Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, September 12, 2015

OTOP, OVOP, OMDO

BEBERAPA tahun silam saya berkesempatan menjejalahi sebagian wilayah Thailand, melihat dan belajar kedasyatan penerapan OTOP yang didesain di bawah pemerintahan (mantan) PM Thaksin Shinawatra (2001-2006). Konsep mendorong kewirausahaan warga ini berbasis tambon (setingkat kecamatan) dengan mendukung produk lokal dan pemasarannya.

Pemerintahan Taksin dan partai pendukungnya, Thai Rak Thai, tak main-main dengan OTOP. Lewat program ini, produk-produk komunitas-komunitas di kecamatan yang menerima dukungan ditingkatkan kualitasnya, termasuk dengan memilih yang terbaik dari tiap tambon untuk menerima predikat ‘’starred OTOP product’’.

Melalui OTOP produk-produk Thailand meroket dan menyerbu pasar global. Memang tidak semassal barang-barang asal Cina, karena yang dikirimkan keluar adalah seleksi dari produk-produk terbaik. Hasilnya, kendati kuantitas ekspornya terbatas, produk OTOP (dari kerajinan tradisional, pakaian katun dan sutra, tembikar, aksesoris fashion, peralatan rumah tangga, hingga makanan jadi) sangat diminati konsumen AS dan Eropa karena kualitasnya yang prima.

Di salah satu workshop tambon yang memproduksi kerajinan berbahan dasar bambu, saya ternganga-nganga karena produk yang dihasilkan kaum perempuan yang menjadi produsennya (umumnya mereka adalah ibu rumah tangga) lebih dari pantas disebut karya para master seni. Halus, berkualitas tinggi, dan sangat berkelas. Saya lebih ternganga lagi setelah diberitahu harga satu tas tangan wanita dari bambu itu hingga bilangan (dalam rupiah) puluhan juta, dengan antrian pemesan yang cukup panjang.

Konon, sukses perkuatan ekonomi lewat OTOP pula yang membuat Thailand termasuk salah satu negara yang sangat cepat berkelit dari krisis global pada 2008. Padahal, negara ini bukanlah satu-satunya di Asia Tenggara yang menerapkan konsep ini. Di Filipina, di bawah pemerintahan Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, digagas pula OTOP (dengan ‘’T’’ adalah ‘’town’’) pada 2002 yang diimplementasikan pada 2004.

OTOP di Filipina, yang saya lihat tiga tahun setelah dijalankan, tidak sesukses di Thailand.  Sekalipun anggaran OTOP tetap dikucurkan, Filipina—sebagaimana Indonesia—tidak jauh beranjak dari citra yang sudah melekat: sebagai salah satu negara papan atas pengirim tenaga kerja (disektor kerumahtanggaan) ke negara.

Apa rahasia OTOP hingga mampu mendongkrak ekonomi masyarakat Thailand? Jawabannya terletak pada tiga aspek fundamental yang diterapkan dengan disiplin tinggi oleh pemerintahan Thaksin dan komunitas penerima manfaatnya. Pertama, produk yang dihasilkan setiap tambon yang terlibat dalam program OTOP memang sangat dikuasai, lekat dengan keseharian, dan menjadi budaya produksi komunitas bersangkutan. Kedua, setiap keputusan yang berkaitan dengan OTOP harus melibatkan kesepakatan dari minimal 75% KK di komunitas penerima program. Dan ketiga, dana OTOP yang merupakan bantuan Pemerintah Thailand harus terus bertambah yang dibuktikan lewat rekening tambon.

Tuntutan kedisiplinan berkaitan dengan pengelolaan dana OTOP memang tidak ringan. Misalnya, di tahun pertama satu OTOP menerima bantuan 1 juta bath yang dikelola membiaya produksi yang diunggulkan, lalu di akhir tahun komunitas penerima manfaat berhasil menggembalikan dana ini dalam rekeningnya, maka Pemerintah Thailand akan memberikan lagi 1 juta bath. Dengan demikian, di tahun kedua, selain produksi dan penjualan produknya tetap berjalan, komunitas penerima manfaat memiliki 2 juta bath dana segar yang siap digunakan untuk penggembangan usaha.

Walau telah menjadi salah satu penggerak utama ekonomi negara, sejatinya OTOP bukanlah orisinal Thailand. Konsep ini adalah adopsi dari gerakan OVOP yang diinisiasi Gubernur Provinsi (prefecture) Oita, Jepang, Morihiko Hiramatsu, pada 1979. Berbeda dengan OTOP di Thailand yang bertujuan membangun ekonomi lokal, OVOP versi Oita dengan slogan ‘’Let’s work together on what we can do in the present condition’’ adalah untuk merevitalisasi komunitas berdasar apa yang mereka miliki. Perbedaan (penting) lainnya adalah, OTOP Thailand (juga Filipina dan—belakangan—Malawi sebagai hasil introduksi JICA) adalah gerakan nasional, sedang di Oita bersifat regional (provinsi).

Nah, dengan memahami OTOP dan OVOP di Thailand, Filipina, Malawi, dan induknya di Oita, di manakah konteks ‘’satu kampung satu produk’’ yang mendadak akan dijadikan program kerja Pemkot KK pada 2016? Sedang mimpi apakah Walikota dan jajarannya hingga tiba-tiba ingin menerapkan konsep (yang mereka kira jenius) ala OTOP-OVOP sebagaimana yang dikutip totabuan.co (http://totabuan.co/2015/09/inilah-empat-program-pemkot-kotamobagu-di-2016/)?

Menurut Walikota KK, Tatong Bara, SKSP yang digagas Pemkot sebagai program kerja 2016 itu adalah bagian dari empat program, masing-masing OVOP, Smart City, MEA , dan KSN. Maka peninglah saya (yang tak malu mengakui hanya punya tingkat pendidikan tepat di bawah pas) terhadap campur-aduknya yang teknis-praktis (SKSP atawa OVOP dan Smart City) dan yang konseptual (MEA dan KSN).

Terus-terang, rencana pembangunan KK di bawah kepemimpinan Walikota Tatong Bara-Wawali Jainuddin Damopolii, buat saya sungguh membingungkan. Dalam pandangan saya, visi ’Terwujudnya Kota Kotamobagu Sebagai Kota Model Jasa di Kawasan Bolaang Mongondow Raya Menuju Masyarakat Sejahtera Berbudaya dan Berdaya Saing’’ yang mereka usung sejak kampanye Pilwako, berjalan bagai orang mabuk. Tak jelas arah.

Baiklah, Smart City yang belakangan saya dengar masih ada kaitannya dengan ‘’Kota Model Jasa’’. Setidaknya, industri jasa memang membutuhkan apa yang berada dalam lingkup konsep ‘’smart city’’—walau harus dipertanyakan pula jasa apa yang akan dimodelkan di KK? Tapi apa urusannya dengan OVOP yang berbasis manufaktur, terlebih lagi MAE dan KSN? Sadar atau tidak, suka atau tidak, siap atau tidak, KK yang menjadi bagian dari Indonesia pasti dicakup oleh MAE. Akan halnya KSN, apanya yang ‘’strategis’’ yang dapat ditawarkan oleh KK?

Urusan Smart City, MEA, KSN, dan konsep-konsep ‘’wah’’ lain yang membuat pening kita parkir dulu. Kembali ke OVOP, apakah rencana memprogramkerjakan konsep ini sudah dipersiapkan dengan matang? Tidak tahu (dan sadarkah) Pemkot bahwa pada dasarnya di tempat-tempat di mana konsep ini cukup berhasil diterapkan, komunitas yang disasar pada dasarnya sudah memiliki modal awal yang kuat. Budaya dan etos kerja gigih di masyarakat Jepang atau entrepreneurship orang Thai.

Di atas semua modal masyarakat itu, ada pemimpin yang berkeinginan kuat, sungguh-sungguh, disiplin, dan mau terlibat langsung. Kecemerlangan OTOP tak lepas dari turun langsungnya PM Thaksin ke tambon-tambon dan Walikota Morihiko ke sentra-sentra produk yang digarap OVOP.

Modal dasar apa yang kini kita miliki di KK yang dapat menjadi pondasi pengembangan OVOP? Budaya, etos, kewirausahaan, atau semangat seperti apa yang belakangan menjadi fakta di kota ini, bahkan wilayah Mongondow secara keseluruhan? Saya tak berhak menjawab, karena memang buta tuli terhadap perencanaan yang telah disusun Pemkot KK berkenaan dengan OVOP, Smart City, MEA, dan KSN itu. Dengan berbaik sangka dan percaya bahwa sangat banyak orang pintai di jajaran Pemkot, mudah-mudahan program-program itu memang telah direncanakan matang hingga ke tingkat pengukuran kinerja dan capaiannya.

Namun, sebagai bagian dari masyarakat KK, saya pantas kuatir konsep-konsep hebat itu pada akhirnya cuma sedap di telinga. Tidak jauh berbeda dengan KUT zaman dulu, yang sejatinya adalah program menguatkan ekonomi masyarakat (petani). Faktanya, KUT terbukti hanya sukses ditamatkan sebagai ladang korupsi yang menyeret banyak orang ke pengadilan. Atau, yang terkini, Program Lipu’ Modarit Lipu’ Mosehat yang cuma meriah sesaat setelah dicanangkan. Setelah itu, Pembaca yang warga KK tentu bisa melihat dan menilai sendiri.

Karenanya, mohon saya dimaafkan bila jauh-jauh hari pesimis dengan program OVOP versi Pemkot KK. Saya hampir meyakini program ini bakal berakhir sekadar sebagai sesuatu yang tampak mentereng dan baru di kuping masyarakat. Walau, sebagai pengetahuan, setidaknya warga KK telah  terpapar informasi bahwa ada yang namanya OTOP dan OVOP, yang sukses diterapkan di luar sana.

Sebab itu, jika akhirnya OVOP yang digadang-gadang Walikota KK dan jajarannya ternyata cuma OMDO, kita mahfum saja. Memang sudah demikian tabiat ide, konsep, dan program yang digagas pemerintah yang lemah pikir, lemas kreativitas, dan malas bersungguh-sungguh.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AS: Amerika Serikat; ASEAN: The Association of Southeast Asian Nations; JICA: Japan International Cooperation Agency; KK: Kota Kotamobagu/Kepala Keluarga; KSN: Kawasan Strategis Nasional; KUT: Kredit Usaha Tani; MEA: Masyarakat Ekonomi Asean; OMDO: Omong Doang; OTOP: One Tambon One Product/One Town One Product; OVOP:  One Village One Product; Pemkot: Pemerintah Kota; PM: Perdana Menteri; dan SKSP: Satu Kampung Satu Produk.

Friday, September 11, 2015

Wartawan Pesanan, Wartawan Cengeng

KETUA DPRD yang juga Cabup Boltim 2016-2021, Sam Sachrul Mamonto, memicu reaksi wartawan karena pernyataannya dianggap menyinggung para pewarta. Dalam rapat bersama DPRD Boltim dan TAPD, Selasa (8 September 2015), sebagaimana yang dikutip Totabuanews, dia mengatakan, ‘’Saya tahu wartawan Boltim banyak yang tidak independen. Berita selama ini banyak yang miring sebelah.’’

Akibat pernyataan itu, media—terutama yang berbasis online—menulis dengan menggunakan frasa ‘’opini’’. Totabuanews (http://totabuanews.com/2015/09/sejumlah-wartawan-kecam-pernyataan-sachrul-mamonto/),  misalnya, memulai pemberitaannya dengan kalimat, ‘’Sikap kurang menyenangkan kembali dipertontonkan Ketua DPRD Boltim….’’ Dengan ujian sederhana, semacam pertanyaan ‘’Kurang menyenangkan untuk siapa?’’, dapat dibuktikan bahwa kalimat pembuka berita Sejumlah Wartawan ‘Kecam’ Pernyataan Sachrul Mamonto itu adalah opini jurnalisnya.

Di hari yang sama, di bagian wilayah Mongondow yang lain, wartawan Kompas TV, Rahman Rahim, ditegur (keras) karena mengambil gambar di Polres Bolmong. Media—lagi-lagi yang berbasis online—, misalnya totabuan.co (http://totabuan.co/2015/09/oknum-anggota-polres-bolmong-lecehkan-wartawan-kompas-tv/) menulis dengan ‘’ideologi’’ seterang matahari kemarau di siang bolong yang diwakili dengan kalimat, ‘’Sikap oknum anggota polisi yang bertugas di Polres Bolaang Mongondow dinilai melecehkan profesi wartawan. Rahman Rahim wartawan Kompas tv diusir dengan alasan tidak melapor ke bagian humas.’’

Apanya wartawan Kompas TV yang dilecehkan? Di tubuh berita yang diunggah totabuan.co saya tidak menemukan fakta, penjelasan, atau diskripsi tegas bahwa ‘’yang mulia Rahman Rahim’’ (wartawan Kompas TV dan karenanya hebat betul) dilecehkan dan diusir. Totabuan.co hanya menggambarkan dia ditegur dengan suara keras oleh polisi yang sedang bertugas (piket).

Dua peristiwa yang berkaitan dengan wartawan itu, terus-terang, mengusik sikap saya, baik terhadap profesi pewarta, pejabat publik (Ketua DPRD Boltim), dan pelayan umum (polisi), serta sikap adil sebagaimana yang diatur dan diagungkan oleh kode etik dan kode profesional jurnalistik. Ada yang bengkok dan merisaukan dari dua isu itu. Sesuatu yang mendesak diurunrembukkan sebelum wartawan (dalam sebutan lain ‘’pewarta’’ atau ‘’jurnalis’’) di Mongondow menjadi tiran sendiri yang menakar baik-buruk, benar-salah, lurus-bengkok, semata dari selera, kepentingan, dan keterbatasan pengetahuan mereka sendiri.

Mari kita telisik adab, laku, dan produk yang dihasilkan umumnya wartawan di Bolmong dengan bercermin dari dua peristiwa yang terjadi berturut itu. Pertama, mengapa pernyataan Ketua DPRD Boltim menjadi ‘’sesuatu’’ yang mengundang reaksi keras, bahkan mesti ditulis tersendiri, sembari para jurnalis tampaknya mengabaikan hal yang lebih subtansial: apa yang dihasilkan DPRD dan TAPD dari rapat yang mereka selenggarakan. Yang ingin saya katakan, karena memiliki kekuatan untuk mempengaruhi publik, saat ‘’merasa kepentingannya dikritik’’, sejumlah wartawan (di Bolmong) melepeh pondasi profesinya sendiri: fakta.

Apakah yang dinyatakan oleh Ketua DPRD Boltim tidak memiliki landasan fakta yang kuat? Apakah dugaan bahwa ‘’ada wartawan di Boltim yang tidak independen’’ itu sekadar fitnah atau kegenitannya menarik perhatian para pewarta supaya dikutip di media tempat mereka bekerja? Apakah kalimat-kalimat Ketua DPRD yang membuat ego sejumlah jurnalis di Boltim terluka itu semata berlatar hubungan buruknya—sebagaimana yang juga dispekulasi oleh media—dengan Kabag Humas Pemkab Boltim?

Tidak perlu kecerdasan lebih, penelitian saksama, atau analisis rumit untuk mengatakan bahwa ‘’ketidakindependenan’’ memang sudah menjadi tabiat wartawan di Mongondow, tidak hanya di Boltim. Jika ada pewarta yang keberatan terhadap pernyataan ini, saya sungguh senang berhadapan langsung, dan menyumpal mulut yang bersangkutan dengan aneka sampah yang bertaburan di media-media di Mongondow, yang selama ini diklaim sebagai ‘’produk jurnalistik’’.

Pernyataan terbuka, apa adanya, dan berlatar fakta dari seorang Ketua DPRD Boltim bisa membuat serombongan wartawan gatal-gatal dan marah; sementara praktek jurnalisme berbayar (cash, koran, atau iklan) yang dipelopori kelompok Harian Manado Post dibiarkan lalu-lalang di depan mata? Inikah substansi dan esensi jurnalistik: merekam, menguji, serta menakar dengan adil dan seimbang sebuah fakta, kejadian, peristiwa, fenomena, atau bahkan sekadar wacana, kemudian menyajikan ke hadapan publik?

Berhubung profesi jurnalis menuntut syarat berat, termasuk kecerdasan memadai, saya serahkan jawabannya pada para wartawan (di Bolmong khususnya) sendiri.

Akan halnya Ketua DPRD Boltim, dengan sangat menyesal saya harus mengatakan, sebagai politikus yang sedang mencari perhatian berkenaan dengan Pilkada Desember 2015 mendatang, pernyataan yang mengundang reaksi (berlebihan) itu lebih dari sekadar terpeleset. Dia seperti mulai membebek saingannya, Cabup yang juga petahana Bupati Boltim, Sehan Landjar, yang kian senang menciptakan masalah (untuk diri sendiri) lewat pernyataan-pernyataan yang kerap kurang pikir, kurang kontrol, dan emosional semata.

Apa yang diharapkan dari para politikus, pemimpin publik, atau baru sekadar kandidat Bupati yang  pernyataannya kerap kurang pikir, kurang kontrol, dan emosional, kecuali tontonan yang mirip kompetisi beo bicara? Orang banyak tidak mendapatkan pelajaran, apalagi faedah, kecuali kegaduhan yang tak perlu di media.

Sam Sachrul Mamonto barangkali perlu belajar lebih keras bagaimana menangkap ikan tanpa membuat air keruh; menarik rambut tanpa menjadikan tepung berantakan; mengkritik tanpa menimbulkan perlawanan; dan meraup suara konstituen tanpa memaksakan kehendak. Dengan demikian, sebagai pemimpin publik—yang punya peluang lebih 55% terpilih sebagai Bupati Boltim 2016-2021—dia tidak gagal di ujian sesepele cara berkomunikasi dan membangun hubungan dengan wartawan dan media.

Kedua, di peristiwa yang dilabeli sebagai ‘’pelecehan terhadap wartawan’’ oleh petugas piket di Polres Bolmong, menurut hemat saya, adalah manipulasi dan framing murahan. Memangnya dengan mengantongi kartu pers, mengaku wartawan, dan menenteng kamera, Anda lalu boleh melakukan apa saja tanpa batasan sama sekali? Diperintahkan untuk melapor ke Kabag Humas Polres Bolmong saat mengambil gambar, walau dengan bentakan sekali pun, tidak serta-merta berarti penghalangan terhadap pewarta yang sedang menjalankan profesinya.

Polisi memang sering over acting. Dan ini sudah menjadi pengetahuan umum. Demikian pula dengan persepsi yang ada di benak publik, bahwa wartawan adalah  mereka yang ‘’seolah-olah’’ punya hak istimewa untuk berlaku sesukanya tanpa boleh ditegur atau diingatkan. Termasuk, misalnya, mengendarai kendaraan tanpa SIM dan bersiasat dengan kartu pers saat kepergok razia.

Menjadikan sekadar bentakan petugas piket terhadap wartawan Kompas TV sebagai isu besar, bahkan didorong kearah ‘’dugaan’’ pelecehan dan penghalangan kerja jurnalis, cuma kecengengan yang mengada-ada. Kalau di hadapan pernyataan Ketua DPRD Boltim sebagian besar pewarta di Mongondow tampak superior, mengapa sekadar bentakan seorang petugas piket (yang barangkali seorang polisi muda yang baru lulus pendidikan) sudah menciutkan nyali hingga perlu diberitakan agar seluruh dunia tahu dan memberikan dukungan?

Setiap profesi punya tanggung jawab, kewajiban, hak, fakta, dan risikonya sendiri. Sedemikian pula dengan jurnalis, yang –terutama—hak profesionalnya tidak lebih tinggi dari profesi yang lain. Kalau para wartawan di Bolmong umumnya menutup mata dari keniscayaan ini, saran saya: Mengapa tidak sekalian saja Anda-anda mengaku sebagai malaikat, nabi, atau orang suci?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Humas: Hubungan Masyarakat; Kabag: Kepala Bagian; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pilkada: Pemilihan Kepala daerah; Polres: Kepolisian Resor; SIM: Surat Izin Mengemudi; TAPD: Tim Anggaran Pemerintah Daerah; dan TV: Televisi.

Thursday, July 30, 2015

Pilkada Boltim: Cuma Kompetisi Politisi KW2

‘’DRAMA’’ pendaftaran Cabup-Wabup Boltim, Selasa, 28 Juli 2015, berakhir anti klimaks. Petahana, Sehan Landjar, berpasangan dengan Cawabup Rusdi Gumalangit, yang diusung PAN, Hanura, Gerindra, PD, PKB, serta PKS dan Sam Sachrul Mamonto-Medi Lensun yang digadang PDIP bersama Nasdem, hingga pukul 16.00 Wita (batas waktu yang ditetapkan KPU Boltim) urung mendaftar.

Tanpa kandidat yang mengajukan diri, Pilkada Boltim—yang merupakan bagian dari Pilkada serentak 2015—patut dicatat sebagai prestasi nasional karena cuma setara ‘’cakar-cakaran murid TK memperebutkan bangku di ruang kelas’’. Apalagi, berhari-hari sebelumnya masyarakat tak henti dibombardi sesumbar salah satu pasang kandidat yang merasa paling siap. Pula, di hari terakhir—dari tiga hari pendaftaran yang dibuka KPU Boltim—, orang banyak begah disuguhi tontonan dan konvoi massa pendukung para kandidat.

Apa yang terjadi? Mengapa Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit yang mengusung tagline SERIUS—ihwal slogan ini, ada yang mengirimkan BBM ke saya, bahwa yang lebih menggigit harusnya SEBE RUGI, akronim ‘’Sehan Bersama Rusdi Gumalangit’’—dan Sachrul Mamonto-Medi Lensun (SMILE) membatalkan proses pendaftaran mereka?

Berbagai informasi yang berhamburan, terutama yang disajikan media massa pada Rabu, 29 Juli 2015, penuh spekulasi, duga-duga, dan kilahan. Spekulasi dan duga-duga yang paling menonjol adalah, dua pasang kandidat yang ‘’katanya’’ sudah mengantongi SK dari Parpol pendukung, saling menunggu siapa yang mulai menjalan batu caturnya. Akan halnya kilahan, dari kubu SERIUS, mengutip Ketua Tim Pemenangan, Yusra Alhabsi, Harian Radar Bolmong (SMILE dan SERIUS Takut Mendaftar) menulis masalahnya terletak dokumen pencalonan yang masih harus dilengkapi. Dari pihak SMILE, Sachrul Mamonto beralasan, karena tidak ada pasangan calon lain, mereka menunda pendaftarannya sebab toh tetap ada kesempatan di babak kedua.

Saya memilih mengabaikan berbagai informasi yang berkesiuran itu. Faktanya jelas: ada dua pasang Cabup-Cawabup di Boltim yang terang-terangan berkompetisi dengan cara yang kekanak-kanakkan. Kalau yang dimainkan adalah strategi dan taktik politik, maka mereka secara terbuka menunjukkan ketidakhormatan dan meremehkan Parpol pengusung serta kecerdasan konstituen Pilkada yang pantas tersinggung, sebab ternyata cuma dibuai omong-kosong akrobat perebutan kursi kekuasaan.

Pasangan SERIUS yang beralasan masih melengkapi dokumen pendaftaran, seperti dengan suka rela mengakui mereka tidak didukung persiapan terencana dan solid. Bahwa pasangan ini lebih mendahulukan perburuan SK dukungan Parpol dan menganggap enteng dokumen-dokumen persyaratan yang lain. Syak yang lain: Jangan-jangan dukungan yang dikantongi belum memadai?

Kalau pun dukungan telah memadai, menunda pendaftaran yang sebelumnya sudah digembar-gemborkan, tak beda dengan melecehkan Parpol yang telah men-SK-kan mereka. Tanpa dikatakan pun, orang yang memahami praktik politik praktis tahu persis, salah satu syarat Parpol mengeluarkan SK dukungan adalah kesiapan prima kandidat yang rekomendasikan. Dokumen pendaftaran belum lengkap? Alasan macam apa ini? Kemana saja dan apa yang dilakukan kandidat dan rombongan gentong nasi Tim Pemenangannya selama ini?

Syukurlah umumnya Parpol memang masih dikelola acak-acakkan, jauh dari manajemen politik yang berharga diri dan berintegritas. Di tempat-tempat dengan praktik politik yang lebih dewasa dan tegas, dukungan Parpol terhadap kandidat yang mendadak tidak siap, pasti segera ditarik. Tidak ada faedahnya mengusung politikus yang tidak punya kemampuan paling mendasar dalam manajemen kepemimpinan: menyiapkan diri sendiri.

Sama dengan bercapek-capeknya Sachrul Mamonto seharian di KPU Boltim menunggu mendampingi SERIUS mendaftarkan diri, sebab dia adalah Ketua PAN Boltim yang menjadi jangkar pendukung pasangan ini. Apa pesan dan pelajaran yang patut dipetik publik dari tingkah pahlawan kesiangan ini? Sachrul ingin menunjukkan jiwa besar? Moralitas, etika, dan integritas politik? Atau sekadar mengolok-olok SERIUS yang sukses merampas rekomendasi dan SK DPP PAN dari tangannya?

Saya harus minta maaf pada Sachrul (saya akui, dia adalah salah satu sahabat yang tetap karib dan penuh hormat walau sudah berada di posisi elit politik dan publik), tetapi kehadirannya di KPU Boltim menunggu mendampingi pendaftaran pencalonan SERIUS adalah puncak pelecahan terhadap diri sendiri. PAN sudah melepeh dia. Kinerja politiknya yang kinclong—fraksi utuh dan jabatan Ketua DPRD Boltim—, yang seharusnya menghasilkan kepercayaan penuh DPP PAN, justru dinafikan dengan rekomendasi dan SK untuk SERIUS. Ditambah lagi, bila PAN masih Parpol yang punya harga diri, integritas, sistem, dan manajemen yang tertata, dia seharusnya terkena sanksi serius karena mbalelo dengan bersikukuh mencalonkan diri melawan kandidat partainya.

Jadi, apa yang kau cari dan ingin buktikan lagi, Sachrul? Kenyataan politik (praktis) memang pahit. Jauh dari romantisme kepahlawan hitam-putih yang suka digambarkan film-film Hollywood. Bersikap bagai domba tak berdosa di tengah para buaya, sama dengan menunggu lampu merah menyala, tengah malam buta, di jalan di jantung gurun terpencil di mana kendaraan yang lewat seharian dapat di hitung dengan jari tangan, sebelum menyeberang. Tindakan ini tidak salah. Sangat benar dan heroik, sekaligus bodoh tak ketulungan.

Kembali pada penundaan pendaftaran, alasan SMILE pun sama tidak bermutunya. Mengetahui, memahami, menganalisis, dan menetapkan strategi memenangkan Pilkada adalah proses yang kompleks dan komprehensif, dengan menitikberatkan pada pencapaian keunggulan-keunggulan dibanding pesaing. Maka pesaing memang menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan. Tetapi dengan meletakkan faktor ini menjadi yang paling utama, SMILE justru mengorbankan keuntungan terpenting dari proses perebutan fokus perhatian para pemilih: kepastian terhadap pilihan.

SMILE dan tim pemenangannya tampaknya terlalu masyuk mematut kepentingan mereka serta mencermati langkah-langkah SERIUS yang dipersepsikan sebagai pesaing terkuatnya. Mereka mengabaikan perkembangan politik lebih luas, terutama wacana dan perdebatan berkaitan dengan alternatif konstitusional bila ada daerah yang ternyata hanya punya satu pasang calon dalam Pilkada serentak 2015.

Dengan tetap mendaftar dan menjadi calon tunggal, sekali pun Pilkada ditunda, SMILE tak kehilangan nilai tambah. ‘’Panggung’’ Sachrul Mamonto sebagai Ketua DPRD Boltim (sebab tahapan Pilkada berhenti, maka proses mundurnya di DPRD juga boleh dong dihentikan) tidak terganggu, sementara Sehan Landjar yang masa jabatan Bupati-nya segera berakhir, harus bekerja keras berlipat-lipat agar tetap ada di benak para pemilih. Keunggulan lain yang juga diluputkan adalah ide yang kini berkembang, bahwa Pilkada tetap dilaksanakan dan pasangan tunggal yang terdaftar bertarung melawan kotak kosong; atau bahkan cukup dibawa ke Sidang Paripurna DPRD dan disahkan.

Itu sebabnya, batalnya SERIUS dan SMILE mendaftar di hari terakhir pendaftaran Cabup-Cawabup di Pilkada Boltim, bukan sekadar sebuah titik balik proses politik. Peristiwa ini menjadi krusial sebagai penakar kualitas kepemimpinan dua pasangan calon pemimpin Boltim 2016-2021. Sedihnya, mereka sama-sama mengecewakan. Sama-sama tak memiliki kualitas terpenting yang mutlak dimiliki setiap pemimpin publik: kemampuan manajemen, merumuskan strategi, dan keberanian mengambil risiko.

Apa yang mereka pertontonkan menunjukkan, SERIUS dan SMILE tidak sedang mempraktekkan politik yang berpihak dan mengindahkan kepentingan umum. Yang mereka deder di depan umum adalah politicking. Kamus daring MacMillan (http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/politicking) mendefinisikan politicking sebagai: ‘’political activity by someone who is only interested in doing things for their own advantage, not in helping other people’’. Relakah masyarakat Boltim memilih pemimpin egois yang hanya mengedepankan kepentingan mereka di atas hajat hidup orang banyak?

Menurut saya, tanpa kemampuan manajemen, merumuskan strategi, dan keberanian mengambil risiko, SERIUS dan SMILE hanya punya modal minim: keinginan dan ambisi meraih jabatan politik dan publik tertinggi di Boltim. Artinya, mereka hanya seperempat pemimpin. Celakanya, bahkan pemimpin dengan bekal yang utuh belum tentu mampu berkontribusi maksimal bagi kesejahteraan dan kemaslahatan yang dipimpin, apalagi politikus yang hanya sejenis KW2?

Saya sungguh bersimpati dan berempati terhadap Boltim dan masyarakatnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KW: Istilah untuk menunjukkan kualitas barang. Tingkatannya mulai dari Ori (untuk menunjukkan produk asli), KW Super (hampir sepurna seperti produk asli), KW1 (mendekati produk asli), KW2 (mirip produk asli), dan seterusnya: Nasdem: Nasional Demokrat; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; PKS: Partai Keadilan Sejahtera; SK: Surat Keputusan; TK: Taman Kanak-kanak; dan Wita: Waktu Indonesia Tengah.