FOTO yang
menyertai berita penangkapan 10 siswa salah satu SMK di KK oleh Satpol PP, yang
dirilis Kontra Online (http://kontraonline.com/2014/05/santai-hirup-ehabond-10-siswa-smk-dibekuk-pol-pp/)
dan totabuan. co (http://totabuan.co/2014/05/hirup-ehabond-10-pelajar-smk-diamankan-pol-pp/),
Senin, 5 Mei 2014, agak membingungkan
saya. Aparat yang disebut Satpol PP KK tampak mengenakan seragam biru gelap,
mirip uniform lapangan Brimob atau
Dokpol.
Masing-masing ditajuki Santai
Hidup Ehabond, 10 Siswa SMK Dibekuk Pol-PP dan Hirup Ehabond, 10 Pelajar SMK Diamankan Pol PP, dua berita ini
mengungkap fakta peristiwanya tanpa menyisakan keraguan. Dengan kata lain,
aparat berpakaian biru gelap yang memergoki siswa-siswa pembolos dan penghidu
bahan perekat itu pasti bukan dari salah satu satuan elit Kepolisian RI. Apa
kata dunia bila Brimob ikut-ikut merazia sekadar murid yang ngacir dari sekolahnya?
Tapi kalau Satpol PP, kok
seragamnya begitu? Berdasar Permendagri Nomor 19 Tahun 2013, tertanggal 11
Februari 2013, Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan
Operasional Satuan Polisi Pamong Praja, ada lima jenis pakaian untuk Satpol PP:
PDH, PDL, PDU, PDPP, dan PDTI. Sepesifikasinya disebutkan berwarna khaki tua
kehijau-hijauan, jenis bahan driil atau 100% katun (cotton), dengan kode warna EMD-1910 Satuan Polisi Pamong Praja.
Demi menghindari duga-duga yang beranak-pinak keliru, saya
mengontak beberapa kawan, termasuk para pewarta yang sehari-hari bertugas di
KK. Mereka membenarkan aparat yang mejeng
di foto publikasi Kontra Online dan totabuan.co adalah Satpol PP. Salah
seorang wartawan, entah sekadar bercanda atau benar-benar serius, menjelaskan
seragam biru tua itu dikenakan anggota Satpol PP KK yang bertugas di bagian operasi. ‘’Dorang itu noh depe pasukan pemukul.’’
Kawan yang lain punya cerita yang lebih lengkap, jauh ke
belakang di era kepemimpinan Ny Marlina Moha-Siahaan sebagai Bupati Bolmong.
Ketika itu, entah mendapat ilham dan wangsit dari situs wingit mana, Satpol PP mendadak
diberi seragam yang identik dengan Brimop serta mengenakan baret biru khas PM. Akibat
menggunakan sesuatu yang bukan hak, di salah satu upacara peringatan hari besar
nasional, Komandan PM menegur keras dan meminta Satpol PP yang mengenakan
segera mencopot baret biru itu.
Lagi-lagi, entah fakta atau cuma bumbu cerita, tercetus saat
itu tokoh ajaib per-Satpol PP-an di Bolmong saat ini, Linda Lahamesang, sudah
wara-wiri dan punya peran signifikan. Badut ini lagi? Kepala Satpol PP Bolmong
yang Jumat, 25 April 2014, saya cemooh (Ironi
Don Quixote dan Sancho Panza di Bolmong) karena mengiringi sidak Bupati
Salihi Mokodongan dengan mengenakan pakaian lapangan bermotif loreng Kopasus.
Setelah mengunggah tulisan yang menyoroti sepak-terjang dan
‘’keajaiban’’ ulah Linda Lahamesang itu, saya menerima sejumlah komentar dan
foto lagak-lakunya sebagai Kepala Satpol PP. Bagaimana dia dengan sesuka hati
berdandan mirip sosok tiran dari Republik Wadiya, Laksamana Jenderal Aladeen,
yang diperankan komedian Sacha Baron Cohen di film The Dictator (2012). Bahkan, dalam banyak takaran, kadar kegilaan
Linda tanpaknya lebih hebat dari Aladeen. Karenanya dia barangkali pantas
menyandang Laksamana Komodor Jenderal atau apapun gelar yang tepat
menggambarkan skala gangguan kejiwaannya.
Tapi mungkinkah kegilaan menular? Saya tidak punya
pengetahuan memadai ihwal ilmu jiwa, tetapi yang saya tahu –di banyak kasus--
histeria mudah menular. Contohnya, kerasukan berombongan yang kerap terjadi di
negeri ini, oleh beberapa pakar kejiwaan didiagnosis sebagai histeria massal
dan bukan akibat kerasukan setan belang iseng. Tapi demi keamanan lahir-bathin,
dalam urusan histeria ini, saya memilih netral. Yang melibatkan psikiater
berarti ilmiah dan masuk akal; sedang yang memerlukan campur tangan doa dan
jampi-jampi mari kita limpahkan ke tangan Pak Ustadz dan dukun.
Di manakah konteks Satpol PP KK yang berseragam di luar
legalitasnya itu diletakkan? Menurut saya perkaranya tidaklah rumit. Para
Kepala Daerah di empat Kabupaten/Kota di Bolmong Raya memang belum memberikan
perhatian memadai (atau justru mengabaikan) penegakkan aturan dan disiplin di
kalangan PNS. Faktornya bisa bermacam-macam. Karena menerima warisan praktek
yang sudah berurat-berakar (dugaan saya Satpol PP KK adalah salah satunya);
alpa mengikuti UU baru dan turunannya; atau karena bawahan memang sengaja
berlaku ‘’semau gue’’ seperti kasus Kepala Satpol PP Bolmong.
Dua faktor pertama mudah diubah. Tidak demikian dengan
faktor ketiga yang memerlukan lebih dari sekadar pendisiplinan dalam bentuk
peringatan resmi dan evaluasi kondite. PNS di eselon tertentu, yang alih-alih
jadi contoh baik justru memelopori pengerusakan aturan dan disiplin, sebaiknya
dicopot dan dididik ulang hingga kewarasannya kembali. Bila perlu wajib
menjalani terapi di RS Ratumbuysang.
Kembali pada seragam Satpol PP KK, saya berharap Walikota,
Tatong Bara, dan Wawali, Jainuddin Damopolii, segera mengambil langkah tegas
menertibkan pelanggaran itu. Mumpung pasangan ini baru beberapa bulan menduduki
jabatannya. Terlebih Satpol PP adalah garda depan penegakan aturan dan disiplin
birokrasi serta aspek-aspek lain yang berada di lingkup Pemkot (termasuk
Perda).
Selain seragam sesuka tafsir sendiri, yang cukup mengganggu
dari pemberitaan dan foto razia Satpol PP KK di Kontra Online dan totabuan.co
adalah ‘’pembinaan’’ (jalan jongkok) terhadap 10 pelajar yang kepergok bolos
dan ber-ehabond itu. Batok Kepala
Satpol PP dan angota-anggotanya yang melakukan ‘’pembinaan’’ itu pantas di
tempeleng. Apa hak mereka? Di manakah terdapat aturan yang membolehkan Satpol
PP ‘’membina’’ pelajar yang bolos dan menghirup ehabond dengan cara seperti itu?
‘’Pembinaan’’ itu boleh dibilang bentuk kesewenang-wenangan
keterlaluan dari aparat yang merasa dirinya polisi sekaligus jaksa dan hakim.
Mengamankan pelajar yang ketahuan berleha-leha di luar sekolah saat jam belajar
barangkali diatur di Perda KK. Atau minimal Perda yang mengatur ketertiban dan
kenyamanan umum. Tapi melakukan ‘’pembinaan’’, kalau yang terkena razia
masyarakat umum, tugasnya –setahu saya—ada di lingkup dinas atau bagian yang
mengurusi Kesra. Akan halnya anak sekolah, menjadi yuridiksi institusi
tempat mereka belajar atau Dinas Pendidikan.
Dengan tetap menghormati dan mengapresiasi dedikasi Satpol
PP KK pada kewajiban dan tugas yang mereka emban, konklusi saya adalah: Satuan
ini perlu sungguh-sungguh ditertibkan dan dididik kembali. Setidaknya agar
mereka paham Satpol PP bukanlah alat tiran seperti pasukan Laksamana Jenderal
Aladeen atau tentara komik Jenderal Naga Bonar (1987) yang boleh berlaku
sesukanya, sesuai selera dan menu sarapan komandannya.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang Mongondow; Brimob: Brigade
Mobil; Dokpol: kedokteran Kepolisian; Kesra: Kesejahteraan
Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; Kopasus: Komando Pasukan Khusus; Perda:
Peraturan Daerah; PDH: Pakaian Dinas Harian; PDL: Pakaian Dinas
Lapangan; PDPP: Pakaian Dinas Petugas Pataka; PDPTI: Pakaian
Dinas Petugas Tindak Internal; PDU: Pakaian Dinas Upacara; Permendagri:
Peraturan Menteri Dalam Negeri; PM: Polisi Militer; PNS: Pegawai
Negeri Sipil; PP: Pamong Praja; RS: Rumah Sakit; Satpol:
Satuan Polisi; Sidak: Inspeksi Mendadak; SMK: Sekolah Menengah
Kejuruan; PP: Polisi Pamong; dan Wawali: Wakil Walikota.