Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, October 25, 2016

Surat untuk Kasat Lantas Polres Bolmong: Publikasi Itu Jahat Sejahat-jahatnya

PAK Kasat Lantas Polres Bolmong, AKP Romel Pontoh, yang berwenang dan berwajib. Mohon terlebih dahulu dimaafkan jika ada yang silap dan keliru dari surat ini. Yang pasti, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Bapak dan jajaran adalah pihak berwenang dan berwajib untuk seluruh hal-ihwal perlalulintasan di Bolmong.

Saya tidak punya keberanian, misalnya, menuliskan dengan, ''Pak Kasat Lantas Polres Bolmong, AKP Romel Pontoh, yang berwibawa tanpa senyum....'' seperti kotamobagupost.com di berita Kapolda Sulut Diminta Mendidik Etika Polisi Lalulintas Polres Bolmong (http://kotamobagupost.com/2016/10/12/kapolda-sulut-diminta-mendidik-etika-polisi-lalulintas-polres-bolmong/) yang diunggah Rabu, 12 Oktober 2016. Apalagi seseram, ''Pak Kasat Lantas Polres Bolmong, AKP Romel Pontoh, yang harus dididik etika polisi lalu lintas....''

Maka itu, dan berkaitan dengan berita kotamobagupost.com, sebelum melanjutkan surat ini, izinkan saya mendoakan dan berharap Bapak dan jajaran sedang dalam situasi bahagia, segar, hati senang, dan banyak senyum saat membaca apa yang saya tuliskan. Soalnya, oleh mereka yang paham jurnalistik, publikasi itu--yang saya baca dengan kening bertaut--mudah disimpulkan sebagai: itu bukan berita. Itu adalah tulisan yang jahat sejahat-jahatnya.

Jahat yang saya maksud tak sama dengan kata Cinta pada Rangga yang menghilang berpurnama-purnama di film AADC 2 (2016), ''Yang kamu lakukan ke saya itu jahat!'' Bapak tentu bisa membayangkan Cinta yang cantiknya bikin sesak nafas mengatakan itu sembari wajahnya siap melelehkan airmata. Saya memang tidak menonton film ini, tetapi menurut teman-teman yang sudah memirsa, melihat wajah pedih Cinta sudah ''bekeng sesak nafas''. Bayangkan jika dia sampai tersenguk-senguk dan baguling-guling sedih, pasti banyak penonton cowok yang terpaksa diangkut ke UGD karena flao kurang oksigen.

Situs berita yang menyiarkan Kapolda Sulut Diminta Mendidik Etika Polisi Lalulintas Polres Bolmong, saya pastikan, tidak membuat produk jurnalistik. Wartawan, terlebih penanggung jawabnya, justru sedang melakukan kejahatan pers. Sebuah bentuk penyalahgunaan profesi dan produknya yang kerap dilakukan dan hampir selalu sukses karena kebanyakan kita suka jerih terhadap mereka yang mengaku wartawan (KJ, jadi-jadian, atau sebenar-benar pewarta). Bahkan polisipun, yang setahu saya ''berwenang dan berwajib'', pasti pening kepala dan tiba-tiba muram bagai ayam kena tetelo jika membaca namanya diberitakan di isu buruk dan sensitif.

Biar Pak Kasat Lantas tidak menduga-duga, apalagi berspekulasi tentang saya dan niat menulis surat ini, tak apa kiranya saya memberikan sedikit latar. Saya pernah menekuni kewartawanan. Cukup lama dan bahkan sejak masa kuliah sudah menambah-nambah uang di saku dengan menulis artikel (umumnya cerita, feature alam bebas, dan opini) di media-media (syukurlah) besar terbitan Jakarta. Dari jurnalistik, saya pindah ke private sector, ''katanya'' jadi profesional, dengan tetap menulis (di media papan atas Indonesia), khususnya artikel analisis dan opini.

Walau tak lagi bergelut dengan jurnalistik, saya masih dekat dan berhubungan intens dengan profesi ini. Teman-temang reriungan saya, sehari-hari saat lowong dari urusan kerja, adalah mereka yang kebetulan menduduki posisi setingkat redaktur senior, redpel, bahkan pemred media nasional.

Setidaknya saya cukup melek jurnalistik. Kompeten seluk-beluk bahasa (Indonesia), temasuk menggunakannya sesuai tradisi literasi yang terus disempurnakan dari masa ke masa. Saya orang Indonesia kelahiran Bolmong. Waras. Dan cukup paham kewajiban dan hak warga negara, terutama peran sertanya dalam urusan publik dan kontrolnya.

Maka izinkan saya menggunakan kewajiban dan hak publik itu untuk berbagi perhatian pada pemberitaan jahat yang ditimpahkan pada Bapak dan jajaran Satuan Lantas Polres Bolmong oleh kotamobagupost.com. Singkat saja, selebihnya dapat dipercakapkan secara pribadi, kalau-kalau Polres Bolmong, khususnya Bapak dan jajaran, memikirkan langkah hukum demi menunjukkan kesetaraan di antara warga negara dalam konteks perhormatan terhadap posisi profesi yang dipilih pihak per pihak.

Pertama, yang ditulis kotamobagupost.com itu, dari kaidah-kaidah jurnalistik, cacat segala-galanya. Sumber berita sebagai sosok utama rujukan ditulis dengan frasa ''sebut saja namanya Enal''. Apa-apaan ini? Jurnalisme memberikan hak pada wartawan melindungi sumber berita, bila terkait hal-hal yang dapat membahayakan dia (harta benda, pekerjaan, dan lahir-bathinnya). Petugas polisi yang digambarkan dalam berita sudah menggantongi SIM dan STNK ''si Enal itu'', jadi di mana logika melindungi nara sumber diletakkan?

Penulis yang katanya berita itu pandir (kalau bukan memang meheng) dan penanggung jawab situs berita yang mempublikasi (namanya Audy Kerap. Jabatannya penanggung jawab, pemimpin umum, pemimpin redaksi; serta pula Ketua PWI KK) pasti berotak seperti udang. Berdampingan dengan kotoran.

Kedua, tulisan itu dengan sengaja membingkai polisi umumnya adalah sosok jahat. Bajingan. Hanya ada satu-dua yang masuk kategori orang baik. Bingkai ini adalah opini yang seolah-olah. Kata ''melarikan'', ''berwibawa'', atau ''dingin'' dimanfaatkan mengirim pembacanya membayangkan polisi itu tak beda dengan copet, sok kuasa, dan beraura setan.  Apalagi, di dalam tulisan eksplisit penulisnya (eye witness) berada di tempat ketika peristiwa terjadi.

Saya kupas sedikit ihwal kata ini (selebihnya bisa dirujuk ke KBBI). ''Melarikan'' adalah perbuatan yang berakar dari kata ''lari''. Maka harusnya petugas yang disaksikan oleh penulis (sebagai saksi mata) membawa SIM dan STNK ''sebut saja namanya Enal'' itu dengan berlari dengan tujuan yang entah. Akan halnya ''berwibawa'' dan ''dingin'', ini sungguh opini yang sepenuhnya datang dari dengkul penulisnya. Wartawan yang sudah mendapat pelatihan tahu persis, deskripsikan apa yang dilihat, didengar, dibaui, dan dirasakan (dicecap). Biar pembaca, yang bukan sekumpulan cecurut yang otaknya cuma seukuran miligram, menilai dan menyimpulkan.

Tiga, ini yang fatal dan membuktikan bahwa publikasi itu bukan berita tetapi opini insinuasi, bahkan terhadap institusi kepolisian. Perhatikan, Pak Kasat Lantas yang berwenang dan berwajib, frasa ''Kapolda Sulut diminta mendidik etika polisi lalu lintas Polres Bolmong'' yang dijadikan judul, ditempatkan di alinea pertama dan penutup tulisan, bukanlah kutipan langsung. Kalau urusan pendidikan etika ini maha penting dan benar-benar dikatakan oleh ''sebut saja namanya Enal'' sebagai sumber, patut dan mustahak dia ditempatkan di antara dua kutipan (''....''). Artinya, memang diucapkan dengan jelas, terang, dan sadar oleh nara sumber; dan didengar langsung, dicatat (atau rekam) kata per kata, oleh wartawan yang kemudian menuliskannya.

Sudah opini, frasa itu juga secara langsung adalah bentuk penghinaan melalui pengecilan (belitteling) terhadap institusi kepolisian di Bolmong, khususnya Kapolres. Dengan membaca sedikit cermat, kita tahu, kambing congek yang jadi penulisnya, dengan sengaja memanipulasi pengetahuan umum pada struktur komando di kepolisian Sulut. Bukankah di atas Kasat Lantas Polres Bolmong setidaknya masih ada KaOps, Wakapolres, dan Kapolres yang punya kewajiban, tanggung jawab, dan tugas membina bawahannya yang khilaf dan salah--sengaja atau tidak. Kok yang ini langsung Kapolda? Frasa dan penjudulan itu adalah verbal harassment yang hukum pidananya tergolong berat.

Sepengalaman saya, Pak Kasat Lantas, wartawan dan media yang manipulatif seperti ini biasanya cuma tukang peras dengan kedok profesi dan produk profesionalnya. Kriminal sesungguhnya. Musang berbulu domba.

Dan keempat, yang paling fatal adalah tidak adanya keberimbangan dan keadilan sumber. Kalau ''sebut saja namanya Enal'' yang dijadikan sumber utama mendominasi seluruh tubuh berita, kemana konfirmasi dari Satuan Lantas atau Polresta Bolmong? Wartawannya jelas berada di tempat kejadian? Apa susahnya menyodorkan rekaman dan bertanya pada Kasat Lantas, ''Etis atau tidak, profesional atau tidakkah tindakan yang baru saja berlangsung di depan mata saya?'' Kalau Kasat Lantas menolak bicara, setahu saya Polres Bolmong telah mendedikasikan seorang perwira khusus untuk berhubungan dengan para pewarta.

Memang ada niat jahat dari tulisan itu. Sangat jahat. Apalagi wartawan, sesuai dengan konstitusi mereka (UU, kode etik), dan pedoman penyiaran (untuk media siber), dalam melaksanakan tugas haram hukumnya berlaku seperti maling atau jailangkung. Datang tidak diundang, pergi tidak diantar. Wartawan harus sedari mula membuka siapa dia, menunjukkan identitasnya, kecuali untuk peliputan yang bersifat investigasi. Tulisan itu bukanlah investigasi.

Darinya, dengan menimbang keempat fakta di atas (dan masih banyak lainnya yang bisa saya papar), Pak Kasat, Satuan Lantas, dan Polres Bolmong punya hak kuat memperkarakan penulis dan penanggung jawab kotamobagupost.com. Tidak usah menggunakan UU Pers, sebab dapat dibuktikan situs ini bukanlah media siber sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusinya (saya bersedia bersama-sama dengan mereka yang pakar menguji saksama simpulan ini). Saran saya, manfaatkan KUHP dan UU ITE demi kehormatan Pak Kasat, Satuan Lantas, dan Polres Bolmong, dan bahkan Kapolres sebagai pucuk pimpinannya.

Pak Kasat Lantas, AKP Romel Pontoh, yang berwenang dan berwajib, surat yang saya tuliskan ini sepenuh-penuhnya benar. Saya bersedia menanggung risiko, apapun itu, termasuk mengepel seluruh kantor Satuan Lantas jika ada sedikit saja dusta, spekulasi, atau karang-karangan di dalamnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AADC: Ada Apa dengan Cinta; AKP: Ajun Komisaris Polisi; Bolmong: Bolaang Mongondow; ITE: Informasi dan Transaksi Elektronik; Kasat: Kepala Satuan; KaOps: Kepala Operasi; Kapolda: Kepala Kepolisian Daerah; Kapolres: Kepala Kepolisian Resort; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KJ: Kurang Jelas; KK: Kota Kotamobagu; KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Lantas: Lalu Lintas; Pemred: Pemimpin Redaksi; Polres: Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Redpel: Redaktur Pelaksana; SIM: Surat Izin Mengemudi; STNK: Surat Tanda Nomor Kendaraan; Sulut: Sulawesi Utara; UGD: Unit Gawat Darurat; UU: Undang-undang; dan Wakapolres: Wakil Kepala Kepolisian Resort.

Monday, October 24, 2016

Audy Kerap: ''Kalu Cuma Kuroit, Jang Ba Kokok!''

JEDA sore menjelang magrib, Senin,  24 Oktober 2016, saya mengudap pala manis--camilan ini konon membuat tidur nyenyak--, sembari berbual dengan dua kolega. Kami bertiga, yang tertinggal di kantor dan masih bersikutat dengan pekerjaan, merentang cerita dari urusan film terbaru hingga riuh Pilkada DKI Jakarta yang kian seru.

Tiba-tiba telepon saya berdering. Karena melihat nomor yang menghubungi tak dikenal, saya mengabaikan saja. Biasanya, nomor yang tak terdapat di kontak adalah wiraniaga yang menawarkan kredit bank, kartu kredit baru, macam-macam asuransi, atau bahkan mobil yang harganya se-ho-oh.

Namun, dering yang diabaikan itu kembali lagi. Diabaikan. Kemudian berdering lagi. Akhirnya, saya memutuskan mendiamkan dengan mengangkat telepon dan segera menyua suara seseorang yang menyampaikan salam. Setelah salam, dengan akrab dia menyatakan, ''Ini Audy.'' Saya tanya, ''Audy yang mana?'' Sebab saya memang punya sobat akrab (sejak SMA) bernama Audy Yudi Tampinongkol. Tapi kalau Audy Yudi, masak sih tiba-tiba lupa kalau kebiasaannya menelepon didahului dengan sapaan ''Si'.''

Ternyata yang menelpon adalah Audy Kerap. Sebelum dia meneruskan kalimatnya, baru dua kata, ''Kita kua'....'' , saya memotong dan menyatakan, ''O, nanti bakudapa jo di polisi.'' Namun, rupanya kepala kosongnya tidak paham dan masih berusaha meneruskan penjelasan. Saya meledak dan meneriakkan ultimatum, bahwa telepon langsungnya ke saya tak beda dengan provokasi atau pengancaman. Kalau dia masih meneruskan satu kalimat saja, saya akan mengambil langkah yang akan amat sangat dia sesali. Saya lalu menutup telepon.

Apa maunya orang ini? Menantang keberanian saya? Provokasi supaya dari adu otak ke adu hukum lalu adu fisik? Apa alasannya seseorang, wartawan pula, yang sudah melaporkan saya ke Polres Bolmong karena merasa namanya dicemarkan melalui tulisan, mengumumkan didampingi pengacara hebat, langsung menelepon lawan berperkaranya kalau bukan demi provokasi? Mungkin pula pengancaman? Barangkali dia mau merasakan teleponnya dibombardir provokasi sepanjang malam atau rumahnya didatangi dan ditunggui hingga subuh?

Saya peringatkan dengan sungguh-sungguh: Audy Kerap, Anda tidak kenal saya. Tidak pernah bersentuhan sebelumnya. Tak pula ada urusan sosial atau aktivitas yang menautkan kita. Satu-satu yang menghubungkan Anda dengan saya saat ini adalah dugaan kasus karena Anda merasa saya mencemarkan nama baik Anda.

Sebab tak punya pengetahuan apapun mengenai saya, maka cari tahulah. Yang jelas saya bukan jenis laki-laki klemer-klemer yang takut dengan suara keras, acungan tinju, atau macam-macam gertakan. Kalau Anda mau menggali lebih dalam, Anda akan tahu saya bisa apa saja dan sudah melakukan apa saja. Di usia yang kini menuju senja, banyak yang saya perbuat di masa lalu, yang setelah direnungkan, rasanya cukup tidak beradab. Mohon jangan memancing ketidakberadaban itu keluar lagi, seperti iblis dari neraka Dante yang terbangun dan murka. Yang Anda jual sudah saya beli. Kontan! Ingin lebih, saya lebihkan juga kontannya.

Orang waras (tak perlu pintar) tahu persis: jika sudah memasuki ranah hukum, berperkara ke polisi, maka tempuh cara itu hingga tuntas. Kau yang memulai, kau jangan segera mengakhiri! Jika mau mengakhiri, lakukan dengan cara hukum. Toh katanya di-back up pengacara (sekali lagi: jangan hanya dua, sediakan 30 orang, yang terpintar di Sulut), maka minta mereka menempuh langkah yang sejalan dengan tekad dan sesumbar Audy Kerap, bahwa: hukum adalah panglima.

Upaya hukum yang sedang ditimpakan Audy Kerap lewat Laporan Polisi Nomor: LP/868/X/2016/SULUT/RES- Bolmong, Tanggal 20 Oktober 2016, sudah saya telisik dengan saksama. Telah saya siapkan langkah-langkah yang sama demi mempertahankan diri.

Langkah hukum terhadap Audy Kerap sama dengan apa yang akan saya tempuh terhadap penulis pandir dan beberapa situs berita kacangan di Bolmong yang memuat cacian personal yang ditujukan ke saya. Laku saya yang biasanya penuh canda dan tawa barangkali menipu dan menimbulkan sangka, saya cuma bisa menggertak. Tapi beberapa orang di Bolmong sudah pernah merasakan pahitnya peringatan yang saya tidak lanjuti. Jadi bersiap dan waspadalah. Kalian membangunkan sesuatu yang jahat, yang sudah lama saya bujuk untuk tidur, sebab Tuhan telah terlampau baik dengan memberi kecukupan-kecukupan yang saya syukuri dengan sujud. Karena istri, anak-anak, dan semua yang saya sayangi telah memberikan ''rumah yang tenang dan damai.''

Saya tidak akan merugi sedikitpun mengeluarkan energi dan sumber daya demi mempertahankan yang hak, menolak yang bukan. Terlebih dari hitungan paling rasional manusia, saya punya semua keunggulan dibanding tikus-tikus got yang merasa dirinya harimau, semata karena ghirah perhatian, unjuk jago, atau sekadar coba-coba supaya tampak keren dan kekinian.

Bila tulisan ini dianggap sebagai ekspresi kemarahan, saya nyatakan: Ya! Saya tidak habis pikir, terlalu dungukah orang-orang sekolah dan melek teknologi yang merasa tersinggung dan harus menyerang saya pribadi setelah membaca kritik, ejekan, sinisme, sesekali caci, yang dituliskan di blog ini? Sebegitu kerbaukah otak mereka hingga tidak mampu membeda apa yang disampaikan tidak pernah ditujukan terhadap personal. Bukan urusan individu.

Orang-orang yang namanya ditulis dalam blog ini, kecuali kawan, kerabat, dan kolega yang terikut karena keberwarnaan latar cerita, sepenuhnya karena jabatan publiknya atau karena dia memang berurusan dengan kepentingan umum. Saya bisa membedakan, dengan sepenuhnya sadar dan jernih, Audy Kerap sebagai pribadi, wartawan, dan sebagai Ketua PWI KK. Jika seorang Audy Kerap pribadi berkomentar dodol tentang satu isu, kalau itu berkaitan dengan urusan umum dan disiarkan kepada umum, maka akan saya tanggapi. Apatah lagi karena profesinya, terlebih jabatan Ketua PWI KK yang disandang. Jika tidak ada urusan dengan kepentingan publik, mau dia telanjang, pura-pura gila dan menari-nari di lapangan Kotamobagu, eh, stau lei!

Karenanya, saya sungguh memberikan apresiasi dan sulut setinggi-tingginya terhadap Sehan Landjar, sebagai pribadi, politikus, Bupati Boltim, dan Ketua DPW PAN Sulut. Terlalu banyak tulisan di blog ini yang menyinggung Eyang, tanpa membuat dia melayangkan gugatan, apalagi ancaman. Eyang sangat cerdas dan tahu persis: apa yang saya tulis, semenyakitkan apapun, tidak pernah ditujukan pada dia pribadi, melainkan karena posisi dan jabatan publiknya, yang memang harus dikontrol oleh umum--siapapun itu.

Kepada Audy Kerap dan siapapun yang secara pribadi merasa terganggu, tercemar nama baiknya, terzalimi, oleh tulisan-tulisan di blog ini, lawan dengan tulisan atau tempuh langkah hukum. Dan jangan pernah mundur. Kalau merasa ayam jago, berkokoklah. Kalu cuma kuroit, noh dengar jo kong baku iko manyangi. Kuroit yang berkokok hanya akan jadi korban patukan ayam jago. Apa terlebih jago beneran yang marah dan mengamuk.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DKI: Daerah Khusus Istimewa; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; KK: Kota Kotamobagu; Kuroit: Sejenis nuri yang banyak ditemukan di wilayah Mongondow; PAN: Partai Amanat Nasional; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; SMA: Sekolah Menengah Atas; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Mohon Sangat, Jangan Cabut Laporan Polisi Itu

MINGGU malam, 23 Oktober 2016, baru saja asyik menenggelamkan diri dengan pekerjaan kantor (yang sudah melampaui deadline), saya ditelepon seorang kawan. Dia memang berusia lebih muda, karenanya memanggil saya dengan sebutan ''Abang''. Buat saya, sapaan itu cuma soal beda usia--juga barangkali terdapat kandungan respek--, karena dalam banyak hal prestasinya layak diberi acungan dua jempol.

Kawan itu, selama bertahun, pernah menggeluti profesi wartawan. Prestasi tertingginya adalah Pemred di media yang berada di bawah payung penerbitan raksasa.

Usia belia dan karir di media telah mencapai puncak (bagi seorang wartawan, tidak ada lagi posisi fungsi yang lebih tinggi setelah itu), mendorong kawan itu mencari tantangan baru. Dia turut seleksi salah satu komisi negara, terpilih, jadi ketua, dan sukses melaksanakan tugas hingga selesai masa jabatannya.

Karir publik kawan itu terus berkembang. Dia bergabung dengan parpol, dipilih menjadi ketua, berkompetisi di Pemilu, dan lolos menduduki kursi legislatif. Kecemerlangannya tetap bersinar menyertai dia. Di legislatif, dia langsung dipilih di posisi tertinggi: ketua.

Dengan catatan seperti itu, dia adalah rasing star yang kegigihan mengembangkan diri dan kompetensinya tak diragukan lagi.

Telepon dari kawan muda umur yang dasyat itu sebenarnya biasa saja. Kami memang kerap berkontak. Sekadar berbual-bual mempercakapkan rica-tomat dan bawang merah (kami sama-sama anak kampung yang dibesarkan berkubang lampur sawah dan cangkul ladang), sesekali soal tulis-menulis dan perkembangan media, atau dinamika ekonomi-sosial-politik (khususnya Sulut dan Bolmong).

Memang demikianlah yang terjadi. Namun, di tengah bual-bual penuh canda, dia tiba-tiba menyentil urusan laporan Audy Kerap (pribadi) ke Polres Bolmong ihwal pencemaran nama baik yang saya lakukan. Tanpa menutup-nutupi, dia juga menginformasikan bahwa memang ada komunikasi di antara mereka berdua.

Singkatnya: kawan yang baik ini telah menyarankan Audy Kerap mempertimbangkan kembali langkah-langkah yang dia tempuh. Dan kepada saya, dia mengharapkan untuk tidak merepot-repotkan diri. ''Sebab kalau Abang berhadapan dengan orang, artinya orang itu pula berhadapan dengan dengan kami-kami yang ada di sekitar Abang, termasuk saya.'' Begitu rasionalisasi yang dia sampaikan.

Menyenangkan dan mengharukan menerima kontak dan simpati seperti itu. Sejenak saya bernostalgi, kembali ke zaman ketika masih jadi wartawan. Inti dari ilmu berjurnalistik adalah reportase. ''Dewa'' dari reportase adalah investigasi. Yang terpenting dari keduanya adalah sumber dan jaringan, yang menjadi amat sangat mudah karena tahu, berhubungan, apalagi berkawan. Tak pelak, ilmu jurnalistik adalah tentang membangun hubungan, menciptakan perkawanan seluas-luasnya. Kian punya banyak kawan, semakin mudah kita menjadi wartawan, kian gampang pula mendapatkan materi yang dapat ditulis atau disiarkan.

Kawan yang baik harus diindahkan, dihormati, dan dijunjung tinggi. Maka, saya dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan saran itu dan berjanji melakukan tindakan sebagaimana mestinya. Saya toh tidak punya keinginan menciptakan musuh. Terlebih terhadap orang dengan profesi (wartawan) yang biasanya disengani umum, hatta penanggung jawab, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi sebuah media (siber), serta pula Ketua PWI kota.

Saya memikirkan saran kawan itu sembari, di telepon lain dan di layar komputer, menyerobok capture media sosial yang berdatangan. Sulit juga melunakkan hati terhadap seseorang yang ''katanya'' sedang mempertimbangkan langkah yang sudah  diambil, sembari melihat dia tetap tanpa malu-malu dan percaya diri petantang-petenteng. Kesombongan dan sok jago Audy Kerap, misalnya mengancam pembuktian ''kandang ayam yang digondolnya'', adalah provokasi gurih. Dia pikir saya menulis sesuatu hanya dengan memetik infonya dari pohon poke-poke, seperti publikasi sejenis yang suka disiarkan kotamobagupost.com?

Kendati begitu, saya berlega hati dan berjanji menimbang dengan serius. Lalu kami mengakhiri percakapan. Saya kembali menenggelamkan diri pada dokumen-dokumen kantor yang membuat keringat memercik di kening.

Menjelang tengah malam, saat jedah meluruskan punggung dan mengistirahatkan mata dari komputer, saya teringat pada percakapan dengan kawan itu dan mendadak menyadari sesuatu. Saya langsung meraih telepon dan menulis SMS: ''Kalu Audy mo cabu depe laporan, ... , justru itu memperkuat pasal yang kita pake for menuntut.''

Tuntutan saya terhadap Audy Kerap karena laporannya ke Polres Bolmong adalah tentang fitnah sebab ''dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu'' serta ''perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang'' sesuai KUHP Pasal 317, Ayat 1, dan Pasal 318, Ayat 1. Pihak berwajib, juga kalangan praktisi hukum (seperti dua pengacara yang diklaim berdiri perkasa membela Audy Kerap), tentu paham betul dua pasal dan ayat ini. Bahwa Audy Kerap yang menulis berita saja seperti mengeja ''ibu Budi, ini adik Budi, dan ini kakak Budi'' tak mampu menjangkau penjelasan dan konsekwensinya, itu urusan dia sendiri.

Olehnya, saya kemudian memohon agar kawan itu mengurungkan saja niatnya menyarankan pencabutan laporan dari Polres Bolmong. Saya juga menghimbau siapapun, langsung atau tidak, yang mengikuti isu ini, agar berhenti menyarankan kasus ini diakhiri. Masak sebuah film diakhiri langsung pada scane penutup, adegan maaf-maafan dan ikhlas-ikhlasan, padahal gambar-gambar dan narasi pembuka baru saja ditayang? Apa serunya menonton jika pemirsa sudah bisa menduga akhir dari tayangan yang ada di hadapannya?

Lagi pula bukti-bukti ''buruknya nama'' orang yang merasa ''nama baiknya tercemar'' yang saya keluarkan (di tulisan Tentang Nama Baik: Musang Belum Pernah Membawa Lari Kandang Ayam) baru sedikit contoh. Penyimak blog ini tentu jauh dari sudi kehilangan momen mengetahui keluh birokrat teras yang diteror todongan advertorial; kawan seiring yang dibohongi, ditipu, dan ditinggalkan dengan kerugian menggunung diilusi bikin media bersama; dan banyak lagi ''drama tegang'' dengan aktor utama Audy Kerap.

Saya belum pula mendadah produk-produk yang diklaim sebagai hasil kerja kewartawanan Audy Kerap, terutama di media miliknya, kotamobagupost.com. Apa tidak sedap kalau saya dengan mudah membuktikan situs ini bukan media siber, tetapi tong sampah besar berisi tulisan-tulisan yang mengangkangi UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Penyiaran Media Siber?

Tambah lagi, saya belum mengupas PD/PRT PWI (organisasi profesi di mana Audy Kerap bernaung) dan konsekwensi-konsekwensi pelanggarannya. Umum (sebab ini adalah kepentingan publik) tentu berhak tahu apa saja yang boleh dan tidak dilakukan seorang wartawan, terlebih ketua setingkat kota/kabupaten, yang menjadi bagian dari organisasi ini. Orang banyak juga selayaknya mendapatkan paparan bagaimana langkah-langkah yang mustahak saya lakukan hingga PWI, mau atau tidak (demi menegakkan konsitusinya sendiri), terpaksa harus memecat anggotanya yang tidak punya kredibilitas dan integritas.

Mari kita lanjutkan perkara ini. Tolong. Mohon sangat. Jangan cabut laporan di Polres Bolmong. Tempat duduk di mana saya menyiapkan pembelaan dan serangan balik masih jauh dari hangat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Parpol: Partai Politik; PD/PRT: Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga; Pemilu: Pemilihan Umum; Pemred: Pemimpin Redaksi; Polres: Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; dan UU: Undang-undang.