CERITA ini bukan
rekaan. Peristiwanya masih berlangsung, melibatkan seorang guru (pria), murid
(wanita) dan keluarganya, serta segelintir aparat di Reskrim Polres Bolmong.
Tersebutlah saat praktek mata pelajaran KKPI di kelas XI
Jurusan Perbankan SMK Negeri 1 Kotamobagu, Sabtu, 26 April 2014, siswi bernama
Febri Pandeirot justru asyik memainkan telepon selularnya. Febri kemudian
ditegur guru yang bertanggungjawab, Kuswindra Kadayow, bahkan hingga tujuh
kali. Sebab tak mengindahkan peringatan, Kuswindra akhirnya mengambil telepon
milik Febri dan diletakkan di meja guru.
Febri ternyata bukan satu-satunya murid yang berulah. Ada
Meilan Kantohe yang mendapat hukuman sama: telepon selularnya diambil dan
‘’diamankan’’.
Tindakkan Pak Guru tidak keliru. Selain mengganggu proses
belajar-mengajar, dua siswi itu sesungguhnya terbukti menerabas aturan sekolah.
Menurut informasi yang saya terima (semoga ini tidak keliru), SMK Negeri 1
Kotamobagu punya aturan melarang murid-muridnya membawa telepon selular ke
sekolah. Aturan ini, sepengalaman saya, hampir berlaku di mana-mana; sekaligus
dengan segala daya dilanggar (bahkan dengan sepengetahuan para orangtua) di
mana-mana.
Urusan yang semestinya berakhir di sekolah dengan menyerahkan
dua murid itu ke bagian yang menangani kesiswaan, berbelok tak karuan. Berbeda
dengan Meilan yang langsung mengambil telepon selularnya setelah praktek
selesai; milik Febri (sengaja atau tidak) ikut masuk tas kerja Kuswindra.
Pihak yang mengaku keluarga Febri pun melibatkan diri.
Dimulai dari komunikasi antara Kuswindra dan perempuan yang mengaku Tante dari
Febri, yang mengirimkan SMS ‘’ancaman (termasuk menyebut ayah Fabri pengusaha
kaya di Poigar) hingga orang yang mengklaim Paman dan anggota Reskrim Polres
Bolmong. Saling sahut antara Pak Guru dan ‘’Paman anggota Reskrim’’ ini
berakhir dengan ‘’perintah’’ bertemu di ruang Reskrim Polres Bolmong.
Minggu petang, 27 April 2014, Kuswindra hadir di ruang
Reskrim Polres Bolmong. Tak lama kemudian Febri dan Tantenya tiba. Debat di
antara para pihak terjadi, terutama karena Pak Guru ini mempertahankan sikapnya
bahwa peristiwa di sekolah selayaknya diselesaikan di internal sekolah.
Lagipula telepon selular yang dipersoalkan ada dan dapat diambil oleh Febri
ditemani orangtua di bagian kesiswaan, Senin, 28 April 2014.
Dari kronologi peristiwa yang saya terima (tentu dari versi
Kuswindra), salah seorang polisi mengkonklusi memang selayaknya masalah
‘’penyitaan’’ telepon selular itu diselesaikan di sekolah. Selesaikah
masalahnya? Tidak juga, sebab mendadak seorang polisi masuk dan tanpa ba-bi-bu
mempotret Kuswindra. Tak terima dengan perlakukan itu, Pak Guru mendorong sang
polisi sembari beranjak keluar ruangan.
Di gang di luar ruangan Reskrim tiba-tiba bogem melayang di
pelipis Kuswindra. Selain tonjokan, dia juga menerima toyoran di belakang kepala. Akibat perlakuan polisi yang berlagak
preman kampung itu, sebagaimana yang ditulis totabuan.co (http://totabuan.co/2014/04/pelipis-kiri-guru-smk-bengkak-diduga-dipukul-oknum-anggota-polisi/),
Rabu, 30 April 2014, pelipis kiri pengajar KKPI ini bengkak.
Keberatan dengan tindak pidana yang terjadi di tempat di
mana hukum mestinya ditegakkan dengan adil, Kuswindra melapor Propam Polres
Bolmong. Di saat pengaduannya masih dalam proses, Selasa, 29 April 2014, dia
mendapat Surat Panggilan Nomor S.Pgl/566/IV/2014/Reskrim dengan status sebagai
tersangka penggelapan.
Terpujilah lagak bajingan oknum-oknum polisi itu! Luar biasa
perilaku, pengetahuan hukum, dan gerak cepat mereka mengada-adakan celah
mempersulit warga yang dianggap berada di posisi lemah. Berapa harga
polisi-polisi keparat itu? Saya bersedia turut menanggung sogokan untuk mereka,
yang menggunakan kewenangannya seolah-olah kehormatan seragam yang dikenakan
hanya melindungi yang berduit, punya ‘’kekuatan’’, dan pengaruh.
Pertama, hanya
dengan ‘’perintah’’ SMS Kuswindra bersedia menyambangi Reskrim Polres Bolmong.
Bagi saya pribadi, ini bukan tindakan bijaksana. Ada hak apa polisi memanggil
seseorang (di hari libur pula), terlebih hanya karena ada anak manja yang tidak
tahu diri mengadu ke Pamannya yang ‘’konon’’ anggota Reskrim?
Paman yang polisi, yang tahu aturan dan hukum, semestinya
menelisik dengan hati-hatinya masalahnya, menangani dengan kepala dingin, dan
bila perlu menegur keponakan yang jelas-jelas melanggar aturan paling normatif
di sekolahnya. Kalau kemudian yang dilakukan Kuswindra dianggap perbuatan
melawan hukum; selayaknya dia dipanggil sesuai dengan tata cara yang menjunjung
hukum.
Saya percaya masih sangat banyak polisi baik yang pantas
jadi teladan di negeri ini. Tapi tentu tidak termasuk oknum yang
menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya serta para bajingan yang meninju dan
menoyor kepala Kuswindra, di kantor polisi pula.
Sepengetahuan saya Kapolres dan Wakapolres Bolmong, AKBP Hisar Siallagan dan Kompol Daru Tyas Wibawa, adalah
generasi polisi yang khatam dan serius menegakkan kewajiban korpsnya melindungi,
mengayomi, dan melayani masyarakat, tanpa memandang pangkat, kedudukan, dan
kekayaannya. Adakah kasus ini (utamanya perlakuan tak senonoh terhadap Pak Guru
Kuswindra) akan ditangani dengan semestinya, seadil-adilnya, dan seproposionalnya,
dengan mengindahkan semua kepatutan aturan dan hukum?
Dua, penyitaan
telepon selular muridnya yang dilakukan Pak Guru Kuswindra sangat beralasan.
Febri bukan hanya dua kali melanggar aturan sekolah (membawa gadget ke sekolah dan menggunakan saat
belajar-mengajar berlangsung), tetapi juga terang-terangan menunjukkan sikap
tak hormat. Bahwa dia keberatan karena telepon selular itu dibawa (atau
terbawa) guru yang melakukan penyitaan, ajukan keberatan ke pihak sekolah
dengan didampingi oleh orangtua atau walinya.
Sukar dibayangkan dampak pembiaran kelakuan bengkok
murid-murid yang mengaku anak orang kaya atau putra-putri pejabat dan orang
penting. Besok-lusa guru menjadi pihak yang paling tak berdaya dan profesi yang
gampang dihinakan dan dikriminalisasi. Febri cuma ‘’katanya’’ anak orang kaya
dan keponakan oknum anggota Reskrim. Bagaimana andai dia anak jutawan yang
Gubernur dan keponakan Kapolres atau Kapolda? Boleh jadi dua tempurung lutut
Guru Kuswindra bolong diterjang timah panas hanya karena menyita telepon selular.
Ketiga, mentersangkakan
Kuswindra menunjukkan segelintir oknum di Polres Bolmong memang secara
terencana berniat menyalahgunakan kewenangan hukum mereka. Apa alasannya?
Begitu tidak adanyakah kesibukan di Reskrim Polres Bolmong hingga mereka mengambil
alih masalah yang pertama-tama dan utama semestinya diselesaikan di tingkat SMK
Negeri 1 Kotamobagu. Kalau Febri dinilai melanggar aturan dan disiplin sekolah,
dia layak menerima sanksi. Demikian pula, bila sebagai guru Kuswindra melenceng
dari tugasnya, dia pun harus menanggung hukuman.
Dan keempat,
dengan perilaku Febri, keluarganya, dan oknum-oknum di Polres Bolmong, SMK
Negeri 1 Kotamobagu berhak mengembalikan dia ke keluarganya untuk dididik di
tempat lain yang lebih baik dan sesuai selera mereka: ‘’orang kaya yang juga
punya pengaruh’’. Bahkan barangkali dia lebih tepat disekolahkan di Reskrim
Polres Bolmong, yang tentu tak mengharamkan murid bermain telepon selular
sesukanya di saat belajar-mengajar sedang berlangsung.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
AKBP: Ajun
Komisaris Besar Polisi; Bolmong: Bolaang
Mongondow; Kapolres: Kepala
Kepolisian Resor; KKPI: Keterampilan
Komputer Pengelola Informasi; Kompol:
Komisaris Polisi; Polres: Kepolisian
Resor; Propam: Profesi dan
Pengamanan; Reskrim: Reserse Kriminal; SMK: Sekolah Menengah
Kejuruan; SMS: Short Message/Pesan
Pendek; dan Wakapolres: Wakil Kepala
Kepolisian Resor.