Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, December 5, 2013

‘’Bupati, Maraju Kua’ Rupa Anak-anak Bagitu’’

PERTANYAAN pendek yang saya terima Rabu, 4 Desember 2013, meminta tanggapan ‘’ancaman’’ Bupati Bolsel yang akan membawa kebupaten yang dia pimpin bergabung dengan Provinsi Gorontalo, saya respons tanpa berpikir panjang. Membuang-buang energi belaka menyeriusi pernyataan yang alasannya semata karena kajian Pemprov Sulut menyatakan Bandara yang diimpi-impikan warga Mongondow lebih layak dibangun di Bolmong ketimbang Bolsel.

Komentar saya yang kemudian dikutip, dikemas, dan dipublikasi Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/ini-komentar-soal-ancaman-bupati-tarik-dukungan-pbmr-dan-gabung-provinsi-gorontalo/), sejatinya terdiri dari tiga alinea pendek. Pertama, ‘’Bupati lebay. Bagimana kalu orang Mongondow bilang warga Bolsel boleh ber gabung ka Gorontalo, tapi tanah Mongondow tetap di Mongondow?’’ Kedua, ‘’Rupa-rupa jo ini Bupati. Maraju kua’ bagitu. Kiapa nyanda sekalian jo bilang Bolsel mo merdeka dari Republik Indonesia.’’ Dan ketiga, ‘’Urusan (mem)bangun Bandara kan kebijakan Pemerintah Pusat. Apa urusannya Bolsel bergabung dengan Gorontalo deng kebijakan Pemerintah Pusat?’’

Ihwal kekecewaan Bupati Bolsel, Herson Mayulu, karena Bandara yang mulanya disebut-sebut akan dibangun di Bolsel ternyata bakal dialihkan ke Bolmong, pertama kali saya simak di Beritamanado.Com (http://beritamanado.com/gara-gara-bandara-herson-mayulu-tarik-dukungan-dari-pbmr/) dengan kening berkerut. Terus terang, pernyataan Bupati Bolsel, ‘’Kami jelas-jelas menarik diri dari PBMR’’, agak tak terjangkau akal sehat saya. Apa dosa warga Mongondow yang berniat mekar sebagai provinsi sendiri dengan hasil kajian Dinas Perhubungan dan Kominfo Sulut yang memantik kekecewaan Bupati Bolsel dan warganya?

Ketidak-pahaman saya kian sempurna tatkala menyimak Totabuan.Co (http://totabuan.co/2013/12/01/kabupaten-bolmong-selatan-ancam-gabung-provinsi-gorontalo/) yang mengutip Herson Mayulu, ‘’Jika memang demikian memang sengaja digagalkan oleh Pemprov. Ingat, 75 persen warga Bolsel adalah warga Gorontalo, sehingga ini harus diperhatikan.”

Kalimat itukah yang kemudian diterjemahkan oleh para pewarta dan pembaca umumnya sebagai ‘’ancaman’’ dari Bupati? Soalnya, sejauh ini saya tidak menemukan ada pernyataan eksplisit dari Bupati, bahwa dia dan masyarakatnya yang kecewa berniat memboyong Bolsel pindah ke lain provinsi.

Para bijak berkata, hati boleh panas, kepala mesti tetap dingin. Menurut hemat saya, gara-gara letupan-letupan komentar Bupati, isu pembangunan Bandara di Bolsel kehilangan fokus. Padahal duduk-soalnya semata-mata kelayakan teknis dan aspek terkait; yang sama sekali tidak berhubungan dengan PBMR, apalagi keragaman etnis di wilayah Bolmong.

Untuk apa ada Bandara di Mongondow? Sekadar nice to have setelah itu hanya digunakan segelintir orang mampu dengan pesawat yang menerbangi pun jenis kecil, yang jadwalnya tergantung terpenuhi atau tidaknya load factor? Kalau demikian adanya, mengapa kita tidak merevitalisasi Lapangan Terbang Perintis yang bertahun-tahun lampau dibangun di Mopait?

Benar bahwa adanya Bandara dan pelabuhan laut mampu jadi pendorong terbukanya sebuah wilayah dan tumbuhnya perekonomian. Tapi ekonomi yang mana? Apa komoditas dan jasa di wilayah Mongondow yang skala keekonomisannya sangat mendesak harus didukung dua infrastruktur ini? Ini baru soal kemanfaatannya.

Pertanyaan sederhana lainnya, kalau Bandara dibangun di Bolsel, dengan mengesampingkan faktor teknis-geografis areal yang dipilih, apakah infrastruktur pendukung terkait sudah memadai? Mudahkah bagi warga yang berniat menggunakan moda transportasi ini menjangkau Bandara? Atau Bandara itu memang hanya ditujukan untuk warga Bolsel serta wilayah sekitarnya (hingga Dumoga, perbatasan Bolsel-Boltim, dan Bolsel-Gorontalo)?

Lanjutan pertanyaan-pertanyaan bodoh itu adalah: Mana yang lebih mudah bagi warga Mongondow yang berdiam di wilayah Boltim, Bolmut, sebagian Bolmong, dan KK; menggunakan Bandara Sam Ratulangi yang dapat dijangkau dengan infrastruktur jalan yang relatif baik atau ke Bandara yang nantinya dibangun di Bolsel?

Dengan mengindahkan aspek dan faktor-faktor terkait secara komprehensif, harus diakui ide pembangunan Bandara di wilayah Mongondow (bukan soal di Bolsel atau Bolmong), lebih bertitik-berat pada political will dan want, bukan need substansial. Sebagai niat baik politik dan keinginan, saya tidak heran yang kemudian paling gigih mengkampanyekan hasrat ini adalah anggota Komisi V DPR RI dari Sulut, Yasti Mokoagow, serta Bupati Bolsel dan jajarannya.

Totabuanews.Com, Senin, 18 November 2013, menulis optimisme Yasti Mokoagow sebagai endorser pembangunan Bandara di Bolsel (http://m.totabuanews.com/bolsel-lebih-siap-bangun-bandara/), lengkap dengan kutipan, “Lokasi yang disiapkan Pemkab Bolsel sudah sangat memenuhi syarat.’’ Dia juga menegaskan kelayakan itu dengan mengemukakan, “Sebagai anggota Komisi yang membidangi pembangunan infrastruktur, saya akan turut memperjuangkan hingga ke tingkat pusat. Apalagi Bolsel lokasinya masih sangat luas dan dapat diproyeksikan menjadi Bandara Internasional.’’

Keinginan yang dipupuk dengan ekspektasi dan jaminan niat baik politik itu, ternyata terbentur kajian yang dilakukan Dinas Perhubungan dan Kominfo Sulut. Saya tidak mengetahui seperti apa kajian yang dilakukan, tetapi saya yakin Pemprov Sulut tak akan main-main memutuskan layak-tidaknya satu infrastruktur berbiaya mahal dibangun di daerah tertentu.

Apa yang harus dilakukan pemerintah dan warga Bolsel yang kecewa? Buat kajian tandingan yang lebih komprehensif dan terintegrasi dengan rencana pembangunan jangka panjang yang melibatkan kabupaten/kota di wilayah Mongondow. Tunjukkan bahwa pembangunan Bandara di wilayah Bolsel bukanlah sekadar keinginan, tapi kebutuhan penting bagi kemaslahatan Mongondow di jangka panjang. Tidak pula hanya karena kepentingan ‘’jualan politik’’ menjelang Pemilu 2014 dan tabungan kredibilitas Bupati yang sebentar lagi akan bertarung untuk masa jabatan kedua.

Maraju massal, apalagi dengan dimotori Bupati yang mengait-ngaitkan dengan PBMR dan sentimen etnisitas bahwa mayoritas warga Bolsel berlatar Gorontalo, hanya menimbulkan antipati tidak perlu. Memangnya orang banyak gampang dibodohi ancaman menarik dukungan terhadap PBMR? Coba saja Bupati Bolsel membuktikan omongan kalau dia tidak dikeroyok warga se Bolmong Raya.

Akan halnya sinyal hijrah ke Provinsi Gorontalo, yang lebih saya anggap sebagai tafsir keterlaluan para pewarta terhadap pernyataan Bupati, kalau pun demikian adanya, lakukan dengan segera, tetapi jangan menyeret-nyeret tanah Mongondow. Tak ada yang bakal menahan Bupati dan siapa pun yang berniat ‘’pindah ke lain provinsi’’, toh tinggal menggelar Pilkada ulang dan memilih penggantinya. Hanya, saya berharap Bupati tak lupa memastikan beberapa anggota DPR Bolsel yang kerjanya cuma menciptakan kebisingan politik, juga turut diboyong bersama-sama.

Lagipula, kalau Bupati dan warga Bolsel memilih bergabung dengan Provinsi Gorontalo, pasti dijamin Bandara akan dibangun di wilayahnya? Maraju kua’ rupa anak-anak bagitu. Kiapa nyanda sekalian jo Bupati manangis, ba banting-banting, deng babaguling di muka pa Gubernur Sulut?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bandara: Bandar Uadara; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolmut: Bolaang Mongondow Utara; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; Kominfo: Komunikasi dan Informasi; PBMR: Provinsi Bolaang Mongondow Raya; Pemprov: Pemerintah Provinsi; RI: Republik Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Tuesday, December 3, 2013

Gundah-Gulana Pengkhotbah Pencerahan

KRITIK pedas (dan celaan) saya terhadap aksi sejumlah aktivis HMI Bolmong Raya rupanya bagai mengusik sarang tawon. Reaksi yang berdatangan tak hanya dari wilayah Mongondow, melainkan meluas hingga ke aktivis dan mantan aktivis HMI dari beberapa daerah.

Seorang mantan Ketua Kohati meng-SMS setelah mengetahui ada tulisan di Kronik Mongondow dari pertukaran kabar yang lalu lalang di media sosial. ‘’Saya membaca dan langsung nyesek. Kejam betul kritiknya, tetapi bener juga sih.’’

Komentar yang kurang lebih sama dikirimkan Endi Biaro, mantan aktivis HMI Cabang Manado yang bertahun-tahun pernah reriungan dengan saya. Namun saya tidak akan mengutipkan pernyataannya. Endi, sebagaimana beberapa kawan yang mengakrabi saya di era pikuk kemahasiswaan akhir 1980-an hingga paruh 1990-an, terlampau bias hubungan personal. Mengutip Endi bisa-bisa mengesankan saya sungguh tengil, makang puji, dan narsis.

Dari catatan saya, baik SMS, BBM, dan email yang saya terima, tak banyak yang mendebat fakta-fakta yang dibeber di tiga tulisan tentang aksi dan laku aktivis HMI Bolmong Raya di isu demo menggeruduk Rudis Walikota. Bahwa umumnya hanya menyoroti dan menyayangkan pilihan kata dan kalimat yang digunakan, yang dianggap dingin, kejam, dan brutal; komentar saya pendek saja: ‘’Supaya hati tenang dan tidur nyenyak, jangan baca tulisan-tulisan saya.’’

Lagipula, setelah mengunggah ‘’Bae Kita Anak Mami, Bukang HMI’’, saya mencukupkan saja isu aksi aktivis HMI Bolmong Raya itu. Kalau ada hal baik yang dianggap dapat dipetik sebagai pelajaran, silahkan direnungkan. Bila ternyata hanya menimbulkan amarah dan sentimen, cari cermin dan berkaca. Masak Anda-Anda boleh berbuat sesuka hati lalu saya tidak boleh berkomentar, mengkritik, dan mencela, padahal aksi itu dilakukan di ruang publik (dan private) dengan membawa-bawa pula kepentingan orang banyak?

Keinginan mencukupkan sorotan terhadap para aktivis HMI Bolmong Raya itu yang membuat saya mengabaikan beberapa tulisan yang mengkritik unggahan di Kronik Mongondow, termasuk yang dipublikasi Lintasbmr.Com. Bagi yang menulis, dengan ini dikonformasi: Saya sudah membaca tulisan Anda dan tidak akan mengomentari, terlebih mengulas secara khusus. Kecuali Anda masih tergolong remaja puber aktivitas yang butuh perhatian supaya hati adem-tenteram.

Tetapi tampaknya ada saja aktivis atau mantan aktivis HMI yang lebih suka menyodorkan cermin ke saya ketimbangan digunakan mematut diri dan laku sendiri serta organisasi yang dia bela. Tulisan Surat Terbuka untuk Kanda Katamsi (1) dari Alumni HMI, Hamzah Sidiq, di Lintasbmr.Com (http://lintasbmr.com/surat-terbuka-untuk-kanda-katamsi-1/) adalah contoh termuktahir. Saya jadi serba salah. Direspons nanti cap jelek yang dilekatkan makin kental. Tidak direspons, bisa-bisa saya dituding menyepelekan alumni HMI.

Demi respek itu, sebelum bagian dua (mungkin pula tiga dan seterusnya) dari tulisan itu dipublikasi, saya memaksakan diri bersigegas menulis tinjauan terhadap aspirasi Hamzah Sidiq. Pertama, di bagian manakah dari tiga unggahan saya di blog ini yang tidak memiliki landasan fakta? Sebagai alumni HMI dan praktisi hukum (tentu bergelar akademik hukum pula) saya yakin Anda memahami bahwa kritik (pula celaan) yang benar tidak didasarkan pada asumsi.

Keyakinan Anda bahwa aksi HMI Bolmong Raya sudah mengantongi izin, termasuk menggeruduk Rudis Walikota, adalah asumsi yang tidak bertanggungjawab. Sudahkan Anda mengecek faktanya?

Dua, kata dan kalimat di tulisan saya memang kejam dan brutal. Baiklah, bagaimana dengan ‘’anjing-anjing’’ yang digunakan Ketua HMI Bolmong Raya terhadap Satpol PP. Anda mentoleransi bahasa yang lebih buruk ditakar dari adab mana pun, tetapi sangat terganggu dengan pilihan kata dan kalimat saya yang derajat hinaannya masih lebih rendah, bahkan tergolong ada di wilayah abu-abu (apakah hinaan atau justru fakta yang disajikan blak-blakkan)? Logika apa yang Anda gunakan?

Tiga, sejak awal isi Kronik Mongondow sepenuhnya sesuka hati dan mood saya. Tidak ada anjuran dan paksaan pada sesiapa pun agar mengunjungi dan membaca blog ini. Bahwa isinya, dalam persepsi Hamzah Sidiq, kental dengan kesan kesombongan, amarah, antagonis, unknown and under estimate, dan diliputi ‘’kontroversi hati’’ ala Vicky Prasetyo, tidak akan saya debat. Saya hanya ingin bertanya: Memang ada pelanggaran apa bila saya mengekspresikan kesombongan, amarah, antagonis, unknown and under estimate, dan ‘’kontroversi hati’’? Saya toh tak bisa pula melarang Anda agar tak gundah-gulana, risau, dan resah; kecuali (sekali lagi) menyarankan jangan pernah membaca blog ini.

Jangan pula mengharapkan ada wisdom yang disesap dari yang saya tuliskan. Anda butuh wisdom, bacalah Al Qur’an, Khotbah Jumat, atau buku-buku how to, jangan Kronik Mongondow.

Keempat, saudara Hamzah Sidiq, dari mana Anda menyimpulkan tulisan-tulisan saya justru merendahkan Mongondow sendiri? Apakah saya pernah memproklamasikan diri sebagai wakil Mongondow, baik di blog ini atau di tulisan-tulisan saya di mana pun itu dipublikasi? Janganlah Anda yang tak cukup mampu memahami dan tersesat, lalu orang lain yang dipersalahkan, terlebih dengan membawa-bawa Mongondow dalam konteks warga yang menghuni empat kabupaten dan satu kota di Bolmong Raya.

Sejalan dengan itu, saya kira terlampau tunjung pande Anda mengulas perspektif sosial-budaya Mongondow, yang seolah-olah sekadar hantu yang saya jadikan tunggangan untuk mengkritik (dan mencela) aksi aktivis HMI Bolmong Raya. Seberapa banyak sih pengetahuan Anda terhadap budaya, adat, tradisi, dan praktek sosial di Mongondow? Saya bahkan mendadak meragukan pengetahuan hukum Anda. Saya ingatkan: Menggeruduk Rudis Walikota adalah trespassing. Di banyak belahan dunia, termasuk Indonesia, hukum formalnya jelas mengatur bahwa trespassing adalah pelanggaran.

HMI Bolmong Raya ingin beraksi, sepanjang itu di ruang publik (bahkan di atap Gedung DPR atau Kantor Walikota), silahkan saja. Tapi sebagai organisasi intelek, apakah demo adalah pilihan terakhir, apalagi isunya remeh-temeh belaka: Agar Walikota-Wawali KK menanda-tangani komitmen yang dijanjikan di visi-misinya dengan organisasi ini.

Kelima, saudara Hamzah Sidiq, sebagai praktisi hukum, di bagian mana tulisan saya yang dapat dijerat tindak pidana? Kalau ada, bawa ke hadapan hukum. Tidak usah bertele-tele mencari-cari alasan, mendemonstrasikan pendidikan hukum Anda, nanti malah cuma jadi sumber celaan baru. Anda keberatan karena saya menulis, misalnya, ‘’Kongres untuk memilih Ketua Umum PB tak beda dengan pertemuan para hooligan: Riuh caci-maki, rebutan palu sidang, saling lempar kursi, hunus-menghunus pisau, serta bagi-bagi duit dari kandidat dan tim suksesnya untuk membeli suara cabang-cabang’’? Anda pernah hadir dan mengikuti Kongres HMI yang dilaksanakan setidaknya dalam 10 tahun terakhir? Fakta seperti apa yang Anda saksikan?

Dan keenam, dengan tulisan yang melingkar-lingkar dan melungkar-lungkar, kandungan apa yang sesungguhnya ingin Anda sampaikan: Membela aksi demo HMI Bolmong Raya, bahwa tindakan itu 100 persen benar? Mengkritik pilihan kata dan kalimat yang saya gunakan saat mengkritik (dan mencela) aksi aktivis organisasi ini? Atau sekadar ghirah bersilat ada seseorang di luar sana, alumni HMI, yang lebih cerdas, arif-bijaksana, santun dalam tutur-bahasa, serta tercerahkan; dan karenanya pantas mengkhotbai saya (juga pembaca Lintasbmr.Com) ihwal perjuangan membela kebenaran, wisdom, sejarah pergerakan mahasiswa, budaya, adat, tradisi, dan praktek sosial di Mongondow, serta kesadaran hukum dan praktek bernegara?

Checkmate! Mohon maaf, saudara Hamzah Sidiq, posisi Anda di hadapan tiga pertanyaan itu sungguh tak menguntungkan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlakckBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KK: Kota Kotamobagu; PP: Pamong Praja; Rudis: Rumah Dinas; Satpol: Satuan Polisi; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan Wawali: Wakil Walikota.

Thursday, November 28, 2013

‘’Bae Kita Anak Mami, Bukang HMI’’

LEWAT tengah malam, Kamis, 28 November 2013, saya masih bertekun dengan sejumlah dokumen ketika disambangi BBM dari seorang kawan di Kotamobagu. Yang tiba adalah tautan facebook seseorang bernama Samsul Bahri Gonibala (http://www.facebook.com/samsul.bahri.gonibala/notes#!/notes/samsul-bahri-gonibala/penjilat-berdasi-itu-bernama-katamsi/684584574899651).

Saya tidak punya account facebook dan tidak pernah berniat memiliki. Atas jasa baik kawan yang kerap bertukar canda itu, yang juga masih terjaga padahal hari sudah uzur menjelang fajar, saya lengkap mendapatkan curahan hati Samsul Bahri Gonibala. Isinya, di luar insinuasi saya adalah penjilat berdasi, tak beda dengan yang ditulis Ketua HMI Bolmong Raya, Eko Satrio Paputungan. Bikin tulisan saja harus saling contek? Cuma beginikah hasil pengkaderan yang dilakukan untuk aktivis-aktivis di Bolmong?

Belum reda ketercengangan saya, tautan tulisan Supriadi Dadu di Kompasiana.Com (http://m.kompasiana.com/post/read/614548/2/seharusnya-katamsi-menuliskan-gerombolan-itu-bernama-satpol-pp-part-1) masuk menyusul BBM sebelumnya. Setelah menyimak beberapa alinea, saya menghentikan membaca. Capek sungguh mengikuti kalimat-kalimat yang berkelindang tak karuan, bercerdas-cerdas padahal yang menulis barangkali turut pula pening bila kembali membaca apa yang dia tulis.

Sepengetahuan saya, kalau tak salah, selain aktivis HMI, Supriadi Dadu adalah wartawan di salah satu situs berita Sulut. Amatlah mengecewakan bila kualitas tulisan seorang wartawan (HMI pula) jauh kelas dibanding esai putra kedua saya yang baru berusia 12 tahun, yang salah satu tulisannya terpilih dibukukan di kumpulan tulisan-tulisan terbaik pelajar Primary School se  Australia.

Mengingat substansi yang disampaikan dua pengguna media sosial itu sejalan dengan Ketua HMI Bolmong Raya, apapun yang mereka tulis saya aminkan saja. Dicaci tanpa alasan jelas, terutama oleh orang-orang yang sakit hati ketahuan belangnya, telah lama saya mahfumi. Lagipula telah berulang kali diingatkan, orang-orang yang berpikiran pendek, yang langitnya hanya sepelemparan batu, mohon jangan membaca Kronik Mongondow? Blog ini hanya ditujukan pada mereka yang menyediakan diri berpikir tinggi dan terbuka. Yang otaknya cupet dan punya keberatan, tidak perlu lebih mempertontonkan kedunguan. Lapor ke pihak berwenang dan mari kita uji mana loyang, mana yang bukan.

Kalau pun saya menanggapi dua orang itu, yang tampaknya menganggap HMI adalah lembaga suci dan kader-kadernya luar biasa lurus dunia-akhirat, sebab ada bagian tulisan mereka yang terang-terangan membuktikan jahat, licik, dan manipulatifnya segelintir orang yang membanggakan diri sebagai aktivis organisasi mahasiswa, ber-label Islam pula. Padahal aktivis dengan kelakuan seperti ini pasti akan berakhir sebagai bajingan, sama dengan sederet kader HMI yang kini menghuni jeruji besi atau berstatus tersangka KPK karena menggarong duit negara.

Pembaca, setelah mengunggah Gerombolan Itu Bernama HMI Bolmong Raya, tiba-tiba sejumlah orang meng-add PIN BB saya. Saya tak pernah menolak dan memilih-milih tawaran perkawanan, karenanya seluruh ‘’orang baru’’ yang tidak saya kenal sebelumnya itu di-accept. Salah satunya Abdi Firmansyah Sutomo, SE. Walau demikian, mengikuti insting alamiah, saya mewaspadai kawan-kawan dadakan ini, apalagi kemudian percakapan yang dipertukarkan memancing-mancing dan menggiring saya ke isu-isunya tertentu.

Ai, bocah-bocah bau kencur, sepertiga rambut di kepala saya sudah memutih. Warna ini bukan hasil kreativitas salon. Saya sudah cukup berumur dan berjalan jauh untuk tahu pertemanan mana yang sincere dan mana yang disertai niat-niat tak baik. Maka umpan itu pun dilemparkan, yang dengan segera dilahap konspirator amatir itu, dipertukarkan di antara aktivis HMI Bolmong Raya, dimanipulasi oleh Samsul Bahri Gonibala dan Supriadi Dadu, lalu disebarkan di tulisan yang mereka unggah di facebook dan Kompasiana.Com.

Pikatan itu saya sodor di bual-bual BBM dengan Abdi Firmansyah Sutomo, SE, bahwa pada dasarnya saya juga HMI. Kalau ukuran menjadi HMI adalah mengikuti LK, saya tercatat sebagai pesertanya ketika HMI Manado bersekretariat di Gedung Serimpi. Bukan hanya itu, di beberapa angkatan LK I saya diminta turut memberikan training (khususnya tulis-menulis), yang satu ketika bahkan ‘’nyaris celaka’’ karena disodori materi NIK.

Sepotong-dua info itulah yang saya kisik ke Abdi Firmansyah Sutomo, SE, yang menyambar dengan tawaran, ‘’... kapan-kapan bisa kasih kajian tentang NIK....’’ Respons saya adalah, ‘’Kalau mau jangan kita, sekalian saja Nadia Madjid, Fami Fachrudin, atau Geisz Chalifah, supaya kelas berat punya.’’ Saya masih menyimpan percakapan BBM pribadi ini, yang disebar-sebarkan oleh Abdi Firmasyah Sutomo ke sesamanya, dan kemudian dipelintir Samsul Bahri Gonibala sebagai penolakan untuk bertemu dengan HMI Bolmong Raya. Pelintiran (dan kebohongan yang sama) juga dilaku Supriadi Dadu yang menuduh saya mengaku-ngaku sebagai kader HMI.

Mengetahui dua manipulasi itu, saya mengirim BBM ke Abdi Firmansyah Sutomo, SE, bahwa (sekali pun sudah mencium niat buruknya sejak awal) saya kecewa dengan cara jahat, licik, dan tak beretika yang dia lakukan. Mengapa percakapan antara dua orang yang sama-sama mewakili diri sendiri, bukan atas nama organisasi, tiba-tiba menjadi ‘’tantangan’’ HMI Bolmong Raya ke saya, yang tidak berani saya ladeni? Sepotong info bahwa pada dasarnya ‘’saya juga HMI’’ kok mendadak dituduh sebagai mengaku-aku?

Mari saya tanyakan pada tiga orang itu: Sejak kapan HMI secara resmi, atas nama organisasi, meminta saya hadir sekadar berbual-bual, saling ludah, atau duduk sebagai sesama manusia beradab yang memahami apa itu intelek dan barbar? Pula, kapan dan di mana saya secara terbuka mengaku-ngaku sebagai alumni HMI? Saya tidak pernah menyelesaikan pendidikan PT di Indonesia dan malu mengaku ‘’alumni’’; dan kini lebih malu lagi ‘’alumni HMI’’ melihat laku dan pola aktivisnya, khususnya di Bolmong Raya.

Yang berbahaya bagi negeri ini bukanlah orang-orang tidak berpendidikan atau mereka yang dengan sinis disebut oleh Samsul Bahri Gonibala sebagai ‘’hanya lulusan SMA’’, melainkan jahanam yang jahat sejak dalam pikiran. Terlebih pikiran itu dimuati ideologi dan kecakapan tertentu sebagai pembenar. Itukah yang kalian pelajari dari NDP di LK-LK yang dilakukan HMI masa kini?

Tidak salah kawan yang mengirim tautan tulisan Samsul Bahri Gonibala dan Supardi Dadu berkomentar, ‘’Bae kita anak Mami, bukang HMI.’’ Memang, untuk apa jadi kader HMI kalau substansi paling dasar, Islam, yang dibangga-banggakan organisasi ini hanya sekadar cap sebab kelakuan aktivis-aktivisnya justru jauh lebih buruk dari para pengusung atheism.

Begini saja, kumpulkan seluruh aktivis dan alumni HMI Bolmong Raya dan kita duduk buka-bukaan dan saling tunjung jago. Gatal betul saya menunjukkan pada Ketua HMI Bolmong Raya dan aktivis-aktivis yang dia pimpin, bahwa kini mereka sedang kuyup ludah ‘’ide harus sesuai dengan realitas’’. Apa ide Anda tentang kemaslahatan hidup orang banyak sesuai NDP dan panduan luhur HMI? Bagaimana realitasnya kini?

Tak perlu jauh-jauh, jejerkan mantan pengurus dan kader-kader HMI yang kini berserak di media massa di Sulut. Yang akan Anda-Anda lihat adalah tukang peras, kriminal, yang sudah lama mengencingi keluhuran-keluhuran yang pernah mereka pelajari dan khimati di organisasi ini. Menyebut nama mereka pun saya tidak jerih; apalagi cuma menempeleng bocah-bocah yang sedang gegar merasa penting dan pintar, memaki-maki tak karuan, semata karena ‘’apa daya pengetahuan tak memadai''.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
BB: BlackBerry; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; HMI: Himpunan Mahasiswa Islam; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; LK: Latihan Kader; NDP: Nilai Dasar Perjuangan; NIK: Nilai Identitas Kader; PIN: Personal Identification Number; PT: Perguruan Tinggi; dan Sulut: Sulawesi Utara.