan) di
hilir yang menyembelih dua ekor ayam atau ke hulu yang memotong tiga ekor.
Mula-mula Lebai Malang mendayung perahunya
ke hilir, tetapi kemudian berubah pikiran lalu menghulu. Setelah
menimbang-nimbang lagi, dia memutuskan balik arah ke hilir, tetapi setelah
membayangkan tiga ekor ayam, dia putar haluan ke hulu. Ketika sudah menetapkan
pilihan, begitu tiba, kenduri di hulu sudah selesai. Maka bergegaslah Lebai
Malang kita ini ke hilir hanya untuk menemukan tuan rumah dan undangan juga
sudah bubar.
Nasib Lebai Malang segera terpampang di benak saya saat menerima capture berita Eyang Kans Gantikan Tatong di Harian Sindo Manado, Selasa, 31 Maret 2015. Sesungguhnya berita dengan
sumber utama mantan anggota DPRD Boltim dari PAN, Marsaole Mamonto, ini
tidaklah istimewa. Cuma semacam kampanye bahwa Bupati Boltim, Sehan Landjar,
berpeluang menggantikan Tatong Bara sebagai Ketua DPW PAN Sulut.
Analisis yang digunakan pun standar belaka.
Bahwa—salah satunya—karena kekalahan kubu Hatta Rajasa yang didukung DPW Sulut
di Kongres IV PAN di Bali beberapa waktu lalu, maka peluang ‘’kubu Tatong’’ di
Muswil mendatang juga menyurut. Dengan konstelasi demikian, menurut hemat
Marsaole, Eyang punya peluang tampil memimpin PAN Sulut.
Saya tidak tahu dari mana para politikus di
Boltim belajar politik, terlebih berkenaan dengan dukung-mendukung terhadap
Eyang. Yang jelas, mereka masuk ke kelas yang salah. Alih-alih belajar politik,
tampaknya mereka justru masyuk dengan masak-memasak dan goreng-menggoreng saja.
Strategi dan taktik politik hasil ‘’kuliah’’ masak dan goreng tentu cuma tempe
dan tahu garing, maksimal goroho tore.
Apa Marsaole tidak belajar dari maraknya
dukungan agar Eyang memimpin DPC PDIP Boltim beberapa waktu lalu, yang ternyata
sekadar pepesan kosong dan harapan palsu? Tidakkah sedikit saja terlintas di
langit pikiran sekelas mantan anggota DPRD seperti Marsaole, bahwa untuk
menjadi Ketua DPW seseorang mesti punya rekam-jejak, bukan sekadar karena dia politikus
yang kebetulan seorang Bupati populer?
Untunglah saya tidak melihat ada komentar
dari Eyang menanggapi ihwal dukungan menjadi Ketua DPW PAN Sulut
itu—sebagaimana ‘’jika diberikan maka akan disambut dengan tangan kanan’’
seperti yang dia sampaikan di isu Ketua DPC PDIP Boltim. Sebab jika ada, maka
menurut hemat saya, Eyang akan terperosok kedua kalinya ke lobang yang sama.
Padahal, keledai yang katanya salah satu jenis mahluk terbodoh di dunia,
berdasar riset terkini, ternyata tidak pernah terperosok ke lobang yang sama.
Keledai punya ingatan sangat kuat untuk berhati-hati di tempat di mana dia
pernah terkena celaka.
Tapi, langkah politik Eyang memang
mengherankan. Dalam soal Parpol, Rabu (21 Januari 2015) saya sudah menuliskan
‘’kegenitannya’’ bertualang dari satu partai ke partai lain (Satu Bupati, Lima Parpol). Kalau
tindakan politiknya itu bertujuan popularitas: Apalagi yang kau cari Eyang?
Jika berkenaan dengan Pilkada Boltim 2015, bukankah umum sudah tahu Hanura siap
mengusung dia—dan secara terbuka juga berulang kali disampaikan pengurus partai
ini.
Petualangan Eyang mengincar kursi Ketua DPC
PDIP Boltim beberapa beberapa waktu lalu, dari strategi dan taktik politik
sebenarnya merugikan dia. Tindakan itu, di satu sisi dapat dimaknai sebagai safety net politik, tetapi disisi lain
juga bentuk pengecilan dan ketidakpercayaan terhadap Hanura. Apalagi kemudian
dia gagal meraih kursi Ketua DPC PDIP Boltim yang mulanya ‘’tampak’’ disodorkan
untuk disambut dengan tangan kanannya.
Saya memahami bahwa hanya segelintir orang
yang memaknai dengan tepat salah langkah Eyang dan pendukungnya dalam soal
suksesi PDIP Boltim. Barangkali mereka gagal menyadari, kejadian itu menjadi
bukti sangat kuat bahwa Eyang sedang berada di titik balik karir politiknya.
Empat tahun lampau, ketika terpilih menjadi
Bupati, Eyang yang memang punya keterampilan ‘’olah kata’’ dan daya pukau
publik, sontak menjadi ‘’darling’’. Seingat saya, Parpol berebutan meminang dia
menjadi kader dan pengurus. Bahkan, partai sekelas Golkar, konon—sebab saya
tidak melihat langsung dan mendapat info dari tangan pertama—tak segan memboyong
Ketua dan pengurus DPD I-nya menemui Eyang dan menawarkan dia bergabung.
Bila waktu itu Eyang bersikukuh menjadi
‘’Bupati rakyat’’ dan percaya pada independensi politiknya, mengapa sekarang
dia seperti berada di situasi ‘’panik politik’’, setidaknya yang ditunjukkan
oleh ide-ide tak masuk akal para pendukungnya. Termasuk dengan mengumpulkan KTP
sebagai back up di Pilkada mendatang,
kalau-kalau tak ada Parpol yang mencalonkan dia. Adalah ironi tak terperih jika
Bupati populer yang ‘’katanya’’ piawai politik dan didukung rakyat, akhirnya
harus maju sebagai incumbent di jalur
independen.
Saya menguatirkan, jalur independen ini
menjadi satu-satunya peluang, apalagi jika Eyang terprovokasi—celakanya, dia
memang mudah terprovokasi—iming-iming Ketua DPW PAN Sulut dari segelintir
pendukungnya. Memangnya PAN mau diremehkan? Masak setelah PDIP tidak meloloskan
Eyang bahkan sekadar calon Ketua DPC, lalu PAN dengan suka rela menyediakan
diri menjadi ban cadangan. Di posisi yang lebih tinggi pula.
Terang sudah, ide Marsaole Mamonto
mencetuskan nama Eyang berpeluang menggantikan Tatong Bara tak beda dengan
racauan. Bahkan, kalau ditafsirkan lebih jauh, Marsaole seperti mengumumkan:
Eyang kini adalah ronin politik. Jika
dulu, empat tahun lalu, dia adalah ‘’darling’’, maka hari-hari ini Eyang tak
beda dengan Ayu Ting Ting yang kemana-mana bingung mencari ‘’alamat politik’’.
Dan saya pun sedih membayangkan
ketersesatan itu.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DPC:
Dewan Pimpinan Cabang; DPD: Dewan
Pengurus Daerah; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; DPW: Dewan
Pimpinan Wilayah; Hanura: Hati
Nurani Rakyat; KTP: Kartu Tanda
Penduduk; Parpol: Partai Politik; PAN: Partai Amanat Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan; Pilkada: Pemilihan
Kepala Daerah; RRI: Radio Republik
Indonesia; SD: Sekolah Dasar; Sulut: Sulawesi Utara; dan Sumbar: Sumatera Barat.