TAUTAN
berita LSM dan Wartawan BMR Support Sehan Lanjar
dari totabuanews.com (http://totabuanews.com/2015/09/lsm-dan-wartawan-bmr-support-sehan-landjar/)
yang saya terima Sabtu, 12 September 2015, sungguh menggelitik saraf tawa.
Mohon jangan buru-buru menyimpulkan saya terbahak sebab warta ini isinya melulu
puja-puji terhadap Bupati Boltim, Sehan Landjar.
Selama memimpin Boltim, yang masa
jabatannya akan berakhir dalam hitungan hari, Eyang memang berprestasi. Tentu
dengan tafsir dan persepsi ‘’prestasi’’ yang sangat luas. Begitu luasnya hingga
imajinasi kita boleh menggembara, meraba-raba, dan mengarang-ngarang melampaui
batas normal dan biasanya.
Saya pribadi, lepas dari segala kekurangan
dan kelemahannya, memberikan apresiasi tinggi terhadap Eyang. Dia adalah kawan
yang belum pernah terang-terangan menunjukkan ketidaksukaan, kejengkelan,
apalagi kemarahan, sekalipun saya kritik hingga ke batas yang—saya yakin—cukup
melecut egonya.
Akan halnya Eyang sebagai Bupati, ada
takarang-takaran lebih profesional dan kredibel mengukur kinerjanya. Misalnya
IPM, produksi dan keragaman komoditas pertanian (mengingat Boltim masih
bertumpuh pada sektor agraris), atau efektivitas dan efisiensi penggunaan APBD.
Bagaimana hasilnya? BPS Manado punya angka-angka yang bisa mewakili penilaian
kinerja Eyang. Anda yang penasaran boleh mengunduh sendiri dari situs BPS.
Tentang LSM
dan Wartawan BMR Support Sehan Lanjar, saya jujur saja, kelucuan pertama
memang pada segala sanjungan buat Eyang, yang dasarnya entah dicomot dari mana.
Klaim komunitas yang mengaku ‘’wartawan dan LSM BMR’’ (di Korot) ini, bahwa Eyang membawa perubahan
dan prestasi di Boltim, buat saya adalah lelucon yang agak keterlaluan dan
basi. Bagaimana kalau sebutkan tiga saja jenis perubahan dan prestasinya, lalu
kita uji dengan indikator-indikator yang sahih agar ketahuan klaim itu bukan
sekadar bual-bual yang menyertai seruputan kopi di Korot.
Namun, komedi yang sesungguhnya dari berita
yang semestinya tidak penting-penting amat itu berkaitan dengan ‘’wartawan’’
dan LSM’’. Wartawan adalah profesi yang terikat dengan kode etik dan tata
aturannya sendiri. Saya tidak tahu apakah ‘’komunitas wartawan BMR’’ (di Korot)
sesekali masih membuka-buka kembali kode etik dan panduan dasar jurnalistik
atau lebih masyuk bergosip. Yang jelas, pernyataan dukungan terhadap Eyang
adalah ekspresi murahan yang membuat orang banyak pantas mempertanyakan
integritas dan kredibilitas profesional mereka.
Wartawan memang bukanlah profesi yang
sepenuhnya independen dan sebagai individu tidak berhak memihak, seolah-olah
mereka tidak punya mata, telinga, dan hati. Barangkali pembaca blog ini akan bosan kalau saya kembali mengingatkan
batasan yang diformulasi Tom Resenstiel dan Bill Kovach dalam The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public
Should Expect (2001),
betapa pentingnya para jurnalis
profesional ‘’independen terhadap sumber beritanya’’.
Mustahaknya
independensi itu dipertegas American Press Institute (http://www.americanpressinstitute.org/journalism-essentials/what-is-journalism/elements-journalism/),
bahwa dengan demikian profesi ini
memiliki ‘’harga diri, integritas, dan kredibilitas’’. Lagipula, berita dan
artikel macam apa yang mampu diproduksi wartawan yang dependen terhadap sumber
beritanya, kecuali puja-puji, kepentingan satu orang (atau kelompok), dan yang
terburuk hanya demi keuntungan pribadinya sendiri.
Sehan Landjar, baik dalam posisi Bupati
petahana maupun Cabup 2016-2021 adalah sumber berita untuk para jurnalis, tak
hanya di Boltim tetapi BMR—bahkan Sulut—umumnya. Pernyataan ‘’komunitas
wartawan BMR’’ (di Korot) adalah penggadaian independensi profesinya. Dan dalam
posisi tergadai, apa boleh buat, profesi yang dianggap sebagai ‘’pilar keempat
negara—dan demokrasi—’’ (selain yudikatif, eksekutif, dan legislatif) ini turun
derajat tak lebih tinggi dari ‘’SERIUS Fans Club’’ .
Dan LSM yang diklaim turut serta dalam
ketoprak dukungan itu, dengan mengutip ‘’tokohnya’’, Sehan Ambaru, benar-benar slapstick rendahan. Apa makna ‘’LSM’’
yang dimaksud oleh para pengklaim ini? Saya kuatir—juga yakin—bahwa mereka yang
mengaku-ngaku LSM dalam isu dukung-mendukung ini sejatinya tidak paham ini
jenis organisasi apa, sejarah dan milestone-nya,
didirikan untuk apa, dengan keanggotaan macam apa?
Saya juga memperhatikan, beberapa tahun
belakangan, LSM adalah wadah yang dimanipulasi seolah-olah profesi. Menyebut seseorang
atau sekelompok orang sebagai ‘’LSM’’ bisa menjadi mantra sakti yang menakutkan
siapa saja, terutama mereka yang diduga bersalah, punya skandal, atau sedang
bermasalah. Hebatnya lagi, hanya dengan dua-tiga orang berkumpul, tanpa dokumen
dan pemenuhan legalitas lainnya, mereka yang mengklaim LSM sudah merasa sah
beroperasi.
Negeri ini memang sedang pikuk. Begitu
pikuknya hingga kita, orang banyak yang susah-payah berusaha menjaga kewarasan,
kerap terheran-heran mendengar dan menyaksikan lalu-lalang kesemau-mauan
sejumlah pemuja diri sendiri yang doyan mencari-cari panggung. Bahkan sekalipun
panggung itu tidak pada tempatnya.
Tatkala membaca kutipan Sehan Ambaru yang
mengaku salah satu pimpinan LSM, terbetik keinginan mengontak dia—apalagi
selama ini sesekali kami saling berkomunikasi lewat BBM. Namun niat ini
kemudian saya urungkan. Apapun alasannya, pernyataan Sehan Ambaru yang
‘’pimpinan LSM’’ sudah berada di area publik. Tidak salah jika koreksi terhadap
tabiat ‘’tunjung jagonya’’ juga dilakukan dengan cara yang sama.
Rekam jejak Sehan Ambaru memang menunjukkan
dia gemar melibatkan diri dalam politik; atau lebih tepat politicking—yang salah satu pengertiannya adalah ‘’activity
undertaken for political reasons or ends’’. Saya tidak perlu membeber contoh-contoh politicking Sehan Ambaru. Yang jelas,
sebagai ASN (PNS), tabiat yang dia praktekkan jelas jauh dari etis, bahkan
melanggar UU No. 5 Tahun 2014. Kalau kemudian berkilah bahwa pernyataan itu
mewakili posisinya sebagai pribadi, karena ‘’LSM’’, cuma menambah daftar
kepandiran sia-sia dan menunjukkan: dia tak paham apa itu LSM dan asal mangap saja.
Birokrat
adalah profesi yang melekat 24 jam, tujuh hari dalam seminggu, dan 365 hari
dalam setahun. Anda tidak bisa menjalani profesi ini hanya dari pukul 08.00
hingga 17.00, setelah itu alih profesi menjadi politikus. Apa jadinya jika
dokter hanya menjadi dokter di siang hari, guru hanya menjadi guru di sekolah,
dan ustadz hanya menjadi ustadz di mesjid?
Atau barangkali Sehan Ambaru tidak mengerti
arti kata ‘’support’’—yang dikutip dalam pernyataannya? Bila demikian, sebelum
buka mulut, ada baiknya simak kamus atau lebih baik gunakan bahasa Indonesia.
Demam ber-Inggris supaya tampak berpendidikan dan modern cuma bikin malu kalau
salah tempat, salah maksud, dan salah semua.
Semestinya pernyataan dukungan yang dikutip
totabuanews.com itu cukup menjadi
alasan Panwaslu dan BKD memeriksa Sehan Ambaru. ASN yang berpolitik praktis sebaiknya
tidak boleh berada di lingkungan birokrasi. Lebih terhormat menanggalkan
profesinya sebagai birokrat dan masuk Parpol, lalu buktikan bahwa klaim-klaim
seolah-olah menjadi wakil publik benar adanya.
Namun, puncak dari seluruh kelucuan berita
yang diunggah totabuanews.com adalah:
narsisme komunitas yang mengaku wartawan dan LSM BMR (di Korot) itu sudah
berada di tahap tidak tahu diri dan sakit jiwa. Memangnya kalau kemudian mereka
mendukung Eyang, siapa yang akan mendengar? Lebih penting lagi, siapa-siapa di
antara anggota komunitas itu yang punya hak pilih di Boltim?
Mengail di kolam politik boleh-boleh saja.
Tapi tidak dengan membawa ikan dari pasar yang dikaitkan ke mata pancing, lalu
diceburkan ke kolam, dan bergaya seolah-olah pemancing handal. Tipu-tipu macam
ini pada akhirnya cuma sungguh-sungguh merusak profesi (wartawan), institusi
(LSM dan birokrasi), dan menciderai esensi politik yang sebenarnya.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Aparatur Sipil Negara; BBM:
BlackBerry Messenger; BKD: Badan Kepegawaian Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; BMR: Bolaang Mongondow Raya; IPM: Indeks Pembangunan Manusia; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilu; PNS: Pegawai Negeri Sipil; SERIUS: Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit;
dan Sulut: Sulawesi Utara.