Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, May 4, 2014

Sesat Berita sebab Bengkok Sumber dan Wartawan

TAJUK yang dipajang situs berita kontraonline.com, Sabtu malam (3 Mei 2014), Lidikrimsus Sebut Ada Penggelebungan Secara Masif (http://kontraonline.com/2014/05/lidikrimsus-sebut-ada-penggelembungan-secara-masif/), mengundang tanya dan penasaran. Siapa Lidikrimsus ini? Apa pula yang digelembungkan secara masif itu?

Setelah menyimak beritanya, kebingungan saya kian lengkap. Tidak ada penjelasan tentang Lidikrimsus, apakah dia lembaga kredibel skala Boltim, Bolmong Raya, bahkan lebih luas lagi; atau sekadar kelompok pengamat hama wereng yang centil bicara politik. Begitu pula ‘’penggelembungan masif’’ yang ternyata berkaitan dengan hasil Pemilu, Rabu, 9 April 2014, khususnya di TPS 1 Desa Buyat 2, Kecamatan Kotabunan, Boltim.

Mengutip Wasekjen Lidikrimsus, Ali Imran Aduka, kontraonline.com menulis, diduga ada pelanggaran terstruktur dan masif yang dilakukan penyelenggara Pemilu mulai dari tingkat kabupaten di Boltim. Contoh yang dikedepankan adalah adanya perbedaan suara partai dan Caleg di TPS 1 Desa Buyat 2 yang seharusnya 171 tetapi ditulis 182. Tak diungkap partai apa dan Caleg siapa. Menilai ada pembiaran hingga terjadi pelanggaran hukum pelaksanaan Pemilu, Lidikrimsus akan melaporkan kasusnya ke DKPP dan MK.

Linglung akibat berita berlogika bengkok itu masih memenuhi kepala, isu yang persis sama saya temui di lintasbmr.com, KPU Boltim Terancam Dilapor ke MK dan DKPP (http://lintasbmr.com/kpu-boltim-terancam-dilapor-ke-mk-dan-dkpp/). Melihat strukturnya, boleh jadi berita tersebut adalah release yang kemudian dikembangkan dengan konfirmasi ke sumber yang berbeda oleh wartawan kontraonline.com dan lintasbmr.com. Kekeliruan yang bermula dari Wasekjen Lidikrimsus pun diperanak-pinak dan disebarkan.

Mengesalkan betul membaca media yang beritanya bagai kakatua mengutip beo. Yang sumber berita dan isunya sekadar comot, melecehkan logika, dan menyesatkan sesuatu yang sesungguhnya terang-benderang. Siapakah Ali Imran Aduka? Bergiat dibidang apakah lembaga yang dia atas-namakan? Sejauh mana pemahamannya terhadap sistem dan ketatalaksanaan penyelenggaraan Pemilu? Dan, tak kurang penting, mengertikah dia apa yang disebut ‘’kejahatan Pemilu’’ dan ‘’masif’’?

Dengan sembarangan dan serampangannya wartawan mendudukkan sumber berita dan memamahbiak pernyataannya, kita tak perlu terkejut besok-lusa bakal membaca hasil wawancara dengan pohon pinang. Yang ditulis pun tentang buah kesemek.

Hasil Pemilu yang dijadikan (satu-satunya) contoh di berita sesat dua situs itu sudah melewati proses bertingkat, mulai dari PPS, PPK, kemudian pleno KPU Boltim, yang semuanya dihadiri saksi-saksi dari Parpol dan DPD. Andai ada kecurangan hingga hasil yang dimanipulasi lolos ke KPU Pusat, pastilah itu dilakukan secara berombongan, melibatkan semua pihak –termasuk saksi-saksi— dan amat sangat canggih hingga lepas dari pantauan Paswaslu dan aparat berwenang lainnya (terutama polisi yang juga aktif melakukan pemantauan).

Kemanakah Ali Imran Aduka dan Lidikrimsus-nya selama proses berjenjang Pemilu itu berlangsung? Asyik main gaplek atau masyuk menenggak berbungkus-bungkus Komix (yang di beberapa tempat di Bolmong Raya telah berubah dari obat batuk jadi konsumsi fly)?  Lalu, dalam posisi apakah dia dan lembaganya akan menggugat ke DKPP dan MK? Pahamkah sumber berita dan wartawan yang mengutip, bahwa dalam konteks Pemilu, gugatan ke DKPP dan MK harus dilakukan pihak yang langsung terlibat dan dirugikan (atau justru diuntungkan)?

Namun, yang lebih gawat dari sekadar unjuk jago tanpa pengetahuan memadai itu, adalah pernyataan (dalam bentuk kutipan langsung di lintasbmr.com) yang menyebut Yasti Soepredjo Mokoagow sebagai ‘’terduga’’ pelaku kejahatan Pemilu di TPS 1 Desa Buyat 2. Sekalipun didahului ‘’dugaan’’, pernyataan Ali Imran Aduka adalah kejahatan tersendiri. Bagaimana dia membuktikan Caleg Nomor Urut  6 PAN untuk DPR RI dari Dapil Sulut ini terlibat dalam kejadian yang disebut ‘’kejahatan Pemilu’’ itu?

Apakah Yasti ada di tempat dan langsung melakukan kejahatan yang didugakan? Dia memerintah seseorang untuk memanipulasi hasil Pemilu di TPS 1 Desa Buyat 2? Atau, tindakan lain yang tak terbantahkan menjadi dibuktikan keterkaitannya dengan proses Pemilu di TPS yang bermasalah ini?

Penggunaan kata ‘’diduga’’, ‘’dugaan’’, ‘’terduga’’, dan sejenisnya adalah presumption of innocence sepanjang memiliki dasar logis dan rasional yang kuat. Pernyataan Wasekjen Lidikrimsus yang (khususnya) dikutip lintasbmr.com bukanlah jenis ‘’dugaan’’ yang masuk kategori ini. Pernyataannya adalah insinuasi langsung yang boleh digugat sebagai upaya merusak kredibilitas dan reputasi oleh obyek yang dituduh. Sangat terbuka kesempatan Yasti menggungat Ali Imran Aduka dan Pemred lintasbmr.com karena berkomplot dan terencana melakukan kejahatan publik terhadap dia.

Tak kurang fatal adalah ‘’masif’’ yang entah dipahami dengan artian apa oleh sumber berita dan wartawan yang menulis. Di manakah konteks kata ini ketika contoh dugaan pelanggaran Pemilu yang diajukan hanya satu TPS? Benar-benar keterlaluan menyedihkannya penguasaan bahasa Indonesia aktivis semacam Ali Imran Aduka dan wartawan (juga editor) yang menelan mentah-mentah ingauan teler sumber beritanya.

Bengkok isu pelanggaran masif Pemilu kian lengkap karena selang beberapa saat lintasbmr.com mengunggah Syachrul Mamonto: Data Yang Dipublis Ali Aduka Itu Salah, Saya Tahu Siapa Orang Dibalik Ali yang Ingin Memojokan YSM (http://lintasbmr.com/syachrul-mamonto-data-yang-dipublis-ali-aduka-itu-salah-saya-tahu-siapa-orang-dibalik-ali-yang-ingin-memojokan-ysm/). Alih-alih sebagai klarifikasi, berita ini justru memperluas fakta bahwa politisi sekelas Ketua DPD PAN Boltim pun ternyata mudah terpancing mengurusi perkara sangat sepele.

Semestinya Sahrul Mamonto yang juga mantan jurnalis dan Ketua KPU Bolmong tak perlu memberikan tanggapan terhadap kengawuran Wasekjen Lidikrimsus, kontraonline.com, dan lintasbmr.com. Andai saya di posisi dia, hal terbaik yang mustahak dilakukan adalah menyodorkan dokumen UU Pemilu dan turunannya; petunjuk praktis kewartawanan dan menulis berita; serta KBBI. Itu sudah lebih dari cukup.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Caleg: Calon Legislatif; Dapil: Daerah Pemilihan; DKPP: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu; DPD: Dewan Perwakilan Daerah; DPR: Dewan perwakilan Rakyat; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Lidikrimsus: Lembaga Informasi Data Investigasi Korupsi dan Kriminal Khusus; MK: Mahkamah Konstitusi; PAN: Partai Amanat Nasional; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilihan Umum; Pemilu: Pemilihan Umum; PPK: Panitia Pemilihan Kecamatan; PPS: Panitia Pemungutan Suara; RI: Republik Indonesia; Sulut: Sulawesi Utara; TPS: Tempat Pemungutan Suara; UU: Undang-undang; dan Wasekjen: Wakil Sekretaris Jenderal.

Friday, May 2, 2014

Drama Pak Guru, Siswi, dan Oknum-oknum Polisi

DUGAAN penggelapan telepon selular oleh pengajar KKPI di SMK Negeri 1 Kotamobagu, Kuswindra Kadayow, yang dituduhkan siswinya, Febri Pandeirot, berakhir anti klimaks, Kamis, 1 Mei 2014. Tidak demikian dengan aduan Pak Guru Kuswindra ke Propam Polres Bolmong karena tak terima ditonjok dan ditoyor oknum polisi Minggu, 27 April 2014, lalu.

Dua isu yang saling berkelindang dan mendadak jadi perhatian warga Bolmong Raya umumnya dan khususnya kalangan sekolah dan pendidik ini, terkait satu dengan yang lain. Sekadar meringkas kembali, kejadiannya dipicu penyitaan telepon selular milik Febri (yang hanya asik dengan gadget-nya saat belajar-mengajar berlangsung) oleh Pak Guru Kuswindra. Keberatan dengan tindakan itu, keluarga Febri (Tante yang juga guru serta yang mengaku Paman dan anggota Reskrim Polres Bolmong) ikut campur.

Yang mengaku Paman Febri kemudian ‘’memerintah’’ Kuswindra hadir di ruang Reskrim Polres Bolmong. Bukannya penyelesaian masalah atau proses hukum yang terjadi, tapi silang-selisihnya kian runcing sebab beberapa oknum polisi memperlakukan Pak Guru tidak dengan semestinya. Urusan yang mulanya hanya soal penegakan disiplin saat proses belajar-mengajar di sekolah, berubah jadi isu kekerasan terhadap guru oleh segelintir oknum polisi.

Orang-orang pun bergerak. Pesan berantai dipertukarkan dan Kamis, 1 Mei 2014, saat sedianya Kuswindra mesti memenuhi panggilan diperiksa sebagai tersangka penggelapan telepon selular (Polres Bolmong mungkin tidak punya almanak hingga memanggil tersangka di tanggal merah), ratusan pelajar dan guru SMK Negeri 1 Kotamobagu siap berunjuk rasa. Mereka akhirnya tetap menggelar aksi, sementara di Aula Polres dilakukan pertemuan yang dimediasi Kapolres, AKBP Hisar Siallagan, antara Kepala Sekolah SMK Negeri 1 Kotamobagu, Ketua PGRI KK, Kuswindra, Febri dan keluarganya.

Hasil pertemuan itu, seperti dilaporkan totabuan.co (http://totabuan.co/2014/05/kapolres-semua-sepakat-berdamai/), pihak-pihak yang berseberangan sepakat berdamai. Di luar itu, informasi yang saya terima menyebutkan, Propam Polres Bolmong tetap memproses pemukulan yang dilakukan oknum-oknum polisi terhadap Kuswindra.

Penyelesaian yang diinisiasi Kapolres patut diapresiasi. AKBP Hisar Siallagan sudah menunjukkan komitmen tinggi terhadap penyelesaian masalah dengan cara yang proporsional dan pada tempatnya. Mengembalikan urusan penyitaan telepon selular Febri pada pihak sekolah, menunjukkan Kapolres menghormati tata tertib dan aturan internal di SMK negeri 1 Kotamobagu.

Langkah apa yang akan diambil pihak sekolah, biar menjadi urusan dapur institusi pendidikan ini. Namun, karena isunya sudah menjadi konsumsi umum, langkah yang diambil SMK Negeri 1 Kotamobagu selayaknya juga ditransparansi. Perdamaian di Aula Polres Bolmong harus tidak meniadakan proses internal di sekolah, yaitu mengusut tuntas dan memberikan sanksi terhadap murid yang melanggar tata tertib; demikian pula terhadap guru yang mungkin bertindak melampaui kewajibannya sebagai pengajar.

Kapolres sudah menunjukkan niat baik dengan tetap memproses oknum-oknum polisi yang melanggar etika profesionalnya sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Menurut saya, itikad Kapolres menegakkan reputasi dan integritas korpsnya ini semestinya menjadi satu lagi catatan positif yang layak dipublikasi kalangan media agar diketahui khalayak yang lebih luas.

Walau demikian, setidaknya ada dua hal yang masih menganjal. Pertama, Propam Polres Bolmong hanya memproses oknum-oknum polisi yang melayangkan bogem dan menoyor kepala Kuswindra. Bagaimana dengan oknum yang mengaku Paman Febri dan anggota Reskrim yang ‘’memerintahkan’’ Kuswindra menghadap?

Penganiayaan terhadap Kuswindra adalah kekerasan telanjang (hard violence) yang melanggar hukum dan etika anggota Kepolisian RI; tetapi ‘’perintah’’ menghadap semata karena posisi sebagai Paman yang anggota Reskrim, adalah tindakan kekerasan halus (soft violence) yang justru lebih berbahaya. Propam mestinya turut memproses oknum polisi yang mengaku Paman Febri itu, karena dia dengan sengaja menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya.

Lagipula, bila si oknum pengaku Paman ini tak ’’memerintahkan’’ Kuswindra menghadap ke ruang Reskrim Polres Bolmong, kita dapat menyakini peristiwa pemukulan juga tak bakal terjadi. Karenanya, sikap adil Kapolresta patut digugat jika dia hanya memerintahkan Propam memproses mereka yang diduga melakukan kekerasan fisik; sebaliknya mengabaikan tindakan terhadap oknum yang kasat mata menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya.

Dan kedua, bagaimana sebenarnya disiplin di kalangan murid dan para pengajar SMK Negeri 1 Kotamobagu ditegakkan? Dari lalu lintas informasi yang saya terima terkait peristiwa yang melibatkan Pak Guru Kuswindra dan Febri, larangan membawa telepon selular (apalagi memainkan di tengah proses belajar-mengajar) sekadar tata tertib macan ompong.

Gunjang-ganjing mirip drama yang melibatkan Pak Guru, murid, dan oknum-oknum polisi ini harus menjadi titik balik penting bagi SMK Negeri 1 Kotamobagu. Sekolah ini, terutama Kepala Sekolah dan jajarannya, perlu merumuskan kembali –khususnya—larangan membawa telepon selular ke sekolah (yang seharusnya berlaku sama untuk guru dan murid) dengan mengidahkan lebih dari sekadar trend modern. Bagaimana pun juga komunikasi digital sudah menjadi keniscayaan.

Yang paling rasional adalah: Siswa dan guru boleh membawa telepon selular ke sekolah. Tetapi, sebagaimana di banyak sekolah yang menegakkan disiplin dengan tegas dan tanpa pandang bulu, telepon selular harus di-off selama proses belajar mengajar berlangsung. Alat komunikasi ini hanya boleh di-on sebelum waktu belajar mengajar dimulai, saat rehat, dan setelah jam sekolah usai. Bagi mereka yang melanggar aturan ini, telepon selularnya hanya boleh diambil di sekolah oleh wali atau orangtua, itupun setelah mereka menandatangani pernyataan sang murid tak akan mengulang perbuatan yang sama.

Bila tata tertib dan disiplin tak ditegakkan dengan sungguh-sungguh, kasus Pak Guru Kuswindra dan Febri Pandeirot pasti hanya menunggu waktu sebelum berulang kembali, lengkap dengan bumbu, duga-duga, dan spekulasi. Sudah menjadi rumor dan bisik-bisik, bahwa peristiwa guru versus murid SMK Negeri 1 Kotamobagu itu lebih dari sekadar urusan disiplin. Agar tak menjadi fitnah, terutama yang merugikan integritas Pak Guru Kuswindra dan nama baik sekolah, perdamaian di Aula Polres Bolmong harus ditindaklanjuti dengan penuntasan akar masalahnya.

SMK Negeri 1 Kotamobagu wajib memeriksa Pak Guru Kuswindra dan Febri dengan didampingi keluarganya; mengungkap tuntas kejadian penyitaan telepon selular itu dan motif dibaliknya; lalu menjatuhkan sanksi sesuai tata tertib sekolah dan kepatutan yang melekat pada setiap institusi pendidikan. Kami, masyarakat umum yang lima hari terakhir dilaruti  haru-biru ‘’sinetron’’ isu penyitaan telepon selular itu, tak sabar menunggu akhir kisah yang sesungguhnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KKPI: Keterampilan Komputer Pengelola Informasi; Polres: Kepolisian Resor; Propam: Profesi dan Pengamanan; Reskrim: Reserse Kriminal; dan SMK: Sekolah Menengah Kejuruan.

Wednesday, April 30, 2014

Terpujilah Lagak Bajingan Oknum-oknum Polisi!

CERITA ini bukan rekaan. Peristiwanya masih berlangsung, melibatkan seorang guru (pria), murid (wanita) dan keluarganya, serta segelintir aparat di Reskrim Polres Bolmong.

Tersebutlah saat praktek mata pelajaran KKPI di kelas XI Jurusan Perbankan SMK Negeri 1 Kotamobagu, Sabtu, 26 April 2014, siswi bernama Febri Pandeirot justru asyik memainkan telepon selularnya. Febri kemudian ditegur guru yang bertanggungjawab, Kuswindra Kadayow, bahkan hingga tujuh kali. Sebab tak mengindahkan peringatan, Kuswindra akhirnya mengambil telepon milik Febri dan diletakkan di meja guru.

Febri ternyata bukan satu-satunya murid yang berulah. Ada Meilan Kantohe yang mendapat hukuman sama: telepon selularnya diambil dan ‘’diamankan’’.

Tindakkan Pak Guru tidak keliru. Selain mengganggu proses belajar-mengajar, dua siswi itu sesungguhnya terbukti menerabas aturan sekolah. Menurut informasi yang saya terima (semoga ini tidak keliru), SMK Negeri 1 Kotamobagu punya aturan melarang murid-muridnya membawa telepon selular ke sekolah. Aturan ini, sepengalaman saya, hampir berlaku di mana-mana; sekaligus dengan segala daya dilanggar (bahkan dengan sepengetahuan para orangtua) di mana-mana.

Urusan yang semestinya berakhir di sekolah dengan menyerahkan dua murid itu ke bagian yang menangani kesiswaan, berbelok tak karuan. Berbeda dengan Meilan yang langsung mengambil telepon selularnya setelah praktek selesai; milik Febri (sengaja atau tidak) ikut masuk tas kerja Kuswindra.

Pihak yang mengaku keluarga Febri pun melibatkan diri. Dimulai dari komunikasi antara Kuswindra dan perempuan yang mengaku Tante dari Febri, yang mengirimkan SMS ‘’ancaman (termasuk menyebut ayah Fabri pengusaha kaya di Poigar) hingga orang yang mengklaim Paman dan anggota Reskrim Polres Bolmong. Saling sahut antara Pak Guru dan ‘’Paman anggota Reskrim’’ ini berakhir dengan ‘’perintah’’ bertemu di ruang Reskrim Polres Bolmong.

Minggu petang, 27 April 2014, Kuswindra hadir di ruang Reskrim Polres Bolmong. Tak lama kemudian Febri dan Tantenya tiba. Debat di antara para pihak terjadi, terutama karena Pak Guru ini mempertahankan sikapnya bahwa peristiwa di sekolah selayaknya diselesaikan di internal sekolah. Lagipula telepon selular yang dipersoalkan ada dan dapat diambil oleh Febri ditemani orangtua di bagian kesiswaan, Senin, 28 April 2014.

Dari kronologi peristiwa yang saya terima (tentu dari versi Kuswindra), salah seorang polisi mengkonklusi memang selayaknya masalah ‘’penyitaan’’ telepon selular itu diselesaikan di sekolah. Selesaikah masalahnya? Tidak juga, sebab mendadak seorang polisi masuk dan tanpa ba-bi-bu mempotret Kuswindra. Tak terima dengan perlakukan itu, Pak Guru mendorong sang polisi sembari beranjak keluar ruangan.

Di gang di luar ruangan Reskrim tiba-tiba bogem melayang di pelipis Kuswindra. Selain tonjokan, dia juga menerima toyoran di belakang kepala. Akibat perlakuan polisi yang berlagak preman kampung itu, sebagaimana yang ditulis totabuan.co (http://totabuan.co/2014/04/pelipis-kiri-guru-smk-bengkak-diduga-dipukul-oknum-anggota-polisi/), Rabu, 30 April 2014, pelipis kiri pengajar KKPI ini bengkak.

Keberatan dengan tindak pidana yang terjadi di tempat di mana hukum mestinya ditegakkan dengan adil, Kuswindra melapor Propam Polres Bolmong. Di saat pengaduannya masih dalam proses, Selasa, 29 April 2014, dia mendapat Surat Panggilan Nomor S.Pgl/566/IV/2014/Reskrim dengan status sebagai tersangka penggelapan.

Terpujilah lagak bajingan oknum-oknum polisi itu! Luar biasa perilaku, pengetahuan hukum, dan gerak cepat mereka mengada-adakan celah mempersulit warga yang dianggap berada di posisi lemah. Berapa harga polisi-polisi keparat itu? Saya bersedia turut menanggung sogokan untuk mereka, yang menggunakan kewenangannya seolah-olah kehormatan seragam yang dikenakan hanya melindungi yang berduit, punya ‘’kekuatan’’, dan pengaruh.

Pertama, hanya dengan ‘’perintah’’ SMS Kuswindra bersedia menyambangi Reskrim Polres Bolmong. Bagi saya pribadi, ini bukan tindakan bijaksana. Ada hak apa polisi memanggil seseorang (di hari libur pula), terlebih hanya karena ada anak manja yang tidak tahu diri mengadu ke Pamannya yang ‘’konon’’ anggota Reskrim?

Paman yang polisi, yang tahu aturan dan hukum, semestinya menelisik dengan hati-hatinya masalahnya, menangani dengan kepala dingin, dan bila perlu menegur keponakan yang jelas-jelas melanggar aturan paling normatif di sekolahnya. Kalau kemudian yang dilakukan Kuswindra dianggap perbuatan melawan hukum; selayaknya dia dipanggil sesuai dengan tata cara yang menjunjung hukum.

Saya percaya masih sangat banyak polisi baik yang pantas jadi teladan di negeri ini. Tapi tentu tidak termasuk oknum yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya serta para bajingan yang meninju dan menoyor kepala Kuswindra, di kantor polisi pula.

Sepengetahuan saya Kapolres dan Wakapolres Bolmong, AKBP Hisar Siallagan dan Kompol Daru Tyas Wibawa, adalah generasi polisi yang khatam dan serius menegakkan kewajiban korpsnya melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, tanpa memandang pangkat, kedudukan, dan kekayaannya. Adakah kasus ini (utamanya perlakuan tak senonoh terhadap Pak Guru Kuswindra) akan ditangani dengan semestinya, seadil-adilnya, dan seproposionalnya, dengan mengindahkan semua kepatutan aturan dan hukum?

Dua, penyitaan telepon selular muridnya yang dilakukan Pak Guru Kuswindra sangat beralasan. Febri bukan hanya dua kali melanggar aturan sekolah (membawa gadget ke sekolah dan menggunakan saat belajar-mengajar berlangsung), tetapi juga terang-terangan menunjukkan sikap tak hormat. Bahwa dia keberatan karena telepon selular itu dibawa (atau terbawa) guru yang melakukan penyitaan, ajukan keberatan ke pihak sekolah dengan didampingi oleh orangtua atau walinya.

Sukar dibayangkan dampak pembiaran kelakuan bengkok murid-murid yang mengaku anak orang kaya atau putra-putri pejabat dan orang penting. Besok-lusa guru menjadi pihak yang paling tak berdaya dan profesi yang gampang dihinakan dan dikriminalisasi. Febri cuma ‘’katanya’’ anak orang kaya dan keponakan oknum anggota Reskrim. Bagaimana andai dia anak jutawan yang Gubernur dan keponakan Kapolres atau Kapolda? Boleh jadi dua tempurung lutut Guru Kuswindra bolong diterjang timah panas hanya karena menyita telepon selular.

Ketiga, mentersangkakan Kuswindra menunjukkan segelintir oknum di Polres Bolmong memang secara terencana berniat menyalahgunakan kewenangan hukum mereka. Apa alasannya? Begitu tidak adanyakah kesibukan di Reskrim Polres Bolmong hingga mereka mengambil alih masalah yang pertama-tama dan utama semestinya diselesaikan di tingkat SMK Negeri 1 Kotamobagu. Kalau Febri dinilai melanggar aturan dan disiplin sekolah, dia layak menerima sanksi. Demikian pula, bila sebagai guru Kuswindra melenceng dari tugasnya, dia pun harus menanggung hukuman.

Dan keempat, dengan perilaku Febri, keluarganya, dan oknum-oknum di Polres Bolmong, SMK Negeri 1 Kotamobagu berhak mengembalikan dia ke keluarganya untuk dididik di tempat lain yang lebih baik dan sesuai selera mereka: ‘’orang kaya yang juga punya pengaruh’’. Bahkan barangkali dia lebih tepat disekolahkan di Reskrim Polres Bolmong, yang tentu tak mengharamkan murid bermain telepon selular sesukanya di saat belajar-mengajar sedang berlangsung.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KKPI: Keterampilan Komputer Pengelola Informasi; Kompol: Komisaris Polisi; Polres: Kepolisian Resor; Propam: Profesi dan Pengamanan; Reskrim: Reserse Kriminal; SMK: Sekolah Menengah Kejuruan; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan Wakapolres: Wakil Kepala Kepolisian Resor.