Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 30, 2012

Sarkasme ‘’Kasian Deh, Lu….’’

DI USIA lewat 40 tahun mengantar saya mengalami banyak hal. Sejumlah hal bahkan sungguh bodoh, picik, dan memalukan.

Namun saya harus menyampaikan kekaguman pada Fahri Damopolii. Urat bodoh dan malunya sungguh tebal. Sudah tertangkap tangan, diperingatkan dengan halus, ditegur dengan brutal, masih juga berusaha menyelamatkan harga dirinya dengan berkelit-kelit tidak karuan.

Begini saja. Pertama, Anda memang penulis artikel tersebut. Kalau tidak terima apa yang saya sampaikan, apa argumen kokohnya? Sebagaimana tulisan atas nama A. R. Thomas, apa yang disampaikan di Terantuk Bongkahan Congkak! (Radar Totabuan, Senin, 28 Mei 2012) juga bukan argumen kecuali permainan kata (saya yakin yang menulis sendiri pening membaca betapa jelimet dan percumanya kata-kata yang digunakan). Kalau tidak mampu berargumen, gugat pidana dan perdata.

Menulis serangan dan caci-maki terhadap seseorang dengan menggunakan nama alias, jelas pekerjaan pengecut dengan niat yang hanya tepat dikategorikan culas dan jauh dari terhormat. Kalau masih tidak paham apa itu ‘’pengecut’’, ‘’culas’’, dan ‘’tidak terhormat’’, ke dokterlah dan periksa kewarasan serta jenis kelamin Anda.

Saya menjelaskan dengan runut mengapa Anda pantas disebut culas dan sebagainya. Sebaliknya, apa argumen terhadap caci maki pribadi terhadap saya, baik di tulisan atas nama A. R. Thomas maupun Fahri Damopolii sendiri? Yang membedakan antara debat dan caci maki, sekali lagi: ide dan pikiran, bukan fisik. Menyebut saya berkali-kali sebagai si ceking jelek dalam tulisan (apa hubungannya antara bentuk tubuh dengan isi kepala), membuat saya ragu apakah Anda benar-benar lulus Perguruan Tinggi (PT) atau hanya membeli ijazah. Mari disanding sebaik-baiknya, saya yakin masih lebih tampan dan gaya dibanding Fahri Damopolii.

Atau Anda memang berniat dan sungguh-sungguh menjadikan urusan ini pribadi?

Kedua, secara tidak resmi saya sudah mendapat konfirmasi bahwa tulisan dari A. R. Thomas dikirim menggunakan email Anda, fahri.damopolii@gmail.com (bahkan berbohong pun Anda gagal di tingkat paling basic).  Tentu Anda sedang bersiap-siap beralasan bahwa email tersebut dibajak, digunakan orang yang tidak bertanggungjawab, dan alasan klasik lainnya.

Sesekali jadilah laki-laki. Stilistika tulisan atas nama A. R. Thomas identik 100 persen dengan Anda; demikian pula dengan email yang digunakan. Caci-maki kelas bawah di Terantuk Bongkahan Congkak! tak lebih dari kekalapan orang tak berdaya. Atau barangkali entry ‘’malu’’ dan ‘’beradab’’ sobek di halaman kamus yang Anda punya?

Ketiga, sebenarnya apa poin yang ingin Anda sampaikan? Mencaci saya pribadi atau mengkritik ide-ide yang saya tuliskan. Kalau mengkritik ide-ide saya, di manakah itu? Sedang cacian yang sudah bersifat pribadi dan fisik, ya, tampaknya karena iri dan dengki, kalah kelas, lalu menggunakan cara lama: Ingin diakui besar, lawanlah singa. Jurus ini tidak akan mempan sebab kelas kita memang beda.

Sebagai anak kampung yang dibesarkan di Jalan Amal, bersekolah di Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) kota kecil di udik, lalu ke Perguruan Tinggi (PT) yang paling dekat dari kediaman orangtua (hanya itu yang kami mampu), saya pantas congkak. Memangnya congkak melanggar hukum? Belum ada anak Mongondow yang bisa menyamai prestasi pribadi saya, dari drop out memanjat ke posisi signifikan di perusahaan multi nasional terbesar di bidangnya. Tanpa korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dari yang belajar menulis di mesin ketik tua ayah, menjadi salah satu penulis yang direken di negeri ini. Adakah yang setanding dan selevel di Mongondow, mohon maaf, saya yakin tidak. Congkak? Iya, dong, anak kemarin sore yang baru belajar menulis saja boleh pongah, masak saya dilarang besar kepala?

Anda yang haram hukumnya congkak. PNS bow, yang sekarang maksimalnya membebek Raski Mokodompit kemana-mana supaya dapat perhatian, termasuk capek-capek jadi panitia ini-itu yang tidak ada relevansinya dengan kerja birokrasi. Saya dan Anda berkaca di mana saja, penggorengan, belanga, atau ujung sendok, hasilnya sama: Saya orang merdeka, Anda tidak.

Daftar yang bikin sirik makin panjang kalau saya cantumkan siapa teman-teman reriuangan sehari-hari, yang namanya hanya mampu Anda kagumi dari kejauhan. Saya bukan penggemar, pendukung, atau orang suruhan, karena mereka adalah teman yang duduk dan berdirinya sama tinggi. Posisi saya bukan seperti Anda, di mana yang satu ‘’Abo’’ dan yang lain ‘’Ata’’. O, beberapa di antara orang-orang yang sekadar berjabat tangan dengan mereka mungkin Anda impi-impikan, dengan hormat memanggil saya ‘’Abang’’.

Nah, Fahri Damopolii, Anda siapa? Mau menyombongkan apa? Saya maklumi saja kalau Anda merasa terintimidasi dengan kecongkakan saya. Kasihan Anda, --yang pada akhirnya kalah di pasar nasional, apalagi internasional— harus puas berakhir sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di KK. Dengan karakter yang ditunjukkan sekarang, hingga pensiun pilihan yang ada cuma berjibaku sikut-sikutan dan jilat-jilatan untuk mendapatkan jabatan; atau bekerja profesional dan makan hati karena digencet birokrat yang gemar politicking –ya, contohnya Anda sendiri. Saya menonton orang-orang seperti Anda dengan iba sembari menikmati penerbangan kelas satu, hotel bintang lima, buku-buku bagus, dan wisata ke kota-kota dunia.

Jadi, saya memang berhak congkak. Kalau keberatan, ya, ‘’derita elu’’ sendiri. Silahkan kulum jempol dengan perasaan merana. Lagipula menanggapi amatir sekualitas Anda, cemen belaka. Cukup beberapa menit di jeda makan siang atau sembari menyeruput kopi sore menjelang waktu pulang.

Keempat, salah satu jenis pembohong yang buruk adalah tidak ingat terhadap kebohongannya sendiri. Fahri Damopolii adalah jenis yang terburuk dari para pembohong. Kata-katanya diingkari (cek lagi BlackBerry Messenger –BBM—Anda, termasuk permintaan maaf ke saya), bahkan sebelum tinta dan ludah di mulut kering. Ingat-ingat pula kalimat saya yang dikutip dengan pelintiran, apakah memang itu yang tersurat dan tersirat. Ke polisi berurusan dengan tokoh publik populer saja saya tidak takut, apalagi cuma dengan cacing pita.

Lupa dengan kebohongan sendiri menunjuk jelas ke problem kejiwaan. Saya kutipkan contoh pernyataan Fahri Damopolii (yang memang sudah dalam bentuk kutipan, lengkap dengan kesalahan tanda bacanya): ‘’Anda rakyat Bolmong harus bersabar diri dan dalam batas tertentu memaklumi segala yang Anda jumpai dari istri Salihi, sebab ibu bupati Anda memang orang bodoh yang tak paham keprotokoleran pejabat, dan teramat tolol hingga urusan pakaian yang dikenakan’’.

Kelima, penulis yang buruk selalu memproduksi tulisan berkualitas rendah. Idenya compang-camping, alur seperti menunggang kuda mabuk, dengan argumen yang memerlukan satu botol Viagra agar tegak dan lurus. Penulis-penulis yang mengaku berteman dengan saya tentu tak sudi dikait-kaitkan dengan tulisan buruk dan bermutu rendah.

Menulis adalah paduan antara apa yang ‘’masuk’’ (dari bacaan, pengalaman, renungan) serta yang dikandung di batok kepala penulisnya. Garbage in, garbage out. Sampah yang masuk, ditambah mentalitas busuk, hasilnya adalah limbah beracun.

Maka, saya tidak perlu membayangkan siapa-siapa. Saya menunjuk hidung bahwa penulis culas dengan motif dengki dan politicking di balik nama alias A. R. Thomas adalah Fahri Damopolii. Keberatan? Saya akan layani sampai ke mana pun.***

Tuesday, May 29, 2012

Nyali Hemaprodit ‘’Daong Lemong’’

DAGELAN yang dipicu tulisan atas nama A. R. Thomas, Metamorfosis Katamsi ke Wujud ‘’Makin Lucu!’’ (1 dan 2) yang dipublikasi Harian Radar Totabuan, Senin (14 Mei 2012) dan Selasa (15 Mei 2012), ternyata tak surut. Fahri Damopolii yang saya tangkap tangan sebagai penulis sesungguhnya artikel tersebut, tak kurang kilahan.

Terantuk Bongkahan Congkak! oleh Fahri Damopolii yang disiarkan di harian yang sama, Senin (28 Mei 2012), tetap setia dengan kekacauan subtansi. Sekadar mencakar-cakar ke segala arah, menghina-hina dan melecehkan saya pribadi (benar-benar pribadi), tetapi dengan dasar yang selembut pasir hisap. Kian banyak yang dia tulis, makin dalamlah yang bersangkutan terperosok.

Peribahasa Indonesia selalu mengutip keledai sebagai binatang bodoh dan suka terantuk kedua kali di lobang yang sama. Sayang hanya sampai di situ, karena belum ada pengandaian untuk makluk hidup yang bukan hanya terantuk tetapi menceburkan diri berkali-kali ke satu ceruk yang sama.

Apa yang ditulis Fahri Damopolii sementara saya ‘’aminkan’’ dulu dan akan direspons khusus di tulisan lain. Kali ini saya akan menegaskan (setegas tulisan-tulisan sebelumnya) bahwa kualitasnya, baik sebagai pribadi maupun pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Kota Kotamobagu (Pemkot KK), memang cuma setara daong lemong (kreatif betul orang yang memulai olok-olok ini).

Kalau sebelumnya saya membuktikan dia pengecut, recehan, tidak tahu diri (betapa banyak waktu luangnya sebagai PNS KK hingga leluasa mengurusi hingga rumah tangga daerah lain), dan culas. Kini terpaksa harus menambah lagi dengan sebutan hemaprodit dengan kecenderungan lebih ke arah bukan laki-laki tulen.

***

Di penerimaan calon PNS KK 2008, Fahri Damopolii tercatat sebagai salah seorang yang lulus tes. Setahun kemudian, di bawah kepemimpinan Walikota Djelantik Mokodompit-Wakil Walikota (Wawali) Tatong Bara, dilakukan lagi tes yang sama, yang berujung kisruh karena dugaan kongkalingkong dan manipulasi.

Tiga tahun kemudian skandal CPNS itu menyeret sejumlah birokrat elit KK ke meja hijau. Secara mengejutkan, di depan persidangan hidung Walikota dan Wawali ditujuk sebagai dua orang di balik ‘’hompimpa’’ yang mendudukkan  mereka di kursi pesakitan. Dengan kata lain, seharusnya pasangan pimpinan pemerintahan KK itu turut diseret ke depan hukum.

Khusus Walikota KK, kita semua belum lupa bagaimana mulut besarnya menjamin tak ada skandal dalam penerimaan CPNS 2009. Semua akan beres dan kalau tidak, jabatannya yang dipertaruhkan. Skandal terbukti ada, tapi Walikota pura-pura lupa pada omongannya dan terus bertahta dengan nyaman.

Kemana Fahri Damopolii dengan energi luar biasa kritisnya, yang berani memaki-maki dan menyerang saya pribadi? Apa sikap dan kritiknya terhadap isu manipulasi tes CPNS dan kebohongan Walikota itu?

Di tengah guliran masalah CPNS, isu relokasi Pasar Serasi (yang bakal diganti dengan pusat belanja modern) meruyak dengan aktor utama –sekali lagi—Walikota KK. Tanpa sepengetahuan DPR KK, tanpa Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), tiba-dia dia memaklumatkan adanya kesepakatan dengan pihak swasta. Di lain pihak, pedagang yang akan direlokasi ke tempat baru, Pasar Genggulang dan Pasar Poyowa Besar, disodori fasilitas dengan kondisi merana.

Anggaran pembangunan Pasar Genggulang dan Pasar Poyowa Besar tanpa segan saya tuduh sudah jadi bulan-bulanan korupsi.

Relokasi Pasar Serasi yang sangat dipaksakan oleh Walikota KK beranak-pinak perkara lain, dari gugatan mereka yang mengaku ahli waris sebagian lahannya hingga perseturuan Djelantik Mokodompit pribadi dan anggota DPR RI asal Sulut, Yasti Mokoagow. Kisruh dua orang ini bahkan menyeret-nyeret sekelompok orang atas nama Lembaga Adat, yang bersidang dan memutuskan dijatuhkannya sanksi terhadap Yasti Mokoagow. Hari ini sanksi itu tak ketahuan lagi sudah berlabuh di laut mana.

Di mana Fahri Damopolii berada dan apa suaranya merespons isu Pasar Serasi dan turunannya? Mana yang lebih penting, mengejek-ngejek saya agar dia tampak sungguh dungu atau mengurusi kepentingan orang banyak dengan mengontrol sepak-terjang pemimpin seperti Djelantik Mokodompit?

Pasar Serasi masih bergolak, Walikota KK yang entah mendapat wangsit dari langit mana, memprogramkan pembongkaran Mesjid (Jami’) Baithul Makmur. Janjinya akan diganti dengan yang lebih baik, bukan sekadar masjid, tetapi pusat peradaban Islam di KK. Mengingat perilaku Djelantik Mokodompit selama ini, saya tidak heran kalau rayapan siput lebih cepat dari pembangunan masjid pengganti Baithul Makmur dan fasilitas pendukungnya.

Eh, apa yang diperbuat Fahri Damopolii melihat apa yang dilakukan Pemkot dan Walikota KK terhadap Mesjid Baithul Makmur? Ada dia membuka mulutnya sedikit saja atau menuliskan dua-tiga patah kata di media?

Sekarang tibalah kita di Hari Ulang Tahun (HUT) KK ke-5 yang dirayakan Rabu, 23 Mei 2012, dimana Walikota merekahkan senyum bangga disujudi ribuan siswa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) serta suguhan kampanye narsis kain rentang ‘’Lanjutkan’’. Keterlaluan, koreografer dan panitia yang mengatur sujud massal dan orang-orang yang disujudi harus disebut ‘’biadab’’. Sedangkan kampanye kain rentang mendukung Walikota di Pemilihan Walikota (Pilwako) yang baru dilaksanakan 2013 mendatang, adalah fakta betapa mengerikannya rajalela penyakit ‘’tidak tahu diri’’ di KK.

Si hebat Fahri Damopolii pasti diam saja melihat pertunjukan tak beradab itu, kan? Selain karena ilmu nalar, logika dan kepekaannya belum memadai, dia juga tak cukup punya nyali.

***

Mencaci-maki, menghina, dan melecehkan saya pribadi atas nama keseimbangan perasaan (sebagai balasan kemarahan banyak orang karena kritik saya), bagi orang seperti Fahri Damopolii tampaknya dimaknai sebagai tindakan heroik. Keheranan saya adalah, siapa saja yang memberi kuasa padanya? Tidak ada, sebab sebagai PNS dengan ambisi mengangkasa, dia suka rela ditulari penyakit tidak tahu diri kronis yang umum diidap tokoh-tokoh publik di KK.

Bukankah lebih gagah, sebagai PNS dan penduduk KK, dia menggunakan daya yang dikira sebagai kehebatan untuk mengoreksi, mengkritik, dan bila perlu mencaci politikus dan birokrat yang tak becus melaksanakan tanggungjawabnya.

Namun, dengan penuh simpati, berkaitan dengan isu-isu yang dipapar di atas, saya berkeyakinan Fahri Damopolii tidak beda dengan anjing yang terkaing-kaing dengan ekor terlipat di antara dua kaki belakang. Atau, yang lebih manis, dia sebaiknya menggenakan penjepit rambut merah marun, tas tangan kecil dan sepatu high heels berwarna sama, serta dipadu atasan putih dan rok hitam. Sebagai penyempurna, saya akan mengirimkan bedak dan lipstick yang cocok (juga pelatih olah lidah) agar dia tampil prima di hadapan Walikota KK.

Ke alamat manakah saya harus mengirimkan alat-alat mempercantik diri itu?***

Monday, May 28, 2012

Hormat Pada Baginda Walikota!

DI BAGDAD yang indah, makmur dan sentosa, Khalifah Harun al Pusingah bertahta dengan nyaman. Demikian permainya negeri yang dia pimpin hingga satu-satunya pekerjaan yang menyibukkan Baginda Khalifah adalah ‘’santai-santai dan tiduran di sofa kebesaran’’.

Dalam menjalankan pemerintahan Khalifah dibantu seorang penasihat bernama Iznogoud yang tersohor karena tingginya 1,5 meter (sudah dengan selop) serta kelicikan dan satu-satunya niat yang dia tuju: menjadi Khalifah pengganti Khalifah. Duo ini digenapi ajudan Iznogoud yang bernama Jilat Darat.

Saya mengoleksi komik Petualangan Iznogoud yang Tersohor karya Goscinny dan Tabary dengan semangat seorang bocah, sebagaimana selama ini juga mengumpulkan satu demi satu komik-komik bermutu lainnya (yang terakhir serial Cedric dari Laudec dan Cauvin serta Agen Polisi 212 karya Daniel Kox dan Raoul Cauvin). Di banyak kesempatan komik-komik itu menjadi bacaan menyegarkan.

Di tangan Goscinny dan Tabary kekuasaan dan ambisi menjadi sumur yang terus-menerus mengalirkan humor. Kita boleh mengatakan Khalifah Harun al Pusingah adalah parodi dari Khalifah Harun Ar-Rasyid (766-809) yang tersohor. Peradaban manusia mengenal periode kepemimpinannya sebagai masa keemasan Islam (The Golden Age of Islam).

Tapi di komik Goscinny dan Tabary tokoh utamanya bukanlah Khalifah Harun al Pusingah. Titik pusat dari seluruh cerita adalah Iznogoud. Segala tindak-tanduk dan kelakuan penasihat Khalifah ini seolah demi kehormatan junjungannya. Yang sebenarnya, Iznogoud menjalankan tipu-muslihat dan aneka taktik agar Khalifah tersingkir dari singasana, lalu dia tampil sebagai pengganti.

***

Kamis (24 Mei 2012) saya menulis ‘’Lanjutkan Sampe di Got?” yang mengkritisi diusungnya kain rentang ‘’Lanjutkan’’ di tengah perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Kotamobagu (KK) ke-5 yang berlangsuung Rabu (23 Maret 2012). Tulisan itu sebenarnya belum tuntas, karena masih ada tanda-tanya yang menggantung di benak saya.

Di foto perayaan HUT KK yang dipublikasi http://beritamanado.com/ dan saya rujuk, kain rentang ‘’Lanjutkan’’ dilatari anak-anak berpakaian serba putih dan dalam posisi sujud. Mulanya saya menduga posisi itu bagian dari gerak tari yang dipentaskan mendahului Tari Dana-Dana. Barulah pada Sabtu (26 Mei 2012) saya mendapatkan penjelasan lebih komprehensif dari sejumlah orang yang hadir di event tersebut.

Penjelasan yang sangat mengejutkan. Ternyata posisi sujud itu dilakukan sebelum ribuan siswa-siswi Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) mulai menarikan Tarian Dana-Dana. Arahnya: ke panggung di mana Walikota KK, Djelantik Mokodompit dan jajarannya serta para undangan duduk dengan takzim.

Gerakan itu sepegetahuan saya bukanlah bagian dari Tari Dana-Dana. Kalau begitu, apa maksud koreografer atau pelatih Tari Dana-Dana dan panitia yang terlibat menggelar sujud massal ke arah panggung? Pertanyaan ini bukan sekadar keingintahuan biasa. Dan memang saya berprasangka bahwa ada sejumlah oknum yang mengada-adakan keanehan-keanehan tak perlu untuk ‘’mencari muka’’ dan menjilat, khususnya ke Walikota KK sebagai sosok utama di perayaan HUT itu.

Setiap aspek dari sebuah event publik pasti disiapkan lewat rencana yang tersusun rapi, langkah demi langkah, tahapan demi tahapan. Apa yang ditampilkan bukan sekadar karena ada yang iseng memasukkan di skenario, tetapi sebab ada pesan-pesan yang terkandung dan dikandung di dalamnya.

Terlebih tarian. Orang paling awam seni dan kesenian pun tahu, setiap gerakan dari satu rangkaian tarian adalah simbol dari ‘’sesuatu’’ yang ingin disampaikan sang koreografer. Sebagai satu simbol, tak ada tafsir lain dari gerakan sujud kecuali penyerahan diri (dalam Islam gerakan ini bermakna sangat tinggi). Di luar itu, artinya adalah kultus terhadap sesuatu.

Untunglah putra-putra saya, terutama si bungsu Iben, tidak menjadi bagian dari ribuan siswa-siswi SD dan SMP yang bersujud massal itu, hingga saya terbebas dari kemarahan mendidih. Saya dibesarkan dengan ajaran bahwa sujud hanya untuk Tuhan dan orangtua. Di luar itu, prek!

Mencium tangan saja, yang kian jadi praktek biasa sebagai bentuk penghormatan (pada yang lebih tua atau yang dianggap tokoh), saya haramkan. Saya, sebagaimana yang juga saya ajarkan pada anak-anak, hanya mencium tangan kedua orangtua, mertua, serta kakek dan nenek. Selebihnya, salaman saja sudah cukup mewakili seluruh maksud penghormatan yang ingin disampaikan.

Perkara mencium tangan, saya selalu teringat bagaimana guru saya dan beberapa teman, Kiai Arifin Assagaf, yang refleks menampik bila ada gelagat orang yang bersalaman akan mencium tangannya. Kalau salah satu di antara kami mencoba-coba melakukan itu (yang sesungguhnya dia tahu sekadar becanda), tangan kanan Kiai Arifin pasti segera mendarat di kepala diikuti bunyi garing ‘’plak’’.

***

Kultus individu biasanya tidak lahir begitu saja. Selalu ada yang memulai, melakukan secara terencana dan terus-menerus (di banyak kasus dengan pemaksaan), lalu menjadi kewajiban yang bila diabaikan membawa konsekwensi serius.

Contoh lain dari adanya upaya dan rencana kultus individu itu adalah peristiwa berikut. Usai Lebaran 1432 H lalu, Walikota Djelantik Mokodompit diundang menghadiri halal bi halal Keluarga Besar Manoppo yang digelar di Kotamobagu. Mengingat tanggungjawab dan kesibukannya, galib belaka bila Walikota terlambat tiba dan akhirnya acara yang dihadiri sanak-kerabat Manoppo dari berbagai daerah ini baru dimulai selewat pukul 21.00 Wita.

Pembaca, molornya acara tidak masalah. Di keseharian saja hal itu dapat dimaklumi dan dimahfuni, apalagi di saat halal bi halal. Yang sangat mengganggu justru penceramah yang diundang menyampaikan hikmah pada para hadirin, yang berulang kali menyapa Djelantik Mokodompit dengan sebutan ‘’Baginda Walikota’’.

Saya memang tidak hadir di acara tersebut. Tetapi malam itu beberapa kerabat dekat yang gerah  mengirimkan BlackBerry Messenger (BBM) dan pesan pendek (SMS), menanyakan pendapat saya terhadap sapaan ‘’Baginda Walikota’’. Salah satu jawaban yang saya ingat persis adalah: ‘’Mari kita bersiap satu saat menyaksikan Walikota KK mengendarai onta atau kuda ke kantor dan di sepanjang jalan rakyat berbaris sembari menunduk dengan khimat.’’

Tokoh rekaan Goscinny dan Tabary, Iznogoud, kini menjelma jadi nyata di KK. Mungkin saya harus memasukkan salah satu komik favorit ini ke lemari dan mengunci rapat-rapat, karena sudah kalah lucu dibanding ulah sejumlah orang yang memaksakan aneka kultus ke Walikota Djelantik Mokodompit.***