HASIL seleksi
calon pengawai negeri sipil (CPNS) tahun ini diumumkan Selasa, 24 Desember
2013. Saya, yang sesungguhnya tak punya sangkut-paut –kecuali karena sejumlah
kerabat, teman, dan kenalan terdaftar sebagai peserta--, tak urung turut cawe-cawe mencermati yang lulus dan
tidak, khususnya CPNS dari wilayah Mongondow.
Dibanding tahun-tahun sebelumnya, seleksi CPNS 2013 ini
boleh dibilang cukup transparan dan fair.
Sejak mula Kementerian PANRB ‘’mengkampanyekan’’ prosesnya diupayakan
meminimalisir kecurangan (yang galib dituduhkan selama ini). Kementerian ini
juga secara terbuka mengumumkan jenis tes serta passing grade (terjemahan yang tepat mungkin ‘’nilai kelolosan’’)
yang harus dicapai para peserta, sebagaimana yang diunggah di situs Kementerian
PANRB, Selasa, 5 November 2013,
Pemerintah Tetapkan Passing Grade Tes CPNS (http://www.menpan.go.id/berita-terkini/1999-pemerintah-tetapkan-pasing-grade-tes-cpns).
Ada tiga jenis tes yang dihadapi para peserta, masing-masing
TKP, TIU, dan TWK. Untuk peserta yang mengikuti tes dengan sistem CAT, passing grade yang ditetapkan masing-masing TKP 60% (nilai
ambang batasnya 105), TIU 50% (nilai ambang batasnya 75), dan TWK 40% (nilai
ambang batasnya 70). Sedang peserta dengan sistem LJK masing-masing TKP 60%
(nilai ambang batasnya 108), TIU 50% (nilai ambang batasnya 70), dan TWK 40%
(nilai ambang batasnya 64). Selain tiga jenis tes itu, masih ada TKB untuk
instansi, lembaga, atau insitusi yang memang membutuhkan keahlian khusus.
Hanya berdasar pada pemahaman umum TKP dan TIU, saya
cenderung setuju dengan model tes yang digunakan Kementerian PANRB. Bila benar
TKP mampu menguji karakteristik pribadi dan TIU mampu mendeteksi ‘’kecerdasan’’
seorang CPNS, inilah pendekatan yang relatif ideal. Bagaimana pun karakteristik
seseorang memang amat menentukan performance-nya
di dunia kerja. Mereka yang malas, bossy,
cenderung korup dan semena-mena, serta berbakat besar jadi tukang tipu dan politicking, sebaiknya langsung dicoret
sebagai CPNS. Demikian pula, ‘’kecerdasan’’ yang kerap tidak korelatif dengan
‘’kepintaran’’. Banyak orang yang di masa sekolah dan PT selalu tercatat
sebagai juara kelas dan punya IP di atas 3,00, ternyata majal di dunia kerja.
Secara pribadi saya pernah harus menghadapi ujian
karakteristik pribadi ketika satu ketika menjalani tes etik yang disyaratkan
perusahaan tempat bekerja, terutama untuk level
di atas manajer. Materi tes yang disodor menguji sejauh mana seorang
profesional memahami, meresepi, dan menegakkan komitmen etis profesonalnya.
Yang mengejutkan bukan karena saya lolos dengan nilai sempurna (dan menjadi
satu-satunya di antara seluruh peserta), tetapi sebab begitu banyak penyandang
dua-tiga gelar akademik yang bekerja lebih lama dan di posisi lebih tinggi dari
saya, gagal melewati passing grade
dan harus dididik kembali di pelatihan etik.
Akan halnya intelegensia umum yang diuji lewat TIU, saya
kira bukanlah sejenis psikotes yang umum kita kenal. Dugaan saya, tes ini
semata menakar ‘’kecerdasan normatif’’ yang minimal harus dimiliki seorang PNS.
Apa sulitnya? Masak seseorang yang lulus SMA/SMK atau PT tidak cukup cerdas?
Tentu sangat tidak masuk akal bila selama masa sekolahnya dia terus-menerus
mencontek, serta skripsi dan ujian akhirnya hanya sulap-sulapan?
Lain halnya dengan TWK. Apa yang dimaksud dengan wawasan
kebangsaan? Seorang CPNS tahu persis sejarah Indonesia masa silam;
pahlawan-pahlawan di negeri ini yang gugur karena merintis dan mempertahankan
kemerdekaan; atau siapa-siapa menteri di kabinet terakhir? Ataukah wawasan
kebangsaan adalah bagaimana setiap anak negeri ini mencintai tanah airnya
dengan hati tak tergoyahkan?
Cilakalah bila wawasan kebangsaan yang dimaksud adalah yang
pertama. Ekstrimnya, CPNS-CPNS yang orang Indonesia (lebih khusus Mongondow)
tulen, yang katakanlah sejak masa kanak hingga PT menempuh pendidikan di luar
negeri, hampir dapat dipastikan bakal mencatat capaian di bawah 40% untuk TWK.
Kementerian PANRB sedang mencari CPNS atau sarjana sejarah?
Di masa SD hingga SMA tidak masalah bagi kebanyakan kita
menjawab pertanyaan: Siapa pendiri Kerajaan Majapahit? Siapa Menteri
Pendidikan? Atau siapa yang mengusulkan Piagam Jakarta? Begitu di PT, apalagi
untuk mereka yang mengambil studi eksakta, siapa yang repot-repot mengingat
Raden Wijaya, nama menteri yang kian hari jumlahnya lebih banyak dari pasukan
gerak jalan, dan piagam yang nasibnya tinggal jadi kajian sejarah? Bagi dokter,
dokter gigi, sarjana teknik, atau ahli pertanian, tidak masalah dia lupa siapa
tokoh bangsa; yang lebih penting dia ingat letak jantung, gigi mana yang harus
dicabut, kekuatan pondasi, atau terong harus dibibitkan seperti apa.
Menguji wawasan kebangsaan seseorang, setelah dia dites
dengan karakteristik pribadi dan intelegensia umum, adalah kesia-siaan yang
menggelikan. Ketika dunia kian maju, globalisasi membuat negara menjadi tanpa
batas, Kementerian PANRB justru mempersempit takaran kebangsaan hanya sekadar
urusan memahami sejarah dan tetek-bengeknya; bukan bagaimana seseorang (CPNS
pula) mencintai dan berkomitmen sekukuh granit terhadap negerinya. Bagi
sejumlah orang, terutama mereka yang brilian, memilih menjadi PNS (sementara
tawaran di dunia kerja pertikelir melambai-lambai menggoda) bukanlah berkah; melainkan
pengorbanan karena kecintaan yang keras kepala terhadap ke-Indonesia-an.
Di Perth, Western Australia, Selasa, 17 Desember 2013, saya
sempat bercakap-cakap dengan seorang anak Indonesia yang dengan gemilang
menyelesaikan studi masternya di bidang yang masih amat langka, bahkan di
Australia. Dia bekerja di salah satu institusi negara di Indonesia, yang sebab
kecerdasannya, University of Western Australia menawari kesempatan menjadi
pengajar yang otomatis memberikan kesempatan studi lanjutan dan gelar profesor.
Melihat masa depan yang terbentang di hadapannya, saya
spontan mengatakan, ‘’Ambil kesempatan itu. Di Indonesia mungkin kau tidak akan
pernah mendapatkan tawaran yang begitu bagus.’’ Saya terkejut ketika dia justru
menjawab, ‘’Saya memang akan mengambil PhD. Tetapi saya akan kembali dan
mengabdi di Indonesia. Dengan segala risikonya.’’
Hari ini, sembari mengecek kelulusan peserta tes CPNS 2013
yang saya kenal, juga membaca aneka keluh dan geram di status BBM, serta BBM
dan SMS yang dikirimkan sejumlah orang dari Mongondow; saya membayangkan
kegalauan yang mendera banyak orang. Peserta tes yang gagal melewati passing grade, Bupati dan Walikota yang
pusing karena (konon) hanya 80% peserta tes tahun ini yang lolos (artinya
banyak formasi yang gagal terisi), serta –yang tak bisa dielakkan-- sentimen
anak daerah versus pendatang yang
tiba-tiba diruyakkan oleh sejumlah orang. Dan kesedihan itu pun menerjang.
Kelulusan tes CPNS 2013 di Mongondow memang patut
dipertanyakan bila pesertanya gagal di TWK; tetapi tidak untuk TKP dan TIU.
Bukankah selama ini kita mengharapkan ada proses yang benar-benar jujur dan
adil? Dan yang terpilih menjadi CPNS , lalu PNS, adalah mereka yang layak
memikul manah?
Apa yang dilakukan Kementerian PANRB tahun ini memang jauh
dari sempurna, terutama TWK yang menggelikan itu. Selebihnya, saya kira, harus
diterima dengan lapang dada, setidaknya seperti yang ditunjukkan Bupati Bolsel,
Herson Mayulu, sebagaimana yang dipublikasi Totabuan
Co, Bupati Bolsel Menyurat ke Menpan RB,
Soal Tingginya Passing Grade (http://totabuan.co/2013/12/24/bupati-bolsel-menyurat-ke-menpan-rb-soal-tingginya-passing-grade/).
Ya, hasil seleksi CPNS 2013 ini, khususnya di Mongondow,
memang jadi kisah sedih di akhir tahun untuk sangat banyak pesertanya, juga
kebanyakan kita yang peduli. Tapi saya hanya bersedih untuk mereka yang tak
lolos karena TWK-nya rendah, tidak untuk yang TKP dan TIU-nya payah.***
Singkatan dan Istilah
yang Digunakan:
BBM: BlackBerry
Messenger; CPNS: Calon Pegawai
negeri Sipil; CAT: Computer Assisted
Test; IP: Index Prestasi; LJK: Lembar Jawab Komputer; PANRB: Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi; PNS:
Pegawai Negeri Sipil; PT: Perguruan
Tinggi; SD: Sekolah Dasar; SMA: Sekolah Menengah Atas; SMK: Sekolah Menengah Kejuruan; SMS: Short Message/Pasan Pendek; TIU: Tes Intelegensia Umum; TKP: Tes Karakteristik Pribadi; TWK: Tes Wawasan Kebangsaan; TKB: Tes Kompetensi Bidang; dan TWK: Tes Wawasan Kebangsaan.