PERISTIWA politik adalah fakta yang selalu dibumbui dongeng, kultus, mitos,
klaim, rumor, spekulasi, dan pertaruhan. Sesuatu yang sebetulnya wajar dan
manusiawi.
Kultus dan klaim ''pilihan elit'' melawan ''kekuatan
rakyat'' menjadi dongeng, rumor, spekulasi, bahkan pertaruhan, yang diusung
beberapa pihak bersamaan dengan dimulainya tahapan Pilkada Bolmong 2017,
menegaskan bahwa tesis itu adalah fakta. Lalu, pemain-pemain politik yang biasa
melibatkan diri, terutama di BMR, antara lain Pitres Sombowadile, ikut
menerjunkan diri lewat tulisannya.
Pembaca, saya menanggapi analisis Yasti
Vs Salihi: Perjuangan Melawan Mujur dari
Pitres dan dipublikasi di liputanbmr.com (http://www.liputanbmr.com/bolmong/yasti-vs-salihi-perjuangan-melawan-mujur/),
Selasa, 27 September 2016, sebagai pelurusan. Namun, bila dia kemudian menafsir
tulisan Linduran Mujur Pilkada Bolmong 2017 yang diunggah di blog ini
sebagai pemihakan terhadap Yasti Soepredjo Mokoagow, tidak sedikit pun saya
bantah.
Benar! Saya memihak, tetapi tidak
kehilangan fairness. Kalau hari ini
Salihi B. Mokodongan diperlakukan tidak layak, di-black campaign, saya juga tidak akan segan membela dia. Ini bukan
sekadar klaim. Akhir Sunyi Sang Bupati yang
dipublikasi Minggu, 10 Juli 2016, adalah bukti saya masih mampu bersikap adil.
Saya tidak punya kepentingan terhadap Yasti, demikian pula dengan Salihi, yang
dua-duanya saya kenal baik; kecuali bahwa mereka adalah tokoh politik dan
publik yang tindak-tanduk dan lakunya boleh didukung, dikritik, dikritisi,
dan--bila perlu--dicaci.
Karena posisi pribadi itu, juga sebab tahu
Pitres tergolong mudah bereaksi jika kepentingannya diusik, saya sebetulnya tak
ingin terlampau serius menanggapi dia. Cuma, saya juga tidak tahan membiarkan
kesombongan dan sok tahunya tidak dikoreksi. Kasihan betul kalau pada
akhirnya--dengan membiarkan dia mempercayai karang-karangan sendiri--apapun
yang dia tulis dan sampaikan ditanggapi sekadar salah satu dari jutaan sampah
(utamanya) produksi media sosial.
Kalau pada akhirnya saya, di tengah
(pura-pura biar tampak serius) keasyikan mengikuti sebuah konferensi tentang
keberlanjutan, menanggapi (lagi) tulisan Pitres, Mengunyah Kenari, Yang Dikira 'Namu-namu', He, He, He, yang
ditayang di akun facebook-nya, Kamis,
29 Oktober 2016, anggap saja tak lebih dari dongeng periuh Pilkada Bolmong. Dan
memang tiga kisah yang akan saya tuliskan berikut adalah dongeng semata. Andai
ada nama, tempat, atau peristiwa yang sekiranya memiliki kemiripan, itu hanya
kesengajaan yang sepenuhnya saya sadari.
Dongeng
pertama. Alkisah ada satu keluarga dengan ayah berlatar
Jawa Tondano dan ibu asal Mongondow yang dikarunia lima anak perempuan. Sang
ayah menyandang marga Soepredjo, si ibu ber-fam Mokoagow. Salah satu di antara
keempat anak dalam keluarga ini dikenal berani dan--kendati perempuan--tidak
segan adu fisik. Di masa SMP, misalnya, sekali pun dalam kondisi salah satu
kakinya patah, anak perempuan tak biasa ini berani adu fulungku dengan tentara. Hasilnya, serdadu yang jadi lawan KO
dengan rahang patah.
Seperti biasa, para orang tua (terutama
paman-paman anak perempuan ini) merasa perlu membahas laku yang tidak umum itu.
Salah satu simpulannya, barangkali nama yang disandangkan terlalu berat (atau
justru ringan belaka). Diusulkanlah agar namanya diubah. Kedua orangtuanya,
setelah mendengar pertimbangan dari delapan paman si anak dari pihak ibu (yang
adalah saudara perempuan satu-satunya di antara mereka kakak-beradik) bersetuju
namanya di ubah menjadi Yasti (dari Triastuti) Soepredjo (nama belakang
ayahnya) Mokoagow (marga ibunya).
Nama resmi versi keluarga ini hanya diketahui
persis oleh kalangan terdekat. Akan halnya dokumen resmi, termasuk ijazah,
mulai dari SD hingga PT, masih mencantumkan nama sesuai akte kelahiran. Hingga,
satu saat anak perempuan yang sudah dewasa ini, yang sukses berkiprah di dunia
bisnis dan politik, memutuskan melegalkan namanya menjadi Yasti Soepredjo
Mokoagow. Legalisasi ini selesai dilakukan sekitar Juni 2008.
Pada September 2008, dia menetapkan langkah
mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari PAN. Di partai ini dia bukan
pendatang baru. Sejak 1999 namanya sudah tercatat sebagai Koordinator Deklarasi
PAN Sulut.
Pencalonan itu memerlukan dukungan tim
kecil yang bekerja menyiapkan berbagai perencanaan, strategi, dan langkah aksi.
Tim inilah, salah satunya adalah Ismail Dahab, yang kemudian berkumpul pertama
kali pada Oktober 2008. Di pertemuan ini
Yasti Soepredjo Mokoagow secara langsung berkenalan dengan Ismail.
Bila kemudian ada kisah yang sengaja
disebarkan bahwa Ismail Dahab-lah yang mengurusi legalisasi nama Yasti
Soepredjo Mokoagow, pasti ada yang memang tukang bohong, meng-klaim dengan
tidak tahu malunya, atau justru sekadar mencatut. Saya sendiri berkeyakinan
Ismail Dahab tidak bakal berbohong atau mengklaim sesuatu yang sama sekali
tidak melibatkan dia.
Dongeng
kedua. Di FISIP Unsrat ada seorang mahasiswi yang
populer dikenal sebagai Yasti Mokoagow, yang aktif di berbagai kegiatan dan
bahkan menjadi Bendahara Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik sepanjang 1988-1991.
Diam-diam dia tidak hanya bergiat di internal kampus, tetapi juga
perlahan-lahan merintis usaha di sela-sela kesibukan kuliah.
Dia, yang berasal dari keluarga menengah
biasa di negeri ini, tidak segan dan malu melirik peluang bisnis. Kerja
kerasnya setapak demi setapak berwujud menjadi sesuatu yang profesional. Itu
sebabnya, pada 1992--lebih satu tahun sebelum menamatkan kuliah (yang tergolong
terlambat untuk mahasiswa FISIP)-- dia sudah menyandang jabatan Dirut PT Jaton
Sejahtera.
Selepas kuliah, dia lebih leluasa
mengembangan bisnis dan karir. Portfolio-nya
pun merentang dari Dirut PT Abdi Jaya Perkasa (2000), Dirut PT Bayu Cipta Buana
(2004), Komisaris PT Visindotama Medikarsa Prima (2004), hingga Presdir PT
Lintang Cakrawala Group (2007).
Latar belakang bisnis dan profesional itu,
yang dapat ditelusuri dengan mudah apakah tergantung pada proyek APBD/APBN atau
tidak, membawa perubahan besar pada kemakmuran ekonomi dan posisi sosialnya.
Membuat dia, yang sudah terbebas dari kepusingan memenuhi tuntutan dasar
sehari-hari, melirik peluang politik dengan mencalonkan diri menjadi anggota
DPR RI pada Pemilu 2009 dan terpilih. Sebagai penyelenggara negara, dia harus pula
menyetor LHKPN pada 2009 dengan mencantumkan kekayaan (pribadi) antaranya
sejumlah Rp 22 miliar.
Rumor dan spekulasi tokoh dongeng kita ini
berdaya secara ekonomi baru setelah terpilih menjadi anggota DPR RI dan mampu
membuka pintu kesempatan, jelas jauh dari fair
dan mengandung niat jahat. Atau barangkali yang dimaksudkan adalah seseorang
yang lain?
Dan dongeng
ketiga. Tersebutlah ada seseorang yang merasa punya kebisaan dalam banyak
hal, terutama (menurut pendapatnya sendiri) strategi politik dan eksekusinya.
Kebisaan ini dijajakan, dibeli, dan diuji coba di peristiwa-peristiwa politik
semacam Pemilu dan Pilkada. Ada kandidat yang mujur terpilih saat dia tangani,
tetapi kebanyakan hanya ''nyaris terpilih'' atau ''hampir menang''.
Di Pilkada Bolmong 2017 yang tahapannya
sudah dimulai sejak pendaftaran bakal calon pada 21-23 September 2016 lalu,
tokoh dongeng kita ini ingin pula ambil bagian. Tentu dengan menyasar kandidat
yang paling mungkin menang dan punya dukungan fulus yang tetesannya tidak
seperti kran mampet. Untuk mendekati kandidat yang disasar, tokoh dongeng kita
ini ''katanya'' (ingat: kita sedang menyimak dongeng) kemudian meminjam mulut
Penjabat Bupati Bolmong.
Singkat kisah, pesan disampaikan dan
mendapat jawabannya pendek: chemistry-nya
tidak cocok. Tegasnya, tak mungkin bakal kandidat ini bekerja sama dengan tokoh
dongeng kita. Konon, yang saya dengar dari burung-burung dan kodok-kodok (tentu
bukan burung kolibri dan kodok kento'), tawaran terlibat dalam tim pemenangan
dari tokoh dongeng kita ini telah pula ditolak oleh seorang kandidat bakal
Cabup dari kabupaten lain di Sulut. Benar-tidaknya kabar ini, bukan urusan yang
perlu dan penting ditelusuri. Namanya juga dongeng. Cuma ''konon''.
Berkaitan dengan Pilkada Bolmong, apa yang
terjadi kemudian dengan penolakan dari kandidat bakal Cabup itu? Dongeng yang
seru tentu melibatkan konflik yang menggugah dan membuat penyimaknya termehek-mehek. Dan itu, jika perlu,
akan saya ceritakan di lain kesempatan.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Dirut: Direktur
Utama; DPR RI: Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia; FISIP:
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; KO:
Knockout; LHKPN: Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Presdir: Presiden Direktur; PT: Perguruan Tinggi/Perseroan
Terbatas; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; Sulut: Sulawesi Utara; dan Unsrat: Universitas Sam Ratulangi.