PEMBERITAAN Koran Manado, Jumat, 30
September 2016, membuat saya melongo. Headline
yang dipampang, Jagoan Golkar Diterpa
Piutang Rp 9,6 Miliar, provokatif dan mengundang keingintahuan, utamanya
buat warga BMR umumnya dan Kabupaten Bolmong khususnya. Terlebih ilustrasi yang
dipanjang bergambar wajah bakal kontestan Pilkada Bolmong 2017, masing-masing
Cawabup Yani Tuuk, Cabup Yasti Soepredjo Mokoagow, dan Cabup--sekaligus
petahana--Salihi B. Mokodongan.
Begitu membaca isi berita, saya tak urung
terbahak-bahak. Rupanya wartawan yang menulis dan redaktur yang memeriksa (juga
seluruh jajaran redaksi koran ini mengingat beritanya adalah headline halaman utama) tidak punya
kamus bahasa Indonesia. Atau mereka menjadi wartawan dari belajar menulis kupon
togel dan luput mencari tahu beda definisi ''utang'' (hutang) dan ''piutang''.
Jika dibaca dengan teliti, pembaca koran komplak itu bakal menemukan, bahwa salah
satu bakal kontestan Pilkada Bolmong 2017 sedang menghadapi gugatan perdata
soal utang-piutang. Artinya: dia berutang (meminjam uang pada seseorang,
sekelompok orang, lembaga, atau institusi) dan yang punya piutang (yang
meminjamkan) sudah memperkarakan ke pengadilan. Karena duduk soalnya demikian,
maka judul yang tepat seharusnya Jagoan
Golkar Diterpa Utang Rp 9,6 Miliar. Kalau ragu dengan penjelasan singkat
ini, googling saja http://kbbi.web.id/piutang.
Lagi pula, isu utang-piutang salah satu
kandidat itu sebelumnya sudah mengemuka ke publik karena publikasi totabuan.co, Selasa, 27 September 2016, Salihi
Digugat Perdata Terkait Utang (http://totabuan.co/2016/09/salihi-digugat-perdata-terkait-utang/).
Demi berjaga-jaga jangan sampai cuma memamah dan termakan bisik-bisik, saya
bahkan sempat membuka SIPP PN Kotamobagu dan menemukan memang ada gugatan
perdata yang terkait dengan salah satu bakal calon Pilkada Bolmong.
Itu
sebabnya, sungguh menggelikan berita utama Koran
Manado itu. Dungu betul semua yang terlibat dalam sistem dan alur kerja di
ruang berita media ini. Tetapi, dengan memahami perkembangan media yang booming sejak tumbangnya Orba, saya sama
sekali tidak terkejut. Kini, menjadi wartawan gampang belaka. Membuat media pun
enteng saja. Yang mulanya sekadar tukang komentar dan nyinyir di facebook, bisa banting setir bikin media
online dan mendapuk dirinya jadi
Pemred.
Pokoknya,
jurnalis--sebagai profesi ''pilar keempat'' demokrasi--yang dulunya memerlukan
proses panjang dan setahap demi setahap (mulai dari Carep dan seterusnya)--kini
bisa diringkas bahkan hanya dalam beberapa jam. Hasilnya? Persetan dengan
kualitas. Tak peduli yang yang ditulis compang-camping; tak jelas
ujung-pangkal, buah dan batang; tak genah
bahkan sekadar penempatan titik dan koma, yang penting ''saya wartawan'' dan
punya media.
Sudah
dungu, umumnya media dan pewartanya (apalagi di BMR) juga keras kepala dengan
gengsi setinggi langit. Coba-coba saja mengoreksi kesalahan yang dilakukan
media, paling minim Anda akan dapat
sinisme, ''Kiapa so, ngana pe
media? Jang baca noh.'' Tak beda dengan bertanya pada pemabuk yang
terjerambab dalam selokan dan mendapat bentakan, ''Ngana pe got so ini?''
Dulu,
yang belum lama berlalu, karena pernah sedikit-sedikit belajar dan praktek
sebagai jurnalis, saya--khususnya terhadap para wartawan dan penggiat media di
Kotamobagu--suka menyampaikan kirik, koreksi, atau bahkan cuma tonte'ek. Bukan untuk tunjung jago, tetapi ikhtiar belajar bersama. Belakangan, kebiasaan itu
saya lakukan hanya untuk kalangan tertentu pewarta, yang saya tahu masih tetap
memiliki semangat dan keinginan meningkatkan pengetahuan, kompetensi, dan
keterampilannya.
Saya
tidak tahu Koran Manado ini adalah
media sejenis apa. Serupa penganut ''anjing menggonggong kafilah tetap
berlalu'' atau yang gelisah terhadap profesionalisme dan kompetensi, hingga
tidak segan dan malu mengakui kesalahan, mengoreksi, dan meminta maaf pada
pembacanya. Koran ini, dengan kekeliruan tingkat dewa yang dibuat, berhutang
maaf pada pembacanya--utamanya mereka yang membeli dan berlanganan.
Di
hiruk-pikuk Pilkada Bolmong, kita harus mengakui, media punya peran yang luar
biasa signifikan. Misalnya, mendidik pembacanya tentang demokrasi yang
sebenar-benarnya. Tentu karena media bukanlah institusi atau lembaga
pendidikan, kita juga pasti menolak ''digurui'' oleh para jurnalis yang
pengetahuannya bisa jadi juga kapiran
saja. Tetapi, setidaknya dengan menulis sesuai dengan panduan paling dasar
jurnalistik, didukung disiplin check,
recheck, dan balance, pembaca bolehlah memetik ''sesuatu'' dari tiap publikasi
yang dilansir media.
Beberapa
waktu terakhir ini saya kerap merindukan pemberitaan media yang tidak sekadar snap shot--yang tiap hari taburannya
(terutama) di facebook dan twitter tak terkira lagi. Ketika gong
Pilkada Bolmong 2017 dimulai, saya rajin menyimak media (cetak dan online) Sulut dan BMR, mengamati apakah
para pewarta telah berubah dari sekadar ikut meramaikan dengan menangkap isu
permukaan, parsial, ikut arus, atau--yang terburuk--wadah iklan dan kampanye
kandidat, menjadi sejatinya salah satu dari empat pilar demokrasi.
Orang
banyak berhak tahu kepentingannya, termasuk apa-siapa-bagaimana-seperti apa-dan
mau bagaimana kandidat yang mereka pilih. Pemberitaan semacam utang (atau
piutang kandidat), keabsahan ijazah pendidikan formalnya, rekam jejak komitmen
politik dan implementasinya (termasuk juga partai pengusung), jika sekadar news at a glance mudah tergelincir dan
diterjemahkan sebagai pemihakan media dan jurnalisnya, bahkan kampanye hitam.
Berita-berita ini memerlukan disiplin peliputan dan penulisan yang ketat, yang
menjaga informasi di dalamnya tetap jernih dan fair.
Sama
halnya dengan meruyaknya berita-berita seperti dugaan tindak pidana korupsi
atau penyalahgunaan uang negera di bawah masa kepemimpinan Bupati-Wabup Bolmong
2011-2016. Di satu sisi masyarakat Bolmong harus mengapresiasi pemberitaan itu
sebagai bagian dari bekerjanya fungsi kontrol media. Di lain pihak, kita juga
patut mempertanyakan: apa sih yang
dikerjakan oleh para pewarta selama ini hingga baru sekarang mereka kelihatan
bersemangat dan tiba-tiba menemukan banyak isu kepentingan publik yang layak
dihidangkan pada para pembaca?
Setelah
lima tahun yang nyaris tenang, aman, damai, dan tenteram, mendadak warga
Bolmong dibanjiri pemberitaan, misalnya, puluhan mobnas bertahun-tahun bodong tanpa
dokumen legal atau miliaran dana APBD diam-diam menguap dijarah ASN bajingan.
Apakah pemberitaan-pemberitaan mendadak-sontak seperti itu menunjukkan
profesionalisme dan tanggung jawab kerja media dan wartawan? Apalagi tanpa
lebih jauh mengungkap latar setiap isu yang disiarkan.
Sekali
pun demikian, saya masih menyimpan harapan besar sepanjang proses pelaksanaan
Pilkada Bolmong 2017, bahwa media dan wartawannya memainkan peran yang lebih profesional,
substantif, fair, dan mendorong
masyarakat mampu memaknai demokrasi dan menemukan pemimpin yang tepat. Tapi
kalau media dan para jurnalis ternyata hanya tetap berpiuh-piuh dengan urusan
utang dan piutang pecitraan kandidat, pendapat saya: kok jadi tidak ada bedanya media dan kandang tuyul, ya?***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN:
Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Cabup: Calon
Bupati; Carep: Calon Reporter; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Mobnas: Mobil Dinas; Orba: Orde Baru; Pemred: Pemimpin Redaksi; Pilkada:
Pemilihan Kepala Daerah; PN:
Pengadilan Negeri; SIPP: Sistem
Informasi Penelusuran Perkara; Sulut:
Sulawesi Utara; Togel: Toto Gelap;
dan Wabup: Wakil Gubernur.