UNGGAHAN di blog ini, Senin (24 Februari 2014), ‘’Koran Lei atau Kartas Toilet?’’
mengundang sejumlah reaksi, termasuk sindir-sindiran yang (lagi-lagi) menuding
saya bersikap tak adil terhadap Radar
Bolmong. Lepas dari kenyinyiran tanpa bukti itu, salah satu komentar cerdas
yang dikutip seorang kawan dari status BBM seseorang, kurang lebih menyatakan,
‘’Isu sensitif SARA adalah extraordinary
crime.’’
Hampir 16 tahun terakhir negeri ini mengalami dan belajar pahit
dan rentannya isu SARA memicu rusuh. Poso, Maluku, Malut, dan sejumlah letupan
konflik lainnya yang menjatuhkan ribuan korban jiwa dan harta benda terjadi
karena silang-selisih SARA. Benar adanya memicu pertentangan berdasar SARA
adalah ‘’kejahatan luar biasa’’ yang setara (bahkan lebih) mengerikan dari
korupsi.
Di tengah konflik sipil SARA, media yang menyadari perannya
lebih dari sekadar institusi bisnis, dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati
turut berikhtiar mencari jalan keluar. Maka lahirlah macam-macam istilah,
termasuk jurnalisme damai yang lebih mengedepankan penghormatan terhadap
keberagaman; nilai-nilai positif yang sama dari entitas yang berbeda; dialog saling
memahami memperpendek dan menjembatani perbedaan; serta toleransi.
Pemahaman terhadap tanggungjawab, fungsi, dan peran media
itulah yang berulang kali saya sampaikan merespons pernyataan, komentar, dan
kritik terhadap unggahan ihwal isu sensitif SARA yang dipicu pemberitaan
(berbayar pula) Radar Bolmong, Jumat
(21 Februari 2014), yang menyeret Bupati Boltim, Sehan Lanjar. Namun koran ini,
pengelola, dan kelompok yang memayunginya memang hebat. Mereka bergeming dengan
kokoh terhadap telisikan, kritik, dan celaan; bahkan dengan tetap pongah dan
tanpa malu-malu bersikap seolah mereka adalah institusi profesional yang
kredibel.
Disudutkannya Bupati Boltim dengan kutipan yang mengesankan
penghujatan terhadap dua tokoh sakral ajaran Islam (Nabi Muhammad) dan Kristen
(Tuhan Yesus), memang segera dikoreksi dengan permintaan maaf. Sehan Lanjar,
pembaca umumnya (termasuk umat dua agama ini yang tensinya menggelegak),
mungkin terpuaskan dengan langkah jajaran redaksi Radar Bolmong; tapi tidak dengan orang-orang yang khatam memahami
bahasa.
Perhatikan, maklumat Senin, 24 Februari 2014 yang ditajuki
‘’Permintaan Maaf’’ berisi pernyataan: ‘’Redaksi Harian Radar Bolmong menyampaikan permohonan maaf atas berita berjudul
‘’Sehan versus Sahrul di Pilbub 2015 Mulai Bergulir’’, di halaman Boltim, edisi
Jumat 21 Februari 2014. Berita yang menulis nama Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus
itu kami nyatakan tak jelas sumbernya. Kami juga meminta maaf kepada seluruh
umat Islam dan Kristen atas isu berita itu. Dan redaksi menindaklanjutinya
dengan memberikan sanksi kepada reporter dan editor berita tersebut. TTD
Pemimpin Redaksi.’’
Mari saya tunjukkan di mana niat jahat terencana redaksi Radar Bolmong menyudutkan Bupati Boltim
(saya juga punya bukti ‘’harapan’’ Pemred Radar
Bolmong pada Jumat, 21 Februari 2014, pukul 11.18, ‘’Mudah-mudahan statemennya yang disorot pembaca, bukan korannya.’’).
Bahwa memang sejak mula informasi dan pergunjingan media ini mempraktekkan
‘’pukul, rangkul, dan sedot’’ bukanlah rumor belaka.
Mula-mula lima jajaran Pemkab dan Pemkot di wilayah Bolmong
dipukul dengan pemberitaan dan ancaman pengungkapan borok mereka; lalu
dirangkul seolah-olah Radar Bolmong
adalah kawan berhati mulia pendukung proses pemerintahan dan pembangunan; namun
setelah itu ‘’tak ada makan siang gratis’’. Jajaran Pemkab dan Pemkot mesti
bekerjasama dalam semua hal: pemberitaan, iklan, advertorial, dan apapun yang dapat dikapitalisasi dari hubungan
pertemanan pura-pura itu. Dan yang disasar tentu saja dana APBD.
Kembali ke soal niat busuk terhadap Bupati Boltim dan
perilaku pongah serta manipulatif manajemen dan redaksi Radar Bolmong.
Pertama, Pemred
Radar Bolmong hanya meminta maaf pada seluruh umat Islam dan Kristen. Bupati
Boltim, Sehan Lanjar, yang hampir saja jadi sasaran kemarahan dua umat beragama
ini (tidak sebatas hanya di wilayah Mongondow) diabaikan dan baru ditambahkan (artinya ralat di atas ralat --betapa amatirnya) di
maklumat yang dimuat Selasa, 25 Februari 2014, di halaman 1 koran ini.
Tidak adanya permintaan maaf terhadap Bupati Boltim,
eksplisit dan implisit mengandung pesan Radar
Bolmong tetap berkeyakinan Sehan Lanjar benar-benar menyatakan penghujatan
terhadap Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus. Soalnya adalah, semata karena koran ini
tidak memiliki bukti pendukung yang sahih, sebagaimana penegasan di frasa, ‘’Berita
yang menulis nama Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus itu kami nyatakan tak jelas
sumbernya.’’
Enak betul kilahan tidak bermutu itu. Pembaca Radar Bolmong dianggap segerombolan
kodok yang enteng saja meniadakan kutipan pernyataan Sehan Lanjar (‘’Jangankan Sachrul Mamonto, Nabi Muhammad
dan Tuhan Yesus pun kalau di Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,’’ ujar
Sehan, antara serius atau sekadar bercanda). Apa maksud ‘’tak jelas sumbernya’’? Bupati
Boltim bukan sosok yang jelas; atau kutipan itu diakui memang hanya karang-karangan
wartawan yang (dibayar) menulis beritanya?
Bukannya menjernihkan masalah, pengumuman itu justru adalah
pelecehan terang-terangan terhadap Bupati Boltim. Karenanya, kalau Sehan Lanjar
menerima permintaan maaf itu sebagai penyelesaian memadai isu penghujatan
sakralitas agama (Islam dan Kristen), dengan menyesal saya mesti mengatakan,
‘’Anda tertipu, Pak Bupati. Cuma bagitu
dang Bupati tercerdas di Mongondow pe langit?’’ Anda tertipu mentah-mentah,
apalagi bila terlena dengan ‘’gosokkan’’ Sehan
Patut Diteladani yang dipublikasi Radar
Bolmong dan kerabatnya (Manado Post
dan Posko), Selasa, 25 Februari 2014.
Dan kedua, pengumuman
Pemred Radar Bolmong ditutup dengan
pernyataan, ‘’Dan redaksi menindaklanjutinya dengan memberikan sanksi kepada
reporter dan editor berita tersebut.’’ Ini ekspresi culas, angkuh, cuci tangan,
dan menggampangkan masalah; sekaligus menunjukkan kompetensi Pemred koran ini
memang cui!
Proses merencanakan, meliput, menuliskan, dan mengedit
hingga satu isu memenuhi persyaratan publikasi di media massa, menjadi tanggung
jawab Redpel, Korlip, redaktur, dan reporter. Tetapi begitu beritanya
ditayangkan, Pemred-lah yang bertanggungjawab penuh. Memberikan sanksi, hukum
pancung, atau dicubit hingga kelenger
kepada reporter dan editor yang menulis dan menyiapkan berita (berbayar) itu
adalah urusan internal. Urusan publik, pembaca dan orang banyak, adalah apa
tanggungjawab nyata dari Pemred sebagai otoritas tertinggi redaksi? Secara
hukum, Pemred-lah yang harus menghadapi aparat berwenang, bukan jajaran di
bawahnya.
Mengumumkan permintaan maaf bertandatangan Pemred diimbuhi ‘’ada
sanksi terhadap reporter dan editor’’ adalah cara cuci tangan pengecut. Pulia dalam kosakata Mongondow. Pula sok
pahlawan dan mentang-mentang, mengingat galibnya ralat dan permintaan maaf
akibat kesalahan publikasi media hanya diabsahkan dengan ‘’Redaksi’’. Anehnya, manajemen Radar Bolmong (dan induknya) tetap mempertahankan Pemred dengan
kualitas kertas toilet ini. Benarkah semata karena kepiawaiannya menyetorkan cash in tak mampu ditandingi pewarta
lain yang lebih kredibel, berpengetahuan, dan profesional?
Apapun alasannya, Pemred Radar
Bolmong harus dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana Pemred Majalah Sastra, HB Jassin, sebab mempublikasi
cerpen Langit Makin Mendung dari Ki
Panji Kusmin di edisi Agustus 1968. Dianggap ‘’melecehkan’’ Islam (Allah,
Muhammad Rasulullah, dan Jibril), cerpen ini menyebabkan Majalah Sastra dilarang terbit dan HB Jassin
dijatuhi hukuman (tunda) satu tahun.
Nah, apalagi yang dipertimbangan dan ditunggu Bupati Boltim
yang dijadikan obyek dan pelecehan serta pihak berwenang yang semestinya
mengambil tindakan tegas terhadap provokasi sensitif SARA oleh Radar Bolmong? Apakah mesti menunggu
aksi umat Islam dan Kristen; atau anarki massal terhadap koran ini?***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
Bolmong: Bolaang
Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow
Timur; Cerpen: cerita Pendek; Korlip: Koordinator Liputan; Malut: Maluku Utara; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; Pemred: Peminpin Redaksi; Redpel: Redaktur Pelaksana; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar
Golongan; dan TTD: Tertanda.