Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 9, 2012

Horor-Horor Staf Sespri Bupati Bolmong (2)

KIAN mengetahui kelihaian Linda Lahamesang, saya sempat memarahi adik-adik yang rasanya memang kurang berbakti (sesekali sebagai kakak saya juga berkeinginan ‘’makang puji’’). Tapi dipayungi Ismail Dahab, dikipasi Pegy Mokoginta dan keringat saya diurusi Sarif Mokodongan, bukan dharma bakti tapi tonte’ek maha tinggi. Di belakang saya mereka akan punya cerita yang bakal diulang-ulang dan ditertawakan hingga dower.

Hanya dalam tempo singkat bangkai yang telah dikubur Bupati Marlina Moha-Siahaan, sukses digali dan diusung Linda Lahamesang di hadapan Bupati dan Ibu Bupati yang baru.

Merindingkan Kuduk

Tidak ada yang salah mendekatkan diri dengan Bupati dan Ibu Bupati. Memayungi, mengipasi, mengurus dandanan Ibu Bupati juga bukan dosa (cuma bikin mual sebab semuanya mendadak terlihat talebe-lebe). Saya kira Ibu Bupati belumlah jompo dan tak berdaya hingga urusan-urusan sepele sudah harus dibantu tenaga khusus.

Mau seperti apa Linda Lahamesang menjilat Bupati dan Ibu Bupati, termasuk tiba-tiba sudah menyebut Salihi Mokodongan dan istri dengan ‘’Papa’’ dan ‘’Mama’’ (pertama kali tahu hal ini saya tertawa hingga terguling-guling. Gile bener….), sepanjang tidak menyentuh ruang publik, saya tak ambil pusing. Menakut-nakuti para birokrat mengatas-namakan Bupati, tidak pula saya pikirkan. Hanya birokrat bodoh yang percaya begitu saja lidah berbisanya. Terlebih dia bahkan bukan bagian dari Tata Usaha Pimpinan (TUP), tapi hanya staf Sespri.

Sama halnya dengan membawa-bawa istri Bupati seolah-olah punya kekuasaan yang sama dengan Bupati di pemerintahan dan birokrasi Bolmong. Sepanjang yang saya tahu rakyat Bolmong memilih Salihi Mokodongan sebagai Bupati; bukan istrinya (yang di balik punggung mereka sekarang dijuluki ‘’Kosong Setengah’’).

Saya baru bereaksi kalau itu melibatkan adab terhadap orang banyak dan kehormatan seseorang seperti Bupati Bolmong.

Gambarannya seperti ini: Biasanya bila melakukan perjalanan rombongan Bupati Bolmong didahului mobil Patroli Kawal (Patwal). Di banyak kesempatan Linda Lahamesang yang entah atas perintah siapa turut di mobil Patwal lalu menggunakan pengeras suara menyuruh minggir kendaraan atau halangan di depan. Dengan lantang biasanya dia berseru, ‘’Hoi…! Ba pinggir!’’

Saking seringnya kelakuan barbar itu dipertontonkan hingga seorang kawan yang bukan orang Mongondow pernah mengeluh ke saya dengan kalimat sinis: ‘’Mangkage butul Bupati Bolmong itu, kang? Sedang cuma mo lewat musti ada depe pengawal yang bertugas bataria’. Padahal so kawal lei dengan oto patroli.’’

Mendapat angin sebab tak ada yang berani menegur (karena akan diadukan langsung ke Ibu Bupati), kelakuan biadab itu kian menjadi. Peristiwa ini adalah contoh yang lain. Satu saat setelah dilantik, dalam satu apel Bupati ingin mengetahu para pimpinan SKPD dan meminta mereka mengangkat tangan saat dinas atau badannya disebutkan. Begitu Bupati mulai, Linda yang seperti biasa menempel bagai lintah, bergegas ke tengah para pejabat Pemkab Bolmong (dari eselon II hingga IV) dan berteriak-teriak memerintah agar mereka unjuk tangan.

Lainnya, semisal kejadian di pisah-sambut Komandan Kodim 1303 Bolmong beberapa waktu lalu. Di depan undangan dan hadirin, Linda Lahamesang dengan entengnya memperbaiki papan nama Bupati yang rupanya terpasang miring. Padahal ketika itu Bupati Salihi Mokodongan sedang menyampaikan sambutan.

Yang saya contohkan itu hanya tiga dari banyak peristiwa yang menunjukkan bagaimana kehormatan Bupati Bolmong diciderai di depan umum. Bagaimana Bupati diperlakukan bagai ‘’orang mangkage’’ dan ‘’bodok-bodok’’ oleh orang di sekitarnya yang bahkan hanya level staf.

Sementara itu, sembari disanjung dan dipuja-puja, Ibu Bupati juga dijerumuskan jadi bahan tertawaan massal. Saya pernah hampir menegur sekelompok perempuan yang ramai mencibir Ibu Bupati Bolmong karena hadir di salah satu acara Dharma Wanita lengkap dengan seragam Dharma Wanita. Untung belum ada kata yang keluar dari mulut ini, sebab yang berhak menggunakan pakaian Dharma Wanita memang hanyalah perempuan yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau istri PNS.

Mulut saya lagi-lagi ditutup rapat-rapat sewaktu berada di tengah orang banyak yang mempercakapkan bagaimana di Hari Ulang Tahun (HUT) Bolmong, Maret 2012 lalu, Ibu Bupati berkebaya tanpa selendang. Padahal ibu-ibu lain yang hadir dan berkebaya, seluruhnya lengkap dengan selendang (yang memang menjadi pelengkap formal jenis pakaian ini). Saya hanya mengeleng-ngeleng ketika mendengar cemooh, ‘’Bagitu noh kalu ba dengar pa tuh tukang-tukang ba jilat.’’

Kalau akhirnya saya berkomentar, ketika tahu bahwa akhir-akhir ini ada dua kendaraan yang secara bersamaan menggunakan DB 1 di Bolmong. Satu yang digunakan oleh Bupati Bolmong, yang satu lagi oleh istrinya. Pekan lalu pada satu acara di Kopandakan ada dua DB 1 yang diparkir karena Bupati dan istri hadir di tempat yang sama.

Komentar saya terhadap penggunaan pelat nomor yang sama itu pendek saja: Ampun! Apalagi saya yakin yang melakukan itu pasti tak jauh dari orang yang sama, yang selama ini terus-menerus membuat Bupati dan istrinya tampak konyol di depan publik.

Piramida Kesemena-Menaan

Begitu kacau-balaunyakah tata dan tingkah di sekitar Bupati Bolmong? Tidakkah Bupati menyadari bahwa kalau dia terus bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja; membiarkan setiap orang di sekitarnya berlaku sesuka mereka sendiri, cepat atau lambat pimpinan SKPD, kemudian para staf, dan akhirnya orang banyak kehilangan respek dan hormat. Jabatan tetap Bupati, tapi diperlakukan tak lebih sebagai ‘’bupati-bupatian’’ saja.

Secara pribadi saya melihat petanda kesemena-menaan yang dicontohkan orang-orang yang mengaku dekat dengan Bupati (atau Ibu Bupati), mulai dipratekkan secara terstruktur. Kalau di level Linda Lahamesang yang disemena-menai adalah Satpol PP dan staf bawah di sekitar Bupati, bagaimana dengan di tingkatan yang lebih tinggi?

Harus dinilai seperti apakah fakta seperti ini: Kepala Dinas Sosial (Kadinsos), Lutfi Limbanadi, tidak berada di tempat karena mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II (Pim II) di Makassar. Ditunjuklah Sekretaris Dinsos sebagai Pelaksana Harian (Plh). Entah dengan alasan apa, oleh Asisten II tiba-tiba penunjukkan Plh Kadinsos itu dialihkan ke salah seorang Kapala Bidang (Kabid). Duga-duga yang disampaikan ke saya, sang Kabid dipilih karena dia adalah sepupu Asisten II.

Bagi kebanyakan orang melawan praktek-praktek busuk politik dan birokrasi bukan pilihan yang menyenangkan. Apalagi di Bolmong yang levelnya tak hanya bekeng tako tetapi sudah menjadi horor yang dengan cepat terasa lebih mengerikan di bawah rezim Salihi Mokodongan yang belum lagi genap setahun; dibanding 10 tahun di masa kekuasaan Bupati sebelumnya.

Mungkin karena umumnya kita semakin peka. Atau boleh jadi rezim terdahulu lebih pintar dalam modus.***

Horor-Horor Staf Sespri Bupati Bolmong (1)

HUJAN mengguyur Jakarta, Senin pagi (7 Mei 2012), ketika saya terjaga. Awal pekan selalu melelahkan. Secangkir kopi dan browsing berita menjadi pembuka yang semestinya mengasyikkan.

Ternyata tidak. Ada banyak pesan pendek dan BlackBerry Messenger (BBM) yang menderas masuk ke dua nomor selular saya. Rata-rata menanyakan ada apa hingga saya menulis Surat untuk Bupati Bolmong: Dibaca atau Tidak, Tidak Masalah. Selain itu, sebagian besar bersetuju memang ada orang yang kini menempatkan diri dekat dengan Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, secara terus-menerus membuat kerusakan yang menjurus ke penghancuran mekanisme, sistem, tata cara dan etika normatif yang semestinya melekat pada seorang Bupati.

Mengusung Bangkai

Perilaku menghancurkan seperti itu sangat saya ketahui. Yang seperti itulah yang saya kritik bertahun-tahun di masa pemerintahan Bupati Marlina Moha-Siahaan. Di akhir masa jabatannya, saya menangkap ada kesadaran lewat sejumlah perubahan besar, termasuk menyingkirkan beberapa orang yang kelakuannya sangat destruktif, yang hanya ‘’asal Bunda senang’’.

Hebatnya, menusia jenis berbahaya yang ‘’asal bapak atau ibu senang’’ adalah kegigihannya mencari celah mendekat ke kekuasaan. Mereka juga pintar menunjukkan seolah-olah mengabdi dengan tulus, padahal sesungguhnya terus-menerus memanfaatkan kedekatan itu secara abusive.

Setelah Salihi Mokodongan terpilih sebagai Bupati Bolmong di Pilkada 2011 lalu, salah seorang diantaranya yang saya amati dengan saksama adalah Linda Lahamesang. Secara pribadi saya tidak punya persoalan dengan yang bersangkutan, yang saya kenal sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Kotamobagu.

Ihwal Linda Lahamesang ini, jauh hari sebelumnya sudah dimulai ketika mengkritik tata cara sholat Idul Fitri Bupati Marlina Moha-Siahaan pada 2008 (sebagian pembaca blog ini pasti ingat peristiwa itu karena sempat menjadi polemik panjang di media massa cetak terbitan Manado). Perempuan yang memayungi Bupati Marlina selama sholat Idul Fitri berlangsung, yang fotonya kemudian dipublikasi sejumlah media, tak lain Linda Lahamesang.

Lama kemudian saya tak mengetahui sepak-terjangnya. Yang saya tahu dia dipindahkan menjadi Sekretaris Kecamatan (Lolak), lalu di era Pejabat Bupati Gun Lapadengan lewat nota dinas perbantukan ke Badan Kepegawaian Daerah (BKD) hingga ada keputusan lebih lanjut. Apa artinya? Bagi kalangan birokrat itu menunjukkan yang bersangkutan sedang bermasalah hingga harus ‘’dibina’’ dan ditertibkan setertib-tertibnya.

Yang mengundang kewaspadaan saya lagi karena tiba-tiba dia ada di sekitar Ibu Bupati terpilih. Padahal, setengah penduduk Bolmong tahu persis, dialah yang menjadi salah satu sumber olok-olok penghinaan terhadap Salihi Mokodongan di masa pencalonan Bupati-Wabup Bolmong, seperti plesetan SBM sebagai ‘’Salihi Belajar Membaca.’’

Begitu dekat, di beberapa kesempatan dia bahkan show of force seolah-olah sudah punya hubungan sangat dekat sejak berabad-abad. Diawali dengan menemani ke pesta dan hajatan, menjadi tukang payung dan tukang kipas (supaya Ibu Bupati terpilih tidak terpapar terik matahari dan kegerahan), atau menjaga agar dandanan Ibu Bupati tetap sempurna –termasuk mempertunjukkan di depan umum bagaimana dia mengelap bintik-bintik keringat dengan tisu.(Bersambung)

Tuesday, May 8, 2012

Dumoga: Energi Berlebih dan Kompetisi ‘’Bakalae’’

DUA kelompok massa saling berhadapan. Masing-masing pihak mempersenjatai diri dengan aneka benda maut. Pedang panjang, parang, pisau, potongan besi, balok, bambu runcing dan batu. Jangan lupa tambahkan dua jenis yang tak kalah seram, senapan angin dan panah wayer.

Malam yang semestinya teduh, mendidih dibakar anarki. Didahului sahut-sahutan pertengkaran mulut, provokasi dan saling mengundang, teriakan, lalu tawuran pecah. Orang-orang berlarian saling mengincar. Orang-orang tua, kaum perempuan dan anak-anak, menutup rapat pintu dan jendela, menyembunyikan diri sehening mungkin dengan jantung berdegup bagai bunyi kereta uap berbahan bakar batubara.

Di tengah chaos api mulai menjalar. Tak jelas siapa yang menyulut. Yang pasti lidah-lidah merah yang membumbung mudah berpindah dari satu bangunan ke bangunan yang lain.

Tatkala pagi tiba, yang tersisa adalah satu-dua tubuh kaku, dingin berlumur darah; orang-orang terluka yang mengerang-ngerang; rumah yang tinggal abu dan arang berasap; dan tangisan kehilangan nyawa dan harta benda. Pemandangan ini, anehnya, kerap hanya sesaat mendatangkan sesal. Setelah itu amarah berkobar lagi dan siklus anarki dimulai lagi dari awal.

Saya tidak sedang mecuplik kisah dunia Barat liar yang banyak ditulis bacaan klasik Amerika, adegan film Gang of New York (Martin Scorsese, 2002), atau pertempuran antara tentara pemberontak dipimpin Saigo Takamori melawan pasukan Kaisar Jepang menjelang akhir 1800-an (walau pun membayangkan pedang beradu pedang, parang beradu parang, ditingkahi peluru senapan angin dan panah wayer tak urung menyeret ingatan saya pada Samurai: The Last Warrior karya John Man, 2011). Sesungguhnya yang ada di benak saya adalah bentrokan massal yang pekan-pekan ini menjadi isu panas di wilayah Dumoga, Bolmong.

Sudut Pandang Lain

Saya tak hendak sok pintar mencari-cari akar masalah kenapa bentrok massal (lebih populer disebut ‘’perkelahian antar kampung’’ –seolah-olah ini sama dengan pertandingan sepakbola atau kasti antar kampung) mudah meletus di wilayah Dumoga. Tidak pula saya berkeinginan mengutak-ngatik mengapa ada dendam berkarat antar dua kampung yang diekspresikan dengan perkelahian massal di waktu-waktu tertentu.

Demikian juga, tak perlu saya membahas mengapa malam muda-mudi pesta pernikahan yang semestinya menjadi tempat orang-orang bergembira, mendadak jadi pemicu tawuran berombongan. Atau sekadar teguran Ketua RT pada pemuda kampung sebelah yang terlampau rajin mengunjungi pacar (seperti besok dunia akan runtuh kalau rindu menatap wajah kekasih tak tersampaikan), bisa menyulut emosi anak-anak muda yang lalu berduyun menyerbu kampung si kekasih.

Asmara Remoe dan Juliet versi tawuran antar kampung itu dapat dipastikan berakhir dengan patah hati massal. Cewek gila mana yang masih bersedia menikahi pemuda yang menyerbu kampungnya? Orangtua mana pula yang ikhlas anaknya dilamar bengal tukang tenteng parang?

Musabab mudahnya bentrok massal di Dumoga biar jadi kajian para sosiolog dan ahli psikologi massa. Buru-buru mengatakan (seperti pernyataan seorang anggota DPR Sulut yang saya baca di situs Tribun Manado, Selasa, 8 April 2012) karena minimnya kesempatan kerja, perlu diuji kebenarannya dengan serius. Berapa banyak bentrok massal yang bakal terjadi di negeri ini kalau tesis itu valid?

Karenanya, untuk kasus di wilayah Dumoga, saya sendiri hanya menawarkan sudut pandang lain, bahwa ada energi dan semangat berlebih yang meletup-letup, yang membutuhkan saluran lebih baik ketimbang hanya baku tumbu, baku potong, dan baku panah. Dengan menggunakan pendekatan lebih kreatif (alangkah lelahnya Muspida Bolmong bolak-balik bertemu tokoh masyarakat Dumoga, menggelar silahturahmi dengan masyarakat, dan setelah mereka pergi senjata mulai dihunus lagi), energi besar dapat didaya-gunakan menjadi sumber kesejahteraan ekonomi dan sosial; dan mungkin budaya baru yang menjamin stabilitas keamanan masyarakat.

Kelemahan Menjadi Nilai Tambah

Mengapa tidak kita pikirkan mengemas ‘’energi dan semangat’’ tiu menjadi satu tontonan yang dipromosikan sebagai keunikan wilayah Dumoga? Misalnya dengan sejenis ‘’kompetisi bakalae’’ yang hanya boleh diikuti mereka yang tercatat sebagai penduduk Dumoga.

Aturan ‘’kompetisi bakalae’’ ini kira-kira: para pesertanya mutlak penduduk Dumoga, dibagi berdasar usia (misalnya 18-21 tahun; 22-27 tahun; 27-33 tahun, 33-38 tahun –di atas usia ini kalau masih tawuran massal juga, sungguh keterlaluan). Atau berdasar pembagian berat badan (50-55 kg; 55-60 kg; 60-65 kg; 65-70 kg; 70-75 kg; dan kelas bebas). Para peserta boleh menggunakan pakaian apa saja (pakai baju karate atau silat oke, celana ceper diterima, cawat juga tidak dilarang). Arena yang digunakan berbentuk ring (seperti di pertandingan tinju) dengan peraturan sederhana: begitu bel berbunyi, silahkan saling hantam.

Wasit yang bertugas hanya memastikan bahwa peserta betul-betul ‘’bakalae’’ dengan serius dan memutuskan pertandingan dihentikan kalau salah satu peserta menyatakan menyerah; atau flao.

Agar kompetisi ini menjadi berkelas, pemenangnya berhak atas hadiah besar: Pemenang I Rp 50 juta, Pemenang II Rp 30 juta, dan dua semi finalis lain masing-masing berhak atas hadiah Rp 15 juta. Sebagai bonus, sang juara wajib disapa ‘’Bos’’ selama satu tahun oleh warga Dumoga, hingga ‘’Bos’’ baru ditentukan lagi lewat kompetisi berikut.

Siapa pun yang berkelahi di luar ring kompetisi, pasti para penakut yang cuma pantas ditendang masuk sel Polsek Dumoga.

Sebagai sebuah tontonan yang diharapkan bermanfaat secara ekonomi, ‘’kompetisi bakalae’’ ini selayaknya dimulai dari tingkat kampung yang berlangsung setiap akhir pekan; di mana hanya Pemenang I dan II di setiap kampung yang berhak ke kompitisi puncak sewilayah Dumoga. Kompetisi puncak pun hanya digelar Sabtu dan Minggu, dengan demikian meng-atraksi orang-orang dari seluruh penjuru datang menonton.

Mahasiswa pemula di Fakultas Ekonomi pasti langsung bisa menghitung berapa besar efek ekonomi yang terjadi. Mereka yang berniat diakui kejagoannya di komunitasnya pun bakal berlomba-lomba menyiapkan diri turut ambil bagian. Mabuk-mabukkan dan begadang dengan sendirinya surut, sebab tukang berkelahi yang mengkonsumsi miras tak akan sanggup berhadapan dengan lawan lebih dari dua menit.

Saya berkeyakinan, sesuatu yang mulanya adalah kelemahan dan halangan, selalu dapat diubah menjadi keuntungan. Dan inilah tawaran saya, yang bahkan mungkin  dapat segera direalisasikan lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) Perubahan Bolmong 2012. Implementasi mudah, sebab sudah ada Dinas Pendidikan dan Olaharaga serta Dinas Pariwisata di Bolmong. Serahkan pada mereka dan para Muspida serta warga Dumoga silahkan tidur nyenyak.***