Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, January 17, 2015

Kebijakan T*# Sapi di Pemkab Boltim

BERULANG kali saya menyimak berita 3 Komisioner Panwaslu Terganjal Izin Bupati yang diunggah situs Radar Bolmong (http://radarbolmongonline.com/2015/01/3-komisioner-panwaslu-terganjal-izin-bupati/), Kamis, 15 Januari 2015. Berita ini menyebutkan, tiga komisioner Panwaslu terpilih yang berstatus CPNS dan PNS, masing-masing satu dari Boltim dan dua berasal dari Bolsel, hampir dipastikan tak akan dilantik.

Bupati Bolsel, Herson Mayulu, dan Sekda, Tahlis Galang, tegas menyatakan tidak memberikan izin karena Pemkab sangat membutuhkan tenaga mereka sebagai PNS. Saya mengapresiasi ketegasan Bupati dan Sekda ini, terlebih mereka tidak tebang pilih. Alasan yang dikemukakan pun konsisten.

Sebaliknya, komisioner Panwaslu yang lolos dari Boltim (di urutan teratas pula), mengutip Kepala BKD, Darwis Lasabuda, tidak diizinkan karena karena dua alasan. Pertama, yang bersangkutan masih berstatus CPNS yang sebentar lagi harus pengikuti pra jabatan. Dan kedua, tenaganya sebagai guru agama masih sangat dibutuhkan karena kabupaten ini kekurangan tenaga guru.

Darah saya langsung mendidih membaca pernyataan itu. Adalah hak Pemkab Boltim, terutama Bupati Sehan Lanjar, untuk mengizinkan atau tidak seorang CPNS atau PNS menduduki jabatan publik. Tetapi, kebijakan itu selayaknya berlaku umum dan adil. Bukan karena alasan bodoh yang terkesan dikais-kais sembarangan, yang semata dimaksudkan untuk menjegal prestasi seseorang.

Saya tidak akan menutup-nutupi bahwa saya mengenal dekat Ramadan Mamange, bahkan sejak dia duduk di PT. Dia adalah aktivis IMM—mantan sekretaris organisasi ini di Sulut—yang dikenal santun dan punya track record baik. Dia yang bertahun-tahun bermukim dan bekerja sama dengan warga Buyat (dan menikah dengan salah satu warganya), mengikuti ujian CPNS di Boltim tanpa backing atau hocus-pocus dan lolos dengan nilai yang lebih dari memadai.

Di seleksi Panwaslu Boltim, sejauh yang saya ikuti, dia benar-benar mengandalkan pengetahuan dan kompetensi yang dimiliki. Tidak ada tokoh yang terang-terangnya mensponsori, bergerilya, dan menyebar pengaruh agar Ramadan terpilih. Hasilnya, dia lolos sebagai komisioner Panwaslu Boltim di urutan pertama.

Apa yang mengancam dari seorang Ramadan Mamange hingga kemudian izin yang sebelumnya sudah dia kantongi dianulir? Rumor yang berdatangan di telepon saya mengatakan, dia harus disingkirkan demi meloloskan calon komisioner yang berada di urutan keempat, yang tak lain dan bukan berstatus PNS di Pemkab Bolmong.

Terus-terang, sukar bagi saya memahami isi kepala para elit di Pemkab Boltim yang menjegal Ramadan. Bukankah prestasinya, yang bahkan masih berstatus CPNS, pantas membuat bangga Bupati dan jajarannya? Yang paling sederhana, capaiannya menunjukkan Pemkab Boltim tidak salah pilih CPNS-nya. Bupati pun boleh sesumbar, bahwa dia memiliki kader birokrat yang berkualitas dan multi talenta. Yang mampu menjadi anggota lembaga negara sekali pun berstatus CPNS. Dan—yang tak kurang pentingnya—sebagai petahana di Pilkada 2015 ini, Bupati patut merasa aman dan nyaman karena ada birokratnya yang duduk di Panwaslu.

Menukar Ramadan dengan PNS dari Pemkab Bolmong justru menunjukkan Bupati Boltim sebenarnya tidak punya visi jelas berkenaan dengan pengembangan pengetahuan dan kompetensi birokrat di wilayahnya. Dia lebih mementingkan ‘’orang lain’’ ketimbang ‘’orang dalam rumah sendiri’’—yang selama ini dengan gigih dia tuntut punya loyalitas sepenuh hati terhadap Boltim. Lebih jauh lagi, Bupati bahkan menghianati semangat mendorong para birokrat berprestasi setinggi-tinggi, sekreatif-kreatif, dan semaksimal mungkin, yang selama ini dia kumandangkan di mana-mana.

Sebagai pribadi, dengan penuh hormat dan sayang, saya ingin mengingatkan Bupati Boltim: Eyang, bukankah Anda selalu dengan haru menceritakan bagaimana dengan susah-payah meniti karir politik dari bawah, nyaris dengan dengkul dan siku sendiri? Tidakkah Anda melihat Ramadan Mamange, seorang CPNS tanpa backing dan bukan keluarga siapa-siapa, sedang menapaki jejak yang pernah Anda lalui?

Kepada Kepala BKD Boltim yang gagah (lengkap dengan ancaman) berkilah perihal penganuliran izin yang sudah dikantongi Ramadan, saya ingin mendebat dua alasan yang dia kemukakan. Pertama, pra jabatan hanya berlangsung satu bulan. Ketika seorang CPNS mengikuti pra jabatan, dia harus meninggalkan pekerjaan. Masuk kelas dari pagi hingga petang dan di malam hari begadang menyelesaikan tugas. Dengan kata lain, sebulan penuh dia tak bakal menyentuh pekerjaan rutinnya.

Pertayaannya: Apakah ada UU dan turunannya yang berpotensi dilanggar kalau Ramadan yang CPNS dilantik sebagai komisioner Panwaslu dan harus meninggalkan pekerjaannya selama satu bulan untuk pra jabatan? Kepala BKD Boltim, bila besok-besok mau beralasan lagi, tolong cari yang lebih cerdas dan menunjukkan bahwa Anda diangkat di jabatan yang kini disandang bukan karena pintar menjilat bokong atasan, tetapi sebab memang punya isi kepala dan kompeten.

Kedua, kekurangan tenaga guru (bukan hanya guru agama) tak hanya terjadi di Boltim, melainkan di seluruh Indonesia. Kalau karena tenaga Ramadan yang lolos CPNS di formasi guru agama masih dibutuhkan, bagaimana dengan seorang guru yang sekarang duduk sebagai komisioner KPU Boltim? Mengapa di jajaran komisioner Panwaslu Boltim yang masih aktif juga ada yang berstatus guru? Serta, bagaimana pula dengan sejumlah guru yang kini duduk di jabatan struktural (bukan di Dinas Pedidikan) di Pemkab Boltim?

Omongan elit birokrasi yang tak beda dengan kentut memang menjengkelkan. Apalagi kalau yang dikatakan cuma membuktikan fakta praktek standar ganda di Pemkab Boltim yang mengabaikan keadilan dan perlakuan yang sama terhadap para birokratnya. Tetapi, saya kira rekam jejak Kepala BKD Boltim sudah menunjukkan seperti apa reputasi dan integritasnya. Rekam jejak itu pula yang membuat saya heran mengapa dia masih didudukkan sebagai Kepala BKD.

Penjegalan terhadap Ramadan Mamange jelas adalah tindakan yang sepenuhnya kesemena-menaan rezim yang tengah berkuasa. Apa boleh buat, demikianlah kekuasaan, terlebih yang tidak terkontrol, merasa paling benar, dan selalu mau menang sendiri.

Saya bersimpati dan berempati pada Ramadan. Bila pada akhirnya dia tak dikukuhkan sebagai salah seorang komisioner Panwaslu Boltim, saya cuma punya nasehat: Berlapang dadalah. Tapi, satu saat ketika Anda punya kekuasaan, selalulah berpikir dan berlaku adillah. Setidaknya dengan demikian tidur akan nyenyak dengan pikiran dan dada tak sesak.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BKD: Badan Kepegawaian Daerah; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; CPNS: Calon Pegawai Negeri Sipil; IMM: Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilihan Umum; Pemkab: pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai negeri Sipil; PT: Perguruan Tinggi; dan Sekda: Sekretaris Daerah.

Salihi Mokodongan dan Alasan ‘’Cemen’’ Politik

CABUP PAN Bolmong di Pilbub (serentak) 2015 akan ditentukan lewat survei. Menurut Sekretaris PAN Bolmong yang juga Wakil Ketua DPRD, Kamran Muchtar, meski Bupati saat ini, Salihi Mokodongan, berstatus petahana, partainya punya mekanisme yang wajib dilakukan pada semua kader. Artinya, Bupati Salihi akan diuji (lagi) lewat survei bersama kader atau calon lain yang berkeinginan diusung lewat PAN.

Kita semua sudah mahfum, masa jabatan Bupati-Wabup Bolmong, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, semestinya berakhir 2016 mendatang. Tapi karena perkembangan politik terkini, terutama berkaitan dengan Perppu Pilkada yang masih dalam pembahasan, penggantian kepemimpinan eksekutif di Bolmong akan dimajukan bersama Pilkada serentak pada 2015. Bila diundur, Pilkada serentak berikut masih terlalu jauh, sebab rencananya dilaksanakan pada 2018.

Sepintas saya membaca pernyataan Kamran, yang dibenarkan Ketua DPW PAN Sulut, Tatong Bara, di situs Radar Bolmong, Jumat 9 Januari 2015 (http://radarbolmongonline.com/2015/01/pan-belum-yakin-usung-salihi/). Semestinya apa yang disampaikan Sekretaris PAN Bolmong itu normatif belaka. Sekadar komunikasi politik dengan konstituen, lebih khusus para kader dan simpatisan PAN, supaya mereka tak lupa pada mekanisme yang dilembagakan di lingkungan partainya.

Tetapi bukankah setiap pernyataan politik mengandung pesan, sebagaimana adab para politikus? Politikus yang sekadar buka mulut agar dianggap punya suara di tengah orang banyak, hanya pantas disejajarkan dengan mereka yang tengah terujung dan asyik memuaskan diri sendiri.

Apa pesan di balik pernyataan Sekretaris PAN Bolmong dan Ketua DPW PAN Sulut?

Ada baiknya terlebih dahulu kita segarkan ingatan ihwal melesatnya Salihi—seorang pengusaha perikanan yang merangkak dari bawah hingga memiliki armada penangkap ikan—ke kursi Bupati Bolmong 2011-2016. Dia sesungguhnya adalah kader PG, yang di Pemilu 2009 lebih memilih mendukung kader PAN, Yasti Soepredjo Mokoagow, ke kursi DPR RI. Terbukti Yasti terpilih menjadi anggota DPR RI 2009-2014, dengan mencatat kemenangan besar di wilayah di mana Salihi punya pengaruh sosial-ekonomi kuat.

Terpilihnya Yasti menginspirasi sejumlah orang yang melihat, jika dikemas dan menej dengan baik, pengaruh sosial-ekonomi Salihi adalah asset politik sangat bernilai. Dia punya nilai kompetitif di pasar politik, terutama di jabatan-jabatan publik. PAN, PDIP, PKS, dan PDS yang kemudian mencalonkan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk di Pilkada Bolmong 2011 tak salah. Pasangan ini memang terpilih sebagai Bupati-Wabup Bolmong.

Begitu terpilih sebagai Bupati Bolmong, bulan madu politik Salihi dan PAN, khususnya beberapa elit partai ini di Sulut, berlanjut dengan didaulatnya dia memimpin PAN Bolmong. Dalam waktu singkat, Salihi yang sebelumnya masih tercatat sebagai kader—bahkan pengurus—PG, pindah haluan menjadi Ketua DPD PAN Bolmong.

Selalu ada akhir dari setiap bulan madu, apalagi kalau urusannya berkaitan dengan kompetensi politik dan kepemimpinan. Saya yakin, bila jajaran elit PAN Sulut cukup jujur, mereka pasti mengakui pilihan mendudukkan Salihi sebagai Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong, bukanlah langkah yang memikirkan politik sebagai strategi jangka panjang.

Sebagai aset politik, saya tetap berkeyakinan Salihi punya nilai sangat tinggi. Tapi sebagai pejabat publik maupun tokoh nomor satu partai di daerahnya, sejauh ini saya tidak melihat ada tindakan—apalagi prestasi—yang layak direken. Jika audit BPK dijadikan salah satu tolok-ukur penting, maka rapor Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016 lebih banyak merahnya dibanding hijau. Demikian pula, bila kepemimpinannya di PAN Bolmong ditakar melalui peroleh kursi di DPRD, Salihi pasti tak berprestasi. Bandingkan dengan PDIP yang ikut mengusung dia, yang di Pemilu 2014 berhasil meraih delapan kursi.

Di bawah kepemimpinan Bupati Salihi Mokodongan (dan Wabup Yani Tuuk), pemerintah di Bolmong adalah lelucon besar. Bupatinya gemar menggertak, sementara jajaran birokrasinya nir-disiplin dan cuma rajin tipu-tipu serta bertingkah lebih lucu dari badut.

Masalahnya, politik punya logika sendiri yang kerap tak memperdulikan fakta-fakta logis dan rasional. Rumor terkini yang lalu-lalang, yang menyebutkan bahwa jajaran birokrasi di Pemkab Bolmong memberikan dukungan penuh keberlanjutan kepemimpinan Salihi ke periode kedua, misalnya, menurut hemat saya boleh jadi bukan isapan jempol. Bagi birokrasi yang nyaman di bawah kepemimpinan yang tidak memanfaatkan kekuasaannya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melestarikan kondisi itu. Di mana lagi ada daerah yang PNS-nya boleh berbuat sekena hati tanpa sanksi jelas kecuali di Bolmong?

Dengan fakta telanjang seperti itu, pernyataan Sekretaris PAN Bolmong—yang didukung Ketua DPW PAN Sulut—sungguh menggelikan. Buat saya, Kamran sedang memperlakukan seolah-olah seluruh orang Mongondow, khususnya kader dan simpatisan PAN, cuma orang-orangan sawah pengusir burung pipit. Juga, secara implisit dia sedang mengecilkan (saya sesungguhnya ingin menggunakan kata ‘’menyepelekan’’) Salihi.

Kamran yang sekretaris PAN dan Wakil Ketua DPRD Bolmong—juga elit partainya yang lain—mesti diingatkan: Salihi adalah Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong saat ini. Untuk apa dia meduduki dua jabatan politik pretisius itu kalau partainya sendiri masih harus mensurvei apakah dia masih pantas atau tidak dicalonkan di periode kedua? Kalau Kamran menggunakan sedikit saja kapasitas otaknya untuk berpikir, mensurvei Salihi Mokodongan sama dengan mengakui kegagalan partainya dan—yang tak kurang penting—menghinakan Salihi.

Kalau dulu Salihi pantas dicalonkan sebagai Bupati dan bahkan dipilih menjadi Ketua DPD PAN Bolmong, mengapa sekarang dia mesti dipertimbangkan (lagi) dengan mekanisme partai? Apa istimewanya dia menjadi Bupati yang juga ketua partai? Kecuali, bahwa PAN memang mengakui tindakan politik mereka mendudukkan Salihi sebagai Bupati dan Ketua DPD PAN Bolmong adalah kesalahan besar yang harus dikoreksi dengan alasan ‘’cemen’’ mekanisme partai.

Para politikus, berhentilah berasumsi orang banyak di sekitar Anda adalah orang-orang yang bodoh dan tak paham politik. Alangkah lebih elegan, etis, dan bertanggung jawab bila PAN—Bolmong dan Sulut—tegas menyatakan akan atau tidak (lagi) mencalonkan Salihi. Akan mencalonkan (lagi) karena dia Bupati petahana dan ketua DPD PAN Bolmong dengan prestasi yang layak dan teruji. Tidak (lagi) karena memang dia adalah pilihan yang ternyata gagal.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BPK: Badan Pemeriksa Keuangan; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; DPD: Dewan Pimpinan Daerah; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPR RI: Dewan perwakilan Rakyat Republik Indonesia; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; PAN: Partai Amant Nasional; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PDS: Partai Damai Sejahtera; Pemilu: Pemilihan Umum; Pemkab: pemerintah Kabupaten; Perppu: Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilbub: Pemilihan Bupati (dan Wabup); PKS: Partai Keadilan Sejahtera; PNS: Pengawai Negeri Sipil; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wabup: Wakil Bupati.

Saturday, January 10, 2015

Penyiksaan Tersangka, Drama Kapolres, dan Politikus Sinetron

DUA peristiwa (kematian) yang saling terkait mengguncang Bolmong Raya.

Kanit Lantas Polsek Kaidipang, Aiptu Joko Siswanto, tewas akibat tikaman pisau yang dihujamkan tersangka pelaku, RD, Minggu (4 Januari 2015). Selang sehari, Senin (5 Januari 2015), RD merenggang nyawa di tahanan Polres Bolmong dalam kondisi menggenaskan. Adiknya, ZD, yang turut menjadi tersangka digotong ke RS Datoe Binangkang—kemudian dirujuk ke RS Bhayangkara Manado—(http://totabuan.co/2015/01/orang-tua-rival-siap-tuntut-polres-bolmong/) dalam kondisi luluh-lantak.

Pembaca, kita tidak sedang menonton drama atau sinetron haru-biru yang belum bosan menghiasi layar teve negeri ini. Serangkaian peristiwa yang susul-menyusul itu adalah setumpuk pelanggaran hukum—dan kejahatan—yang saling berkelindang.

Pertama, jika benar versi mainstream yang banyak dipublikasi, yang menyebutkan penyebab tewasnya Aiptu Joko adalah balapan liar yang dihiasi penempelengan terhadap ZD, maka setidaknya ada dua pelanggaran yang terjadi bersamaan. ZD (yang sebagian media menyebut berusia 14 tahun, ada pula 12 tahun) pasti melakukan pelanggaran hukum atau sekadar menyebabkan seorang penegak hukum tersinggung. Tapi, dengan tetap menghormati dan mendoakan Almarhum Aiptu Joko, dia juga tidak bebas cela. Sejak kapan polisi diberi hak main hakim sendiri, sekalipun ‘’cuma’’ tempelengan?

Kedua, tersangka RD dan ZD yang ditangkap beberapa jam setelah kematian Aiptu Joko, dianiaya habis-habisan—termasuk dihadiahi timah panas—di Polres Bolmong oleh sejumlah polisi. Padahal, ketika keduanya ditangkap, kondisi fisik mereka baik-baik saja (http://www.sindomanado.com/read/2015/01/07/1156/disiksa-dalam-sel-tersangka-pembunuh-aiptu-joko--meninggal.html). Dengan dalih apakah—kecuali balas dendam—polisi merasa pantas dan berhak melakukan penganiayaan brutal terhadap dua tersangka ini?

Ketiga, orang banyak yang geger nyaris meluputkan bahwa ZD adalah tersangka yang tergolong anak-anak (bila kita berpijak pada salah satu versi pemberitaan media bahwa dia baru berusia 12 tahun) atau remaja (di versi usia 14 tahun). Namun, versi manapun yang kita rujuk akan mengkonklusi jajaran Polres Bolmong telah melakukan kejahatan terencana dan sistematis terhadap seseorang yang tergolong di bawah umur. Apa ancaman hukuman untuk kejahatan terhadap seseorang yang masih di bawah umur?

Dan keempat, beberapa saat sebelum RD merenggang nyawa, dia dan ZD disambangi Kapolres Bolmong, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK. Sudah menjadi pengetahuan umum, khususnya di Bolmong, RD bahkan sempat memohon-mohon pada Kapolres agar dia boleh mendapatkan air minum. Saya yakin saat itu Kapolres melihat dengan jelas kondisi RD dan ZD. Saya berkeyakinan pula, jika Wiliam A Simanjuntak adalah seorang perwira yang tahu tanggungjawab, wewenangan, kewajiban, dan tugasnya, maka semestinya dia mempertanyakan mengapa kondisi dua tersangka ini sungguh menggenaskan.

Bagi seorang pimpinan, tewasnya anak buah—terlebih penegak hukum yang jadi korban kriminalitas—bukan perkara sepele. Komandan yang bertanggungjawab bukan hanya mengeluarkan perintah atau instruksi dari balik meja, lalu sepenuhnya menyerahkan sisanya pada para bawahan. Kapolres macam apa yang tidak bersigegas meminta informasi lengkap saat RD dan ZD ditangkap? Maka, terkait dengan status ZD yang masih di bawah umur, Kapolres wajib tahu dan mengambil tindakan.

Dengan tidak mengambil tindak lanjut apapun saat menyambangi RD dan ZD, Kapolres Bolmong membiarkan (untuk tidak mengatakan merestui) perlakuan semena-mena terhadap keduanya. Dia juga mengabaikan bahwa ZD yang mengalami penganiayaan berat adalah tersangka yang masih di bawah umur, yang perlakuannya harus sama sekali berbeda dengan orang dewasa. Saya yakin, Kapolres yang pendidikan kepolisiannya tak perlu diragukan lagi,  tidak perlu diingatkan bahwa membiarkan kejahatan berlangsung di hadapan mata, apalagi terhadap anak-anak, adalah kriminalitas lain yang tak kurang biadabnya.

Itu sebabnya pernyataan Kapolres Bolmong membentuk tim investigasi untuk mengungkap penganiayaan terhadap dua tersangka itu (http://manado.tribunnews.com/2015/01/08/tim-investigasi-usut-tewasnya-tersangka-pembunuh-polisi-di-bolmong), yang bahkan menyebabkan kematian RD, adalah omong kosong dan bual-bual yang justru kian mengobarkan amarah. Bila jajaran kepolisian, terutama di Polda Sulut, benar-benar penegak hukum yang melindungi dan mengayomi masyarakat, maka yang harus dilakukan adalah membentuk tim independen yang memeriksa semua pihak yang terlibat. Dimulai dengan Kapolres Bolmong yang terang-terangan tidak melaksanakan tanggungjawab, wewenang, dan kewajibannya.

Cuci tangan dengan dalih atau kilah bahwa penganiayaan yang berujung kematian tersangka sama sekali tidak diperintahkan oleh Kapolres, menunjukkan bahwa wewenangnya dilepeh oleh anak buah. Di kepolisian, bawahan yang menghormati atasan, terlebih dalam peristiwa seistimewa tewasnya salah seorang anggotanya, pasti sesegera mungkin melaporkan perkembangan kasusnya hingga detail.

Kita, orang Mongondow yang sadar hukum, sosial, dan budaya, mesti menolak tegas kasus penganiayaan dua tersangka pembunuh Aiptu Joko yang berujung kematian RD, dijadikan drama oleh Kapolres; serta—belakangan—beberapa politikus yang turut menjadikan isu ini sebagai panggung. Pernyataan politis mendesak, mendukung, atau menunggu hasil kerja tim investasi yang dibentuk Kapolres, menunjukkan para politikus itu sekadar ikut riuh tanpa pikir.

Apa yang cerdas dari pernyataan mendukung kucing garong menginvestigasi hilangnya ikan asin yang pelakunya adalah para kucing juga?

Kualitas sejumlah politikus kita, yang duduk di DPR RI dan DPD sekalipun, memang memprihatinkan. Jika penganiayaan terhadap dua tersangka yang berujung kematian RD di tahanan Polres Bolmong adalah salah satu ujian sensitivitas dan kecerdasan mereka memberikan solusi, para politikus itu cuma mendapatkan nilai E. Mereka adalah bintang sinetron politik yang piawai, tetapi bukan muara aspirasi yang berguna.

Para politikus itu cukup diberi tepuk tangan, setelah itu mereka ditendang agar minggir jauh-jauh. Pemilu (legislatif dan kepala daerah) masih lama. Hentikan dulu pencitraan dan jual diri tak perlu. Sudah terlalu banyak kesedihan dan kemarahan yang bergolak di sekitar peristiwa tewasnya Aiptu Joko dan RD. Jangan ditambah lagi dengan kejengkelan membaca dan mendengar abab tanpa mikir dari para politikus yang numpang ngetop di tengah kegalauan banyak pihak.

Akan halnya jajaran kepolisian, khususnya Polda Sulut, tolong pula hentikan drama-drama tidak perlu. Apa susahnya Polda menurunkan tim independen, memeriksa semua pihak yang terkait dengan seadil-adilnya, lalu menjatuhkan sanksi atau hukuman yang pantas. Reputasi Polri sedang dipertaruhkan, setidaknya di hadapan masyarakat Bolmong khususnya dan Sulut umumnya.

Tapi, kalau Polda Sulut menganggap dua kasus kematian itu dan kejahatan-kejahatan yang menyertainya sekadar business as usual, jangan tersinggung bila kami (orang banyak yang cukup peduli) juga memaknai bintang dan bunga-bunga di pundak para perwira polisi sekadar hiasan yang tak perlu direspek. Bukankah tidak ada pelanggaran hukum jika orang banyak akhirnya menginterpretasi wewenang dan senjata yang dimiliki polisi sama saja dengan pengaruh preman dan panah wayer?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

 AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Aiptu: Ajun Inspektur Polisi Satu; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPD: Dewan Perwakilan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; Kanit: Kepala Unit; Lantas: Lalu Lintas; Pemilu: Pemilihan Umum; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; RI: Republik Indonesia; RS: Rumah Sakit; dan SIK: Sarjana Ilmu Kepolisian.