Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, August 3, 2013

Kepemimpinan Amal, Kepemimpinan Tangis, dan Lain-lain


BINGKISAN menjelang Idul Fitri 1434 yang diterima 12 pejabat eselon III dan IV Pemerintah Kota Kotamobagu (Pemkot KK), Jumat (2 Agustus 2013), boleh kita maknai sebagai ujian kesabaran Ramadhan. Entah apa musababnya, mereka mendadak dicopot dari jabatannya dan ‘’diparkir’’ sebagai tenaga pembantu. Setidaknya demikian yang saya baca di situs totabuan.co, 12 Birokrat di Pemkot Kotamobagu Non-job (http://totabuan.co/2013/08/02/12-birokrat-di-pemkot-kotamobagu-non-job/).

Kita boleh ber-syak, pencopotan 12 birokrat itu tak jauh dari ekses pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) KK, Senin (24 Juni 2013), yang menjungkalkan petahana, Djelantik Mokodompit (DjM). Sudah jadi pengetahuan umum, sejak gegar Pilwako dimulai, pegawai negeri sipil (PNS) di KK memang dipaksa memihak DjM, yang dipastikan lewat sensus ke setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). Sensus ini demi memetakan siapa yang kuning (DjM), Biru (Tatong Bara –TB), dan abu-abu (mereka yang tidak terang-terangan menyatakan afiliasi politiknya).

Apapun alasan pencopotan 12 birokrat itu, tak perlu dipersoalkan lagi. Sekali pun penggantian jabatan tersebut dilakukan di saat secara terbuka DjM sudah memaklumatkan pengundurannya sebagai Walikota demi menyasar target politik baru: calon legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK di pemilihan pmum (Pemilu) 2014. Menghadapi ulah dan tingkah DjM yang tidak tahu malu, tidak tahu diri, dan tidak tahu etika, kita mesti bersyukur: Mayoritas warga KK sudah mengucapkan selamat jalan buat dia.

Sebaliknya, masyarakat KK juga mesti mulai mewaspadai gejala yang sama yang kini mulai ditunjukkan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018 yang bakal dilantik September mendatang. Sinyal buruk itu, entah sadar atau tidak, telah dilontarkan Wawali terpilih, Jainudin Damopolii (JD), sebagaimana yang dipublikasi totabuannews.com, Jumat (2 Agustus 2013), Jainuddin: Kabinet TB-JaDi Sesuai Amal Masing-masing (http://totabuanews.com/2013/08/02/jainuddin-kabinet-tb-jadi-sesuai-amal-masing-masing/).

Rupanya JD sudah menganggap dirinya ‘’Tuhan’’ yang berhak menakar urusan amal orang per orang (bila hal-ihwal amal ini ditafsir dari sisi religiusitas). Tampaknya pula PNS di KK harus mendefinisikan kembali posisi mereka, bahwa di luar kinerja dan kemampuan, faktor amal menjadi penentu dipakai atau tidak seorang birokrat di bawah pemerintahan TB-JD. Kemanakah profesionalisme yang menjadi nafas utama seorang birokrat diletakkan di dalam manajemen amal ala JD ini? Dan sesungguhnya apa yang disebut sebagai ‘’amal’’ itu?

Warga KK, khususnya kalangan birokrasi, patut bercuriga bahwa amal dalam definisi JD adalah kontribusi PNS dalam proses terpilihnya TB-JD sebagai Walikota-Wawali KK 2013-2018. Bila benar demikian rumusannya, apa beda antara DjM dan JD? Bahkan hanya dengan mempertanyakan konteks pernyataan itu (yang semoga tidak salah dikutip oleh totabuannews.com), dapat disimpulkan keduanya sama-sama musang berbulu domba. Yang membedakan, satu musang yang telah terbukti sakit jiwa dan yang lain baru menunjukkan gejala terganggu.

Pemimpin atau pejabat publik yang sadar terhadap tanggungjawab, wewenang, dan tugas yang diembannya, semestinya berhati-hati dengan setiap kata yang dilontarkan ke hadapan orang banyak. Sebab pernyataan-pernyataan itu tidak hanya mencerminkan apa yang dipikirkan, tetapi juga merefleksikan perbuatan dan tindakan yang sudah dan diniatkan untuk dilakukan di masa datang.

Menimbang penetapan seorang birokrat dengan timbangan amal adalah ancaman terang-terangan yang mengandung niat buruk. Karena hanya JD yang tahu apa definisi amal yang dia maksud, tidak mengunjungi Walikota-Wawali terpilih di Lebaran nanti boleh dianggap sebagai amalan buruk. Mungkin pula lalai menyambangi mereka berdua dan mengucapkan selamat di hari H Pilwako, boleh jadi menunjukkan ketidak-beramalan seorang PNS di KK.

 Saya tak akan berbantah bahwa dalam mengambil keputusan, termasuk berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, seorang pemimpin tidak terbebas dari subyektivitas. Tetapi sungguh keliru bila subyektivitas, semisal perkara amal yang tak jelas juntrungan definisinya itu, menjadi faktor penting yang mengalahkan takaran-takaran profesionalisme dan kompetensi seseorang. Tidak ada yang salah seorang birokrat beramal mendukung DjM selama proses Pilwako, sepanjang itu dilakukan di luar jam kerja, tidak dengan menggunakan fasilitas dinas, atau dengan menyalahgunakan jabatan.

Imbisillah pemimpin atau pejabat publik yang meletakkan subyektivitas (yang entah dipungut dari bawah pohon apa) sebagai penakar terdepan memilih orang-orang yang akan bekerja bersama-sama dia. Tetapi, di sisi lain, saya juga tidak heran terhadap kian anehnya keajaiban perilaku para pemimpin dan kalangan pemerintahan di Mongondow belakangan ini.

Manajemen amal yang sudah diisyaratkan JD, masih kita tunggu bakal berwujud seperti apa. Beda dengan manajemen tangis yang hasilnya adalah karut-marutnya roda pemerintahan di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk. Manajemen tangis? Apa pula ini?

Pembaca, kalau dua pertanyaan itu melintas di benak, artinya Anda tidak peka dan awas memperhatikan sekitar. Bukan rahasia lagi, mudah bagi seorang birokrat di Bolmong Induk, yang paling brengsek, tukang tilep, tak kompeten, dan jauh dari profesional, mendapatkan jabatan dengan trik sederhana: Di posisi kepepet karena terancam dicopot atau sedang di-non-job-kan, menghadaplah pada Bupati Salihi Mokodongan dan tumpahkan tangis sesedih-sedihnya. Saya jamin si birokrat bakal aman lahir-bathin.

Yang seharusnya non-job ternyata dipromosi, yang terancam dicopot justru bakal mendapat jabatan yang lebih basah dan syur. Tidak percaya? Tunggu saja apa yang bakal terjadi di dua-tiga bulan mendatang.

Untunglah model manajemen kepemimpinan dan pemerintahan imbisil itu belum menjadi praktek umum di Mongondow. Dapat dibayangkan betapa mengerikannya menjadi PNS di wilayah ini bila lima pasang Bupati, Wakil Bupati (Wabup), Walikota, dan Wawali beramai-ramai menggunakan pikiran ayam tetelo dalam mengelola daerah yang dia pimpin.

Alangkah tak sehatnya pikiran dan jantung para birokrat di Bolaang Mongondow Timur (Boltim) bila nasib mereka ditentukan asyik-tidaknya kelakuan yang bersangkutan, mengikuti cara berpikir dan laku Bupati Sehan Lanjar. Demikian pula, bagaimana jadinya andai Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu, menjadikan bentuk kopiah dan baju koko sebagai salah satu aspek penting penilaian penempatan PNS di jajaran pemerintahannya. Atau, cerewet atau tidaknya seorang birokrat menjadi indikator dia layak dipromosi atau non-job di Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), karena Bupati Depri Pontoh dikenal hemat kata dan irit gaya.

Kalau sampai demikian adanya, begitu provinsi yang kini dicita-citakan berdiri di wilayah Mongondow, kita namai saja Provinsi Cenge-cenge’. Setelah itu, beramai-ramailah kita semua memilih kodok dan biawak sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur (Wagub)-nya.*** 

Friday, August 2, 2013

Horor 24


MITOS bukan hanya sesuatu yang kita tahu, mungkin percayai, dan waspadai, yang datang dari masa lalu. Di zaman ketika gerhana matahari patut diduga terjadi akibat naga raksasa menelan matahari. Agar sang naga kurang kerjaan itu melepeh lagi sumber cahaya Galaksi Bima Sakti ini sebelum dia benar-benar berakhir dalam perutnya, penduduk bumi mesti beramai-ramai menciptakan bising.

Hingga di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), kepercayaan itu saya hadapi dengan kaki yang berdiri di dua kutub berbeda. Yang satu di atas pengetahuan ilmiah modern, bahwa gerhana matahari terjadi karena di saat yang sama bulan tepat berada di antara matahari dan bumi. Menyelipnya si bulan ini menjadikan untuk beberapa jenak cahaya matahari terhalang. Bumi diselimuti gelap. Sedangka kaki yang satu lagi, dengan bodohnya, diseret turut di keriuhan memukul lesung, dandang, dan sebagainya, seolah dengan demikian matahari dapat diselamat dengan sehat wal afiat.

Namun mitos yang paling banyak saya temui di keseharian adalah kepercayaan yang berkaitan dengan kesaktian horoskop atawa ramalan bintang. Bagi yang meng-amini ramalan jenis ini, jangan buru-buru naik darah. Anda boleh tetap mempercayai ‘’peruntungan –atau kesialan-- minggu ini’’ yang biasanya banyak ditemui di edisi akhir pekan koran-koran di seantero negeri ini. Saya sendiri memilih netral. Kalau ramalan bintang saya bilang akan ada peruntungan, saya sambut dengan syukur. Bila yang ditulis si tukang ramal ternyata buruk dan cuma membuat was-was, saya menghibur diri dengan segera mencampakkan koran yang memuat ke tong sampah.

Lagipula, kalau tukang-tukang ramal horoskop itu benar-benar manjur, mengapa mereka tidak mampu meramalkan peruntungannya sendiri? Tentu ada satu-dua pengecualian, misalnya di akhir bulan rata-rata horoskop (tak peduli itu jenis bintang apa) menuliskan: “Kedamaian dan keberuntungan ada di depan mata.’’ Tentu saja, orang bodoh pun tahu, akhir bulan umumnya adalah saat gajian. Dan kantong yang terisi selalu membawa kedamaian dan keberuntungan.

Seorang kawan dekat dari masa perguruan tinggi (PT) pernah tergila-gila dengan horoskop. Dia bukan pembaca koran, tetapi di akhir pekan selalu khusyuk menyimak kolom ‘’Ramalan Bintang’’. Muasalnya, entah karena yang meramal memang sakti atau kebetulan belaka, di satu periode waktu beberapa hal yang dituliskan horoskopnya berkesesuaian dengan yang dia alami.

Dia bertemu dengan gadis cantik dan kemudian jadi pacarnya di pekan sewaktu ‘’Ramalan Bintang’’ menuliskan: ‘’Anda akan bertemu dengan dara manis yang mungkin menjadi belahan jiwa.’’Dia mendapat hampir semua nilai A dari mata kuliah yang dikontrak sewaktu horoskopnya bilang: ‘’kebahagiaan mewarnai hari-hari Anda di pekan ini.’’

Kawan itu baru berhenti mempercayai mitos yang jadi payung otak warasnya tatkala diramalkan ‘’Bergembiralah karena ada kabar manis dari kekasih hati.’’ Di pekan itu pacarnya mengirimkan surat memutuskan hubungan mereka. Bila wajah bodoh laki-laki yang patah hati dianggap ekspresi kegembiraan, ramalan bintang itu tepat adanya. Deritanya belum berhenti, sebab horoskop sialan itu masih menjanjikan, ‘’Badai yang menerpa segera berlalu dan langit secerah pagi.’’ Dua hari kemudian dompet dan isinya raib dikuntil pencopet di Pasar 45.

Saya sendiri, sejujurnya, karena pengalaman kawan dekat itu, pernah kebat-kebit dan sempat percaya terhadap ramalan bintang. Satu ketika horoskop saya mengingatkan, ‘’Di hari ulang tahun sebaiknya Anda menghindari perjalanan jauh. Bahaya mengintai di mana-mana.’’ Tak pelak saat ber-HUT saya mengurung diri di dalam kamar kost. Dibingungkan oleh teror perjalanan jauh. Apakah dari Kampus Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) ke Pasar 45 tergolong jauh atau dekat? Dan yang didefinisikan sebagai perjalanan itu apakah jalan kaki, naik sepeda motor, atau menumpang oplet?

Untunglah mempercayai mitos yang tak jelas alasan rasionalnya tak bertahan lama di batok kepala saya. Untuk apa, misalnya, memenatkan kepala bergembira atau gundah karena ada seseorang yang mengatakan mereka yang lahir tanggal 13 dibayang-bayangi kesialan. Saya lahir tanggal 13 dan Alhamdulillah mengalami kesialan kalau teledor, mengabaikan nasehat, atau memang sengaja mencari masalah.

Sebab itu saya hanya terbahak-bahak mendengar spekulasi-spekulasi yang ‘’memitoskan’’ 24 sebagai  angka sial bagi Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM). Entah siapa yang mulai mengkreasi dan menyebarkan mitos ini, yang jelas alasannya: DjM kalah di pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) KK pada 24 Juni 2013. Gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) ditolak pada Rabu, 24 Juli 2013. Dan pelantikan Walikota-Wakil Walikota (Wawali) terpilih akan dilaksanakan pada Selasa, 24 September 2013.

Bila 24 adalah ‘’angka horor’’ untuk DjM, bagaimana dengan Agustus 2013. Yang mengejutkan, ternyata Sabtu, 24 Agustus 2013, sudah dinujumkan pula sebagai bukan hari keberuntungan DjM. ‘’Katanya’’ (kata spekulatif ini terpaksa saya gunakan lagi), di hari itu DjM akan melihat namanya tidak tercantum di Daftar Calon Tetap (DCT) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK untuk Pemilu 2014 mendatang.

Ah, apakah terpentalnya DjM dari ‘’mimpi terakhirnya di panggung politik KK’’ itu adalah ramalan atau kepastian hasil akhir dari proses yang memang muskil dia penuhi? Menurut saya, dengan memahami hukum dan aturan formal di negeri ini, sekali pun dengan alasan politik adalah sesuatu yang memungkin kemustahilan menjadi nyata, bakal masuknya DjM ke DCT DPR KK di Pemilu 2014 pastilah cuma keyakinan orang yang sedang mabuk berat.

Di sisi lain, bagaimana andai urut-urutan 24 Juni, 24 Juli, 24 Agustus, dan 24 September itu ternyata benar menjadi ‘’saat horor’’ untuk DjM. Celakanya, setelah September masih ada Oktober, November, dan Desember. Apa yang bakal dia alami di tanggal 24 di tiga bulan sisa 2013 ini?

Kabar baiknya, mitos adalah mitos. Saya yakin DjM sehat, bugar, bahagia, dan tetap bersemangat di 24 Oktober, 24 November, dan 24 Desember 2013. Bila pun boleh meramal, saya memastikan saat  itu dia bukan lagi Walikota, serta tidak pula menjadi calon legislatif (Caleg) DPR KK.***

Tuesday, July 30, 2013

Menimbang Mama Didi, Didi Moha, dan Yasti Mokoagow


PERTANYAAN yang terlontar di sela-sela reriungan usai buka puasa sungguh mengejutkan saya. ‘’Abang rupanya serius mendukung Didi Moha terpilih lagi ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2014 nanti? Begitu seriusnya sampai-sampai sekarang mulai memuji-muji Mama Didi.’’

Saya memerlukan jeda cukup panjang sebelum mentauziahkan ihwal yang jadi sorotan ini. Memuji mantan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, Marlina Moha-Siahaan atau Mama Didi? ‘’Ya, di tulisan yang baru diunggah di blog, yang judulnya ‘’Tura’!’’, kelihatan betul Abang memuji-muji Mama Didi.’’

Oh, rupanya itu pangkal-soalnya. Padahal, seingat saya, tidak ada kandungan pujian terhadap Mama Didi di tulisan itu. Apa yang saya beberkan adalah fakta yang dilihat dan dialami sebagian besar warga Mongondow yang bermukim –setidaknya—di Kota Kotamobagu (KK) atau Bolmong Induk. Setuju atau tidak terhadap pendapat saya, adalah persoalan yang sama sekali berbeda. Fakta adalah fakta. Sikap adil adalah sikap adil. Lepas dari apakah saya secara pribadi dekat atau jauh, berkerabat atau tidak, dengan siapa pun.

Tapi tunggu dulu, pertanyaan cukup mengganggu itu masih berlanjut. ‘’Abang katanya ( ‘’katanya’’ adalah kata sangat berbahaya karena mengandung spekulasi) mendukung Didi sebab saat ini sudah berseteru dengan Yasti Mokoagow?’’ Waduh, pertanyaan ini benar-benar harus dibereskan sesegera mungkin sebelum menciptakan hubungan tak sedap dengan anggota DPR RI, Yasti Mokoagow, partai asalnya, dan orang-orang yang ada di sekitar dan berdiri di belakang dia.

Mudah-mudahan pertanyaan itu hanya mewakili pandangan satu-dua orang. Sejauh ini saya berusaha bersikap fair dan rasional, terutama saat mengemukakan pandangan dan pendapat lewat tulisan yang diunggah di blog ini. Lagipula, apa manfaatnya menggunakan repetan saya sebagai referensi?

Namun, sebagai pertanyaan, keingintahuan itu harus dijawab. Pertama, adakah fakta yang keliru dari apa yang saya tuliskan tentang Mama Didi? Sebagai politikus, dia memang meninggalkan jabatan Bupati Bolmong setelah berkuasa selama dua periode. Sekali pun demikian, dia tetap Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar (PG) Bolmong yang menguasai DPR Bolmong. Dan selama lebih dua tahun, dia tetap bergiat di politik sekali pun tak banyak dipublikasi media massa.

Saya memaknai aktivitas politik dan sosialnya yang tak pikuk itu sebagai proses hibernasi. Kontemplasi seorang politikus memandang lagi dirinya, posisinya paska berkuasa, dan mungkin mengurusi hal-hal lain di luar sikut-sikutan dan intrik politik. Apa yang salah dari tafsir ini? Di sisi manakah kekeliruan, misalnya, memberi kesempatan kedua pada Mama Didi kembali ke panggung politik sebagai calon legislatif (Caleg) Bolmong di DPR Sulawesi Utara (Sulut), sebagaimana yang sedang dia ikhtiarkan?

Kedua, apakah saya sedang terlibat perseturuan dengan Yasti Mokoagow? Berseturu dengan politikus sekelas Yasti tidak pernah terlintas di pikiran saya. Apa yang kurang dari dia? Dia adalah salah satu politikus Sulut berdarah Mongondow yang tengah berkibar, duduk di posisi elit Partai Amanat Nasional (PAN), dan menjadi sosok di depan dan belakangan suksesnya beberapa tokoh meraih kursi Bupati dan Walikota di Mongondow.

Lebih dari itu, saya cukup mengenal dekat Yasti Mokoagow; baik karena ke-Mokoagow-annya, maupun dalam posisi politiknya. Tetapi tanpa kontribusi signifikan apapun. Sebagai politikus, dia dikelilingi orang-orang hebat yang siap memberikan saran, masukan, pertimbangan, dukungan, dan kerja politik riil. Akan halnya saya, kontribusi terbesar yang saya berikan adalah bertepuk tangan dan turut senang setiap kali mengetahui ada sumbangsih yang diberikan Yasti terhadap Mongondow dan orang-orangnya.

Karena sekadar mengenal dekat, saya tegaskan: Saya bukan siapa-siapa, apalagi dianggap penting atau berpengaruh secara politik terhadap dipilihnya dia sebagai anggota DPR RI. Buktinya, saya tidak pernah diundang di acara apapun di mana Yasti Mokoagow menjadi penggagas atau tokoh utamanya. Apalagi dimintai pendapat atau saran penting yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Tidak percaya? Coba tanyakan pada Yasti, benarkah bahwa dalam tujuh bulan terakhir kami baru sekali berkomunikasi, itu pun per telepon pada Rabu (24 Juli 2013), dimana kebetulan saya mendapat kehormatan dikontak oleh Walikota KK 2013-2018 (terpilih), Tatong Bara.

Percakapan dengan Walikota KK pun bukanlah tentang urusan gawat. Cuma sekadar silaturrahim. Kebetulan kami kenal dekat. Kebetulan kediamannya di Mogolaing tak jauh dari rumah Ayah-Ibu saya. Kebetulan Walikota sedang berada di Jakarta. Itu saja. Saya tidak berani, semisal mengklaim, dari sisi Ayah ada hubungan kekeluargaan dengan Tatong Bara. Nanti apa kata dunia?

Dan ketiga, benarkah saya pernah melontarkan dukungan agar Didi Moha terpilih kembali di DPR RI di pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang? Benar, di banyak kesempatan informal (saya bukan tokoh politik, tokoh masyarakat, pengamat, apalagi elit partai politik, jadi apa yang saya katakan dapat dianggap sekadar ghirah politik orang awam yang warga Mongondow) saya memang ‘’mengkampanyekan’’  pendapat ini.

Dasarnya? Mari kita lihat peta politik 2014 mendatang dan peluang politikus Mongondow mewakili warganya di DPR RI. Kita mulai dengan menghitung bahwa Sulut punya enam wakil di parlemen pusat Di Pemilu mendatang Partai Demokrat (PD) mencalonkan tokoh-tokoh hebat, misalnya EE Mangindaan dan Lucky Korah, ke DPR RI. Menurut hemat saya, EE Mangindaan yang kini menjabat sebagai Menteri Perhubungan (Menhub) hampir pasti melangkah ke Senayan; demikian pula dengan Lucky Korah yang punya rekam jejak sangat baik (mantan Walikota Manado, Pjs Gubernur Sulut, dan Sekretaris Menteri –Sesmen—Pembangunan Daerah Tertinggal –PDT).

Partai lain, PDI Perjuangan, juga dipenuhi nama-nama yang mampu meraup suara. Setidaknya Bendahara PDI Perjuangan yang juga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Sulut, Olly Dondokambay, dan anggota DPR RI, Vanda Sarundajang, masih akan terpilih kembali. Dengan kata lain, PD dan PDI Perjuangan berpeluang menduduki empat kursi (dari enam kursi) DPR RI Daerah Pemilihan (Dapil) Sulut.

Bagaimana dengan dua kursi tersisa? Kita lihat PG sebagai partai yang selalu berhasil mendudukkan wakil di DPR RI. Di urutan pertama daftar calon sementara (DCS) ada Didi Moha, politikus Mongondow berusia muda, yang dibayang-bayangi pendatang baru di urutan ketiga, Jerry Sambuaga, putra politikus kawakan Theo Sambuaga.

Adalah kehormatan besar bagi warga Mongondow dengan diletakkannya Didi Moha di urutan pertama. Sepengetahuan saya, Dewan Pengurus Pusat (DPP) PG punya kebijakan: Incumbent yang diharapkan duduk kembali, dipajang di nomor satu. Artinya, PG yang punya kepentingan tetap bergigi di Sulut, menyakini Didi Moha akan dipilih kembali oleh anggota dan simpatisan partai.

Kursi kedua (sebagaimana Pemilu 2009 lalu dimana PG mendapat dua kursi di Sulut untuk DPR RI), paling mungkin diduduki Jerry Sambuaga. Tetapi tentu saja kita tidak boleh mengabaikan pesaing kuat, misalnya seperti Lucky Korah; mantan Sekretaris Umum (Sekum) Gereja  Masehi Injili Minahasa (GMIM), Nico Gara, yang mencalonkan diri dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem); Mayor Jenderal (Pur) Glenny Kairupan, yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); serta Yasti Mokoagow, petahana dari PAN.

Yasti Mokoagow dengan kinerja politik dan dukungan dari tokoh-tokoh, pemikir, dan pekerja politik yang ada di sekitarnya saat ini, semestinya tak menemui kesulitan mempertahankan kursinya di DPR RI. Dia berpotensi gagal kecuali bila PAN tidak dapat memenuhi parliamentary threshold (ambang batas parlemen) Pemilu 2014 sebesar 3,5 persen suara total partai di seluruh Indonesia.

Dengan memahami lanskap politik seperti itu, tidakkah sangat rasional orang Mongondow berlega hati memberikan dukungan pada Didi Moha; sembari tidak mengabaikan Yasti Mokoagow? Politik adalah urusan yang sangat rasional; dan bila saya berpendapat Didi Moha perlu dukungan ekstra, alasannya adalah demi kepentingan Mongondow dan seluruh warganya.

Pendapat itu sama sekali tidak berlawanan dengan perlunya dukungan terhadap Yasti Mokoagow, yang sudah dilakukan oleh banyak pihak dan orang.

Maka mari kita abaikan hal-hal sepele dan intrik-intrik tak perlu. Kalau Didi Moha dulu politikus ingusan yang duduk di DPR RI karena pengaruh Ibunya yang Bupati Bolmong, kita beri dia kesempatan membuktikan ingusnya sudah diseka sebersih-bersihnya. Bila dia belum matang dan pintar, semoga dengan berjalannya waktu kematangan dan kepintaran kini sudah menjadi bagian integral batok kepalanya.***