Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, June 30, 2018

Pak (dan Bu) Tua, Sudahlah….

SEJAK mula Pilwako KK 2018 adalah kompetisi antar generasi. Antara guru dan murid. Dalam artian sesungguhnya.

Tak banyak yang mungkin awas. Tapi coba perhatikan, Walikota petahana yang terpilih kembali di Pilwako Rabu, 27 Juni 2018, Tatong Bara, dan pesaingnya, Jainuddin Damopolii, persis adalah murid dan guru. Ketika Tatong masih menempuh pendidikan SMA, seingat saya Jainuddin sudah sukses sebagai Bapak Guru. Di saat Tatong baru berkenalan dengan parpol dan politik praktis, Jainuddin telah melambung sebagai ketua parpol dan politikus lokal (skala Bomong) yang diperhitungkan.

Calon Wawali pasangan Tatong, Nayodo Kurniawan, adalah generasi yang lebih muda lagi. Dibanding Suharjo Makalalag yang jadi tandem Jainuddin, dia persis adalah anak murid. Seingat saya, di awal kepulangannya dari luar negeri (tanpa menyelesaikan studi doktornya) dan berkarir di Pemkab Bolmong (induk), adik-adik di generasi Nayodo masih menyebut Suharjo sebagai ‘’Pak Guru Ajo’’. 

Peririsan kesamaan antara Nayodo dan Suharjo adalah, keduanya cukup berminat terhadap ‘’politik’’. Nayodo bermain di tingkat ‘’politik praktis tinggi’’ dengan jadi aktivis LSM, lalu penyelenggara ‘’pertandingan politik’’ sebagai komisioner KPU; Seharjo lewat tendensi jabatan eksekutif politik dengan meniupkan keinginan jadi calon bupati/cabup, yang kesampaian tatkala digandeng sebagai calon Wawali KK 2018-2023 oleh Jainuddin.

Di belakang dua pasang kandidat itu, tokoh-tokoh utama yang jadi ‘’dalang’’ dan penggerak mesin dukungan, bahkan lebih kontras lagi. Tim pemenangan TB-NK dipimpin oleh Ketua Nasdem KK, Sarif Mokodongan, yang suka atau tidak lebih tepat disebut ‘’cucu politik’’ dibanding Syachrial Damopolii sebagai komandan tim di belakang Jadi-Jo. 

Saya masih menyaksikan bagaimana Sarif dan adik-adik seangkatannya belajar memahami apa itu politik di awal masuk PT, sembari terkagum-kagum pada Ketua DPRD Sulut, Syachrial Damopolii, yang di waktu itu dianggap (bersama Djelantik Mokodompit) sebagai politikus kelas kakap. Di era itu, mengagumi Syachrial yang berpolitik dengan liat—juga nakal dan sesekali konyol, yang akhirnya membawa dia masuk bui akibat kasus MBH—, adalah keniscayaan. 

Diakui atau tidak, di zaman kejayaannya, Syachrial pernah memercikkan rasa bangga buat orang Mongondow, setiap kali membicarakan peta politik Sulut. Mendapat basa-basi ‘’ini kader saya’’ dari Syachrial, misalnya, sudah membuat anak bawang politik asal Mongondow merasa tak beda dengan cintanya disambut oleh artis sinetron favorit yang setengah mampus digila-gilai.

Hanya kurang dari 15 tahun setelah masa gemilang Syachrial dan generasinya, di Pilwako KK (dan sesungguhnya juga Pilkada Bolmong 2017 lalu) anak murid dan cucu politik para tetua yang tampaknya belum puas bersilat siasat itu, mengingatkan para pendahulunya terhadap kebajikan lama: setiap era punya tokohnya sendiri, setiap tokoh punya eranya sendiri. Politik Mongondow, khususnya KK, telah berubah radikal. Pengalaman, ilmu, dan praktek politik tua yang dahulu ampuh mengatraksi konstituen, kian tak laku di era digital ini—yang bahkan mesti terseok-seok dikejar sekalipun oleh mereka yang sangat melek ilmu pengetahuan dan teknologi.

Politik, buat generasi Syachrial dan Jainuddin—yang tentu saya kenal sangat baik—, lebih dimaknai dan dipraktekkan sebagai seni. Ilmunya diramu dari temuan dan pengalaman, entah di PG, PAN, Puskud, atau Muhammadiyah. Di lain pihak, generasi politikus Mongondow yang lebih baru, sekalipun politik tetap sebagai seni, dilakukan lebih terstruktur dan ‘’scientific’’. Sarif Mokodongan misalnya, belajar berorganisasi dari KPMIBM, naik ke Institut Bakid in Totabuan, lalu parpol. Atau Ismail Dahab yang menjadi tandem Sarif di tim TB-NK, adalah aktivis PMII sejak duduk di bangku PT dan bahkan tercatat sebagai salah satu biang eksponen 98 dari Sulut.

Generasi Sarif dan Ismail adalah juga orang-orang muda yang masak mendiskusikan (dan mempraktekkan) politik dengan rujukan yang lebih text book

Saya tidak bermaksud menyatakan politikus dari zaman Syachrial dan Jainuddin tidak mengakrabi literatur. Tapi faktanya, jika mendadak berada di tengah salah satu pertemuan politik dari dua generasi ini, mudah membedakan kita berada di era yang mana: yang berpolitik praktis dengan konvensional; atau yang lebih segar dan advantage.

Politik praktis dari era lama yang mudah diduga dan—maaf saja—telah dengan saksama dipelajari oleh generasi yang lebih baru, membuat langkah-langkah para politikus akidan ba’ai itu mudah diduga. Lihat saja bagaimana pencalonan Jadi-Jo diwarnai janji-janji tidak masuk akal, manipulasi KTP (sebagai calon independen mereka memang harus mengumpulkan dukungan disertai KTP), tekanan massa, kampanye brutal, pawai, dan bahkan intimidasi terang-terangan. Semuanya adalah gaya lama yang kian kehilangan pelanggan di pasar politik yang lebih terbuka dan cerdas.

Contohnya, siapa lagi yang mau membeli model serang-menyerang di media sosial yang dipraktekkan tim dan pendukung Jadi-Jo, kecuali sekelompok orang kurang kerjaan yang sehari-hari hanya menongkrongi gadget? Terlebih materi yang disemburkan ke publik--maaf saja--sungguh kampungan, cenderung hoax, kekanak-kanakan, dan terang menunjukkan kreatornya berotak udang. Contoh model dukungan terhadap Jadi-Jo yang bikin publik muak dan kepingin muntah adalah yang biasa disiar dan disebarkan oleh Denny Mokodompit (sayangnya, walau menyebalkan, dia adalah karib dan saudara yang tetap saya hormati di luar urusan politik praktis ala anak TK-nya).

Siapa pula yang bakal bersimpati bila hasil perhitungan, baik quick countmaupun real count,menunjukkan TB-NK unggul hampir 10% dari Jadi-Jo; lalu pendukung Jadi-Jo masih pawai keliling kota berilusi mereka adalah pemenang? Kalau ada derajat celaan yang lebih tinggi dari dungu, saya benar-benar ini menggunakan kata itu untuk situasi yang terjadi sekitar pukul 23.00 Wita, Rabu, 27 Juni 2018, hingga pukul 02.00 Wita, Kamis, 28 Juni 2018, di KK.

Hanya politikus yang tutup-mata-telingga mendekap masa lalu dan dungu yang tidak membuka pikiran, bahwa politik praktis modern harus benar-benar direncanakan, dikelola, dan akhirnya diukur dengan indikator-indikator yang rigit. Tidakkah Syachrial dan Jainuddin yang sudah makan asam garam politik menyadari, bahwa pilihan terhadap Syarif Mokodongan sebagai ketua tim TB-NK bukanlah kebetulan atau dicomot begitu saja dari pagar Balai Kota. Atau perjudian bodoh sekadar coba-coba siapa tahu beruntung.

Menempatkan Sarif dan timnya (yang 100% anak muda, berusia muda) melawan Syachrial dan timnya (konon tak lain para pendekar politik tak hanya KK tapi BMR), sesungguhnya membawa pesan amat penting: Melawan anak murid dan cucu politik saja kalian yang tua-tua sudah kewalahan, apalagi dengan generasi yang sedikit di atas mereka.

Itu sebabnya, saya tersinggung ketika ada yang menelepon dan mengirim WA mengucapkan selamat ke saya atas terpilihnya TB-NK. Ada apa ini? Apakah itu artinya menuduh saya sebagai master mind  di balik sukses TB-NK dan timnya? Atau niat terang-terangan mengecilkan kerja keras Sarif Mokodongan, Ismail Dahab, dan sangat banyak nama lain yang beberapa bulan terakhir menggerakkan orang banyak agar bersedia mempercayai TB-NK memimpin KK lima tahun mendatang?

Sekadar saya duduk diskusi sembari melahap tude bakar bersama Sarif, Ismail, dan timnya, lalu dianggap sebagai pengarahan ide, strategi, dan petunjuk teknis memenangkan TB-NK, pasti keluar dari kepala konspiratif yang dicemari cacingan. 

Jikapun ada yang lebih dari pantas mendapat ucapan di luar TB-NK dan timnya, saya pastikan apresiasi itu mesti dilimpahkan pada Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo-Mokoagow. Dialah yang sehari-hari, di luar TB-NK, yang sungguh-sungguh mendukung dan menyemangati tim yang dipimpin Sarif. Dan, dengan keyakinan penuh saya bisa menyatakan, Yasti melakukan itu dengan kesadaran: politik adalah transformasi sehat dari generasi ke generasi yang disiapkan dengan cara yang sepenuhnya saling asah-asih-asuh.

Kalau generasi tua politik Mongondow silap lupa terhadap asah-asih-asuh ini, tak usah heran bila hari ini dan di masa datang mereka tak bakal ‘’greeng’’ berkompetisi melawan kaum politikus muda dari generasi yang lebih baru. Dan karena tak greeng lagi, sudahlah. Pak (dan Bu) Tua, istirahat saja. Berkebun, main dengan cucu, atau i’tikaf di mesjid adalah aktivitas yang lebih maslahat ketimbang menguncang publik dengan ilusi dan dusta memalukan. 

Memangnya tidak memalukan meng-encourage massa beriaan (dengan pawai dan konvoi pula) seolah-olah jadi pemenang, padahal nyatanya kekalahan baru saja menggodam kepala?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BMR:Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:Bolaang Mongondow; Cabup:Calon Bupati; Cawabup:Calon Wakil Bupati;DPRD:Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Jadi-Jo:Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; KPMIBM:Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow; KPU:Komisi Pemilihan Umum; KTP:Kartu Tanda Penduduk; LSM:Lembaga Swadaya Masyarakat; MBH:Manado Beach Hotel; Nasdem:Nasional Demokrat; PAN:Partai Amanat Nasional; Parpol:Partai Politik; Pemkab:Pemerintah Kabupaten; PG:Partai Golkar; Pilwako:Pemilihan Walikota (dan Wawali); PMII:Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia; Puskud:Pusat Koperasi Unit Desa; PT:Perguruan Tinggi; SMA:Sekolah Menengah Atas; Sulut:Sulawesi Utara; TB-NK:Tatong Bara-Nayodo Kurniawan; TK:Taman Kanak-kanak; Wawali:Wakil Walikota; dan Wita:Waktu Indonesia Tengah.

Wednesday, February 21, 2018

KPU KK dan Centang-perenang Warung Kopi

APA penyebab sepakbola Indonesia—negeri dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa—selalu gagal punya 11 orang yang pintar mengola sebiji bola dan bikin gol? Ini bukan pertanyaan sinis atau retorik. Tidak pula membandingkan dengan timpang antara jeruk nipis dan kelapa, misalnya jika Timnas Indonesia disanding dengan Timnas Islandia yang sukses berlaga (nanti) di Piala Dunia 2018.

Islandia, negeri yang masuk jajaran negara-negara Skandinavia, berdasar statistik 2016 hanya berpenduduk 334.252 jiwa. Sepakbolanya? Umumnya klub amatir yang para pesepakbolanya bermain sebagai hobi belaka. Bahkan pekerjaan utama pelatih yang membawa negeri ini ke Piala Dunia 2018, Heimir Hallgrimsson, adalah dokter gigi. Di luar kesibukannya mengebor dan mencabut gigi, Hallgrimsson mengatur menejemen, strategi, dan taktik Timnas Islandia supaya efektif mengocek bola dan menjebol gawang lawan. Mereka sukses, berjaya, mengejutkan dunia.

Pasti ada nyinyir dan berkilah, ‘’Jangan bandingkan Islandia dan Indonesia. Islandia itu negara makmur. Kita?’’ Baiklah. Bagaimana dengan timnas Panama, negara berpenduduk hampir 4 juta jiwa (perkiraan 2015) di Amerika Tengah yang babak-belur intrik dalam negeri dan korupsi? Atau Nigeria, negara di Afrika Barat yang berpenduduk hampir 200 juta jiwa, yang kerap diguncang konflik tetapi tetap mampu punya timnas yang diperhitungan di Piala Dunia?

Bila dicermati—demikian pula pendapat dan bual-bual para pengamat—, keberhasilan negara-negara ‘’di luar perhitungan’’ seperti Islandia dan Panama punya timnas sepakbola handal, tak lepas dari manajemen, keseriusan, dan (yang terpenting) kesungguhan serta kekeras-hatian profesional semua pihak yang terlibat. Organisasinya mengurus sepakbola bukan dengan otak dan praktek politik. Wasitnya tidak memposisikan diri sebagai pemain ke-12 salah satu tim. Pelatih dan pemainnya fokus pada sepakbola, bukan intrik, apalagi jual beli gol dan pengaturan pertandingan. Masyarakat dan (khusus) penontonnya, memang berkeinginan melihat olah bola, bukan tawuran dan pengerusakan.

Intinya, apapun dinamika dan gejolak (politik-ekonomi-sosial, bahkan keamanan) yang terjadi, sepakbola tak perlu dicemari dengan aspek-aspek non sepakbola. Dengan begitu, peluang memiliki 11 orang di lapangan yang benar-benar mendedikasikan seluruh tenaga dan pikirannya membobol gawang lawan, menjadi optimal dan optimum.

Apa relevansi sepakbola, timnas Islandia, Piala Dunia, dan KPU KK—yang menjadi tajuk tulisan ini? Tidak ada! Kecuali bahwa ada persinggungan fungsi dan peran yang disebut ‘’penyelengara (organisator) dan wasit’’ dalam laga bola dengan KPU sebagai ‘’penyelenggara dan wasit’’ dalam perhelatan politik, lebih khusus lagi dalam konteks Pilwako KK 2018, yang semaraknya kebetulan bersamaan dengan Piala Dunia 2018.

KPU KK adalah penyelenggara sekaligus wasit dalam pelaksanaan Pilwako 2018. Dengan sejumlah tuntutan, setidaknya jujur, terbuka, tertata-laksana, transparan, akuntabel, dan profesional. Aspek-aspek ini menempatkan para komisioner dan perangkat KPU (tidak hanya di KK) harus bersikap dan bertindak bagai malaikat. Dingin, lurus, tegas, dan tak pandang bulu. Tidak boleh tergoda hanya karena tekanan, sentimen tertentu, apalagi fulus dan janji-janji politik.

Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, rekam-jejak KPU KK menunjukkan, lembaga ini dan orang-orangnya pernah menunjukkan kinerja sangat terpuji. Di bawah kepemimpinan Nayodo Koerniawan (yang mundur sebagai Ketua pada 2017 lalu dan mencalonkan diri sebagai Wawali KK 2018-2023 berpasangan dengan Tatong Bara), pada 2014 KPU KK diakui sebagai KPU terbaik se-Sulut dan KPU berintegritas Tingkat Nasional untuk kategori kabupaten/kota.

Itu kinerja mengkilap yang dulu. Bagaimana kini, terutama yang kita saksikan sejak tahapan Pilwako KK dimulai beberapa waktu lalu? Menurut hemat saya, di Pilwako 2018 ini KPU KK tak beda dengan warung kopi yang dijalankan dengan moto ‘’hear nothing, see nothing, say nothing’’ lengkap dengan logo tiga monyet yang masing-masing menutup telinga, mata, dan mulut. Sekadar untuk diketahui, tiga frasa bahasa Inggris ini pernah populer sebagai judul album yang dirilis grup punk Inggris, Discharge, pada 1982.

Maaf saja. Saya tidak sedang mengkampanyekan salah satu dari dua pasang calon Walikota-Wawali KK 2018-2023, Tatong Bara-Nayodo Koerniawan atau Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag. Siapapun yang duduk memimpin KK setelah Pilwako 27 Juni 2018, adalah pilihan seluruh masyarakat. Soalnya adalah, bagaimana Pilwako diselenggarakan dengan sebaik dan sebenar-benarnya?

Sebaik dan sebenar-benarnya tentu menuntut jajaran KPU KK bukan berlagak seperti tiga monyet yang menutup telinga, mata, dan mulut, sembari tetap menyajikan kopi serta camilan dan mengutip duit. Yang tak peduli kopinya diseduh dari air comberan, yang camilannya penuh belatung, sementara para pengunjung warung kopi saling jambak dan baku pukul.

Menutup telinga, mata, dan mulut dari calon independen yang mengganti pasangan tiga hari sebelum pendaftaran, sungguhnya menunjukkan ada yang tak punya otak di antara kita. Sedemikian pula dengan ketak-pedulian bahwa di mana-mana orang (bahkan termasuk PPK dan PPS) mengakui ada penyalahgunaan KTP dan manipulasi tanda tangan dukungan. Ini kerja penyelenggara dan wasit macam apa?

Yang nyata dan telanjang seperti itu saja diabaikan oleh KPU KK, apalagi yang lebih sedikit menukik dan substansial. Misalnya soal surat pengunduran diri calon yang berstatus ASN, yang kebetulan pernah tersandung pidana dan sudah diperintahkan dipecat oleh BKN. Aturan mana yang akan dipakai? Yang dikeluarkan KPU, sekadar hasil konsultasi antara KPU KK dan KPU Provinsi dan Pusat, atau UU dan turunannya yang mengikat ASN?

Manakah yang dirujuk KPU KK, sebagai penyelenggara dan wasit Pilkwako, dalam isu itu? Tidak perlu menjadi ahli hukum atau administrasi negara untuk mengkongklusi bahwa ASN yang mengajukan pengunduran diri (dengan hormat), sementara dia dalam proses pemecatan, jelas tidak memenuhi syarat. Lain soal kalau yang diajukan adalah surat keterangan dalam proses pemecatan.

Tapi, memang apa yang diharapkan dari warung kopi bermoto ‘’hear nothing, see nothing, say nothing’’ dengan logo tiga monyet yang menutup telinga, mata, dan mulut; kecuali situasi centang-perenang tak karuan. Itu pula yang membuat saya tak heran jika KPU KK mesti menghadapi gugatan para calon di Pilwako 2018 seperti yang dipublikasi kroniktotabuan.com, Selasa, 20 Februari 2018, TBNK dan JaDi-Jo Gugat KPU ke Panwaslu, Ini Permintaan Mereka (https://kroniktotabuan.com/2018/02/20/tbnk-dan-jadi-jo-gugat-kpu-ke-panwaslu-ini-permintaan-mereka/) atau totabuan.co, Dua Pasangan Calon di PIlkada Kota Kotamobagu Saling Gugat (http://totabuan.co/2018/02/dua-pasangan-calon-di-pilkada-kota-kotamobagu-saling-gugat/), juga di hari yang sama.

Saling gugat itu tampaknya baru pemanasan. Dengan KPU KK yang ’hear nothing, see nothing, say nothing’’ sembari hanya bersandar pada putusan dan petunjuk KPU provinsi dan pusat, saya menyiapkan diri menerima, bahwa: Seperti sepakbola Indonesia, bukan tak mungkin pada akhirnya bakal terbukti KPU KK tak lebih dari bagian tim sukses salah satu pasangan calon.

Petanda yang kasat mata adalah fakta yang sulit diperdebatkan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:


ASN: Aparatur Sipil Negara; BKN: Badan Kepegawaian Nasional; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PPK: Panitia Pemungutan Kecamatan; PPS: Panitia Pemungutan Suara; Sulut: Sulawesi Utara; Timnas: Tim Nasional; UU: Undang-undang; dan Wawali: Wakil Walikota.

Tuesday, January 9, 2018

Para Pembual di Sekitar Kita

SENIN selepas magrib, 1 Januari 2018, saya menemani anak-anak yang ingin menonton The Greatest Showman di Premier XXI Mantos. Di bioskop, karena cukup lama menunggu pertunjukan dimulai, kami sekeluarga akhirnya reriungan di lounge.

Meja yang kami tempati berada di tengah, di apit dua meja depan-belakang di sisi jendela dengan pemandangan Teluk Manado dan julangan Manado Tua di kejauhan. Makan dan minuman dipesan dan segera anak-anak tenggelam dengan gadget mereka. Kids zaman now memang bukang gampang, kendati di sekitar suara percakapan berdentang-dentang, terutama dari meja yang tepat berbelakangan dengan anak bungsu saya.

Samar-samar (lagipula untuk apa menguping) saya mendengar enam orang yang menyesaki satu meja itu mempercakapkan sesuatu dengan menyebut-nyebut ‘’Bupati Bolmong’’, ‘’Walikota KK’’, dan ‘’Bupati Boltim’’, lengkap dengan nama depan mereka (Yasti, Tatong, dan Sehan—tanpa didahului ‘’Ibu’’ atau ‘’Bapak’’). Kendati cukup kenal dengan ketiga tokoh publik di BMR itu, saya tak ambil pusing dengan apapun yang terdengar di area publik. Menguping pembicaraan orang, buat saya, tak beda dengan mencopet dompet di angkutan umum.

Tapi, rupanya anak bungsu saya, yang kelihatannya asyik memainkan telepon selularnya, mendengar jelas apa yang dipercakapkan (apalagi dia hanya dipisahkan oleh sandaran kursi dengan majelis yang tengah bercakap). Sebab, setelah beberapa jenak, sambil cengegesan dia mengatakan (dengan menggunakan bahasa Inggris), ‘’Mereka mempercakapkan proyek yang katanya sudah dibicarakan dengan Tante Yasti dan Tante Tatong disaksikan oleh Om Sehan.’’

Apa yang disampaikan anak bungsu saya itu, membuat saya melotot dan mengingatkan dia, bahwa menguping percakapan orang bukan hanya tidak sopan, tetapi sesuatu yang tercela. Tapi dia kemudian mendebat, bahwa orang yang menyampaikan pernyataan itu bicara dengan volume tinggi. ‘’Sekalipun saya tidak ingin menguping, tetap saja terdengar jelas.’’

Anak bungsu saya, yang masih duduk di bangku SMA, barangkali hanya bocah umumnya yang tak ambil pusing dengan politik, kekuasaan, apalagi proyek-proyekan. Namun, mendengarkan (dengan tanpa sengaja) percakapan enam orang yang riuh-reda itu, tak urung dia terkekeh dan menyimpulkan, ‘’Orang yang menyatakan sudah bicara dengan Bupati Bolmong, Walikota KK, dan Bupati Boltim soal proyek itu, pasti cuma membual.’’

Menurut dia, yang memang kerap saya ajak sejak masih duduk di bangku SD bertemu tokoh-tokoh seperti Bupati Yasti, Walikota Tatong, atau Bupati Sehan Lanjar, omongan yang didengar itu tak lebih dari jual kecap ala calo pada bohir yang gampang diakali. ‘’Memangnya Tante Yasti, Tante Tatong, dan Om Eyang segampang itu dijual-jual? ’’ Begitu simpulannya.

Saya, setelah mencermati sosok dan wajah orang-orang itu, juga berakhir pada simpulan yang sama. Saya tak berani mengklaim sangat dekat dengan tiga elit BMR itu. Tapi saya kira tidak mengada-ada bila saya mengaku cukup tahu ketiganya dan lingkaran pergaulannya. Dalam hubungan intensif dengan Bupati Boltim, setidaknya dalam enam-tujuh tahun terakhir; serta Bupati Yasti dan Walikota Tatong yang telah berwindu-windu; sejujurnya saya belum pernah melihat enam orang itu di sekitar mereka.

Maka yang paling masuk akal: orang yang tervokal hari itu tak lain hanya pembual; calo kebablasan; atau sekadar orang yang kenal Bupati Yasti, Walikota Tatong, dan Bupati Sehan, lalu coba-coba memanfaatkan nama mereka untuk sesuatu keuntungan. Orang-orang sejenis ini, di isu dan kasus berbeda, mudah ditemui di sekitar elit politik yang memegang kekuasaan (politik dan eksekutif).

Di lain pihak, kalaupun benar orang tersebut  sudah melakukan pertemuan dengan Bupati Yasti dan Walikota Tatong, disaksikan oleh Bupati Sehan, untuk urusan ‘’membereskan proyek’’, mempercakapkan di tempat umum dengan suara keras adalah sikap haram jadah. Dia terang-terangan mengumumkan betapa gampang tiga elit BMR itu diatur-atur, tak lebih dari boneka yang mudah ditertawai di belakang punggung mereka. Bualan, fiksi atau fakta, sungguh virus berbahaya.

Selain urusan proyek yang didanai APBD, yang memang berada di bawah kewenangan Bupati/Walikota, para ‘’pembual pengaku-ngaku’’ itu biasanya sangat aktif beroperasi ketika ada rencana perubahan dan mutasi jabatan. Saya pribadi punya pengalaman beberapa waktu terakhir tatkala isu mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Bolmong menjadi wacana hangat. Tiba-tiba telepon saya rajin dihubungi oleh mereka yang bahkan bukan ASN, menyampaikan basa-basi penuh puja-puji, mengangkat-angkat bahwa saya dekat dengan Bupati Yasti, lalu menitipkan nama yang pantas menjabat di posisi-posisi penting.

Waduh! Ini saatnya bagi saya mengklarifikasi banyak duga-duga, bisik-bisik, dan bualan. Pertama, saya pribadi (dan keluarga) diterima baik di lingkungan Bupati Yasti dan keluarga besarnya. Namun sebatas itu. Tidak lebih dan tidak kurang, terlebih dalam soal politik, wewenang, tanggung jawab, dan kebijakannya sebagai Bupati. Tidaklah mungkin saya, yang bukan staf khusus dan sejenisnya; aktivis partai; apalagi penasihat, melanggar kepatutan dengan mencampuri ketatalaksanaan birokrasi yang ingin dia (dan jajarannya) tegakkan di Bolmong.

Kedua, hubungan pribadi dengan Bupati Yasti—demikian juga dengan elit lainnya--yang sudah terjalin bertahun-tahun adalah pertemanan yang saling respek dan menghargai. Kami tahu persis ‘’mana urusan di laut, mana urusan di darat’’, yang keduanya tak boleh dicampur aduk. Dalam hubungan pribadi yang ‘’tahu diri’’ dan ‘’tahu tempat’’ ini, jika ada diskusi, percakapan, atau tukar pikiran di antara kami, sebatas hal-hal yang bersifat normatif.

Dan ketiga, saya sangat menghormati para elit dan pemimpin di BMR. Rasa hormat itu saya ekspresikan dengan sedapat mungkin mendudukkan mereka di posisi sebagaimana mestinya. Dugaan, bisik-bisikan, dan bualan bahwa orang biasa seperti saya mampu mempengaruhi Bupati Yasti, Walikota Tatong, Bupati Sehan, Bupati Herson Mayulu (Bolsel), apalagi Bupati Depri Pontoh (Bolmut), jelas menghina kewarasan mereka dan akal sehat saya. Memangnya mereka sebegitu bodoh dan naïfnya hingga kebijakan dan putusannya gampang saja dipengaruhi?

Jadi, wahai orang-orang yang berakal sehat, berhentilah percaya pada para pembual yang ujung-ujungnya cuma mempraktekkan modus penipuan. Lihatlah mutasi yang dilaksanakan oleh Bupati Yasti, Jumat, 5 Januari 2018, lalu, dan nilai sendiri: adakah di antara perubahan—promosi dan degradasi—yang dia lakukan dapat diindikasi terpengaruh oleh pihak di luar mereka yang memang berwenang dan bertanggung jawab? Menurut hemat saya, sejauh ini (terlebih karena perubahan kabinet Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Tuuk ditransparansi jauh-jauh hari) yang tampak dan dipraktekkan adalah pendekatan meritokrasi yang mengedepankan profesionalisme birokrasi dan kompetensi ASN.

Bahkan, bila dicermati lebih jauh, Bupati Yasti dan jajarannya melakukan terobosan dibanding daerah lain di BMR. Sebelum mutasi dilaksanakan, Bupati menginstruksi agar kendis ditarik dari seluruh ASN. Hasilnya, setelah mutasi tidak ada isu kendis yang susah payah—hingga bertahun-tahun—dialihkan karena ditahan dan enggan dikembalikan oleh birokrat yang sebenarnya tak berhak lagi karena pindah jabatan (struktural).

Pengalaman mutasi jabatan di Pemkab Bolmong itu dan ‘’kupingan tanpa sengaja’’ bualan di lounge Premiere XXI Mantos mengkongklusi: suka atau tidak, di sekitar kita memang banyak pembual yang doyan menjual-jual kedekatan dengan para elit politik dan pemerintahan. Percayalah, motif mereka hanya satu: penipuan demi keuntungan pribadi.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Kendis: Kendaraan Dinas; KK: Kota Kotamobagu; dan SMA: Sekolah Menengah Atas.