Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, September 30, 2018

Menghormati Tai Sapi? Blum Stau!

Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup; dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.
(Ali bin Abi Thalib, 599-611 M)

SELASA, 25 September 2018, sama dengan hari biasa lainnya. Saya bangun subuh, menyeret badan yang sedang diterjang flu dan batuk (barangkali gara-garatravelingterus-menerus dalam beberapa pekan terakhir), menyeduh kopi, dan bersiap berangkat ke kantor. Hari biasa dengan pagi cerah yang menandakan matahari bakal terik hingga petang.

Langit yang cerah membuat hari gembira. Itu sebabnya saya riang-riang belaka menjawab telepon yang masuk—sembari menikmati tol Sentul-Jakarta yang mulai dipadati rayapan mobil—, yang menanyakan apakah saya akan hadir di pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023. Tentu tidak, bukan hanya karena saya sedang tidak berada di Sulut, tetapi juga sebab banyak alasan ‘’memalukan’’ yang terpaksa mesti saya akui.

Pertama(dan terutama), saya tidak mendapat undangan. Jangankan dalam bentuk surat yang biasanya dihiasi gambar garuda; sekadar SMS atau WA basa-basi pun (yang pasti tidak saya harapkan dari TB atau NK) sama sekali tak ada. Dua, yang sangat terkait dengan poin pertama, memangnya siapa saya? Bukan ketua parpol; bukan pemuka masyarakat; tidak pula masuk kategori tokoh agama, adat, atau aktivis; lalu mengapa mesti berharap diundang? Dan ketiga, saya memang tidak punya jasa atau ‘’saham’’ terhadap terpilihnya Walikota-Wawali KK 2018-2023, kecuali sebagai penonton.

Bahwa, misalnya ada dugaan saya berada di balik beberapa orang yang menjadi tokoh kunci tim pemenangan TB-NK (yang sukses terpilih dan dilantik sebagai Walikota-Wawali KK), juga mengada-ada belaka. Yang benar, Ketua Tim Pemenangan, Syarif Mokodongan, pernah sekadar sambil lalu bertanya, apa pendapat saya jika dia mendukung TB-NK. Tentu respons saya ketika itu adalah mendukung 100%. Mau bagaimana lagi, tidak saya dukung 1.000% pun dia tetap akan menyokong dan bekerja keras untuk pasangan ini. Syarif orang merdeka yang berhak atas kemerdekaannya, termasuk merdeka mendukung atau tidak mendukung calon Walikota-Wawali.

Demikian pula sosok lain, Ismail Dahab, yang menjadi ‘’kembar siam’’ Syarif, yang mulanya enggan dengan macam-macam alasan yang sifatnya sangat personal. Kepada Ismail, saya hanya mencandai, otak rasionalnya sudah tercemar ego melankolis. Apa-apa pakai baper, padahal sebagai aktivis yang bertahun-tahun berada di pusaran politik praktis (mulai dari tukang sigi hingga pengatur strategi dan operator kandidat di kompetisi politik), dia mestinya khatam: perasaan adalah faktor ke 113 yang diperhitungan dalam politik.

Setelah ber-ha ha-he he dengan beberapa penelepon, juga membalas sejumlah WA dengan kegembiraan yang sama, saya menenggelamkan diri dalam kepadatan lalu lintas dengan membayangkan Syarif Mokodongan dan Ismail Dahab hadir dengan setelan rapih di pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023. Mereka berdua tentu saja duduk di kursi paling depan dengan senyum paling lebar yang dimiliki—dalam bayangan saya, gigi mereka mungkin perlu sering-sering dibilas karena senyum yang tak putus-putus selalu membuat gigi kering-kerotang. 

Kerja politik siang-malam yang dilakukan Syarif, Ismail, dan sejumlah orang (termasuk mereka yang kerap saya sebut ‘’adik-adik’’), jelas sangat melelahkan. Lahir-bathin. Menguras tenaga, juga emosi. Apalagi yang dihadapi bukan hanya kandidat dan tim lawan, tetapi juga kebodohan, kengawuran, sok tahu, dan macam-macam yang bikin ‘’hati lelah’’ di internal tim.

Lelah-luluh-lantak Syarif, Ismail, dan tim yang mendukung TB-NK terbayar dengan kemenangan. Saya tahu persis bagaimana sukacitanya mereka, yang bahkan masih tetap bersiaga, waspada, dan bekerja, jauh setelah hari pencoblosan selesai. Kandidat lawan, Jadi-Jo, kendati sudah terbukti kalah, masih tetap melakukan perlawanan. 

Bayangan indah itu yang menjelang siang mendorong saya menelepon Syarif, berbual-bual menanyakan bagaimana suasana pelantikan, sambil tak lupa mengucapkan selamat. Sungguh saya terkejut karena dengan nada datar Syarif menginformasikan bahwa pasangan TB-NK sama sekali tidak mengundang dia. Kalau pun ada undangan di tangannya, itu datang dari Pemkot yang ditujukan ke Ketua Nasdem KK (kebetulan Syarif-lah sang ketua dimaksud). 

Barangkali Syarif cuma sedang memprovokasi saya. Karenanya saya kemudian menelepon Ismail, yang setelah berkali-kali akhirnya tersambung dan menyahut dengan suara masih terdengar setengah memeluk bantal. Dia baru bangun tidur dan memang setengah harian bermalas-malasan karena tidak punya agenda keluar rumah. Termasuk agenda menghadiri pelantikan Walikota-Wawali KK, sebab, katanya sambil terbahak-bahak, ‘’Saya tidak tahu dan memang tidak diundang.’’

Walau lebih sering jauh dari Sulut dan KK beberapa waktu setelah Pilwako selesai dan pemenangnya diumumkan, saya tetap mendapat info lengkap ada ketidaksepahaman kecil antara Syarif dan Wawali terpilih. Masalah sepele tentu tak perlu didramatisir, apalagi misalnya antara Wawali terpilih dan Syarif, yang hubungannya lebih dari sekadar perkawanan. Yang paling gampang, lepaskan seluruh titledan embel-embel, panggil Syarif, dudukkan, marahi (jikapun dia memang melakukan kekeliruan) dan urusan selesai. 

Pemimpin yang sebenarnya adalah promotor kebijaksanaan dan solusi; kakak yang baik adalah pengusung akal sehat. Lagipula, manusia mana yang tidak terpeleset (bahkan terperosok) dalam kekeliruan? 

Sayangnya, sesuatu yang ‘’mendadak wah’’ memang kerap mengguncang yang tidak siap, bahkan seketika bisa mencerabut seseorang dari akar. Kekuasaan—jabatan dan (juga) uang, sepasang godaan yang selalu tak bisa dipisahkan—tampaknya tetap valid sebagai penguji. Dalam kasus Syarif—dan Ismail—, saya kira, mereka menjadi korban kenaifan prasangka bahwa seseorang yang diantar ke gerbang kekuasaan tetaplah dia yang dikenal sejak berpuluh tahun. Barangkali pula, sebagai dua orang yang kini total memasuki politik praktis, Syarif dan Ismail telah siap menerima perubahan yang paling menyakitkan sekalipun. Sayalah mungkin yang akhirnya tersadar dan menolak ‘’ketidakhormatan’’ tetap harus dibalas dengan ‘’kehormatan’’.

Buat saya, ‘’tak dianggapnya’’ Syarif dan Ismail saat pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023, tak beda dengan memperlakukan mereka berdua dengan sangat tidak terhormat. Apapun kekhilafan dan kekeliruan yang mereka lakukan, sebesar gunung sekalipun, semestinya mereka lebih dari pantas tetap didudukkan dengan wajah tegak. Terlebih alasan utama bersedianya mereka bekerja (politik) untuk TB-NK (sudah saatnya saya membeber ini) bukanlah karena TB, melainkan semata dan sesungguhnya karena NK.

Dengan apa yang terjadi sebelum, pada saat, dan setelah pelantikan TB-NK sebagai Walikota-Wawali KK, saya (yang tentu, sekali lagi, bukan siapa-siapa) belajar satu lagi peringatan yang disampaikan kerabat, sahabat, dan menantu Nabi Muhammad SAW, Alih bin Abi Thalib, bahwa: ‘’Jika ingin menguji karakter seseorang, hormati dia. Jika dia memiliki karakter yang bagus, dia akan lebih menghormati dirimu. Namun jika dia memiliki karakter buruk, dia akan merasa dirinya paling baik dari semuanya.’’

Hari ini, jikapun seluruh KK, Sulut, bahkan seisi bumi, menghormati orang yang saya maksudkan dalam tulisan ini; barangkali karena yang dilihat adalah labelyang sedang disandang. Saya sendiri cukup puas dengan memandang dia tak lebih baik dari seonggok tai sapi. Hanya orang tak waras yang bersedia menghormati tai sapi. Dan saya kira saya masih sangat waras.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Baper:Bawa Perasaan; Jadi-Jo:Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; Nasdem:Nasional Demokrat; NK:Nayodo Kurniawan; Parpol:Partai Politik; Pemkot:Pemerintah Kota; SMS:Short MessageSulut:Sulawesi Utara; TB:Tatong Bara; WA:WhatsApp; dan Wawali:Wakil Walikota.

Sunday, July 1, 2018

Kemonyetan Massal Orang-orang Kalah

APAPUN dan bagaimanapun, kalah memang menyakitkan. Bikin galau, sesak dada, kurang tidur, bahkan bisa-bisa menaikkan tensi, gula darah, dan kolesterol. Tidak sedikit pula orang kalah yang tampaknya potensial berakhir sebagai pengidap gangguan jiwa.

Hari-hari ini, setelah pencoblosan Pilwako KK 2018, Rabu, 27 Juni 2018, yang disusul quick countdan real count, gegar kekalahan itu dipertontonkan tanpa malu-malu oleh pendukung dan simpatisan pasangan Jadi-Jo. Penghinaan, celaan, cacian, fitnah, dan provokasi bertaburan—terutama di media sosial. Saking patah hatinya karena Cawali-Cawawali yang didukung tumbang, mereka lupa baru saja susah payah menabung amalan di Ramadahan dan bermaaf-maafan di Idul Fitri 1439 H.

Adab macam apa yang ditulis, misalnya, oleh Achmadi Manangin, ‘’TBNK-Tuyul Baru Naik Kertas/Pake tuyul ba coblos sampe tatambah dorang pe suara, dengan TPS yang tatambah itu TPS Mangkubi’’? Apa dia punya bukti yang jadi dasar tuduhan? Atau, otak yang diberi makan sekolahan mana yang memproduksi model provokasi seperti yang didisiarkan Berlian Binol, yang seolah-olah pintar dengan membandingkan jumlah WP di Kecamatan Kota Barat dan Kecamatan Kota Selatan; dengan perolehan suara TB-NK dan Jadi-Jo; yang tidak menggunakan hak pilih; dan yang suaranya rusak.

Substansinya, Berlian yang menulis bahwa ada 8.400 WP di Kotamobagu Barat dan 2.994 WP di Kotamobagu Selatan yang tidak menggunakan haknya atau suara rusak, sedang memprovokasi dan mendorong orang banyak mengkongklusi ada yang main curang dalam kontestasi ini. Siapa itu? Tunjuk hidung saja supaya urusan ini segera diselesaikan setegas-tegasnya. Memangnya kurang transparan apa Pilwako dilaksanakan? Begitu transparannya hingga publik bahkan leluasa mendedah bagaimana pendukung Jadi-Jo kalap menyita sedekah untuk dhuafa menjelang Idul Fitri lalu, dengan tuduhan keikhlasan beramal itu adalah money politic.

Terhadap monyet-monyet seperti Achmadi Manangin dan Berlian Binol (mohon dicatat: saya menulis dua orang ini sebagai monyet supaya mereka melaporkan saya ke polisi dan mari kita menguji keampuhan UU IT. Apakah UU ini tokcermenjerat idiot seperti dua orang ini atau tidak), saya ingin menceritakan kesaksian pribadi. Satu pagi menjelang siang, dua hari sebelum Idul Fitri (kami sekeluarga memang berusaha selalu berlebaran di KK), saya menyaksikan langsung ada pemberian ‘’amplop uang buka puasa’’ yang dilakukan ‘’orangnya Jadi-Jo’’. Di depan kepala dan mata saya. Bukan sekadar anggota tim sukses, tapi saya pastikan sang pemberi adalah kerabat sangat dekat salah satu di antara pasangan calon ini.

Dari fakta itu, saya menyarankan pada pendukung Jadi-Jo yang masih berhalusinasi Pilwako KK belum berakhir: bila ingin menuduh lawan panuan, periksa dulu jangan-jangan Anda sendiri ternyata kudisan, bisulan, dan bahkan korengan. 

Akan halnya penyitaan sedekah yang terjadi di Kelurahan Mogolaing, belakangan saya tahu persis duduk-soalnya. Apalagi kejadiannya berlangsung hanya beberapa (ratus) meter dari rumah Ayah-Ibu saya. Dan sungguh memalukan. Terlebih orang-orang yang terlibat saya kenal betul. Mereka umumnya orang-orang tua yang semestinya menjadi tokoh panutan, yang sayangnya ternyata cuma berlangit pikir dan adab kelas dhuafa.

Apakah politik praktis Pilwako yang hanya marak dalam hitungan bulan begitu mustahak pentingnya hingga membuat manusia rela menurunkan derajatnya setara monyet? Yang isi kepalanya hanya dijejali dengan satu kredo: ‘’pokoknya kita harus menang!’’

Tapi memang, kearifan lama selalu banyak benarnya: monyet hanya berkumpul dan berkaum dengan sesama monyet. Sebaliknya, singa dan harimau juga hanya berkawanan dengan sesama singa dan harimau. Sialnya, bahkan sudah jelas monyetpun, masih terang-terangan dan tanpa malu-malu tak henti meyakinkan orang banyak, bahwa: kami memang monyet. Silahkan ditertawai betapa dungunya kami ini!

Yang membuat saya tak habis pikir, banyak dari anggota gerombolan monyet itu secara formal makan bangku sekolah. Terdidik di tingkatan yang cukup tinggi. Ada yang mencap diri ustadz, dokter, aktivis, mengaku-ngaku wartawan, bahkan tokoh adat dan panutan sosial-kemasyarakatan. Maka itu, saya kira, bila kita serius ingin tahu apa penyebab ‘’kemonyetan massal’’ ini, diperlukan kerumitan riset ilmiah dan waktu yang panjang hingga terungkap tuntas asal-muasalnya.

Alih-alih jengkel, setiap kali mendapat capturelalu lintas unggahan di media sosial, terutama dari kaum pendukung Jadi-Jo yang belum move on, saya tak urung terbahak-bahak. Sudah tepat sekitar 55% warga KK yang menggunakan hak pilih memberikan suara ke TB-NK. Setidaknya pasangan ini dan tim di belakang mereka. lebih-kurang, masih bisa mengontrol laku dan tindak pendukung mereka, terutama di media sosial. Walau, di Mongondow, harus diakui batas antara baterek(loleke) dan menghina hanya setipis rambut. Tafsirnya sangat tergantung volume otak dan skala kecerdasan yang ada di dalamnya.

Di akhir kontestasi Pilwako KK 2018, yang akan dikukuhkan adalah Walikota-Wawali yang memimpin seluruh masyarakat. Pemimpin yang sebenar-benar pemimpin, minimal, mampu memberikan contoh normatif dan menggendalikan yang dipimpin. Jika para pendukung saja berkelakuan seperti monyet gila, tanpa mampu dikontrol oleh patron mereka, simpulan yang paling masuk akal: siapapun yang dipatronkan itu, dia jauh dari layak dipilih sebagai lokomotif umum.

Demokrasi, kata orang-orang pintar (termasuk yang ditulis Youval Noah Harari di publikasi best seller-nya, Sapiens: A Brief History of Humankind, 2011), sebagaimana adab sosial, adalah salah satu proses pencapaian sejarah kecerdasan manusia. Dalam demokrasi, mengakui kekalahan mencerminkan seberapa jauh evolusi memparipurnakan adab dan kecerdasan para pelakunya. Melihat ulah dan tingkah (terutama) pendukung Jadi-Jo saat ini, termasuk ‘’yang diarahkan’’ oleh patron mereka, tidak diharamkan bila kita menyederhanakan penilaian dengan: kasihan, mereka hanya orang-orang bodoh yang evolusinya mandeg, yang dengan gagah perkasa tunjung bodok.

Demi rasa kasihan dan atas nama persaudaraan di seantero Mongondow, saya kira sudah waktunya (khususnya) para pendukung dan simpatisan TB-NK berhenti bereaksi terhadap segala yang lalu-lalang di publik KK dan media—utamanya—sosial. Ingat saja, salah satu tontonan yang tak lekang digerus zaman adalah topeng monyet. Apa salahnya satu-dua minggu ini dinikmati saja, dengan khimat dan penuh apresiasi, gelaran topeng monyet orang-orang kalah yang kedunguan dan energi mencak-mencaknya masih berlimpah?

Toh, di pertunjukan topeng monyet pun ada waktunya sang monyet kelelahan, pawang bosan, dan penonton akhirnya habis selera.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Cawali:Calon Walikota; Cawawali:Calon Wakil Walikota; H:Hijriah; ITE:Informasi dan Transaksi Elektronik;Jadi-Jo: Jainuddin Damopoli-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; Pilwako:Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); TB-NK:Tatong Bara-Nayodo Kurniawan; TPS:Tempat Pemungutan Suara; UU:Undang-undang; Wawali:Wakil Walikota; dan WP:Wajib Pilih.

Saturday, June 30, 2018

Pak (dan Bu) Tua, Sudahlah….

SEJAK mula Pilwako KK 2018 adalah kompetisi antar generasi. Antara guru dan murid. Dalam artian sesungguhnya.

Tak banyak yang mungkin awas. Tapi coba perhatikan, Walikota petahana yang terpilih kembali di Pilwako Rabu, 27 Juni 2018, Tatong Bara, dan pesaingnya, Jainuddin Damopolii, persis adalah murid dan guru. Ketika Tatong masih menempuh pendidikan SMA, seingat saya Jainuddin sudah sukses sebagai Bapak Guru. Di saat Tatong baru berkenalan dengan parpol dan politik praktis, Jainuddin telah melambung sebagai ketua parpol dan politikus lokal (skala Bomong) yang diperhitungkan.

Calon Wawali pasangan Tatong, Nayodo Kurniawan, adalah generasi yang lebih muda lagi. Dibanding Suharjo Makalalag yang jadi tandem Jainuddin, dia persis adalah anak murid. Seingat saya, di awal kepulangannya dari luar negeri (tanpa menyelesaikan studi doktornya) dan berkarir di Pemkab Bolmong (induk), adik-adik di generasi Nayodo masih menyebut Suharjo sebagai ‘’Pak Guru Ajo’’. 

Peririsan kesamaan antara Nayodo dan Suharjo adalah, keduanya cukup berminat terhadap ‘’politik’’. Nayodo bermain di tingkat ‘’politik praktis tinggi’’ dengan jadi aktivis LSM, lalu penyelenggara ‘’pertandingan politik’’ sebagai komisioner KPU; Seharjo lewat tendensi jabatan eksekutif politik dengan meniupkan keinginan jadi calon bupati/cabup, yang kesampaian tatkala digandeng sebagai calon Wawali KK 2018-2023 oleh Jainuddin.

Di belakang dua pasang kandidat itu, tokoh-tokoh utama yang jadi ‘’dalang’’ dan penggerak mesin dukungan, bahkan lebih kontras lagi. Tim pemenangan TB-NK dipimpin oleh Ketua Nasdem KK, Sarif Mokodongan, yang suka atau tidak lebih tepat disebut ‘’cucu politik’’ dibanding Syachrial Damopolii sebagai komandan tim di belakang Jadi-Jo. 

Saya masih menyaksikan bagaimana Sarif dan adik-adik seangkatannya belajar memahami apa itu politik di awal masuk PT, sembari terkagum-kagum pada Ketua DPRD Sulut, Syachrial Damopolii, yang di waktu itu dianggap (bersama Djelantik Mokodompit) sebagai politikus kelas kakap. Di era itu, mengagumi Syachrial yang berpolitik dengan liat—juga nakal dan sesekali konyol, yang akhirnya membawa dia masuk bui akibat kasus MBH—, adalah keniscayaan. 

Diakui atau tidak, di zaman kejayaannya, Syachrial pernah memercikkan rasa bangga buat orang Mongondow, setiap kali membicarakan peta politik Sulut. Mendapat basa-basi ‘’ini kader saya’’ dari Syachrial, misalnya, sudah membuat anak bawang politik asal Mongondow merasa tak beda dengan cintanya disambut oleh artis sinetron favorit yang setengah mampus digila-gilai.

Hanya kurang dari 15 tahun setelah masa gemilang Syachrial dan generasinya, di Pilwako KK (dan sesungguhnya juga Pilkada Bolmong 2017 lalu) anak murid dan cucu politik para tetua yang tampaknya belum puas bersilat siasat itu, mengingatkan para pendahulunya terhadap kebajikan lama: setiap era punya tokohnya sendiri, setiap tokoh punya eranya sendiri. Politik Mongondow, khususnya KK, telah berubah radikal. Pengalaman, ilmu, dan praktek politik tua yang dahulu ampuh mengatraksi konstituen, kian tak laku di era digital ini—yang bahkan mesti terseok-seok dikejar sekalipun oleh mereka yang sangat melek ilmu pengetahuan dan teknologi.

Politik, buat generasi Syachrial dan Jainuddin—yang tentu saya kenal sangat baik—, lebih dimaknai dan dipraktekkan sebagai seni. Ilmunya diramu dari temuan dan pengalaman, entah di PG, PAN, Puskud, atau Muhammadiyah. Di lain pihak, generasi politikus Mongondow yang lebih baru, sekalipun politik tetap sebagai seni, dilakukan lebih terstruktur dan ‘’scientific’’. Sarif Mokodongan misalnya, belajar berorganisasi dari KPMIBM, naik ke Institut Bakid in Totabuan, lalu parpol. Atau Ismail Dahab yang menjadi tandem Sarif di tim TB-NK, adalah aktivis PMII sejak duduk di bangku PT dan bahkan tercatat sebagai salah satu biang eksponen 98 dari Sulut.

Generasi Sarif dan Ismail adalah juga orang-orang muda yang masak mendiskusikan (dan mempraktekkan) politik dengan rujukan yang lebih text book

Saya tidak bermaksud menyatakan politikus dari zaman Syachrial dan Jainuddin tidak mengakrabi literatur. Tapi faktanya, jika mendadak berada di tengah salah satu pertemuan politik dari dua generasi ini, mudah membedakan kita berada di era yang mana: yang berpolitik praktis dengan konvensional; atau yang lebih segar dan advantage.

Politik praktis dari era lama yang mudah diduga dan—maaf saja—telah dengan saksama dipelajari oleh generasi yang lebih baru, membuat langkah-langkah para politikus akidan ba’ai itu mudah diduga. Lihat saja bagaimana pencalonan Jadi-Jo diwarnai janji-janji tidak masuk akal, manipulasi KTP (sebagai calon independen mereka memang harus mengumpulkan dukungan disertai KTP), tekanan massa, kampanye brutal, pawai, dan bahkan intimidasi terang-terangan. Semuanya adalah gaya lama yang kian kehilangan pelanggan di pasar politik yang lebih terbuka dan cerdas.

Contohnya, siapa lagi yang mau membeli model serang-menyerang di media sosial yang dipraktekkan tim dan pendukung Jadi-Jo, kecuali sekelompok orang kurang kerjaan yang sehari-hari hanya menongkrongi gadget? Terlebih materi yang disemburkan ke publik--maaf saja--sungguh kampungan, cenderung hoax, kekanak-kanakan, dan terang menunjukkan kreatornya berotak udang. Contoh model dukungan terhadap Jadi-Jo yang bikin publik muak dan kepingin muntah adalah yang biasa disiar dan disebarkan oleh Denny Mokodompit (sayangnya, walau menyebalkan, dia adalah karib dan saudara yang tetap saya hormati di luar urusan politik praktis ala anak TK-nya).

Siapa pula yang bakal bersimpati bila hasil perhitungan, baik quick countmaupun real count,menunjukkan TB-NK unggul hampir 10% dari Jadi-Jo; lalu pendukung Jadi-Jo masih pawai keliling kota berilusi mereka adalah pemenang? Kalau ada derajat celaan yang lebih tinggi dari dungu, saya benar-benar ini menggunakan kata itu untuk situasi yang terjadi sekitar pukul 23.00 Wita, Rabu, 27 Juni 2018, hingga pukul 02.00 Wita, Kamis, 28 Juni 2018, di KK.

Hanya politikus yang tutup-mata-telingga mendekap masa lalu dan dungu yang tidak membuka pikiran, bahwa politik praktis modern harus benar-benar direncanakan, dikelola, dan akhirnya diukur dengan indikator-indikator yang rigit. Tidakkah Syachrial dan Jainuddin yang sudah makan asam garam politik menyadari, bahwa pilihan terhadap Syarif Mokodongan sebagai ketua tim TB-NK bukanlah kebetulan atau dicomot begitu saja dari pagar Balai Kota. Atau perjudian bodoh sekadar coba-coba siapa tahu beruntung.

Menempatkan Sarif dan timnya (yang 100% anak muda, berusia muda) melawan Syachrial dan timnya (konon tak lain para pendekar politik tak hanya KK tapi BMR), sesungguhnya membawa pesan amat penting: Melawan anak murid dan cucu politik saja kalian yang tua-tua sudah kewalahan, apalagi dengan generasi yang sedikit di atas mereka.

Itu sebabnya, saya tersinggung ketika ada yang menelepon dan mengirim WA mengucapkan selamat ke saya atas terpilihnya TB-NK. Ada apa ini? Apakah itu artinya menuduh saya sebagai master mind  di balik sukses TB-NK dan timnya? Atau niat terang-terangan mengecilkan kerja keras Sarif Mokodongan, Ismail Dahab, dan sangat banyak nama lain yang beberapa bulan terakhir menggerakkan orang banyak agar bersedia mempercayai TB-NK memimpin KK lima tahun mendatang?

Sekadar saya duduk diskusi sembari melahap tude bakar bersama Sarif, Ismail, dan timnya, lalu dianggap sebagai pengarahan ide, strategi, dan petunjuk teknis memenangkan TB-NK, pasti keluar dari kepala konspiratif yang dicemari cacingan. 

Jikapun ada yang lebih dari pantas mendapat ucapan di luar TB-NK dan timnya, saya pastikan apresiasi itu mesti dilimpahkan pada Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo-Mokoagow. Dialah yang sehari-hari, di luar TB-NK, yang sungguh-sungguh mendukung dan menyemangati tim yang dipimpin Sarif. Dan, dengan keyakinan penuh saya bisa menyatakan, Yasti melakukan itu dengan kesadaran: politik adalah transformasi sehat dari generasi ke generasi yang disiapkan dengan cara yang sepenuhnya saling asah-asih-asuh.

Kalau generasi tua politik Mongondow silap lupa terhadap asah-asih-asuh ini, tak usah heran bila hari ini dan di masa datang mereka tak bakal ‘’greeng’’ berkompetisi melawan kaum politikus muda dari generasi yang lebih baru. Dan karena tak greeng lagi, sudahlah. Pak (dan Bu) Tua, istirahat saja. Berkebun, main dengan cucu, atau i’tikaf di mesjid adalah aktivitas yang lebih maslahat ketimbang menguncang publik dengan ilusi dan dusta memalukan. 

Memangnya tidak memalukan meng-encourage massa beriaan (dengan pawai dan konvoi pula) seolah-olah jadi pemenang, padahal nyatanya kekalahan baru saja menggodam kepala?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BMR:Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:Bolaang Mongondow; Cabup:Calon Bupati; Cawabup:Calon Wakil Bupati;DPRD:Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Jadi-Jo:Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; KPMIBM:Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow; KPU:Komisi Pemilihan Umum; KTP:Kartu Tanda Penduduk; LSM:Lembaga Swadaya Masyarakat; MBH:Manado Beach Hotel; Nasdem:Nasional Demokrat; PAN:Partai Amanat Nasional; Parpol:Partai Politik; Pemkab:Pemerintah Kabupaten; PG:Partai Golkar; Pilwako:Pemilihan Walikota (dan Wawali); PMII:Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia; Puskud:Pusat Koperasi Unit Desa; PT:Perguruan Tinggi; SMA:Sekolah Menengah Atas; Sulut:Sulawesi Utara; TB-NK:Tatong Bara-Nayodo Kurniawan; TK:Taman Kanak-kanak; Wawali:Wakil Walikota; dan Wita:Waktu Indonesia Tengah.