POLDA Sulut melaksanakan gelar perkara khusus dugaan pencabulan dengan
kekerasan oleh (mantan) Kabid di Dinas PU yang juga (mantan) Ketua KNPI KK,
Kamis, 29 Desember 2016. Di situs kroniktotabuan.com (https://kroniktotabuan.com/hukum-kriminal/gelar-perkara-dilakukan-dua-tahap-eldy-asoi-tak-hadir),
saya membaca gelar khusus ini dilaksanakan dua tahap. Pertama diikuti oleh
terduga korban dan terduga pelaku (yang diwakili kuasa hukumnya); yang kedua
hanya internal polisi--termasuk penyidik kasusnya.
Di situs berita lain, totabuan.co, Jumat, 30 Desember 2016 (http://totabuan.co/2016/12/eldy-hasil-gelar-perkara-belum-dipublikasi/),
disebutkan bahwa polisi belum mengumumkan hasil gelar perkara khusus itu.
Mengacu pada bukti-bukti yang ada, kuasa hukum terduga korban dan keluarga,
Eldy Noerdin, optimis penyidikan perkaranya bakal berlanjut.
Namun, tak urung sejak dilaporkan ke Polres
Bolmong dan berakhirnya gelar perkara khusus, di Minggu, 1 Januari 2017, atau
di hari ke 34 ini, informasi kasusnya kian simpang-siur. Ada dua yang saya
catat sangat krusial. Pertama, konon
visum et repertum yang ada di tangan polisi tak dapat dijadikan bukti, sebab
tanpa tanda tangan dokter yang memeriksa. Dan kedua, kasus ini kurang bukti dan karenanya penyidikan bakal dihentikan.
Gosip pertama tentang visum et repertum
yang tak bertanda tangan, saya yakin sekadar rumor. Terduga korban divisum
berdasar permintaan polisi, diantar oleh polisi, dan ditangani dokter yang
diminta oleh polisi. Ada proses yang tidak benar di antara seluruh rangkaian
ini, pasti terdapat oknum polisi yang ''main kotor''.
Sebagai pertanggungjawaban profesional,
etik, dan kewajiban hukum yang mengikat, dokter yang melakukan visum harus
menyatakan hasil pemeriksaan yang dilakukan sebenar-benarnya serta
menandatangani dokumennya. Dokumen visum et repertum yang pro justisia dengan
tanda tangan dokter yang memeriksa ini hanya boleh diambil oleh polisi.
Bila ada visum et repertum tanpa tanda
tangan dokter yang memeriksa disodorkan dalam gelar perkara khusus yang hanya
dihadiri internal polisi, maka konsekuensi hukumnya panjang. Dokter yang tak
menandatangani dokumen visum melanggar kewajiban, tanggung jawab, dan etika
profesinya; serta polisi yang mengambil dokumen ''bodong'' pantas ditempeleng,
disekolahkan kembali dari nol, dan diperiksa dengan saksama oleh Paminal Polda
Sulut.
Bisik-bisik kedua, penyidikan bakal
dihentikan karenanya kasusnya kurang bukti, juga tak masuk akal. Bukti apa yang
kurang? Bukti langsung melimpah, apalagi setelah kejadian bukti tak langsung
kian memperkuat dugaan kasus ini bukan isapan jempol. Sidang MKE Pemkot KK
adalah bukti tak langsung yang saya maksud. Saat dipanggil MKE, ASN terduga
cabul ini dua kali tak menghadiri sidang yang dilaksanakan. Putusan yang
dijatuhkan MKE tidak pula dibanding oleh yang bersangkutan.
Polisi yang dididik menyidik sebuah
perkara, semestinya punya komitmen membongkar tindak pidana dengan jendela isi
kepala tak cupet. Jika terduga pelaku tidak melakukan tindakan najis, mengapa
enggan menghadiri sidang MKE dan menerima begitu saja keputusan yang dijatuhkan
majelis? Kalaupun penyidik kasus ini malas tetapi agak pintar, proses di MKE
serta kuputusan yang ditelurkan, boleh diacu untuk mempermudah kerja polisi.
Tetapi, begitulah, awalnya kasus ini berjalan
sebagaimana mestinya, dibuktikan dengan SP2HP yang menyebutkan penyidik telah
mengantongi cukup bukti. Barangkali sebab itu polisi memandang tidak perlu
dilakukan penyitaan terhadap mobil (sebagai TKP) yang digunakan terduga pelaku
membawa dan mencabuli dengan kekerasan terduga korban; demikian pula dengan
uang diberikan paksa.
Khusus uang senilai lebih Rp 700 ribu yang
kini masih di tangan keluarga korban, sebagai barang bukti, dia memperkuat
Pasal 76E UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak yang telah disempurnakan
dengan Perppu No. 1/2016, bahwa ''Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan
atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian
kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan
perbuatan cabul.''
Saya tak suka dengan teori konspirasi.
Namun, pengabaian terhadap dua bukti penting itu (mobil dan uang), menjadi
petanda awal memang ada bau busuk terencana yang dirancang sejumlah oknum di
Reskrim Polres Bolmong. Bukan rahasia lagi, ada mantan penyidik PPA yang kini
dipindah ke Tipikor (pemindahan terjadi beberapa waktu sebelum kasus pencabulan
dengan kekerasan ini meledak) punya hubungan kekerabatan sangat dekat dengan
terduga pelaku. Orang banyak di BMR juga sudah lama mengetahui, oknum polisi
ini dikenal seia-sekata dengan Kasat Reskrim.
Sepintar dan seidealis apapun seorang para
penyidik di PPA Polres Bolmong yang menangani dugaan pencabulan dengan
kekerasan oleh oknum (mantan) Kabid di PU KK itu, bila arahan Kasat Reskrim
berlawanan arah dengan bukti dan pasal yang semestinya ditimpakan, kasusnya
(lebih khusus yang dituangkan dalam BAP) bakal compang-camping. Penyidik mana
yang berani melawan arahan Kasat?
Saya menduga, gelar perkara khusus kasusnya
di Polda Sulut yang hanya diikuti internal kepolisian pasti mengarahkan kembali
agar penyidikannya dilakukan dengan benar. Artinya, yang bermasalah bukanlah
dokumen visum et repertum atau bukti-bukti yang tak cukup sebagaimana spekulasi
yang beredar belakangan. Dengan menggunakan logika dan pengetahuan lurus, kita
dapat menyimpulkan: proses penyidikan, utamanya BAP-lah, yang kabur (atau
sengaja dikabur-kaburkan) agar kasus ini akhirnya dianggap kurang bukti dan tak
dilimpahkan ke kejaksaan.
Olehnya, Propam Polda Sulut, khususnya
Paminal, sesegera mungkin lebih ketat mengawasi--bahkan menyidik--Kasat Reskrim
Polres Bolmong dan aparat di bawahnya yang terkait atau mengait-ngaitkan diri
dengan penyidikan kasus dugaan pencabulan dengan kekerasan itu. Saya berani
bertaruh dengan Kasubbid Paminal, bila dia benar-benar ingin menegakkan
profesionalitas, wewenang, tanggung jawabm kompetensi, dan etika kepolisian di
Polres Bolmong, penyidikan yang dilakukan bakal membuahkan hasil mengejutkan.
Yang paling gampang, turunkan tim dan
selidiki mobil yang menjadi TKP, yang ''konon'' sudah diubah beberapa
tampilannya berdasar ''petunjuk'' oknum polisi di Reskrim Polres Bolmong. Salah
satunya, seluruh kaca mobil yang sebelumnya menggunakan pelindung gelap, kini
sudah dibersihkan. Sebagai pembanding, Propam (khususnya Paminal) boleh memulai
dengan meminta bukti swafoto terduga pelaku dan terduga korban, yang diambil di
dalam mobil tersebut. Bukti foto ini adalah kelucuan lain, karena sebelumnya
sudah diminta oleh terduga pelaku agar dihapus. Tetapi karena gaptek, dia
tampaknya lupa bahwa untuk menghapus foto dari semua produk Apple harus dilakukan dua kali. Dari folder ''Camera Roll'' kemudian folder
''Recently Deleted''.
Tapi, itupun (pengawan ketat dan penyidikan
terhadap kasat Reskrim dan beberapa penyidik di bawahnya) diharapkan dapat
dilakukan kalau Paminal tidak ''masuk angin'' dan ikut-ikutan bengek. Soalnya, kabar terakhir yang
bersiuran di KK menyebutkan, berapapun ''harga'' yang mesti dikeluarkan,
sejumlah pihak yang pro terduga pelaku bersedia membiayai demi meloloskan dia
dari jerat hukum.
Saya tak sedang mengisap jempol soal
''harga''. Di hadapan orangtua terduga korban, keluarga terduga pelaku
berulang-ulang menyatakan, apapun yang diinginkan bakal dipenuhi sepanjang
mereka bersedia mencabut laporan tindak pencabulan dengan kekerasan itu dari
Polres Bolmong. Sedap betul jadi pelaku tindak pidana yang punya uang dan
pengaruh (jabatan dan politik) di BMR, sebab mudah menyitir polisi sembari
membujuk korban (dan keluarganya) agar menyelesaikan dengan kekeluargaan,
damai, dan diam-diam.
Ihwan berkasus di Polres Bolmong, olok-olok
yang telah berulang disampaikan ke saya oleh sejumlah orang mengatakan: bila
yang berperkara sesama orang kaya dan berpengaruh atau sesama orang miskin dan
anggota masyarakat biasa, penyidikannya bakal berjalan normal. Jika yang saling
menuntut adalah orang kaya dan berpengaruh melawan orang miskin dan anggota
masyarakat biasa, penyidikannya akan secepat kilat. Dan andai perkaranya melibatkan
orang miskin dan anggota masyarakat biasa melawan orang kaya dan berpengaruh,
tak usah heran penyidikannya selambat kura-kura reumatik lalu hilang tak tentu
rimba.
Tidak percaya? Selain dugaan cabul dengan
kekerasan oleh (mantan) Kabid dan (mantan) Ketua KNPI KK yang terkatung-katung
dan kini jadi sorotan, tak sedikit contoh perkara yang somu-somu atau diam-diam di-86-kan. Ingin lebih detail, coba saja
Propam Sulut turun ke Polres Bolmong dan lebih cermat menyelidiki dan menyidik .***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
BAP: Berita Acara Pemeriksaan; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Gaptek: Gagap
Teknologi; Kabid: Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia;
MKE: Majelis Kode Etik; Paminal: Pengamanan Lingkungan Internal;
Pemkot: Pemerintah Kota; Perppu: Peraturan Presiden Pengganti
Undang-undang; Polda: Kepolisian
Daerah; Polres: Kepolisian Resor; PPA: Perlindungan Perempuan dan Anak; Propam: Profesi dan Pengamanan; PU: Pekerjaan Umum; Reskrim: Reserse Kriminal; SP2HP: Surat Pemberitahuan Perkembangan
Hasil Penyidikan; Sulut: Sulawesi
Utara; Tipikor: Tindak Pidana
Korupsi; TKP: Tempat Kejadian
Perkara; dan UU: Undang-undang.