APEL perdana ASN setelah libur dan cuti bersama Idul Fitri 1437 H di
lingkungan Pemkot KK, sebagaimana di daerah lain di seluruh Indonesia, dihelat
Senin, 11 Juli 2016. Dihadiri oleh Wawali Jainuddin Damopolii dan hampir
seluruh ASN, apel ini dipimpin Sekkot Tahlis Galang yang sekaligus membacakan
sambutan Walikota Tatong Bara.
Sepintas apel jajaran Pemkot KK di Lapangan
Boki Hotinimbang (penamaan keliru yang--Alhamdulilah--hingga
kini dengan takzim dilestarikan) itu normal belaka. Walikota, yang kediaman
resminya hanya sejarak tiga tarikan nafas, memang tak hadir. Tapi itu bukan
masalah. Bukankah Walikota-Wawali adalah paket utuh yang dipilih warga KK. Akan
halnya Sekkot, dia adalah ''komandan besar ASN'' di KK. Jadi, klop sudah!
Saya tentu tak perlu berspekulasi, terlebih
menciptakan gosip murahan. Misalnya, semacam duga-duga bahwa Walikota tak hadir
di apel perdana karena kecapean menerima ribuan tamu yang bersilaturrahmi Idul
Fitri. Atau, Walikota yang kebetulan berulang tahun pada 11 Juli 2016 alpa
karena tengah khusyuk bersyukur telah diberi umur panjang dan rahmat sebagai
pemimpin politik dan birokrasi di KK.
Pokoknya, Walikota berhalangan memimpin
apel dan tersebab itu Sekkot ditunjuk mewakili, sekaligus membacakan sambutan
yang telah disiapkan. Bahwa kemudian Wawali tampak seperti ''kambing congek'',
sekadar pajangan pemanis politik, saya kira tak banyak yang manaruh peduli. Toh di zaman pemerintahan Walikota
Djelantik Mokodompit, Wawali yang ketika itu dijabat oleh Tatong Bara, juga
kerap diperlakukan tidak lebih dan kurang sekadar pelengkap yang menderita.
Pembaca, tulisan ini bukanlah tentang
hal-ihwal politik para elit dan sangkarutnya di KK, melainkan kepatutan laku
dan tingkah para pemimpin. Juga kepekaan orang banyak terhadap tata laksana.
Saya mengenal baik Walikota, Wawali, dan Sekkot KK. Dua yang terakhir ini,
boleh dibilang matang dan khatam dalam soal tata laksana pemerintahan dan
birokrasi.
Sejak terpilih (bersama Tatong Bara)
memimpin KK pada Pilwako 2013 lalu, Jainuddin Damopolii menunjukkan kualitas
tokoh yang jauh dari dugaan saya. Ketika mereka dipasangkan, secara
terus-terang saya mengumumkan: hanya dalam enam bulan Wawali (yang piawa
politik dan paripurna dalam birokrasi) akan menelikung dan menempatkan Walikota
(yang lima tahun sebelumnya menjadi ''Wawali mei-mei'') ke dalam saku popoji kiri celananya. Saya keliru.
Wawali KK 2013-2018 ini justru tampil sebagai wakil yang tahu diri, tahu
tempat, dan tahu keadaan. Tanpa ma'ere',
apalagi maraju, dia memilih peran
menjadi ''orang tua'' yang membijaksanai apapun.
Jainuddin Damopolii dengan sadar berperan benar-benar
sebagai ''yang nomor dua''. Mungkin tak banyak yang memperhatikan, tetapi di
beberapa peristiwa sosial (pernikahan, kedukaan, bahkan ''cuma'' mintahang kecil aqiqah), setiap kali
diminta memberikan sambutan, Wawali tak lupa menyampaikan salam dari Walikota
pada ahlul hajat dan hadirin. Saya
tahu persis (dan sudah bertanya langsung), bahwa penyampaian salam itu
sesungguhnya adalah bentuk sopan santun dan kepekaan sosial-budaya Wawali.
Sebab jangankan Walikota mengirim salam, mengetahui ada hajatan pun barangkali
tidak.
Sedemikian pula dengan Sekkot Tahlis
Galang, yang rekam jejaknya sebagai birokrat profesional mengkilap sejak masih
berada di Pemkab Bolmong, kemudian Bolsel. Walau tak henti digoda memasuki
ranah politik, setahu saya, Tahlis bersikukuh mengelak dari politik praktis. Begitulah,
sebagai birokrat profesional, dia paham betul untuk hanya memainkan peran
sebagai ''orang nomor satu ASN'' KK, bukan ''orang nomor satu'' di KK.
Profesiolisme ini pula, yang saya yakin, membuat dia patuh ditunjuk memimpin
apel perdana dan membacakan sambutan Walikota, kendati Wawali sebagai ''orang
nomor dua'' di KK hadir di acara yang sama.
Saya tidak tahu bagaimana jajaran Pemkot KK
menyusun dan mengatur protokoler untuk Walikota-Wawali. Pula, bagaimana tata
laksana dan praktek kepemimpin di antara keduanya disepakati dan dihormati.
Yang saya tahu persis, secara normatif dan telah menjadi adab pemerintahan di
mana pun, jika Walikota berhalangan, maka secara otomatis Wawali menjadi ''ban
serep'' yang mengambil alih tanggung jawab (apapun itu). Dan jika Walikota dan Wawali
berhalangan, maka Sekkot-lah yang mengambil peran, dan demikian selanjutnya
secara terstruktur dan berjenjang.
Mari berbaik sangka. Di apel perdana
jajaran Pemkot KK, Senin, 11 Juli 2016, Wawali memang memilih tak tampil dan
bersepakat dengan Walikota bahwa ''panggung'' sepenuhnya diserahkan pada
Sekkot. Bahwa Wawali tidak mengambil peran ''paket utuh kepemimpin'' di KK
dengan Walikota, bukan karena dia dikecilkan dan dikucilkan. Melainkan, karena
Wawali (yang sehari-hari lebih suka menyebut dirinya ''Papa Et'' ketimbang
''Wawali'') dengan sadar dan legowo memposisikan
diri sebagai ''orang tua'' yang bijaksana, prima menahan dan mengendalikan
diri.
Namun, dengan memahami dinamika
politik-sosial-budaya di Mongondow, saya merasa baik sangka itu hanya hadiah
hiburan semata. Apa yang terjadi dengan Wawali Jainuddin Damopolii adalah deja vu. Pengulangan buruk terhadap apa
yang dilakukan mantan Walikota Djelantik Mokodompit terhadap Wawalinya, Tatong
Bara, yang kini menjabat Walikota. Sebagaimana hukum umum sejarah, pengulangan
yang buruk, akan berakhir lebih buruk lagi.
Hari-hari belakangan ini, Wawali yang
mengkompensasi pengecilan perannya dengan menggiatkan aktivitas sosial, harus
diakui lebih diterima dan populer dibanding Walikota yang kian hari kian
ekslusif (dan, meminjam gerutuan banyak orang, ahli jam karet bahkan untuk
acara yang waktunya telah dia tetapkan sendiri). Komentar orang-orang (biasa)
yang saya temui sepanjang satu pekan terakhir di Kotamobagu, barangkali mampu
mewakili pandangan umum terhadap Wawali, yang ''ginalum, sin totok bi' mogalum na' ginalum''.
Pilwako KK 2018 masih sangat jauh. Yang ada
di hadapan warga Mongondow saat ini adalah Pilkada Bolmong 2017, yang
anehnya--setidaknya di media--terkesan sepi dan kurang gairah. Media justru
memanaskan tensi politik KK dengan spekulasi semacam PAN akan mengusung
Jainuddin Damopoli sebagai Cawali, dipasangkan dengan anggota DPR RI Aditya
Moha. Saya mencermati, khususnya tentang Papa Et, satu tahun terakhir yang tak
bisa ditolak: dari seluruh politikus di KK, modal dan relasi sosial yang dia
tebar telah melimpah-ruah. Berbanding terbalik dan konstan dengan Walikota
Tatong Bara.
Fakta sosial itu menjadi konklusi: andai
Pilwako dilaksanakan hari ini di KK, dipasangkan dengan kodok pun, Jainuddin
Damopolii hampir pasti akan menang mutlak. Karena sekadar beandai-andai, saya
ingin menambahkan: andai Papa Et benar-benar telah mencapai ''kebijaksanaan
orang tua'' dalam politik, maka pasti dia akan memilih tokoh muda yang
benar-benar baru. Dia tahu persis, gadang-gadang dan sodor-sodor seperti nama
Aditya Moha, secara umum tidak berfaedah pada kepentingan melahirkan sebanyak
mungkin tokoh baru dari Mongondow.
Tetapi, sekali lagi, tulisan ini bukanlah
tentang dinamika politik praktis di KK. Saya hanya ingin menyampaikan pada para
pemimpin, terutama Walikota KK 2013-2018, bahwa memandang remeh hal-hal kecil
biasanya bakal menjadi sandungan besar. Menempatkan Wawali sekadar ''pelengkap dengan
penderitaannya'' bukanlah hal sepele, karena dia seperti mengumumkan bahwa
''kota untuk semua'' kini telah berubah menjadi ''kota untuk semau-maunya
(Walikota)''.
Warga KK yang tergolong maju dalam pengetahuan
dan praktek politik dibanding daerah lain di Bolmong Raya, pasti tak sudi
dengan pemimpin yang ''semau-maunya sendiri''. Demi kemaslahatan semua orang,
ada baiknya setelah jeda dari riuh Idul Fitri dan syukur HUT, barangkali tak
salah jika Walikota Tatong Bara sejenak merenung apakah dia masih pemimpin
''kota untuk semua'' atau sudah memimpin ''kota dengan semau-maunya''.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang
Mongondow Selatan; Cawali: Calon
Walikota; DPR: Dewan Perwakilan
Rakyat; H: Hijriyah; HUT: Hari Ulang Tahun; KK: Kota Kotamobagu; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan
Wawali); RI: Republik Indonesia; Sekkot: Sekretaris Kota; dan Wawali: Wakil Walikota.