Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 22, 2011

Walikota KK dan Selamat HUT untuk Dirinya Sendiri

WALIKOTA Kota Kotamobagu (KK) rupanya berulang tahun ke 57 hari ini (Rabu, 22 Juni 2011). Secara tak sengaja saya tahu dari dua iklan yang dimuat di halaman 4 dan 5 Harian Manado Post, masing-masing oleh Sekretariat Pemerintah Kota (Pemkot) serta Jajaran Pemerintah dan Masyarakat KK.

Mengucapkan dan menyelamati seseorang yang berulang tahun adalah wujud silahturrahmi. Yang menerima ucapan –terlebih dibarengi doa selalu dalam lindungan-Nya, sehat-sejahtera, rezeki berlimpah dan panjang umur— pasti sangat bahagia. Sebaliknya yang menghaturkan juga girang karena menunjukkan ingat dan pedulinya.

Tak salah kalau saya turut pula menyampaikan selamat ulang tahun pada Djelantik Mokodompit, sebagai Walikota maupun pribadi.

Yang jadi masalah, konteks ucapan yang disampaikan Sekretariat Pemkot serta Jajaran Pemerintah dan Masyarakat KK adalah pengumuman atau ucapan? Kalau pengumuman, apa urusannya HUT Walikota dengan kepentingan orang banyak. Kalau ucapan, iklan itu dipasang atas biaya siapa? Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dari pos Sekretariat Pemkot, Sekretaris Kota (Sekkot), atau operasional Walikota-Wakil Walikota (Wawali)?

Saya yakin sejumlah orang segera mengerutkan kening tak senang membaca pertanyaan-pertanyaan yang diajukan itu; bahkan boleh jadi merepet dan menganggap saya dengan sengaja mencari-cari celah mengkritik Pemkot KK, lebih khusus Walikota. Atau yang terburuk, makin tidak menyukai apa yang saya tulis karena dianggap sebagai bentuk sentimen pribadi dan black campaign terhadap Djelantik Mokodompit.

Sekali Lagi: Kepentingan Umum

Pembaca, di blog ini saya pernah menulis kritik terhadap Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang merayakan HUT pernikahannya bersama dengan acara resmi Pemerintah Kabupaten (Pemkab). Tak berapa lama setelah tulisan diunggah (Eyang, So Lupa Itu Janji), Bupati Boltim yang selalu saya sapa akrab dengan Eyang,  menelepon dan kami bahkan bertemu serta memperbincangkan masalahnya selama berjam-jam.

Eyang menerima kritik saya sebagai koreksi yang mengingatkan dia agar tak mencampur-adukkan kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Bahwa ada ruang pribadi yang menjadi hak seorang Bupati, Walikota, Gubernur, Menteri, atau bahkan Presiden yang mesti dihormati; tetapi jangan lupa pada hak orang banyak yang harus direspek oleh para pemimpin. Mencampur-adukkan keduanya, terlebih dengan menggunakan APBD atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), jelas melanggaran –minimal—terhadap hak orang banyak.

Hak itulah yang saya pertanyakan terkait iklan ucapan selamat HUT pada Walikota KK. Melihat format dan kandungannya, tentu iklan itu tidak dirogoh dari kantong pribadi-pribadi yang namanya dicantumkan. Saya hampir yakin (sebaliknya saya berharap keliru dalam soal ini) bahwa iklan itu dibiayai anggaran APBD KK.

Bila benar anggarannya diambil dari APBD, ini menjadi bukti kesekian kali betapa tidak pekanya elit politik dan birokrasi di Mongondow umumnya dan KK khususnya terhadap etika dan profesionalisme pelayanan publik. Lebih jauh lagi, membiayai iklan yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan publik boleh kita golongan sebagai tindak korupsi.

Pun kalau ucapan selamat HUT Walikota pantas diiklankan dengan biaya APBD, maka hal yang sama wajib pula dilakukan untuk Wawali, Sekkot, Ketua serta Wakil-Wakil Ketua DPR, Kepala-Kepala SKPD, dan siapa saja yang dapat dianggap ‘’orang penting’’ di KK (lalu kita ganti saja rugas pokok dan fungsi Pemkot KK menjadi perusahaan advertising). Kecuali kalau Pemkot dan masyarakat memang bersepakat satu-satunya dan yang terpenting di KK hanya Walikota.

Persepakatan itu sebaiknya dituangkan dalam bentuk Perda agar masyarakat tidak lagi bertanya-tanya saat menemukan ada iklan ucapan selamat HUT pernikahan Walikota, ucapan selamat berumroh, selamat menerima gelar doktor honoris causa, atau cuma sekadar ucapan syukur karena Walikota bangun pagi tak kurang apa pun. Demikian pula supaya Walikota tidak menyelamati dirinya sendiri. Khusus iklan kedua yang datang dari Jajaran Pemkot dan Masyarakat KK, konseptornya barangkali lupa Walikota adalah bagian terintegrasi dan tak bisa dipisahkan dari ‘’jajaran’’ itu. Dengan kata lain, seperti sedang berdiri di depan cermin, hari ini Walikota KK sukses mengucapkan selamat HUT untuk dirinya sendiri.

Lain soal kalau iklan itu dipasang dengan biaya yang dikumpulkan secara pribadi oleh orang-orang yang namanya dicantumkan (untuk iklan di halaman 4) serta Sekkot  dan Wawali KK di iklan yang dipublikasi di halaman 5. Pembiayaan pribadi ini mengindikasikan pula dua hal penting hubungan antara atasan dan bawahan.

Pertama, jajaran Sekretariat Pemkot KK loyal, menaruh hormat dan respek, serta sungguh-sungguh mencintai Djelantik Mokodompit sebagai atasan dan pribadi. Kedua, dapat diterjemahkan telah membaik dan harmonisnya hubungan antara Walikota dan Wawali yang selama ini diketahui retak dan berantakan ke mana-mana. Bukankah hanya orang-orang yang punya hubungan pribadi sangat baik yang saling mengucapkan selamat ulang tahun?

Memang tak tertutup kemungkinan ada aspek terpaksa atau politis mengucapkan selamat pada politikus, terlebih kalau dia sejenis orang gila hormat dan sanjungan. Berkaca dari perkembangan Mongondow terkini, tak dapat dipungkiri terpaksa dan politis galib dipraktekkan sekadar agar kursi dan pantat bawahan jauh dari bara dan tendangan.

Kembali pada topik yang sedang dibahas, dengan mengindahkan aspek kedua di atas, selain selamat HUT untuk Djelantik Mokodompit, saya ingin pula memberikan dua jempol terhadap harmonisnya hubungan antara dia sebagai Walikota dan Wawali Tatong Bara. Konon katanya HUT selalu membawa berkah, sebagaimana setiap bayi yang lahir adalah rahmat. Seingat saya ada kata-kata bijak yang mengatakan, ‘’Setiap bayi yang lahir membawa pesan dari Tuhan, bahwa Dia masih mempercayai manusia.’’

Masak iya  membaiknya hubungan dua tokoh utama politik dan pemerintahan di KK itu ditanggapi dengan sinisme main-main anak baru gede (ABG). Sangat tak sopan momen baik di hari bagus dikomentari, misalnya, dengan: ‘’Eit, so baku bae dorang dang!’’ Walau saya tak bisa menyingkirkan senyum membayangkan Wawali mengucapkan selamat HUT pada Walikota sembari mendoakan semua baik-baik saja, termasuk hubungan profesional dan pribadi antara mereka sebagai pasangan pimpinan di KK.***

Saturday, June 18, 2011

Tafsir Bengkok Penafsir Sepotong-Sepotong

SENIN, 13 Juni 2011, saya menerima email berisi tulisan M untuk Bupati Lapadengan! dari Fahri Damopolii. Tak lama kemudian dia menelepon, mengkonfirmasi apakah email itu tiba dengan selamat, tak kurang satu apa pun, dan dapatkah diunggah di blog ini?

Jawaban saya, tulisannya akan dibaca, kalau perlu diedit, setelah itu baru dipublikasi. Ini prosedur standar yang saya tetapkan untuk menjamin artikel-artikel yang diunggah (minimal) sejalan dengan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, logis, dan enak dibaca.

Namun bagi siapa saja yang berniat menyumbang tulisan, mohon mengerti cepat-lambatnya pengunggahan sangat tergantung waktu luang saya. Mengelolah blog ini semata kesenangan di antara banyak pekerjaan yang dihadapi. Tampaknya karena Fahri Damopolii ingin tulisannya segera disaji, satu hari kemudian dia menyusulkan info: artikelnya sudah dikirim ke Harian Radar Totabuan.

Harian yang terbit di Kotamobagu itu kemudian menurunkan M untuk Bupati Lapadengan! di halaman Opini, Kamis (16 Juni 2011). Saya mengetahui dimuatnya artikel itu sesaat setelah menghidupkan telepon setelah penerbangan panjang dari Jakarta ke Eropa. Pesan pendek yang saya terima dari seseorang juga mengatakan, ‘’Tulisan itu cukup menggusarkan Penjabat Bupati Bolmong.’’

Menafsir-Nafsir Tafsir

Saya memaklumi kalau benar Penjabat Bupati Gun Lapadengan gusar. Sebagai orang yang dua tulisannya dirujuk Fahri Damopolii (Pada Satu Santap Siang dengan Bupati Gun Lapadengan, Kamis, 14 Mei 2011 dan Terapi Kejut Penjabat Bupati Bolmong, Rabu, 8 Juni 2011), saya berkewajiban meluruskan pemelintiran dan penafsiran ‘’pesan yang dikandung’’ artikel yang dia gunakan sebagai dasar mengkritik Penjabat Bupati.

Setelah berulang kali mencermati artikel Fahri Damopolii, catatan saya: Pertama, yang ingin dia kritik Pejabat Bupati Gun Lapadengan atau kelakuan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang bertingkah barbar, yang ‘’katanya’’ membangunkan seorang Kepala Bagian (Kabag) pada sekitar pukul 06.30 pagi? Apa tak salah diskripsi waktu yang dia cantumkan? Hebat betul dedikasi Satpol PP yang sepagi itu sudah masuk kantor dan melaksanakan tugas. Luar biasa malasnya pula Kabag kita yang terhormat itu, sebab pukul 06.30 pagi dia masih terlelap.

Ada sejumlah hal yang tak logis dari pembuka tulisan Fahri Damopolii. Dia tak menjelaskan apakah peristiwa ‘’pembangunan’’ itu pada hari kerja atau bukan. Apakah pula si Kabag semalaman begadang mengerjakan urusan kantor atau masih mimpi ketika matahari terbit sebab malamnya keasikan main domino hingga larut. Tak pula diungkap lebih jauh kepentingan pemanggilan yang dilakukan Penjabat Bupati, yang siapa tahu sungguh penting semisal menyangkut hidup-mati seseorang. Informasi lain Kabag mematikan telepon dan karenanya Penjabat Bupati (atau ajudan) tak bisa mengontak langsung, sengaja pula diabaikan.

Simpulan saja, sejak awal tulisan itu dipelintir bukan sebagai informasi bahwa ada Satpol PP di Bolmong yang kurang ajar yang harus ditegur dan dihukum oleh Penjabat Bupati; tapi Penjabat Bupati brengsek karena punya bawahan Satpol PP yang tak punya otak. Satu hal, artikel itu dengan lugas menginformasikan bahwa ada Kabag di Pemkab Bolmong yang pemalas dan bahkan masih memeluk guling di saat sebagian besar pegawai negeri sipil (PNS) sudah bersiap ke kantor.

Dua, tulisan saya yang dirujuk berisi apresiasi atas kebijakan yang diambil Penjabat Bupati Gun Lapangan dalam menata birokrasi di Bolmong, secepat yang dapat dia lakukan. Adakah yang keliru dari penataan itu? Bahwa kemudian patut dicurigai kebijakan yang dia ambil bermuatan motif pribadi, apa buktinya?

Tulisan saya yang dirujuk, yang pertama berisi informasi kebijakan apa yang akan diambil Penjabat Bupati dan atas dasar apa. Tulisan kedua adalah pandangan dan penafsiran saya terhadap khususnya penataan pejabat dan jabatannya di lingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong. Dua-duanya normatif dan sudah jadi pengetahuan umum karena hampir setiap hari dieksplorasi oleh media-media yang terbit di Manado dan Kotamobagu.

Menurut saya Fahri Damopolii yang menulis dia tahu persis siapa Gun Lapadengan, dengan sengaja memelintir, menafsir, dan mengaburkan-ngaburkan substansi tulisan saya, seolah tindakan Penjabat Bupati ini hanya didasarkan pada makang puji dan sok jago.  Siapa Gun Lapadengan, bagaimana rekam jejaknya, dan apa yang bisa membuktikan dugaan-dugaan miring yang dilontarkan terhadap kebijakannya?

Mengambil, menafsir, dan merujuk tulisan saya sepotong-sepotong sebagai pembenar apa yang sudah dikemas dan ingin disampaikan, adalah sikap yang jauh dari terpuji.

Kalau pun Fahri Damopolii mengetahui persis siapa dan apa yang sudah dilakukan Penjabat Bupati Bolmong di masa lalu dan kini, yang motifnya ‘’busuk’’ dan ‘’amis’’, maka tuliskan. Duga-duga, spekulasi, dan seolah-olah ada rahasia besar sebagai kartu truf yang hanya dia, Gun Lapadengan dan Tuhan yang tahu, adalah jenis politicking yang memualkan.

Ketiga, mudah membaca bahwa M untuk Bupati Lapadengan! ditulis dengan alasan sejenis sakit hati. Sebagai Penjabat Bupati yang masa berkuasanya terbatas, Gun Lapadengan memang harus bergegas menata aspek-aspek umum yang ada di depan matanya. Penguasaan kendaraan dinas oleh para pejabat, jabatan yang mengabaikan golongan dan kepangkatan, pengelolaan keuangan daerah, hingga pemindahan Ibukota Kabupaten ke Lolak yang terkatung-katung, tak bisa terus dibiarkan sebagaimana adanya.

Bukan soal panjang-pendek kesempatan seseorang menduduki posisi dengan tanggungjawab besar, tetapi seberapa serius dia membuktikan kekuasaan yang diamanatkan tegak sesuai proporsinya. Berkaitan dengan Penjabat Bupati Gun Lapadengan, kalau pun kebijakan itu dihubung-hubungan dengan sejarah dan rekam jejaknya sebagai seorang birokrat, penghakimannya dilakukan dengan adil dan komprehensif.

Tak dapat dielakkan, saya terpaksa menyimpulkan Fahri Damopolii dengan sengaja telah mencurangi Gun Lapadengan. Dia juga terlampau pengecut mengkritisi hal-hal yang lebih penting dan jelas-jelas bengkok seperti yang dipraktekkan Walikota Kota Kotamobagu (KK). Tafsir saya, itu mungkin karena mereka sama-sama mengurus Korps Alumni Makasar Indonesia Bolmong Raya.***

Friday, June 17, 2011

13 Syarat Walikota-Wawali KK 2013-2018 (III)

Tujuh: Komunikatif. Mengajari (terutama) politisi berkomunikasi sama dengan menabur garam ke air laut. Sudah menjadi pengetahuan umum modal dasar seorang politisi adalah kemampuan berkomunikasi, lepas dari apakah yang dinyatakan dapat dipegang atau tidak; benar atau salah; pun bohong atau jujur.

Namun kemampuan komunikasi saja tak cukup bila tak disertai dengan kandungan yang komunikatif. Sebagai rakyat kita kerap disuguhi monolog ngalor-ngidul berjam-jam dari para pemimpin, tanpa kita tahu apa substansi yang ingin disampaikan. Di Mongondow ‘’teater kata-kata’’ ini paling gampang dicermati dari pidato Bupati atau Walikota di pesta pernikahan dan sejenisnya, yang bukan hanya berpanjang-panjang tapi bahkan berisi ‘’curhat’’ dan keluhan tak penting. Sedemikian lamanya hingga membuat tuan rumah dan undangan sengsara disandera haus dan lapar.

Komunikatif juga tak melulu urusan bicara. Kebijakan yang diambil seorang Walikota semestinya juga dimengerti secara utuh oleh warganya. Merumuskan apa yang akan disampaikan dan cara menyampaikannya menuntut lebih dari sekadar kepintaran mengolah kata.

Delapan: Terbuka dan rendah hati. Agar seorang pemimpin komunikatif, dia harus terbuka dan bersedia berendah hati terhadap masukan, koreksi, kritik, bahkan celaan. Repotnya, makin tinggi posisi seseorang di tengah komunitasnya, harus diakui kian sulit berlaku terbuka, apalagi bila memang ada yang mesti disembunyikan rapat-rapat. Di lain pihak, juga berat bersikap rendah hati karena kesehariannya memang pongah.

Katakanlah calon-calon kandidat Walikota-Wawali KK 2013 yang bakal bermunculan tergolong sosok-sosok sombong dan pongah (orang-orang cerdas dan berprestasi secara alamiah mengandung bibit tinggi hati), saya kira masyarakat masih bisa menoleransi sepanjang mereka mampu mempraktekkan keterbukaan. Sebab sebaliknya calon pemimpin yang rendah hati tapi tak terbuka terhadap masukan, koreksi atau kritik, adalah oteriterian dalam bentuk sangat halus.

Isu Pasar Serasi adalah salah satu contoh bagaimana Walikota KK saat ini mempraktekkan kepemimpinan tertutup yang semau-maunya saja. Dalam isu ini, sekali lagi bukan keinginan memperbaiki infrastruktur ekonomi kota dan para pelakunya (para pedagang kelas menengah-bawah) yang saya kritik, melainkan caranya yang tanpa rencana matang, terburu-buru dan mengundang syak.

Sudah begitu, konsern yang datang dari segala penjuru dengan sengaja diabaikan, seolah kebijakan yang telah ditetapkan adalah firman Yang Maha Kuasa.

Sembilan: Mengedepankan kepentingan umum. Ironi yang ditemui masyarakat sehari-hari di negeri ini adalah klaim dari para pemimpin, bahwa apa yang mereka lakukan demi kepentingan umum semata. Mari kita lihat fakta paling sederhana. Mana yang lebih penting untuk warga KK: Renovasi rumah jabatan Walikota atau melengapi fasilitas umum di pasar tradisional yang dibangun di Kelurahan Genggulang dan Poyowa Kecil?

Rumah jabatan Walikota menunjukkan gengsi sebuah kota dan pemimpin serta rakyatnya. Tapi fasilitas umum yang tersedia dan dikelola dengan baik adalah harga diri seluruh penghuni kota, termasuk Walikotanya. Mengabaikan harga diri demi gengsi jelas bukan pilihan yang tepat dari masyarakat yang sadar kewajiban dan haknya.

Contoh kecil lain dari gagalnya para pemimpinan di tingkat Bupati dan Walikota mengdepankan kepentingan umum adalah kebiasaan menggunakan kendaraan pembuka jalan dan pengawal (para bocah menyebutnya ‘’ngiung-ngiung’’); walau hanya untuk pergi-pulang dari rumah ke kantor. Dengan ‘’ngiung-ngiung’’ orang banyak sedang bekerja menggerakkan ekonomi dipaksa mengalah demi kenyamanan para pemimpin, sekali pun belakangan kita mengetahui macet yang ditimbulkan ternyata hanya karena Walikota terburu-buru harus hadir di doa selamatan kerabatnya.

Sepuluh: Berkesediaan bekerjasama. Nah, aspek ini sudah terbukti amat sangat penting dijadikan catatan, utamanya terkait hubungan kerjasama antara Walikota, Wawali, Sekretaris Kota (Sekkot) dan jajaran di bawahnya. Warga KK tentu khatam mengetahui dampak hubungan buruk Walikota Djelantik Mokodompit dan Wawali Tatong Bara: tak ada kerjasama dan sinergi di antara keduanya.

Yang terjadi kemudian, pemerintahan di KK dijalankan tanpa kebijakan utuh dan sinkron yang ditegakkan bersama-sama oleh Walikota dan Wawali. Dengan menyesal kita harus menuding, Walikotalah yang tentu paling bertanggungjawab terhadap kondisi tersebut. Masak iya Wawali berulah kalau Walikota melibatkan dia dalam segala hal yang menjadi tanggungjawab mereka sebagai pasangan yang dipilih dan diamanati masyarakat KK.

Sebelas: Penghormatan terhadap bawahan. Masing-masing hanya ada Walikota-Wawali dengan ribuan birokrat yang jadi bawahan. Normatif dan alamiah bila bawahan kemudian memberikan penghormatan terhadap atasan. Sebaliknya wajib bagi atasan memberikan perhormatan setimpal terhadap mereka yang berada di bawahnya. Ini sebuah hukum timbal-balik sederhana.

Tidak perlu mencari-cari contoh rumit. Menginstruksikan bawahan menghadiri perayaan pesta HUT cucu Walikota, menyambut Piagam Adipura, bahkan perayaan Isra’ Mi’raj dengan mengisi daftar hadir di tempat, dapat menjadi contoh sederhana bentuk ketidak-pengohormatan atasan terhadap bawahan.

Misal lain yang lebih kasar adalah di saat seluruh jajaran pegawai negeri sipil (PNS) KK siap melaksanakan apel pagi, Walikota dengan mobil dinas melintas membelah barisan, berhenti dan turun tepat di tengah hidung jajaran bawahannya. Saya kira kelakuan seperti itu bukan hanya tidak mengormati bawahan, tapi bentuk pelecehan yang menyakitkan hati. Untunglah saya bukan PNS KK yang masih jerih menyambit atasan tak berotak dengan sepatu.

Dua Belas: Mampu menahan diri. Salah satu tantangan terbesar setiap pemimpin adalah menahan diri tidak terjerembab menyalahgunakan kekuasan (abuse of power). Amatan saya, setidaknya dalam 10 tahun terakhir bentuk penyalahgunaan kekuasaan paling umum di Mongondow adalah pembiaran (atau bahkan dengan sengaja didorong) kerabat dan sedulur elit politik atau birokrasi turut mengatur hajat hidup orang banyak.

Yang paling mencolok tender proyek-proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang bukan diatur Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) berwenang, tapi anak, istri, adik, bahkan oknum yang sekadar keluarga dekat Walikota atau Bupati. Bisik-bisik sangat berkuasanya ‘’09’’ terhadap pengalokasian proyek di KK ke kontraktor-kontraktor tertentu (dengan sejumlah ‘’fee’’) saya yakin bukanlah sekadar rumor tak bertanggungjawab.

Pemimpin yang tidak mampu menahan diri hanya membuktikan ‘’dari sononya’’ memang rakus. Sosok seperti itukah yang ingin dipilih masyarakat KK di 2013?

Tiga Belas: Berpolitik bukan satu-satunya tujuan. Meraih kursi Walikota-Wawali adalah salah satu puncak proses dan praktek politik seorang politikus (atau mereka yang beralih menjadi politikus). Setelah itu, mereka yang terpilih selayaknya tidak terus-menerus menjadikan politik  (apalagi politicking) sebagai satu-satu cara dan tujuan.

Meletakkan berbagai aspek pembangunan kota di atas dasar politis, hasilnya adalah capaian-capaian yang bersifat jangka pendek. Terlebih kebanyakan politikus kita benar-benar menganut ‘’dalam politik kawan bisa menjadi lawan, tergantung pada kepentingannya’’. Kawan seiring-sejalan hari ini, boleh jadi besok adalah bebuyutan yang harus dilawan habis-habisan. Termasuk ide, kebijakan dan capaian yang sebelumnya digagas dan diimplementasi bersama.***