BARANGKALI tak pernah terlintas di benak Olden Wein Kakalang, sekadar
berkomentar di media sosial membuat dia mendadak jadi ''selebriti'' di mata
para wartawan di BMR. Lebih buruk lagi, sosok yang disebut-sebut ASN di RSUD
Kotamobagu ini telah dilaporkan ke Polres Bolmong dan konon pula bakal
dipanggil BKDD KK karena dinilai melecehkan profesi jurnalis.
Mimpi buruk Olden bermula dari lalu lintas
percakapan di facebook. Berita
(dilengkapi capture percakapan yang
diduga melecehkan itu) totabuanews.com, Senin,
17 Oktober 2018, Oknum ASN RS Pobundayan Lecehkan Profesi Jurnalis, Pemkot Janji Siapkan
Sanksi (https://totabuanews.com/2016/10/oknum-asn-rs-pobundayan-lecehkan-profesi-jurnalis-pemkot-yang-bersangkutan-diberi-sanksi),
ujaran yang dianggap melecehkan adalah pernyataan, ''Bgtu wartawan… ndk d
brita drg ndk mo dapa kse makan drg p anak isteri.''
Di hari yang sama, situs berita lain, mongondow.co mengunggah berita Salah
Gunakan Medsos, BKD Kotamobagu Sanksi ASN (http://mongondow.co/2016/10/salah-gunakan-medsos-bkd-kotamobagu-sanksi-asn/)
dengan mengutip Kepala BKDD KK, Adnan Massinae. Menurut Adnan, ASN yang membuat
gaduh karena posting atau komentar di
media sosial akan dipanggil untuk klarifikasi. ''Kalau terbukti,
pasti ada sanksi berupa teguran.''
Komentar Olden tampaknya memang bikin para
wartawan mendidih dan mengundang salah satu organisasi tempat mereka berhimpun
angkat suara. Selasa, 18 Oktober 2016, merujuk Ketua PWI Kotamobagu, Audy
Kerap, totabuanews.com
menindaklanjuti dugaan pelecehan profesi itu dengan menurunkan berita Ini
Sikap PWI Soal Dugaan Pelecehan Profesi Jurnalis Oleh Oknum ASN RS Pobundayan (https://totabuanews.com/2016/10/ini-sikap-pwi-soal-dugaan-pelecehan-profesi-jurnalis-oleh-oknum-asn-rs-pobundayan).
Menurut Audy, apabila dipandang perlu, PWI akan memintai klarifikasi
kepada bersangkutan melalui pejabat Pemkot secara berjenjang, termasuk menyurati
Walikota KK.
Pembaca, sudah lama saya menyimpulkan, tak
sedikit mereka yang menyandang gelar wartawan di BMR tak lebih dari sekumpulan
orang tolol, arogan, sok jago, yang merasa paling benar sendiri. Namun,
mecermati pemberitaan isu dugaan pelecehan profesi yang melibatkan Olden Wein
Kakalang serta komentar dan pernyataan dari para jurnalis (yang merasa
tercemar), termasuk Ketua PWI KK, saya harus mengakui: imajinasi saya tak mampu
lagi menemukan kata yang lebih sarkas untuk menggambarkan derajat tumpulnya
otak kebanyakan mereka.
Pertama,
kata-kata manakah (atau bahkan seluruh kalimat yang
diutarakan Olden) yang dapat ditafsir sebagai pelecehan? Sebab logika orang
bodoh harus didebat dengan argumentasi yang sama dungunya, bagaimana kalau kita
ganti profesi dan pekerjaan dalam kalimat yang dipersoalkan, misalnya dengan
''nelayan'' dan ''ikan'': ''Bgtu nelayan…
ndk d ikan drg ndk mo dapa kse makan drg p anak isteri''; dengan ''pengacara'' dan ''perkara'': ''Bgtu
pengacara… ndk d perkara drg ndk mo dapa kse makan drg p anak isteri''; atau dengan ''dokter'' dan ''orang sakit'': ''Bgtu
dokter… ndk d orang sakit drg ndk mo dapa kse makan drg p anak isteri.''
Kalimat Olden sungguh netral. Merunut konteksnya
(setidaknya dari capture yang disiarkan totabuanews.com), tidak pula
ada tendensi seluruh percakapan mengarah atau diarahkan pada indikasi
melecehkan wartawan dan profesinya. Hanya pewarta dengan otak najis, prajudis,
dan sejak mula punya niat buruk yang berprasangka negatif dengan kalimat yang
sesungguhnya normal dan normatif belaka itu. Olden toh tidak mengatakan,
misalnya ''Bgtu
wartawan… ndk d brita ndk d amplop, drg ndk mo dapa kse makan drg p anak isteri.''
Wartawan, jurnalis, pewarta (organik maupun lepas), atau apapun kata yang
digunakan dalam bahasa Indonesia, adalah terjemahan dari banyak frasa bahasa
Inggris: journalist, correspondent, reporter, newsman,
newspaperman, publicist, stringer, dan legman. Belakangan, di
Indonesia, selain koresponden, wartawan di daerah yang merupakan perpanjangan
tangan media dari pusat (Jakarta) juga menyematkan ''kontributor'' dalam
melakukan pekerjaannya. Pengertian dari kata ini secara implisit merujuk pada
status sang pewarta di media tempat karyanya disiarkan. Bahwa dia bukanlah
tenaga tetap. Dia pembantu yang dibayar per berita atau liputan yang dibuat.
Komentar Olden makin menemukan konteks faktualnya,
karena memang masih umum ditemukan (terutama antara media pusat dan
wartawannya) pewarta yang berstatus sebagai ''koresponden'' atau
''kontributor'' di negeri ini. Status ini, sekalipun menyedihkan dan mengundang
prihatin, memang menempatkan seorang wartawan benar-benar harus memburu dan
membuat berita demi--jika dia telah menikah dan beranak-pinak--memberi makan
istri dan anak. Lalu dimanakah yang menyinggung perasaan; yang melecehkan; dari
'' ndk d brita drg ndk mo dapa kse makan drg p anak isteri.''
Kedua, saya
harus mencela pemberitaan dan framing terhadap komentar Olden yang
dilakukan para wartawan yang merasa tersinggung dan dilecehkan. Tiga
pemberitaan terhadap isu ini yang saya nukil menunjukkan, wartawan dan media
terang-terangan melakukan trial by press. Seluruh kaidah dan etika
jurnalistik diterabas, terutama tidak menjelaskan konteks dan waktu kejadian
(coba telisik, komentar Olden itu kelihatan dibuat pada Rabu yang entah kapan,
pukul 21.18 dengan tak jelas WIB, Wita, atau WIT). Berita ''picek'', ditulis
oleh si tuli, dengan mengutip sumber bisu dan linglung.
Penggunaan sumber semena-mena yang umum
dipraktekkan oknum wartawan kapiran, memang menjengkelkan. Diseret-seretnya
Kepala BKDD adalah contoh bagaimana dengan sesukanya Olden dibingkai sebagai ASN,
padahal konteks komentarnya sama sekali tidak berhubungan dengan profesi dan
pekerjaannya. Ketika melontarkan komentar, tidak lebih dan kurang, Olden
berdiri sebagai salah seorang konsumen berita yang disiarkan media.
Dan ketiga,
terkait dengan pernyataan Ketua PWI KK, yang melengkapi seluruh sirkus dan
komedi isu pelecehan profesi wartawan itu, adalah konfirmasi terhadap kualitas
jurnalis di BMR umumnya, yang cuma setara sendal jepit. Apa urusannya komentar
pribadi seorang Olden dengan posisinya sebagai ASN di KK? Kalau Ketua PWI KK
ingin menarik perhatian Walikota, tidak perlulah menunggangi isu sumir yang
akhirnya cuma mengarahkan orang yang waras dan berpikir menafsir apa modus di
baliknya.
Bagaimana jika Olden itu hanya orang biasa,
penduduk KK umumnya, yang berkomentar sama? Apakah PWI KK akan mengirim surat
secara berjenjang pula? Mulai dari Presiden RI (karena KK bagian dari
Indonesia), Gubernur Sulut (sebab KK ada di Sulut), Walikota, Camat,
Lurah/Kades, RW, dan akhirnya RT di mana orang biasa itu bermukim? Pengetahuan
dan logika wartawan, Ketua PWI pula, yang harusnya khatam 5W+1H, kok melompat-lompat dan keluar jalur
seperti kuda termakan paku?
Yang menggelikan, ketika mengutip Ketua PWI
KK, totabuanews.com menggambarkan dia
sebagai ''pria yang sudah puluhan tahun menggeluti profesi wartawan''. Kalau
yang puluhan tahun saja tidak dapat membedakan peristiwa dan fakta yang layak
berita, sekadar rumor, atau cuma perasaan, bagaimana dengan calon reporter atau
wartawan baru yang masih bau pelatihan jurnalistik?
Karenanya, saya ingin mengakhiri tulisan
ini dengan saran pada Olden: jangan jerih atau takut, terlebih meminta maaf
pada oknum-oknum yang kini blingsatan karena komentar Anda di facebook. Anda tidak salah! Bahkan, jika
sekarang Anda melaporkan orang-orang yang mengadukan Anda ke Polres Bolmong dan
mengajukan keberatan ke Dewan pers karena pemberitaan dan framing bersalah yang dilakukan wartawan dan media, saya yakin Anda
akan dibuktikan benar. Jika Anda ragu, saya pribadi bersedia memberikan
sepatah-dua tukar pikiran dan saran.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
5W+1H: What, who, when, where, why, how; ASN: Aparatur Sipil Negara; BKDD:
Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; KK: Kota
Kotamobagu; Polres: Kepolisian
Resort; PWI: Persatuan Wartawan
Indonesia; RI: Republik Indonesia; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; RT: Rukun Tetangga; RW: Rukun Warga; Sulut: Sulawsi Utara; WIB:
Waktu Indonesia Barat; Wita: Waktu
Indonesia Tengah; dan WIT: Waktu
Indonesia Timur.