Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, December 15, 2016

''Eyang, Bekeng Cemburu Do' Itu Tangan''

TEPAT jeda makan siang, Selasa, 13 Desember 2016, WA saya menerima dua foto yang dapat ditafsir dengan sejuta makna. Sebuah foto, kata ungkapan yang kerap kita dengar, bisa mewakili ekspresi ribuan kata. Dua foto tentu lebih banyak lagi.

Foto pertama menunjukkan Walikota KK, Tatong Bara, dan Bupati Boltim, Sehan Landjar, berpegangan tangan di depan Ruang Mapalus, Kantor Gubernur Sulut. Yang lain, masih dengan bergenggam tangan, keduanya berpose sembari mengacungan jempol. Momen ini memang pantas disebar, apalagi mengingat belakangan, sejak Muswil PAN Sulut, kabar-kabar yang bersiliweran menyebut hubungan (politik dan sosial) Tatong dan Eyang tengah deman tinggi dan diguncang meriang.

Pokoknya, kata ''tukang antar cirita'' dan''ahlul gosip'', kedua pemimpin daerah di BMR ini sedang baku feyem.  Bisik-bisik ini kian sedap digosok karena di Pilkada Bolmong 2017 Walikota dan Bupati yang sama-sama berasal dari PAN ini bertolak pilihan. Tatong mendukung pasangan YSM-YRT, Eyang gigih mengusung SBM-JT. Ditambah lagi, di suksesi DPD PAN KK konon Eyang pro Wawali Djanuddin Damopolii yang ''katanya'' bakal jadi pesaing Tatong Bara di Pilwako 2018 mendatang.

Mundur ke belakangan, di Pilkada Boltim 2015 lalu, Tatong yang ketika itu masih Ketua DPW PAN Sulut terang-terangan tidak berdiri di depan atau belakangan pasangan Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit yang diusung partainya. Dia bersikukuh menyokong duet Sachrul Mamonto-Medy Lensun. Perbedaan politik tajam ini dikompromikan dengan alasan kedua cabup sama-sama berasal dari PAN. Eyang adalah kader PAN yang direstui partai, demikian pula Sachrul yang tak lain Ketua DPD PAN Boltim tetapi diusung oleh partai lain.

Setelah sekian lama dihuru-hara persepsi berseberangan pilihan politik, seolah keduanya memang berseteru berat, dua foto itu sungguh jadi kenyataan mengejutkan; sekaligus menyejukkan. Pose keduanya, yang saya tahu kemudian terjadi berkaitan dengan penyerahan DIPA oleh Gubernur Sulut, Olly Dondokambey, pasti tidak dibuat-buat. Bukan sekadar konsumsi pemuas ghirah para penggosip politik.

Tersebab itu, dua foto yang saya terima tampaknya perlu dicermati. Bagi saya pribadi, yang langsung menyedot perhatian adalah tampilan Eyang yang telah beberapa bulan tak saya sua. Sedianya, ketika berada di Kotamobagu pada November lalu, saya berniat pulang ke Manado lewat Boltim dan mampir ke kediamannya. Sekadar berkagen-kangen dengan seorang kawan (Eyang selalu kawan yang menyenangkan, dalam kesepahaman atau ketidaksepahaman), menyesap kopi dan berbual-bual. Sayang, karena mendapat panggilan mendesak agar segera kembali ke Jakarta, saya terpaksa mengurungkan niat ini.

Di foto-foto itu, yang diambil dengan angle agak menyamping, saya lihat Eyang maju pesat. Dia kini ''puti'' atawa puru tinggi. Mengejutkan benar, sebab terakhir kali kami bertemu dia masih sosok yang terjaga vitalitasnya, gempal tanpa lemak berlebih, dan yang terpenting: perutnya tak kalah dengan kaum muda usia sebelum 30-an. Memang bukan perut six pack, tapi paling tidak bukan family pack-lah. Eyang di akhir 2016 yang saya lihat di foto itu memang tetap punya senyum lebar, lengkap dengan kumis dan jenggot andalan, tetapi lebih chubby. Ah, ''puti''-nya Eyang kelihatannya adalah bagian dari simbol kemakmuran dan kemapanan.

Perhatian kedua saya adalah tangan Tatong dan Eyang yang saling menggenggam. Ini tentu petanda mereka menegaskan, ''Lihat saja, tidak ada perseteruan di antara kami. Kalian saja yang doyang menduga-duga dan berspekulasi.'' Bahwa kemungkinan ada jari-jari yang sudah kram karena terlampau kuat digenggam untuk menyalurkan kejengkelan, setidaknya saat ini belum ada laporan tindak pidana kekerasan yang dilayangkan salah satu di antara mereke ke Polda Sulut atau Polres Bolmong. Saya yakin, saling menggenggam antara Walikota KK dan Bupati Boltim itu jauh dari perkara sebagaimana yang kini menjerat mantan Kabid di Dinas PU yang juga sudah dimantankan sebagai Ketua KNPI KK.

Tak dapat dipungkiri, genggaman tangan itu yang memang jadi atensi utama kebanyakan orang. Termasuk dijadikan BB Picture oleh seorang kawan, wartawan di KK,  yang hari itu kebetulan sedang chat dengan saya. Dan tak lama setelah menerima dua foto itu, WA dan BBM saya menerima kiriman gambar yang sama dari sejumlah orang, lengkap dengan aneka komentar. Ada yang menulis, ''Lia kua' Eyang pe tangan. Pe kuat skali depe ba pegang.''; ada yang bilang, ''Ada yang sampe di rumah mo dapa veto deng dapa cubit.''; atau, ''So baku bae dang? So riki baku pegang tangan bagini, masak mo bakalae lei?''

Foto memang mampu mewakili ribuan kata. Termasuk kata-kata yang mengungkapkan perasaan senang, bahagia, sedih, marah, bahkan cemburu. Olehnya, saya tidak pula heran membaca salah satu komentar yang menyertai foto pose Tatong dan Eyang bergenggam tangan sembari mengacungkan jempol, yang bilang, ''Adoh, Eyang, bekeng cemburu do' itu tangan kang.'' Saya tak hendak memberi tafsir apapun terhadap komentar ini, tetapi jika dipikir-pikir, genggaman tangan dua pimpinan daerah itu memang bikin cemburu mereka yang merasa perlu cemburu. Ehemmmm, apapun alasan cemburu itu.

Untung saya tak berada di barisan mereka yang melihat pose Walikota KK dan Bupati Boltim itu dengan dag-dig-dug cemburu. Tatong adalah kerabat dekat dari sisi Ayah, Eyang teman--yang secara pribadi saya klaim--akrab, pula saya sedang tak kepingin pulang ke rumah dan mendapat semprotan disertai mata melotot, ''Soing!''

Saya memaknai foto-foto itu mewakili momen yang diharapkan oleh masyarakat BMR serta--lebih terkhusus--warga PAN di Sulut. Dua politikus ini, yang sama-sama kader elite PAN, pantas guyup dan seling menyokong, karena dengan begitu mereka mampu memberikan kontribusi terbaiknya. Bahkan, syukur-syukur saling genggam di Kantor Gubernur Sulut berlanjut dengan dukungan yang sama di Pilkada Bolmong, kemudian selesainya masalahnya di DPD PAN KK, lalu ada gebrakan kersama KK-Boltim yang diinisiasi keduanya.

Bahwa hingga tulisan ini diunggah masih ada yang penasaran dengan urusan genggaman tangan  dua pemimpin daerah itu, saya dengan takzim menyarankan, ''Bagaimana jika ditanyakan langsung ke Eyang?'' Saya kira, Eyang pasti akan senyum-senyum dan ber-ha ha-hi hi saja. Percayalah, itu genggaman rekonsiliasi. Sebab Eyang, setahu saya, sebagaimana yang selalu dia katakan, masih tetap lebih berani terhadap KPK ketimbang KUA.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; DIPA: Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; Kabid: Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; KUA: Kantor Urusan Agama; Muswil: Musyawarah Wilayah; PAN: Partai Amanat Nasional; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; PU: Pekerjaan Umum; SBM-JT: Salihi Bue Mokodongan-Jefri Tumelap; Sulut: Sulawesi Utara; WA: WhatsApp; Wawali: Wakil Walikota; dan YSM-YRT: Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Ronny Tuuk.

Tuesday, December 13, 2016

Kampanye Dialogis dengan Batu, Otot, dan Kepalan

PASANGAN Cabup-Cawabup Bolmong, SBM-JT, menggelar kampanye dialogis di Lolak, Sabtu, 10 Desember 2016. Saya tidak paham benar apa pengertian ''kampanye dialogis'' menurut KPU. Tapi, tampaknya, kurang-lebih adalah kampanye berbentuk percakapan langsung dan terbuka, dialog antara paslon dan konsituennya.

Merujuk pengertian seperti itu, baik Cabup-Cawabup maupun pendukung dan simpatisan yang menghadiri kampanye,dipastikan datang dengan membawa dua hal penting: kepala dan isinya serta--tentu saja--mulut yang siap bicara. Tidak menyiapkan dua ''alat vital'' ini ke kampanye dialogis sama dengan ke kantor membawa pancing dan umpan, alih-alih pulpen dan pensil.

Sebab esensinya yang sangat mengandung kecerdasan, saya membayangkan kampanye model ini sarat lalu lintas dan pertukaran ide. Para pesertanya, sekalipun barangkali bertampang seram lengkap dengan tato, bakal mempertentangkan, menolak, atau mendukung ide dan isu dengan kata dan kalimat. Mungkin ada suara tinggi, bentakan, atau (jika perlu dan demi ekspresi) sedikit mengebrak meja selama forum berlangsung. Yang jelas, otot dan kepalan, terlebih batu, kayu, dan benda tajam, untuk sementara ditinggalkan dan disimpan rapat-rapat dulu.

Usai bertukar ide dan isu, pengampanye dan hadirin bakal bubar dengan otak yang dipenuhi aneka pikiran. Orang sangat pintar dan cerdas pun membutuhkan waktu memproses aneka informasi dan pernyataan, apalagi janji bagi kemaslahatannya, sebagaimana yang biasa diumbar di kampanye politik. Bila semua yang terlibat dalam kampanye dialogis datang dengan kandungan niat demikian, bakal tak terlintas pikiran apapun kecuali menginternalisasi dan menimbang-nimbang kembali apa yang telah didialogkan.

Namun, kampanye dialogis SBM-JT akhir pekan lalu itu diakhiri kehebohan berkualitas sampah: penyerangan terhadap posko dan pengerusakan rumah pendukung lawan politik. Penyebabnya, tulis kroniktotabuan.com (https://kroniktotabuan.com/uncategorized/rusak-posko-ysm-yrt-delapan-pendukung-sbm-jitu-diringkus-polisi) mengutip Kasubag Humas Polres Bolmong, AKP Saiful Tamu, sepele belaka: saling ejek saat pendukung SBM-JT melintas di depan posko tim pemenangan YSM-YRT yang memang berdekatan dengan lokasi kampanye dialogis.

Sindir-menyindir, ejek-mengejek, saling mengecilkan dan menjatuhkan, bahkan menghina lawan yang berbeda pilihan, galib belaka dalam kompetisi politik. Hampir sepanjang 2016 dunia disuguhi bagaimana brutalnya persaingan antara kandidat Presiden AS, Donald Trump dan Hillary Clinton, yang saling menyerang hingga ke tingkat caci-maki. Demikian pula dengan Pilgub di DKI Jakarta yang riuhnya hingga masuk ke ranah religiusitas. Dua fenomena pro-kontra politik ini paling mudah diikuti di media sosial, yang jika disesap dengan hati panas mudah mendorong pihak-pihak berseberangan saling mengasah dan menghunus golok.

Politik yang keterlaluan, terlebih melibatkan terlampau banyak perasaan (baper kata orang muda zaman ini), mudah tergelincir menjadi ketidakwarasan dan anarki. Bukan pelajaran tentang bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang ditaui, melainkan panen rusuh dan luluh-lantak.

Karena terlampau banyak duga-duga dan spekulasi, umum tak tahu pasti apa yang terjadi setelah episode saling ejek kemudian berlangsungnya kampanye dialogis SBM-JT. Yang jelas, sesaat setelah forum usai, pendukung paslon ini mengamuk, melempari posko tim pemenangan, dan mengacak-ngacak kediaman salah satu pendukung YSM-YRT. Rupanya memang ada yang hadir tampa membawa isi kepala dan mulut yang siap bicara, melainkan semata-mata menjinjing batu, otak kosong, dan otot.

Sasarannya gaduh adalah posko dan tim pemenangan YSM-YRT, juga kediaman Tenges Tuerah (masyarakat Lolak menyapa dia dengan panggilan Ko’ Teheng) yang memang dikenal sebagai salah seorang pendukung gigih pasangan ini. Dari foto-foto yang diunggah totabuanews.com, Selasa, 12 Desember 2016 (https://totabuanews.com/2016/12/tim-buser-polres-bolmong-ringkus-pelaku-pengrusakan-rumah-tim-pemenangan-yasti-yanny) saya bisa melihat bagaimana kondisi rumah yang diobrak-abrik itu. Hampir tak dapat dibedakan dengan tempat yang habis dijarah.

Rusuh selesai, korban jatuh, aset rusak, dan polisi meringkus delapan orang yang diduga terlibat dan punya peran penting. Mereka masih diproses, demikian kata berita, lengkap dengan (lagi-lagi) dugaan dan teori bahwa massa bergerak tidak sekadar akibat saling ejek. Ada provokasi terencana yang mendorong orang-orang melampiaskan amuknya. Mantan konsultan politik SBM di Pilkada 2011 yang kini berada di kubu YSM-YRT, Ismail Dahab, sebagaimana dinukil totabuanews.com, Minggu, 11 Desember 2016 (https://totabuanews.com/2016/12/lolak-memanas-rumah-tim-pemenangan-yasti-yanny-nyaris-dibakar) bahkan menduga tindakan anarkis itu terjadi karena ada perintah.

Dugaan itu masuk akal. Maka wajar bila pihak YSM-YRT menganggap Polres Bolmong dan Panwas perlu memanggil SBM-JT karena pelaku rusuh adalah pendukung mereka. Kejadiannya juga meletus sesaat setelah kampanye dialogis yang digelar pasangan ini.

Disentuh-tidaknya pasangan itu, kita serahkan pada polisi dan Panwas. Bagi saya (barangkali juga umum yang waras dan damai), secara politik peristiwanya justru sangat merugikan SBM-JT. Terlebih, bukannya menyatakan bertanggung jawab, tim kampanye paslon ini buru-buru cuci tangan seperti yang disampaikan Kadir Mangkat dan dipublikasi totabuanews.com, Minggu, 11 Desember 2016 (https://totabuanews.com/2016/12/kadir-mangkat-sebut-kericuhan-lolak-diluar-kendali-tim-sbm-jitu), ''Gerakan masa tersebut di luar kendali kami, dan sangat tidak elok jika seorang konsultan tim pemenangan kemudian langsung mengeluarkan stetmen dugaan tuduhan, apa lagi sudah menyebutkan nama kandidat.''

Pernyataan Kadir Mangkat, yang kenyang asam-garam politik di Bolmong (Ketua DPRD Bolmong 2009-2014 dan Wakil Ketua 2014-2019) ini, menambah panjang daftar lelucon politikus di daerah ini. Tanpa bermaksud membela siapapun, menurut hemat saya, dugaan (totabuanews.com juga menggunakan kata ini) elok-elok saja. Bukankah yang mengamuk adalah pendukung SBM-JT, bukan massa yang mendadak muncul begitu saja.

Lagi pula, kalau peristiwa itu sekadar kejadian spontan, para perusuh cukup menyerang posko tim pemenangan YSM-YRT yang memang berdekatan dengan tempat dilaksanakan kampanye dan dilewati peserta dialog. Dengan merusak kediaman Tenges Tuerah yang berada di bagian lain wilayah Lolak, orang banyak tak dapat meluputkan pikiran: aksi brutal itu direncanakan dan memang sejak mula telah menyasar tempat dan orang-orang tertentu.

Sekali lagi, biarlah polisi dan Panwas yang mengusut dan membeber jika ada konspirasi di balik rusuh pendukung SBM-JT itu. Bagi para konstituen, menurut saya, peristiwanya dapat menjadi tanda awas: kompetisi politik memang membolehkan segala cara dan trik digunakan untuk menang. Namun, pengalaman juga mengajarkan, ketika kekerasan terlibat, yang menggunakan biasanya hanya politikus yang jauh-jauh hari sudah mencium kekalahannya. Dia menjadi cara merusak fairness atau bahkan tabungan alasan bila teryata benar-benar tersungkur.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKP: Ajun Komisaris Polisi; AS: Amerika Serikat; Baper: Bawa Perasaan; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DKI: Daerah Khusus Ibukota; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Humas: Hubungan Masyarakat; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Panwas: Panitia Pengawas; Paslon: Pasangan Calon; Pilgub: Pemilihan Gubernur; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Posko: Pos Komando; SBM-JT: Salihi Bue Mokodongan-Jefri Tumelap; dan YSM-YRT: Yasti Soepredjo Mokoagow-Yanny Ronny Tuuk.

Sunday, December 11, 2016

''Bupati, Maraju Dang? Somo Menyerah?''

TERSELIP di tengah isu dugaan cabul oknum Kabid Dinas PU yang juga Ketua KNPI KK, peristiwa itu tak mendapat perhatian umum. Padahal, kejadiannya bisa menjadi salah satu indikator bagaimana pemerintahan di Pemkab Bolmong digulirkan serta--yang tak kurang--perilaku dan budaya ASN di daerah ini.

D Hotel Sutan Raja Kotamobagu, Selasa, 6 Desember 2016, Bupati Bolmong, Adrianus Nixon Watung, membuka FGD RPJMD 2017-2022. Sebab banyak di antara hadirin, para pimpinan SKPD dan staf, hanya sibuk bermain ponsel dan tak menyimak sambutan yang disampaikan, tulis totabuan.co (http://totabuan.co/2016/12/merasa-tak-dihargai-pj-bupati-bolmong-tinggalkan-rapat/), Bupati marah besar. Saking marahnya, dia bahkan segera meninggalkan tempat.

Situs berita itu menulis pula, dari 32 SKPD, 12 pimpinannya mangkir dari FGD. Akan halnya kemarahan Bupati, dikutiplah Sekretaris Bappeda, Renti Mokoginta, yang menukil pernyataan orang nomor satu Pemkab ini, bahwa, ''Ndak ada guna kita baca sambutan sementara ngoni ndak perhatikan.''

Bila benar Bupati mengeluarkan perkataan seperti itu sebelum mengakhiri sambutannya dan meninggalkan tempat berlangsungnya acara, dia menambah daftar panjang prestasi lucu-lucunya sejak dilantik memimpin (sementara) Bolmong, Rabu, 20 Juli 2016. Bupati, maraju dang? Somo menyerah?

Peristiwa pertama yang pantas diberi senyum lebar adalah saat Bupati Watung mencabut izin operasi perusahaan yang mengembangkan kelapa genjah di wilayah Tiberias, PT Melisa Sejahtera. Tindakan ini diambil, tulis pilarsulut.com, Kamis, 15 September 2016 (http://www.pilarsulut.com/2016/09/bupati-bolmong-hentikan-aktifitas-pt-melisa-sejahtera-sementara/), karena desakan warga yang dilakukan dengan menutup akses jalan di Trans Sulawesi.

Yang patut membuat terbahak adalah pernyataan Asisten I Pemkab Bolmong, Chris Kamasaan, sebagaimana dikutip Media Sulut, Selasa, 15 November 2016 (http://mediasulut.co/detailpost/warga-poigar-serang-bupati-bolmong), yang menjadikan keamanan sebagai alasan. Menurut Kamasaan, ''Saat Bupati menuju Manado, dihadang oleh ratusan warga Poigar. Saat itu jalan trans diblokade warga selama lima jam. Bupati sudah terjepit, jadi mau tidak mau Bupati mengambil sikap mencabut izin PT Malisa Sejahtera.''

Gampang benar mencabut izin perusahaan yang sudah menempuh jalan panjang agar legalitas investasinya terjamin. Cilaka betul nasib duit miliaran yang ditanamkan di Bolmong, karena mudah diombang-ambing semata karena Bupati punya urusan di Manado dan tertahan unjuk rasa sejumlah orang yang kebenarannya masih tanya-tanda. Apa sulitnya meminta polisi membubarkan paksa aksi yang sudah mengganggu kepentingan umum dan mengancam stabilitas daerah?

Dengan Bupati mudah tunduk pada tekanan massa, investasi yang digembar-gemborkan bakal ditarik deras ke Bolmong akhirnya ''omdo'' saja. Alih-alih efisien, efektif, dan tepat sasaran, urusannya malah cuma menambah panjang daftar biaya dengan berputar-putar dari satu gugatan melawan gugatan yang lain.

Kejadian kedua yang membuat saya terkekeh adalah terlibatnya beberapa orang non pemerintah (terutama aktivis tak jelas dan ''konon katanya'' staf khusus Bupati) dalam proses penyusunan RKA Bolmong 2017, pekan pertama dan kedua November 2016. Saya ingat persis peristiwa ini karena keterlibatan salah satu oknum ''liar'' itu bahkan lalu-lalang jadi status fb.

RKA  merupakan turunan kesekian RPJPD dan RPJMD yang disusun oleh TAPD. Berdasar Permendagri No. 54/2010 Tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 Tentang Tahapan, Tatacara Penyusunan, Pengendalian, dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, Pasal 2, lingkup perencanaan pembangunan daerah terdiri atas RPJPD, RPJMD, Renstra SKPD, dan RKPD, dan Renja SKPD.  Dengan memahami lingkup perencanaan dan urutannya ini, kita tahu (dan dalam prakteknya memang demikian) keterlibatan pemangku kepentingan (unsur DPRD, TNI, POLRI, Kejaksaan, akademisi, LSM/Ormas, tokoh masyarakat, pengusaha/investor, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, pemerintahan desa, dan kelurahan serta keterwakilan perempuan dan kelompok masyarakat rentan termajinalkan) penting diindahkan. Namun, tentu saja ada waktu dan tempatnya. Tidak di seluruh rangkaian perencanaan dimaksud.

Dari terminologinya, TAPD tegas menyatakan ''pemerintah daerah''. Aktivis tak jelas, apalagi cuma staf khusus (atau justru khusus staf sebab tak bisa lebih dari itu), tidak termasuk dalam terminologi ''pemerintah daerah''. Maka keterlibatan oknum-oknum itu, yang tentu sepengetahuan Bupati, adalah kreativitas berlebihan yang tidak pada tempatnya. Untuk menghindari silap, saya bahkan menanyakan hal-ihwal ini kepada beberapa birokrat senior yang khatam urusan perencanaan dan anggaran.

Seperti biasa, di balik sesuatu yang tak umum--apalagi melanggar aturan dan kepatutan--, selalu ada bisik-bisik yang berkembang subur. Menurut percakapan yang disampaikan dari kuping ke kuping, terlibatnya oknum-oknum liar itu karena kompromi dan sikap akomodatif Bupati agar mereka tak jadi rongrongan terhadap keyamanannya. Masuk akal, sebab salah satu aktivis yang ikut cawe-cawe dalam penyusunan RKA diketahui adalah orang yang paling getol memimpin penolakan ditunjuknya Watung sebagai Penjabat Bupati Bolmong. Sedang staf khususnya, ya, pasti ''gila urusan'' yang tidak punya pengetahuan memadai tata cara dan tata laksana pemerintahan.

Masalahnya, apa dasar hukum dan aturan keterlibatan mereka itu? Lebih memalukan lagi, oknum-oknum itu selama ini banyak mulut (utamanya di media) seolah-olah jadi pengontrol kelurusan jalannya pemerintahan dan salah satu mata air akal sehat di Bolmong yang bergiat tampa pamrih? Nyatanya, maaf saja, cuma orang-orang bodoh yang tak tahu aturan dan kepatutan.

Lain soal kalau Bupati, setelah TAPD selesai melaksanakan tugas, meminta presentasi dengan didampingi aktivis, staf khusus, atau sesiapa pun yang dia anggap mampu membantu dan berkontribusi terhadap penyempurnan RKA yang akan diajukan. Cara ini benar, tidak merusak sistem, menghormati para ASN yang diembani tanggung jawab menyusun RKA, dan menutup peluang oknum-oknum bejad mengail di air keruh dengan memanfaatkan kedekatan, ketidaktahuan, atau--lebih celaka lagi-- paranoia Bupati.

Dan puncak lelucon yang dipentaskan Bupati Bolmong dalam beberapa bulan terakhir ini adalah maraju meninggalkan forum FGD karena diabaikan Kepala SKPD dan ASN yang hadir. Lalu apa setelah itu? Cuma meminta Kepala SKPD yang mangkir dicatat dan sudah? Bila demikian adanya, mari kita menyambut dengan tepuk tangan dan tawa lebar untuk Bupati Bolmong.

Saya yakin, pengabaian 12 SKPD untuk hadir dan main ponselnya ASN peserta FGD saat Bupati menyampaikan sambutan, dilakukan dengan sadar setelah mereka mengobservasi kepemimpinannya. Mereka tahu, sekalipun marah terhadap ketidakpatuhan dan pelanggaran terang-terangan, Bupati Watung bakal ragu mengambil tindakan tegas. Kan cukup digertak dengan pengerahan massa atau elus saja bokong tukang bisiknya Bupati dengan lembaran rupiah, jabatan dan posisi bakal aman tenteram.

Bupati, ketika Gubernur Sulut melantik Anda, saya yakin tugas yang diembankan tidak sekadar menjadi ''pemeran pengganti sementara''. Anda dibekali kekuasaan dan wewenang, ''tongkat'' yang dapat digunakan untuk menunjuk, mengarahkan, mencambuk, bahkan melibas mereka yang tak becus; atau justru menepuk-nepuk pundak dan mengangkat ASN yang menunjukkan profesionalisme dan kinerja optimal. Karena kekuatan yang dimilikinya, ''tongkat'' ini tak pantas digunakan sebagai ''diki-diki'' orang maraju.

Tentu saja, dengan tetap mendukung dan percaya Bupati bakal dengan tegas menunjukkan tanggung jawab dan wewenang yang diemban, masyarakat luas, khususnya di Bolmong, menunggu apa tindakan dia selanjutnya? Abis di maraju kong pake diki-diki pulang menyerah pa Gubernur? Atau, melibas semua yang menghalangi penegakan disiplin, profesionalisme, dan kinerja pemerintahan di Bolmong?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; ASN: Apratur Sipil Negara; Bappeda: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; FGD: Focus Group Discussion; Kabid: Kepala Bidang; KK: Kota Kotamobagu; KNPI: Komite Nasional Pemuda Indonesia; Omdo:Omong Doang; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Permendagri: Peraturan Menteri Dalam Negeri; Ponsel: Telepon Selular; PU: Pekerjaan Umum; Renja: Rencana Kerja; Renstra: Rencana Strategis; RKA: Rencana Kerja dan Anggaran; RKPD: Rencana Kerja Pemerintah Daerah; RPJMD: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah; RPJPD: Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; dan TAPD: Tim Anggaran Pemerintah Daerah.