Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 5, 2015

‘’Komkomci, Tampeleng, Kong Bekeng Kabur Aer’’

BUPATI Sehan Landjar diduga menempeleng seorang seorang remaja tanggung, warga Bangunan Wuwuk, Kecamatan Modayag, Boltim, Rabu malam (30 September 2015). Tak lama setelah mendapatkan info ini, saya yang sedang berada di luar Jakarta, menerima tautan situs zonabmr.com, Lagi, Sehan Landjar Dipolisikan, Kali ini Diduga Tampar Bocah (http://www.zonabmr.com/read/319213/lagi-sehan-landjar-dipolisikan-kali-ini-diduga-tampar-bocah.html).

Belum sempat mencerna informasi yang serba samar itu, lewat tengah malam atau Kamis menjelang dinihari, 1 Oktober 2015, saya menerima tautan baru dari situs yang sama, Eyang: ‘’Apa Ngana Pe Maksud Tu Komkomci?’’ (http://www.zonabmr.com/read/319433/eyang-apa-ngana-pe-maksud-tu-komkomci.html). O, tampaknya perkara tempeleng itu berkaitan dengan ‘’komkomci’’ yang memang belakangan menjadi salah satu isu panas berkenaan dengan Pilkada dan kandidat Cabup-Cawabup Boltim 2016-2021.

Dengan berupaya sangat netral, jeli, dan hati-hati, saya mencoba memahami duduk-soal dua pemberitaan berturut itu. Di berita pertama diungkapkan bahwa ada seseorang bernama Noval Sumendap yang ditampar oleh Eyang. Di berita kedua, Eyang menjelaskan bahwa memang ada peristiwa yang melibatkan dia di daerah Bangunan Wuwuk, akibat sapaan yang dibalas dengan perkataan ‘’komkomci’’ oleh orang yang kebetulan dia kenal, Weli Rompas (di media lain ditulis Welly Rompas).

Tetapi, dengan tegas Eyang membantah melakukan pemukulan. Artinya, walau berita pertama dan kedua yang diunggah zonabmr.com  memang berhubungan, tidak ada insiden yang terjadi. Sebab, Eyang hanya turun dari mobilnya karena perkataan ‘’komkomci’’ dan menghampiri kendaraan berisi Weli Rompas dan istrinya dari sisi kiri. Situs berita ini mengutip, ‘’Kita turun nda bapegang pa dia pe oto. Dia di stir, kita ada di sei pa depe bini, di sebela kiri, di pintu kiri. Kong ada polisi ada samua sekitar 20 orang stow di situ.”

Bantahan yang disampaikan Eyang itu juga dikutip Radar Bolmong, Jumat, 2 Oktober 2015, Bupati Boltim Dipolisikan (http://radarbolmongonline.com/2015/10/bupati-boltim-di-polisikan/). Serial bantahan ini terus berlanjut di zonabmr.com, Jumat, 2 Oktober 2015, Merasa Dicemarkan Nama Baik, Tim SERU Lapor Welly Cs (http://www.zonabmr.com/read/325004/merasa-dicemarkan-nama-baik-tim-seru-lapor-welly-cs.html) serta totabuan.co, Bupati Boltim Melapor di Polres (http://totabuan.co/2015/10/bupati-boltim-melapor-di-polres/).

Sebagai peristiwa dan fakta, isu Eyang menempeleng Noval Sumendap sudah bergulir ke wilayah hukum karena kedua belah pihak sama-sama melapor ke Polres Bolmong. Orang banyak tentu menunggu apa kata ‘’hukum’’ lewat penyelidikan dan penyidikan polisi. Walau, saya pribadi hampir skeptis dengan Polres Bolmong dalam urusan kasus atau dugaan tindak pidana yang melibatkan pejabat publik, politisi, atau tokoh di daerah ini.  Sepengetahuan saya, sebagaimana yang diberitakan media massa (lokal) beberapa waktu lalu, Polres Bolmong biasanya hanya sangat gesit tatkala menangani pinjam-pakai kendaraan dari Pemkot dan Pemkab di BMR untuk ‘’operasional’’ beberapa petingginya.

Tentu saya tak berani asal tulis. Pemberitaan manadoexpress.co, Senin, 30 Maret 2015, Empat Bulan Menjabat, Kapolres Bolmong 'Koleksi' Mobil Mewah (http://manadoexpress.co/berita-6603-empat-bulan-menjabat-kapolres-bolmong-koleksi-mobil-mewah.html), menjadi salah satu buktinya. Terlebih pemberitaan ini sama sekali tak pernah dikoreksi atau dibantah oleh Polres maupun Kapolres Bolmong.

Kembali ke isu penempelengan yang sudah dengan tegas dibantah oleh Eyang. Pertama, media umumnya menulis—juga berdasar kutipan langsung—bahwa isu ini dimulai karena ada perkataan ‘’komkomci’’ yang dilontarkan, yang membuat Eyang tersinggung. Pertanyaan saya: Apa tafsir Eyang terhadap  ‘’komkomci’’? Mengapa kata ini jadi mengundang ketersinggungan, padahal pengertian dan penggunaannya di BMR justru berkonotasi lucu dan menggemaskan?

Kalau ‘’komkomci’’ kemudian berubah makna (yang sebanarnya lumrah di jagad bahasa), khususnya berkaitan dengan Bupati Boltim sebagai pejabat publik atau Eyang dalam posisi pribadi, lalu kata ini menimbulkan ketersinggungan, artinya dia memang berkonotasi negatif hingga menjadi penghinaan? Kalau memang demikian, buat apa Eyang repot-repot turun dari mobil untuk menegur Weli (atau Welly) Rompas?

Sebagai Bupati, apa sulitnya dia melaporkan ‘’peng-komkomci’’ itu ke polisi karena penghinaan, perbuatan tidak menyenangkan, atau sejenisnya. Turun dari kendaraan, kemudian ‘’melabrak’’ orang yang mengucapkan ‘’komkomci’’ karena tersinggung, jauh dari menunjukkan kualitas bijaksana, cerdas, dan terkontrol dari seorang Bupati. Sebagai sahabat dekat Eyang, saya sedih dan menyesalkan karena aksinya itu lebih tepat dilakukan kriminil yang tertangkap basah dan malu, ketimbang seorang pejabat publik yang berharga diri dan berada di jalur yang benar dari aspek perilaku pribadi.

Kedua, remaja tanggung yang mengaku ditempeleng Eyang, Noval Sumendap, melaporkan dugaan terjadi tindak pidana terhadap dia ke Polres Bolmong. Sebaliknya, Eyang juga malaporkan namanya dicemarkan; bahkan juga meminta polisi mengusut dalang di balik pengakuan sang korban.

Sejujurnya, agak tak masuk akal jika Noval, warga Boltim yang—hingga peristiwa itu terjadi—masih dipimpin oleh Eyang, melaporkan Bupatinya sendiri (sosok yang punya pengaruh dan pendukung kuat) tanpa berdasar fakta sangat kokoh. Jika pengakuan bahwa dia ditempeleng oleh Eyang sekadar karang-karangan dan fitnah, saya harus mengatakan: dia tak beda dengan kerbau yang sangat tidak berotak, terganggu jiwa tingkat tinggi seperti Jenderal ‘’Zakaria Pota atawa Arudji Paputungan’’ Soedirman, atau—barangkali—memiliki urat kawat dan otot besi yang ampuh menahan serangan balik Bupati dan pendukunnya.

Sungguh terlalu jika ada warga Boltim yang silap mengenali Eyang, yang sebagaimana klaimnya, ‘’… hele gonone deng lalar kanal pa kita.’’ (zonabmr.com, Rabu, 23 September 2015, Tak Perlu Pasang Baliho, Eyang: “Biar lalar deng gonone kanal pa kita”, http://www.zonabmr.com/read/299173/tak-perlu-pasang-baliho-eyang-biar-lalar-deng-gonone-kanal-pa-kita.html).

Itu sebabnya, saya lebih percaya bahwa Noval memang ditempeleng oleh Eyang, yang sudah naik darah dan memerlukan penyaluran emosinya. Hanya, dia boleh dibilang sekadar korban yang berada di tempat yang salah, di waktu yang salah, dan situasi yang salah.

Namun, siapa yang benar dan pendusta di antara kedua pihak yang kini berseberangan itu, kita tunggu dengan saksama sembari berharap: Polres Bolmong terlebih dahulu menyelidiki dan menyidik laporan Noval sebagai terduga korban; ketimbang Eyang sebagai terduga pelaku dan pelapor pencemaran nama baik. Sekali lagi, saya kuatir karena dalam kasus-kasus yang melibatkan ‘’orang kuat’’ di wilayah Mongondow, Polres Bolmong sudah berulang kali terbukti gampang ‘’masuk angin’’ dan lebih memihak yang punya kuasa dan uang.

Dan ketiga, baik Eyang maupun Tim SERU—tampaknya ini singkatan terakhir, setelah SERIUS, untuk pasangan Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit—, eksplisit menuduh ada dalang di balik laporan Noval ke Polres Bolmong (zonabmr.com, Jumat, 2 Oktober 2015, Merasa Dicemarkan Nama Baik, Tim SERU Lapor Welly Cs, http://www.zonabmr.com/read/325004/merasa-dicemarkan-nama-baik-tim-seru-lapor-welly-cs.html dan Sabtu, 3 Oktober 2015, Lantaran ‘’Komkomci’’, Bupati dan Warganya Saling Lapor (http://www.zonabmr.com/read/325315/lantaran-komkomci-bupati-dan-warganya-saling-lapor-polisi.html). Tuduhan ini sekadar spekulasi ala teori konspirasi atau fakta dengan bukti-bukti tak terbantahkan? Alangkah luar biasanya—jika sosoknya memang ada—sang terduga dalang yang mampu mengatur rangkaian peristiwa yang melibatkan Eyang, Weli (atau Welly), Noval, dan serombongan orang di Bangunan Wuwuk, yang tampaknya adalah insiden emosional, sebagai bagian dari rencana rapi jali merusak nama seorang Bupati yang juga petahana Pilkada Boltim 2015.

Sadarkah Eyang dan Ketua Tim Pemenangan SERU, Yusra Alhabsyi, jika tuduhan itu ternyata pepesan kosong, cuma mo kase kabur aer, konsekuensinya bisa beraneka rupa: mulai dari sinisme paranoid orang panik hingga konfirmasi pada warga Boltim bahwa Bupati yang mereka puja dan banggakan lima tahun terakhir ini ternyata hanya berintegritas kacangan.

Menghadapi isu tempeleng ini, Eyang memang harus merapatkan barisan, mengumpulkan bukti-bukti, serta membuktikan validitas bantahan dan tuduhannya. Bila tidak, bukan tak mungkin dia dan tim pemenangannya hanya memperlebar jurang kekalahan yang kian dalam karena olok-olok ‘’komkomci’’, dugaan tindak pidana terhadap seorang remaja tanggung, tuduhan membabi-buta tanpa dasar, dan entah apa lagi yang akan mencuat hingga Desember 2015 mendatang.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Pemkot: Pemerintah Kota; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Polres: Kepolisian Resor; SERIUS: Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit; dan SERU: Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit.

Tuesday, September 29, 2015

Serakah? Selamat! Anda Tertipu


MUNDUR ke 2009. Sumber informasi saya mengisahkan, saat itu Zakaria Sukaria Pota (setidaknya ini nama ‘’waras’’ yang diakuinya) bermukim di Poyowa Kecil. Sebagaimana warga Mongondow kebanyakan, kesehariannya dia menekuni pertanian sebagai pekerjaan utama.

Namun, yang istimewa, menurut klaim yang dia sampaikan dengan sangat menyakinkan—setidaknya untuk para penggemar dongeng mistis--, Zakaria mengetahui dan mampu membuka empat brankas berisi harta bernilai tinggi yang tersimpan di Bolmong. Tak jelas benar di mana brankas itu berada. Yang pasti, gudang harta ini dijaga aneka mahluk gaib yang hanya dia seorang yang mampu menangani.

Demi kepentingan membuka brankas hebatnya, Zakaria berkehendak bertemu dengan Bupati (saat itu) Marlina Moha-Siahaan. Entah apa pula kaitan antara brankas maha penting itu dengan Bupati. Memangnya dengan bertemu Bupati, lalu Satpol PP dikerahkan, lalu ‘’alakazam’’, brankas keluar, aneka mahluk penjaganya diringkus,dan harta melimpah tersaji di depan mata?

Sejauh yang diketahui empunya informasi, Bupati Marliha Moha-Siahaan tidak pernah bertemu dengan Zakaria. Entah karena Bupati tidak percaya dengan dongeng pengantar tidur untuk anak TK itu, atau sebab lain, yang jelas dia lolos dari kemungkinan masuk daftar korban mimpi dan halusinasi milioner mendadak tanpa meneteskan keringat.

Dari 2009 kita bergeser ke 2011. Harta karun yang diketahui Zakaria sudah berkembang dan konon tertanam di wilayah Inuay. Maka berpindahlah latar kisah perburuan kekayaan ini ke Inuay, lengkap dengan segala ritual dan upacara, serta—tentu saja—penggalian. Saksi mata, seorang wartawan yang ketika itu turun meliput menuturkan, kerja menggaruk lobang menguak harta karun yang dipimpin Zakaria bahkan dijaga aparat berwenang.

Hasilnya, setelah seminggu memacul dan menyekop, harta karun yang berhasil diangkat adalah gunungan tanah, batu, dan gerombolan cacing yang terkan sial karena ‘’rumah’’ mereka diobrak-abrik. Zakaria beralasan, harta yang seharusnya didapat tak dituai karena pewarisnya belum mengizinkan.

Pepesan yang ternyata kosong itu terdiam cukup lama dan keluar lagi pada 2013. Di periode ini kalangan media dan wartawan tampaknya meluputkan peristiwanya. Hanya ada cerita yang samar-samar yang saya dapatkan. Yang pasti, hasilnya seperti pada 2011: tumpukan tanah, batu, dan—sekali lagi—segerombolan cacing yang kehidupan damainya terusik. Serta, tentu saja, daftar yang kian panjang dari para ‘’investor’’ yang mimpi kaya mendadak.

Sekali lagi, kisah Zakaria dan harta karunnya menyurut, lalu mendadak terdengar kembali menjelang penghujung 2015 ini dengan bumbu yang kian sedap. Ada harta warisan Soekarno (katanya tongkat komando emas, batangan emas, obligasi, serta tusuk konde emas Ibu Fatmawati), peninggalan Jepang, dan yang terbaru—yang pagi ini infonya tiba di kuping saya—juga harta karun Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Ternyata pula—setidaknya demikian yang diinformasikan, yang tidak repot-repot saya verifikasi—gegar harta karun Zakaria versi 2015 ini juga sedang diwarnai proses penggalian di Inuay. Mengutip seorang saksi mata, yang jadi sumber info menuturkan, wakil pemerintah desa bahkan memberikan sambutan sebelum penggalian dilakukan.

Di usia menjelang setengah abad, sepanjang pengetahuan saya, kegilaan (di luar histeria) sama tidaklah menular. Tapi Mongondow memang suka punya kasus-kasus aneh dan istimewa, terbukti dari wabah ‘’gila harta karun’’ Zakaria yang ternyata menular ke banyak orang, mulai dari masyarakat biasa, wartawan, pengusaha lokal, hingga sejumlah pejabat setingkat Kadis. Tanpa dicari-cari, daftar mereka yang diduga dan terduga sebagai ‘’investor’’ perburuan harta karun yang diklaim dan diakui Zakaria, tiba begitu saja di BBM dan komputer saya.

Sekali lagi saya tercengang-cengang. Jika benar orang-orang pintar, bersekolah tinggi, bahkan punya jabatan dan pengaruh publik itu turut terbius omong kosong harta karun ala Zakaria, sungguh menyedihkan tingkat kewarasan mereka. Kalau itu harta karun warisan Soekarno, jawaban sudah jelas: semua pihak, termasuk keluarga besar Soekarno, sudah memastikan itu klaim dan pengakuan ngawur tingkat dewa. Jika harta karun Jepang, sama halusinatifnya dengan mengatakan ditemukan gajah asli di hutan Mongondow. Dan apabila yang diklaim harta Jenderal Soedirman, tak beda dengan dengan mempercayai bahwa dulu ada jembatan yang menghubungkan Jateng dan Inobonto.

Setelah membaca ‘’Drama’’ Zakarian dan harta Karun Soekarno (Minggu, 27 September 2015), seorang rekan jurnalis mengontak saya dan mengatakan, ‘’Jangan-jangan mereka yang percaya dan yakin itu karena terkena hipnotis?’’ Dugaan ini ada benarnya sekaligus membuat saya tersedak. Hipnotis apa? Satu-satunya yang menghipnotis mereka hingga mengabaikan akal sehatnya adalah keserakahan.

Keserakahan, kata para ahli (termasuk ahli agama), sudah menjadi salah satu sifat dasar dan naluri manusia. Demikian pula dengan kemalasan. Tatkala keserakahan bertemu dengan kemalasan, ditambah jampi-jampi mimpi dan janji kaya mendadak, mudah meruntuhkan kepala yang kurang pikir dan berlangit pendek, sekalipun pemiliknya berpendidikan tinggi, tokoh yang punya pengaruh, bahkan pada dasarnya telah berharta cukup.

Saya berkeyakinan, sifat dasar dan naluri itulah yang dimanfaatkan oleh Zakaria—yang belum tentu punya pendidikan formal memadai—menarik minat dan menjerumuskan orang-orang yang disebut ‘’investor pencarian harta karun’’ itu. Yang memprihatinkan, walau berkali-kali hanya memanen angin dan janji, sejumlah orang—termasuk seorang pengusaha yang kini termehek-mehek membebek Zakaria—tak kapok juga. Seperti pemakan sambel yang berulang kali sakit perut dan disergap maag, tetapi tetap kembali memamah cabe karena sensasi pedasnya.

Kisah Zakaria ini, sejatinya tak beda dengan kasus-kasus dukun cabul. Ribuan kisah bagaimana dukun cabul memperdaya wanita yang ingin cantik, dapat jodoh, disayang pacar (atau simpanannya), dijawab dengan metode dan alasan klasik: ada dedemit brengsek yang bersarang di tubuh si wanita, dan karena harus dikeluarkan. Pembaca, ujung kisah dukun cabul selalu mirip: yang keluar bukanlah hantu atau setan jahanam dari tubuh pasien wanita, tetapi tuyul dari balik sarung atau celana dalam sang dukun.

Toh, selalu ada yang tertipu. Sebagaimana masih ada saja yang terkecoh SMS ‘’Mama minta pulsa’’ dan ‘’Anda terpilih menerima hadiah’’. Korban dua jenis penipuan ini, sekadar Rp 100-200 ribu hingga Rp 20 jutaan (dengan kilah biaya administrasi dan pajak), masih bisa menghibur diri dengan mengusap dada. Bagaimana dengan korban dukun cabul dan tuyul dari balik sarung atau celana dalamnya? Pula iming-iming harta karun hingga menelantarkan usahanya atau bahkan merogoh uang kantor demi investasi memburu kekayaan fiktif yang dijanjikan itu?

Dan sebagaimana biasa, polisi pasti akan sangat lambat bertindak. Di kasus Zakaria Sukaria Pota, aparat berwenang konon pura-pura tidak tahu (atau barangkali beralasan belum menerima laporan masyarakat), karena beberapa petingginya di Bolmong juga pernah terlibat ‘’berinvestasi’’. Bukankah cukup menampar wajah ketika Zakaria di BAP dan dia menyanyikan siapa-siapa saja yang sudah berhasil dibius halusinasi ‘’harta karun’’ karangannya?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BAP: Berita Acara Pemeriksaan; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kadis: Kepala Dinas Jateng: Jawa Tengah; PP: Pamong Praja; Satpol: Satuan Polisi; dan SMS: Short Message.

Sunday, September 27, 2015

‘’Drama’’ Zakaria dan Harta Karun Soekarno

BERKACAMATA hitam, peci merah dipadu safari dengan pin entah apa di dada kanan, orang tua bernama Kakek Zakaria itu berpose di lingkari sejumlah orang yang tak kalah ‘’seramnya’’. Mereka juga mengenakan safari dengan emblem Merah-Putih di dada kanan dan peci hitam ala Soekarno. Agar lebih menggetarkan, magis, dan menegaskan kesan sakral, potret Kakek Zakaria ‘’and the gank’’ ini dilatari bentangan bendera Merah-Putih.  

Situs berita totabuan.co, Minggu, 27 September 2015, menulis, kakek yang bermukim di Desa Inuay, Kecamatan Passi, Bolmong, ini mengaku diamanahi  harta bernilai triliunan rupiah oleh Presiden Pertama RI, Soekarno (http://totabuan.co/2015/09/kakek-70-tahun-mengaku-diamanahkan-harta-oleh-soekarno/). Harta melimpah ini, menurut dia, berbentuk emas batangan, mata uang asing, dan sertifikat obligasi yang disimpan di salah satu bank di Swiss, yang siap dicairkan untuk kemaslahatan bangsa dan negara.

Luar biasa! Andai tidak menggunakan akal sehat, saya segera melompat menuju bandara dan terbang ke Manado lalu bersigegas ke Desa Inuay. Apalagi yang lebih hebat daripada mengetahui, melihat langsung, bahkan—syukur-syukur—dapat bersalaman dengan penjaga harta Soekarno, yang sungguh dibutuhkan di saat Indonesia tengah menghadapi gejala krisis ekonomi seperti saat ini?

Tapi, tunggu dulu, samar-samar saya mengingat pemberitaan beberapa media nasional pada 2012 lalu berkenaan dengan demam ‘’harta karun warisan Soekarno’’. Benar saja, salah satunya adalah situs berita vivanews.co.id yang pada Kamis, 27 Desember 2012, mengunggah Benarkah Ada Harta Soekarno di Bank Swiss? (http://nasional.news.viva.co.id/news/read/377706-benarkah-ada-harta-soekarno-di-bank-swiss-).

Empat alinea terakhir dari pemberitaan vivanews.co.id itu khusus membahas tentang klaim Zakaria Sukaria Pota yang disebut berasal dari Bolmong, Sulut, yang mengaku diberi kepercayaan menjaga harta warisan Soekarno. Bahkan, disebutkan bahwa dia juga mengaku memiliki hubungan darah dengan Soekarno. Pemberitaan ini juga yang dikutip totabuan.co, yang selang beberapa saat menurunkan berita follow up bertajuk Ternyata Modus Kakek Zakaria Sudah Sejak 2011?

Namun, jauh sebelum vivanews.co.id, MetroTV sudah menayangkan berita tentang Kakek Zakaria, lengkap dengan kepemilikannya terhadap tongkat komando emas Soekarno dan tusuk konde (juga emas) Ibu Fatmawati. Arsip tayangan berita ini kemudian diunggah di youtube.com pada Minggu, 29 Juli 2012, dan masih dapat ditonton kembali di https://www.youtube.com/watch?v=dt4s_zK-0BI.

Di luar dua sumber kredibel itu, pada 2011 kisah dan klaim Zakaria Sukaria Pota sudah bersiliweran, terutama di blog-blog yang doyan mengupas misteri, alam gaib, mistitisme, dan sebangsanya—termasuk UFO. Yang saya perhatikan, hal paling mencolok dari kisah tentang Kakek Zakaria ini bukanlah tentang aneka benda bernilai tinggi yang disebut-sebut sebagai ‘’harta karun warisan Soekarno’’, melainkan usianya. Vivanews.co.id menuliskan usia Kakek Zakaria sudah mencapai 126 tahun (dengan demikian dia semestinya masuk rekor dunia), sedang totabuan.co (yang lebih saya percayai) mencantumkan bahwa yang bersangkutan berusia 70 tahun.

Mengapa saya repot-repot menelisik usia Kakek Zakaria? Pembaca, kebohongan dan tipu-tipu memerlukan kecermatan terhadap detail. Agar tak tertipu, terlebih melibatkan harta yang nilainya melelehkan air liur, sebaiknya kita mulai menguji klaim dan pengakuan dari detail paling sederhana. Dan itu yang akan saya lakukan terhadap pengakuan dan klaim Kakek Zakaria.

Kalau saat ini dia berusia 70 tahun, maka Kakek Zakaria pasti dilahirkan pada 1945, tahun saat negeri ini merdeka. Di manakah dia dilahirkan? Bagaimana ceritanya hingga bersentuhan dengan Soekarno? Seberapa jauh persentuhan mereka hingga Soekarno mempercayai dia melebihi putra-putri kandungnya? Siapakah yang dapat bersaksi dan mengkonfirmasi bahwa kakek Zakaria pernah berada di sekitar Presiden Soekarno, di Istana Negara pula—sebagaimana klaimnya?

Mengingat kekuasaan Soekarno berakhir pada 1966 setelah dia menandatangani Supersemar, tatkala Kakek Zakaria baru berusia 21 tahun, kita mulai melihat ada petanda dusta dari cerita-cerita yang dia sampaikan. Lebih penting lagi, apakah Guntur Soekarno Putra yang kini berusia 71 tahun, yang sepanjang masa kanak hingga remajanya berada terus-menerus berada di sekitar ayahnya, mengenal Kakek Zakaria? Bukankah usia mereka hanya terpaut setahun? Paling tidak, kalau Kakek Zakaria pernah berada di lingkungan Istana Merdeka, maka dia pasti mengenal dan dikenal oleh Guntur.

Pengetahuan dan ingatan Guntur terhadap ayahnya, peristiwa, dan orang-orang yang terlibat di sekitar Soekarno, harus tidak disepelekan. Buku Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku (1977) menjadi bukti bagaimana Guntur mampu merekam banyak hal tentang Soekarno yang jauh dari pengetahuan publik. Tentu kalau Soakarno memiliki tongkat komando emas dan Ibu Fatmawati punya tusuk konde emas yang raib entah kemana, pasti dapat dikonfirmasi oleh putra tertua pasangan ini: Guntur Soekarno Putra.

Hanya dengan sepintas menelusuri kisah Kakek Zakaria, saya berkeyakinan dia sedang beromong-kosong dengan ‘’drama harta karun warisan Soekarno’’. Apalagi, setidaknya dari seluruh informasi yang dapat diverifikasi, klaim benda-benda emas itu tidak pernah dikonfirmasi oleh ahli atau mereka yang memahami logam mulia ini. Siapakah yang pernah melakukan tes—misalnya—terhadap tongkat, tusuk konde, dan batangan yang diklaim sebagai emas murni ‘’warisan Soekarno’’ oleh Kakek Zakaria?

Yang lebih penting lagi, selain keluarga besar sudah berulang kali membantah adanya ‘’harta karun warisan’’ Soekarno, di masa itu hampir mustahil ada tokoh di Indonesia (Presiden sekalipun) yang perekonomiannya tengah megap-megap, mampu mengakumulasi kekayaan luar biasanya banyaknya. Jikapun Soekarno memang berniat menimbun harta yang kelak diwariskan pada negara dan bangsanya, atau bahkan untuk anak-cucunya, dari mana sumbernya?

Dengan memahami sejarah Indonesia, khususnya tentang Soekarno dan perekonomian Indonesia di bawah rezimnya, kewarasan kita semestinya menyimpulkan, pengakuan dan klaim seperti yang disampaikan Kakek Zakaria sebaiknya hanya dimaknai sebagai: cara menipu yang sudah tak cerdas lagi (karena telah digunakan oleh banyak orang dengan modus yang sama) atau tingkah orang gila untuk menarik perhatian sesama pengidap kelainan jiwa.

Lagipula, kalau segala macam benda (emas murni, mata uang asing, dan sertifikat obligasi)  yang diklaim sebagai ‘’harta karun warisan Soekarno’’ itu benar-benar ada di tangan Kakek Zakaria dan negara tidak memperdulikan, sebagai pemegang amanah semestinya dia segera mencairkan dan menggunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Dia akan jadi pahlawan, Bupati Bolmong, mungkin Gubernur Sulut, atau bahkan Menteri, dan siapa tahu malah kandidat Presiden atau Wapres.

Itu sebabnya, agar tak menjadi spekulasi dan berujung penyebab instabilitas, Polres Bolmong harusnya segera turun tangan memeriksa kebenaran pengakuan dan klaim Kakek Zakaria; termasuk menguji otentitas tetek-bengek yang diakui emas murni, mata uang asing, atau sertifikat obligasi yang ada di tangannya. Kalau ternyata pengakuan dan klaimnya benar, polisi akan ikut jadi pahlawan. Sebaliknya, jika cuma tipu-tipu dan kegilaan, Kapolres Bolmoang dan jajarannya sudah melaksanakan tugas menyelamatkan banyak pihak dari potensi tindakan kriminal atau malah berbuat baik mengurusi satu lagi makluk meheng yang memerlukan perawatan di RS Ratumbuysang.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Kapolres: Kepala Resor Kepolisian; Polres: Kepolisian Resor; RI: Republik Indonesia; RS: Rumah Sakit; Sulut: Sulawesi Utara; Supersemar: Surat Perintah 11 Maret; UFO: Unidentified Flying Object; dan Wapres: Wakil Presiden.