Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, October 20, 2024

Pilwako KK: Debat atau Diskusi Siswa SMA?

SAYA tidak menonton Debat Terbuka Pilwako KK, Sabtu malam, 19 Oktober 2024.

Hampir sepanjang akhir pekan saya berada di tempat terbuka. Lebih 5 jam terus-menerus terpapar sengatan matahari. Petangnya, saya baru sadar nyaris terkena heat stroke. Dehidrasi, suhu tubuh terasa tinggi, lemas, dan agak melayang.

Sebagai anak kampung yang semasa kecil hingga remaja gosong dipanggang matahari, terik siang selalu saya anggap bukan ancaman. Tapi, percaya saja, heat stroke itu nyata. Yang paling terasa, begitu mencoba tidur lebih awal tepat setelah ba'da Magrib, saya disergap mimpi-mimpi aneh, tak beda dengan jet leg (sesuatu yang pertama saya alami sekitar lebih 20 tahun lalu saat terbang marathon dari Indonesia ke Amerika Selatan). 

Bayangkan, dalam tidur yang tak nyaman, Anda merasa teve seperti melayang dan siap menerkam. Jelas bukan mimpi yang semestinya diimpikan.

Komedi yang dihelat KPU KK itu baru saya tonton Minggu pagi, 20 Oktober 2024, dengan banyak menggaruk kepala. 

Sebagaimana penyelenggara Pilkada setidaknya sejak era pemilihan langsung, KPU KK--dan umumnya KPU--tak bisa membedakan apa ''debat'' dan apa ''diskusi''. 

Sekali-kali tengoklah KBBI. Debat, kata kamus, adalah, ''Pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing''; sedang diskusi adalah, ''Pertemuan ilmiah untuk bertukar pikiran mengenai suatu masalah.''

Tampaknya seluruh komisioner KPU KK memang nir imajinasi. Mereka menetapkan topik, tetapi kemudian juga menyiapkan pertanyaan. Semestinya, dalam debat, Paslon mengelaborasi pendapat mereka sesuai tema, lalu pesaingnya menguji, bahkan sedapat mungkin mementahkan. 

Lebih sederhana lagi, ditingkat teknis, debat otomatis berakhir ketika para pihak yang terlibat mencapai kata sepakat terhadap isu yang diperdebatkan. Dan karena itu debat punya pemenang, yakni pihak yang pendapatnya tidak dapat digoyah lagi.  Sebaliknya, diskusi adalah upaya mencapai kompromi. Sebab diskusi memang tak lain ikhtiar mengumpulkan semua pendapat  yang lalu sedapat mungkin menjejalkan ke dalam satu konklusi sebagai hal buah pikir bersama.

Agar penilaian terhadap debat dilakukan fair, perlu pihak independen yang kredibel dan ahli dalam isu yang diperdebatkan. Karena saya tidak melihat ada panel penilai di debat Pilwako KK, saya menduga KPU menyerahkan penilaian sepenuhnya pada kewarasan masyarakat KK. Duh, betapa tidak bertanggung jawabnya mereka.

Rekaman Debat Terbuka Pilwako KK sepanjang 2 jam 47 menit 15 detik yang saya tonton (versi TVRI), lebih mirip diskusi kelompok mahasiswa semester 3. Apalagi dalam sesi tanya jawab yang melompat-lompat dari satu isu ke lain topik (ini apa-apaan, debat kok ada tanya jawab yang tak jelas juntrungan), mutu pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan hampir semua kandidat, kuaci belaka. Persis saling-silang antara siswa kelas 3 SMA Negeri 2 Kotamobagu.

Pernyataan yang dilontarkan bahkan kerap keluar dari tema besar yang ditetapkan oleh KPU. Tidak pula ditengahi oleh moderator--yang syukurlah cukup ahli mengingatkan waktu 1 menit tiap pembicara. Menjelang akhir, semua yang hadir dalam pentas lucu-lucuan itu seolah lupa yang harus diperdebatkan adalah tentang Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Kesejahteraan Masyarakat.

Malah urusannya sempat melenceng pula ke ihwal UMKM (ya, sedikit ada relevansi dengan kesejahteraan masyarakat) dan membuat salah satu Paslon Wawali ''terpaksa'' memberi sedikit tausiah apa beda usaha mikro, kecil, dan menengah. Calon Wawali yang getol kampanye UMKM dan gagap dengan pertanyaan anak TK, "Pengkategorian UMKM seperti apa?"; harus kita respon dengan cara apa? Mengusap dada?

Secara umum, sepanjang diskusi ada bagian-bagian yang mengingatkan saya pada Almarhum Tino Sidin. TVRI zaman dulu, 1980-an, suka menayang belajar menggambar yang diasuh Tino Sidin (yang tampil sangat khas: wajah teduh, penuh senyum, dihiasi baret khas pelukis). Yang sukar dilupakan, demi menyemangati bocah-bocah yang mengirimkan gambar untuk dikomentari, Tino Sidin hanya punya satu kata: Bagus!

Diskusi (bukan debat) antar para Paslon yang dipertontonkan benar-benar harus dikomentari, ''Bagus!", untuk pernyataan-pernyataan yang kualitasnya membuat kepala puyeng karena kebanyakan menggeleng. 

Bila ada lagi yang disebut debat, maka selayaknya KPU KK menggelar yang benar-benar debat. Jika tidak bisa, sebab tidak paham apa itu debat, duit yang dihamburkan sebaiknya dialokasikan untuk urusan lain yang lebih mustahak. Termasuk membeli kamus agar komisioner KPU bisa membedakan mana debat, apa diskusi, dan yang bagaimana yang disebut cuma bual-bual kampanye.

Tetap ada yang bisa dipetik dari debat prakteknya diskusi itu. Masyarakat setidaknya dapat menilai kualitas para Paslon, minimal dari bagaimana mereka menyampaikan sesuatu yang substansial dengan sederhana dan ringkas. Warga KK membutuhkan pemimpin yang tidak lagi doyan bicara, senang mendengar kata-katanya sendiri, dan kebanyakan cuma omong kosong pemercik ludah.

Kita harus menghentikan penderitaan mendengar pidato Wali Kota atau Wawali, bahkan di pengantar pemakaman, yang saking panjangnya hingga membuat sebagian besar hadirin merutuk atau jatuh tertidur. Barangkali DPRD KK perlu merumuskan Perda yang membatasi durasi pidato pejabat daerah tidak lebih dari 15 menit; memotong ucapan lebai macam, ''Terima kasih atas kesempatan yang diberikan'' (idiot, kalau Anda bukan Paslon, tidak ada kesempatan yang akan diberikan di atas panggung); dan segala kalimat menye-menye yang cuma membuat kuping berdenging.

Wali Kota dan wawali adalah pembuat kebijakan. Mereka harus mampu menyampaikan visi dan ide besar dalam ringkasan yang dipahami anak usia 7 tahun hingga orang tua yang usianya tinggal menghitung hari. Untuk itu, syaratnya: Wali Kota dan Wawali mesti memahami substansi masalah yang dihadapi. Dan untuk paham subtansi, mereka harus menguasai aspek-aspek paling dasar dan normatif.

Para pengambil kebijakan, eksekutif tertinggi (negara, daerah, perusahaan), mengenal apa yang disebut sebagai executive summary. Paparan, kerap panjang dan rumit, yang diringkas menjadi informasi yang pendek, fokus, tetapi mengambarkan keseluruhan masalah dengan lemngkap dan terang.  Executive summary ini yang menjadi pesan menyeluruh yang semestinya keluar dari mulut wali kota dan wawali.

Tidak usah berharap ada konsep sementereng OVOP yang melahirkan produk-produk khas skala desa di Jepang (yang di-copy paste jadi OTOP di Thailand), jika Paslon Wali Kota dan Wawali masih bingo-bingo yakimenjabarkan beda usaha mikro, kecil, dan menengah. Tidak usah pula mimpi kita membahas visi kesehatan abad 21 yang penuh teknologi digital dan terapi nano bila urusan hari ini masih bersikutat pada soal monopoli fasilitas kesehatan.

Monopoli hanya dapat dilakukan jika kita unggul sumber daya. Manusianya; teknologi dan alat-alat penunjangnya; serta pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.

Wahai KPU KK, supaya duit negara tidak Anda sia-siakan; siapakah pemenang debat pertama Pilwako yang sudah dihelat penuh warna dan bunga-bunga itu? Saya tidak berharap mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini.***

Singkatan dan istilah yang digunakan:

DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; OTOP: One Tambon One Product; OVOP: One Village One Product; UMKM:Usaha Mikro Kecil dan Menengah; Pilwako: Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali kota; SMA: Sekolah Menengah Atas; dan TVRI: Televisi Republik Indonesia.