Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, October 31, 2016

Cerita Kecil tentang Polisi yang Bukan Benang Kusut (Lagi)

BELAKANGAN ini, sejak dilaporkan oleh Audy Kerap ke polisi pada Kamis malam, 20 Oktober 2016, karena dugaan pencemaran nama baik, saya rajin memperbaharui informasi dari Polres Bolmong. Komitmen patuh terhadap ''hukum sebagai panglima'' mendorong saya bersiap, supaya sewaktu-waktu bisa segera menghadap penyidik kalau-kalau laporan itu dinaikkan dari status penyelidikan ke penyidikan.

Sejatinya, saya berkeyakinan laporan Audy Kerap ke Polres Bolmong adalah gertakan semata. Melihat rekam jejaknya yang gemar petantang-petenteng, pengaduan itu cuma upaya menaikkan daya tawar dengan harapan saya akan melakukan pendekatan demi ''penyelesaian kekeluargaan''. Gertakan salah ke orang yang keliru. Laporan sekadar ''abab'' dan ''gidi-gidi'' tak beda dengan stand up comedy. Karenanya, yang lebih teruk adalah bagaimana saya memberi pelajaran agar siapapun, tak peduli berprofesi wartawan, jumawa pula dengan title Ketua PWI KK, jangan main-main dengan hukum.

Bermain dengan hukum, apalagi melaporkan dugaan yang dikarang-karang, sama dengan dolanan api. Hampir pasti bakal terkaing-kaing digigit hukum, sebagaimana api kecil dan terkontrol adalah kawan, besar dan lepas kendali jadi bencana.

Saya tak sangsi polisi bakal serius meneliti laporan itu. Tapi saya juga tak ragu menyatakan, polisi tidak bodoh dan akhirnya bakal menyimpulkan, tulisan Berita ''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip Sumber Bisu dan Linglung yang dijadikan dasar oleh Audy Kerap, sama sekali tak mengandung dugaan yang dituntutkan.

Dari zaman kuliah di FT Unsrat, berpuluh tahun lalu, saya sudah akrab dengan polisi dan kerja-kerja mereka. Sebagai tukang demo (di masa Orba pula) saya kerap harus dapat ''undangan'' atau ''jemputan'' wajib hadir di Polresta Manado atau Polda Sulut. Ketika surut dari aktivitas unjuk rasa dan kuliah sambil jadi wartawan, gaul dengan para polisi kian erat. Begitu menikah, mertua saya adalah perwira polisi. Anaknya, istri saya, dokter--yang meneruskan sekolah dan mendalami forensik antropologi--juga bekerja dengan kepolisian. 

Lingkaran polisi dalam keseharian saya makin lengkap karena sepupu, saudara dekat, dan beberapa teman yang tumbuh bersama di Kotamobagu, cukup banyak yang memilih profesi ini. Kabag Humas Polres Bolmong, AKP Saiful Tammu, misalnya, adalah teman main sejak SMP. Demikian pula dengan kawan reriungan di Jakarta, salah satunya Kompol Budi Towoliu (Jatanras Polda Metro), orang Sampana yang sudah menjadi kamerad saya sedari SD.

Walau terbiasa dan dekat dengan polisi (apalagi saya bermukim tak jauh dari Mabes Polri), saya tak kehilangan independensi dan kebebasan menilai korps ini. Jika ada oknum yang memang keliru dan menyebalkan, saya tidak segan-segan melontarkan kritik, bahkan caci, pedas. Sebaliknya, kalau ada polisi (sebagaimana wartawan, guru, atau profesi lain) yang patut dipuji sebab menunjukkan profesionalisme tinggi, saya tak sungkan mengacungkan jempol.

Apalagi polisi adalah salah satu profesi yang paling banyak disoroti tindak-tanduk dan lakunya di negeri ini. Tapi karena itu pula korps ini mati-matian memperbaiki diri. Intensitasnya bahkan melonjak lewat berbagai kebijakan Kapolri baru, Jenderal (Pol) Tito Karnavian, termasuk penegasan terakhir penegakan disiplin dengan ujung tombak Divisi Propam. Praktis polisi diawasi dari segala sudut oleh tiga sub organisasi di bawah Propam. Pertanggungjawaban profesi oleh Binprof; pengamanan lingkungan internal oleh Paminal; dan penegakan disiplin dan ketertiban oleh Provos.

Perkembangan itu, serta melihat keluarga, kawan, atau kenalan yang berprofesi polisi bekerja keras menyesuaikan diri dengan menunjukkan kinerja sebagaimana tanggung jawab dan kewajiban ''menjadi pengayom dan pelindung'', tingkat kepercayaan saya terhadap institusi ini kian solid di level optimis. Dan, secara tak sengaja, sejak beberapa hari lalu, saya mengetahui dan mengikuti proses pengungkapan tindak pidana yang amat patut dipuji oleh Satuan Reskrim Polres Bolmong.

Tersebutlah, Kamis malam, 27 Oktober 2016, Sarif Mokodongan--yang rumahnya di Jalan Mantan sudah diikhlaskan menjadi tempat saya menumpang setiap kali berada di Kotamobagu--dan Kisman Paputungan memarkir mobil di depan Rumah Makan Dapur Umi. Lapar yang menghantam membuat mereka terburu-buru masuk dan memesan santapan. Perut kosong memang gampang mengaburkan kepala. Membuat kerja otak jadi lebih lambat.

Usai mengisi perut, keduanya yang seharian sibuk dengan urusan kantor, menunggu lambung dingin sambil mempercakapkan gepokan pekerjaan yang belum selesai. Ketika itu barulah Sarif teringat, tas kerjanya yang berisi dua komputer notebook, peralatan elektronik lain, dan berkas-berkas, masih ada di dalam kendaraan yang digunakan. Dia lalu bergegas ke mobil hanya untuk menemukan barang yang dicari telah raib.

Paniklah Sarif. Dua komputer yang hilang berisi aneka file dan dokumen penting pekerjaannya. Sebab itu, tanpa membuang waktu dia bergegas ke Polres Bolmong, melapor telah jadi korban tindak pidana pencurian. Selain melapor, dia--dan Kisman--berinisiatif melacak posisi salah satu telepon genggam yang turut ''diamankan'' pancalongok yang menggondol tas kerjanya.

Begitu menerima laporannya, menurut Sarif, ''Polisi bertindak sangat responsif. Kasat Reskrim, AKP AAG Wibowo Sitepu, SIK, bahkan turun langsung. Padahal di saat yang sama dia harus ke Kokapoi, Boltim, yang sedang ricuh karena pertengkaran para pendukung kandidat Pilsang.'' Sarif mengakui, dia tak menyangka aparat Polres Bolmong langsung menanggapi dan mengambil tindakan cepat. ''Kata orang, biasanya kalau dengan polisi, urusannya bisa seperti benang kusut.''

Yang lebih mengejutkan Sarif, selang sehari setelah melapor, pada Sabtu, 29 Oktober 2016, dia mendapat pemberitahuan tersangka yang diduga melakukan pencurian tas kerjanya dan seluruh barang bukti (lengkap) sudah ditemukan. ''Saya memuji profesionalisme aparat di Polres Bolmong, khususnya Kasat Reskrim, penyidik Bripka Muhamad Yusuf Suratinoyo, Kanit Buser Aiptu Rocky Mokoagow, dan para anggota yang terlibat mengungkapkan kasus saya. Saya tidak kenal Kasat Reskrim secara pribadi, tetapi diperlakukan sedemikian baik. Tidak dipersulit,'' ungkapnya.

Pengalaman Sarif dengan aparat di Polres Bolmong itu membuat saya iri dan menyesal. Iri sebab dia langsung membuktikan polisi memang bersungguh-sungguh dengan tekad makin profesional sebagai ''pengayom dan pelindung'' masyarakat. Menyesal sebab lemahnya dasar laporan Audy Kerap ke Polres Bolmong membuat saya tidak bakal punya kesempatan duduk di depan penyidik. Padahal, jika kasusnya kokoh, setidaknya saya berpeluang menghadapi Kasat Reskrim dan jajarannya, mengalami langsung bagaimana polisi di negeri ini bekerja dengan pendekatan yang sama sekali berbeda dari stigma semacam ''hilang kambing, jika ke polisi, boleh jadi justru raib sapi dan kuda''.

Mungkin, demi menjaga konflik kepentingan, setelah dipastikan penyelidikan terhadap laporan Audy Kerap dinyatakan tak naik ke penyidikan; saya telah pula melaporkan tuntutan saya pada yang bersangkutan ke Polda Sulut; ada kesempatan baik bersua dengan Kasat Reskrim Polres Bolmong dan jajarannya. Sekadar berbual-bual berbagi cerita di sela seruputan kopi ditemani kudapan goroho goreng. Alangkah senangnya bertatap muka dengan mereka yang ''berwajib dan berwenang'', yang tak surut langkah turut menjaga hukum tetap buta dengan timbangan yang adil di tangannya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Aiptu: Ajun Inspektur Polisi Satu; AKP: Ajun Komisaris Polisi; Binprof: Bina Profesi; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bripka: Brigadir Kepala; Buser: Buru Sergap; FT: Fakultas Teknik; Humas: Hubungan Masyarakat; Jatanras: Kejahatan dan Kekerasan; Kabag: Kepala Bagian; Kanit: Kepala Unit; Kasat: Kepala Satuan; KK: Kota Kotamobagu; Kompol: Komisaris Polisi; Mabes: Markas Besar; Orba: Orde Baru; Paminal: Pengamanan Internal; Pol: Polisi; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resort; Polresta: Kepolisian Resort Kota; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; Propam: Profesi dan Pengamanan; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Reskrim: Reserse Kriminal; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; Sulut: Sulawesi Utara; dan Unsrat: Universitas Sam Ratulangi.

Friday, October 28, 2016

''Soa-soaisme'', ''Popakisme'', ''Popakisme Mistis,'' dan Sebagainya

INI masih tentang kepenulisan, jurnalisme, media (utamanya siber yang berpinaknya di Mongondow mulai menyaingi kecepatan kelinci berbiak), dan laku badut banyak pewarta di BMR. Melihat mereka berbondong menggantongi identitas media yang bilangannya adalah kecepatan deret ukur, sementara kualitas, kompetensi, profesionalisme, dan integritasnya ditakar dengan deret hitung mundur, saya tak kuat tak mengusap dada.

Kronik Mongondow belum dan tidak akan pernah jadi blog yang menyerempet-nyerempet urusan susila. Terlebih  yang syur-syur dan jadi incaran patroli penertiban moral satuan siber Kemkominfo. Saya pastikan, dada yang diusap-usap milik sendiri. Halal dan sah sesuai hukum formal dan ajaran agama.

Berita semacam Upaya Pemerkosaan Oleh Seorang Oknum ASN, Digagalkan Seorang Kakek (http://www.liputanbmr.com/kotamobagu/upaya-pemerkosaan-oleh-seorang-asn-digagalkan-seorang-kakek/) yang diunggah liputanbmr.com, Kamis, 20 Oktober 2016, memang bikin istigfar. Bukan isu yang diangkat atau sumber beritanya yang membuat pening. Penulisannyalah yang jadi soal. Maka saya, yang menerima tautannya setelah meletus keramaian sebab berita ini diulas blog Buruh Kata, Ya Tuhan, masih berita le ini?? (http://buruhkata.blogspot.co.id/2016/10/ya-tuhan-masih-berita-le-ini.html), dalam hampir semua substansi yang disampaikan, sependapat dengan anonim pengelolanya.

Cuma, menurut hemat saya, Buruh Kata juga melakukan beberapa kekeliruan berbahasa tulis--isu yang justru dia kritisi dan kritik. Misalnya, judulnya kok pakai dua tanda tanya (''??'''). Memangnya dalam bahasa tulisan ada beda antara satu tanda tanya, dua, atau sepuluh? Kekeliruan tak kurang gawat adalah subyek yang menjadi tujuan pertanyaannya. Urusan wartawan dan berita yang malintuang ditanyakan ke Tuhan, ya, jawabannya pasti kita ketahui nanti di ''Hari Kemudian''.

Tapi memang, setelah membaca berita tersebut, kita bakal kebingungan. Saya bahkan berwasangka, barangkali penulisannya justru benar, sebab dia tidaklah menggunakan bahasa Indonesia. Buruh Kata, saya, atau mereka-mereka yang meriuhkanlah yang silap, karena menilai dari sudut pandang bahasa Indonesia. Demi keadilan, dengan pikiran terbuka, saya merujuk mesin terpintar se Planet Bumi, Google, dan bertanya bahasa apakah gerangan yang digunakan penulis unggahan liputanbmr.com itu?

Bahkah Google pun hilang akal karena penelusuran saya justru berakhir di entry ''soa-soa''. Ini bencana. KBBI tak punya penjelasan tentang ''soa-soa''. Yang ada justru situs-situs yang membeber dan mengupas tentang kadal. Simpulannya: pantas belaka jika para penyimak berita yang jadi isu itu tak paham. Penulisnya barangkali memang menggunakan bahasa ''soa-soa'', yang bahkan ahli perkadalan pun belum tentu mampu menerjemahkan. Apalagi cuma Buruh Kata, saya, atau pembaca situs berita di BMR yang kerjanya suka mencari cacat-cela wartawan dan produk-produk mereka.

Bahasa adalah identitas. Bagi kalangan kepenulisan, sebagaimana seni rupa, ekspresi bahasa bisa menjadi identifikasi seorang penulis dapat dikelompokkan ke ''aliran'' apa. Itu sebabnya kita pening ketika membaca si anu adalah penganut romantisme, si itu cenderung ke kelompok realisme, si polan masuk kategori penulis ''realisme magis'' (apa pula ini?), dan sebagainya. Bikin penat saja. Lebih gampang menunjuk Affandi adalah pelukis aliran ekspresionisme melalui sapuan-sapuan dan guratan-guratan yang kita lihat dari lukisan-lukisannya, atau Pablo Pocasso adalah ''mbah''-nya kubisme dengan menaruh tepat di biji mata dan mencermati karya-karyanya.

Tapi produk kepenulisan? Lebih rumit dari sekadar menjelaskan pilihan kata atau peletakan tanda baca. Menilai produk tulis seseorang masuk aliran apa memerlukan pengetahuan hingga ke taraf ide, proses kepenulisan, serta konsistensi pendekatan kepenulisannya, yang diekspresikan melalui karya-karya yang dipublikasi. Dan dunia kepenulisan di BMR umumnya (termasuk yang digeluti para jurnalis), yang kini dibanjiri sangat banyak pemula, tampaknya memerlukan definisi aliran tersendiri.

Dari aspek bahasa dan penulisannya, penulis berita Upaya Pemerkosaan Oleh Seorang Oknum ASN, Digagalkan Seorang Kakek dan situs yang menyiarkan boleh jadi adalah penganut ''aliran soa-soaisme''. Syarat pertama memahami aliran ini adalah menguasai bahasa ''soa-soa'', yang saya yakin memerlukan pelatihan dan kursus tingkat dewa. Termasuk, barangkali, tuntutan jadi ''pongo'' sesuai dengan nasib alamiah hewan ini.

Aliran kepenulisan berikut yang tampaknya juga menonjol di BMR adalah popakisme, yang berasal dari kata dasar Mongondow, ''popak''. Saya kira tidak berlebihan jika harus diakui bahwa pelopor aliran ini adalah Audy Kerap. Tulisan-tulisan atau publikasi yang mengutip dia, semisal berita Kapolda Sulut Diminta Mendidik Etika Polisi Lalulintas Polres Bolmong, dapat dijadikan contoh masterpiece aliran ini. Demikian pula, situs seperti kotamobagupost.com adalah salah satu pengarus utama aliran ini.

Bila dicermati, di dunia kepenulisan khususnya, dimana terdapat aliran realisme yang beranak realisme magis, bukan tidak mungkin ''popakisme'' ini bakal beranak ''popakisme mistis''. Kalau penulis yang menganut aliran turunan ini berprofesi wartawan, tidak perlu heran jika liputannya berasal dari baca-baca kemenyan, terawang, dan nujum. Sumber berita yang dikutip merentang dari mangkubi, pok-pok, tuyul, sampai asap kuburan; dan para pembaca karya aliran ini pasti punya jantung super, tak takut kerasukan, dan ketindihan.

Kalau pun wartawan penganut aliran ''popakisme'', terlebih ''popakisme magis'', melakukan liputan nyata, menemui sumber berita manusia (kita-kita yang berwujud ini), untuk wawancara atau konfirmasi, tak perlu kuatir. Resep terbaik yang dijamin ampuh adalah: Cukup hadapi dengan doa pengusir setan. Jikapun masih kurang yakin, maka lanjutkan dengan mengundang ustad untuk selamatan arwah.

Kabar terakhir yang saya terima dari seorang kawan di Kotamobagu menginformasikan, tak lama lagi sebuah situs berita aliran ''popakisme magis'' akan diperkenalkan. Tagline yang diusung situs ini adalah ''biongo, oon, gilingan, asal, nehi, dan inta'', dengan semangat ''menyajikan ola-ap hingga langit ketujuh''. Saya berkeyakinan, ide jenius penggagasnya bakal membuat situs ini dengan cepat menjadi portal berita nomor satu di BMR.

Dua aliran itu cuma contoh. Dengan tumbuhnya--menurut info yang saya dengar--lebih dari 30 situs berita di BMR saat ini, serta angka pewarta (dadakan) yang melampaui hitungan 100, dapat dibayangkan berapa banyak aliran kepenulisan yang bakal dilahirkan di Mongondow. Dibanding seni rupa yang setidaknya mengenal 17 aliran, saya optimis (di luar aliran kepenulisan yang sudah didefinisikan) sangat mungkin BMR melahirkan sekitar 30 aliran (belum lagi turunan ''magis-magisnya'') dengan situs-situs berita yang menjamur sebagai dinding pameran utama.

Pembaca, Anda silakan menelisik dan mendefinisikan sendiri. Saya berkeyakinan, pendidikan (formal) masyarakat di BMR adalah salah satu yang berada di atas rata-rata di negeri ini.

Namun, jika begitu jadinya, yang diuntungkan adalah para pembaca yang memirsa. Kita punya keragaman pilihan bacaan yang saat melahapnya pasti memerlukan persediaan gidi-gidi melimpah. Tertawa dan bersenang-senang kan juga memerlukan modal. Yakinlah pula, orang banyak bakal semakin tebal iman karena kian kerap membaca doa dan melangsungkan tradisi religius.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongogondow Raya; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesial; dan Popak: Dusta.

Thursday, October 27, 2016

''Ooo..., Wartawan Kepuyuk Itu? Oto itu?''

UNGGAHAN kotamobagupost, Rabu, 12 Oktober 2016 (http://kotamobagupost.com/2016/10/12/kapolda-sulut-diminta-mendidik-etika-polisi-lalulintas-polres-bolmong/), yang sedikit saya kuliti sebagai kejahatan profesi (wartawan), mengundang banyak informasi baru. Satu yang maha penting bahkan saya dapatkan langsung dari sumber utamanya.

Bagi para pengkhimat jurnalisme, fakta baru itu adalah kefasikan tak termaafkan. Tidak akan saya tutup-tutupi, terutama ke PWI Sulut (yang semestinya harus pula segera menindaklanjuti), minimal soal KEJ, mengingat berita itu ternyata berkaitan sangat erat dengan anggotanya. Kongres PWI XXIII di Banjarmasin, September 2013, yang merumuskan ulang PD/PRT dan KEJ organisasi ini, saya contohkan, di Pasal 3 KEJ mengatakan: ''Wartawan tidak beritikad buruk, tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan, memutar balikkan fakta, bohong, bersifat fitnah, cabul, sadis, dan sensasional.''

Dari orang yang menjadi obyek dan korban tulisan Kapolda Sulut Diminta Mendidik Etika Polisi Lalulintas Polres Bolmong yang dipublikasi kotamobagupost.com (saya tambahkan catatan: ''lalu lintas'', bukan ''lalulintas''), yang kredibilitas dan integritasnya 1.000% lebih terjamin dibanding oknum wartawan abal-abal, tukang ancam, dan pemeras, saya mengetahui: sumber berita publikasi ini, ''sebut saja namanya Enal'', tak lain adalah Ketua PWI KK sendiri, Audy Kerap. Informasi ini dari tangan pertama, terkonfirmasi, dan telah saya check dan recheck.

Kamu ketahuan! Pembaca, saya setengah tak percaya ketika diberitahu, pelanggar lalu lintas yang mencela dan mengecilkan Kasat Lantas Polres adalah Audy Kerap, dongok pongah yang mengaku wartawan dan Ketua PWI KK, dengan mobil Avansa olehan tipu sini-tipu sana. Cukup lama saya diam, mengolah logika, dan ketika buka mulut hanya bisa bilang, ''Ooo..., wartawan kepuyuk itu? Oto itu?''

Dia yang melanggar lalu lintas. Dia pula yang menjadi sumber utama berita, terutama kutipan-kutipan yang meleceh polisi dan satuan tugasnya. Dipublikasi di situs (klaimnya) yang dia pertanggungjawabkan. Maka tak perlu heran kalau sebentar lagi akan terbukti dia pula yang menulis publikasi ''penghinaan'' itu. Tak sulit memalidasi siapa penulis sesungguhnya Kapolda Sulut Diminta Mendidik Etika Polisi Lalulintas Polres Bolmong. Setiap kreator warta selalu punya jejak ''sidik jari'' penggunaan kata, pemenggalan kalimat, dan tanda baca dari karya-karyanya.

Dengan demikian, saya mengetam satu lagi tambahan fakta Audy Kerap memang cuma kriminil yang petantang-petenteng dengan indentitas wartawan, keanggotaan PWI, jabatan ketua tingkat kota organisasi ini, dan bahkan penanggung jawab, pemimpin umum, dan pemimpin redaksi kotamobagupost.com yang diaku-aku sebagai media siber. Tidak suka dengan pernyataan saya ini? Lalu Anda mau apa? Sekali lagi ke polisi, misalnya, karena saya menyatakan ada menggondol mobil? Lakukan sampai puas. Itu yang saya tunggu. Kan saya belum menggunakan giliran saya. Kita masi kase voor pa ngana.

Kalau urusan dengan Audy Kerap ini dianggap menjadi personal, mohon diingat-ingat: sejak mula saya tidak pernah ingin melongok dan mengusik-ngusik isi kancut seseorang. Laporan dia ke Polres Bolmong adalah tentang pencemaran nama baik (pribadi, pula ''konon'' Ketua PWI KK yang disesumbar masih menunggu restu PWI Sulut) yang saya lakukan. Serial tulisan yang saya publikasi di blog ini sejak Kamis, 20 Oktober 2016, adalah bela diri saya. Pembuktian bahwa dia sama sekali tak punya nama baik. Cuma kucing kurap yang digantunggi identitas wartawan, terpungut titel Ketua PWI KK, dan mengaku-ngaku bertanggung jawab terhadap sebuah situs berita.

Reputasi tingkat limbah itu malah membuat saya sudah berencana, jika berada di Kotamobagu dan kebetulan berpapasan, menyua, atau berada di satu tempat yang sama dengan Audy Kerap, saya akan meneriaki dia maling. Papancuri! Biar orang sekampung, umum yang banyak, berbondong-bodong tahu, seperti inilah bengal jenis yang lebih berbahaya dibanding yang terang-terangan menggunakan kekerasan dalam aksinya.

Tidak sudi saya cap alap-alap, terus mau menggertak seperti yang dilakukan terhadap petugas Satuan Lantas Polres Bolmong? Saya bukan ''yang berwenang dan berwajib''. Saya tak terikat pada doktrin ''mengayomi dan melayani''. Mau adu otak, sini. Jual-beli pukulan? Mari segera dengan saksama, dalam tempo sesingkat-singkatnya. Saya tidak ragu menaikkan taruhan dengan Audy Kerap. Sesumbarnya di media sosial akan ''membela harga diri sekalipun dengan nyawa'', saya pastikan dibeli dengan nilai dua kali lipat: nyawa saya dan istri.

Di usia jelang setengah abad, pernah menggeluti jurnalistik, saya tak pernah luntur cinta dan respek terhadap profesi ini. Tidak pula berkurang hormat terhadap banyak kawan wartawan, termasuk yang berhimpun di PWI, karena kesungguhan mereka mengabdi pada profesinya. Tentu sebagai manusia dengan segala salah dan khilafnya.

Tapi profesi wartawan sama dengan pekerjaan lain. Ada penyandangnya yang benar-benar berintegritas, ada yang oportunis, dan tak sadikit pula yang pantas disebut kecoak. Audy Kerap (Ketua PWI Sulut, Vouke Lontaan, mohon maaf, tapi saya sangat prihatin) yang per awal oktober 2016 didapuk jadi Ketua PWI KK adalah salah satu dari jenis coro itu.

Dia, sebagaimana para pancalongok, wartawan yang beritikad buruk, memutar-balikkan fakta (sesuatu yang sakral untuk profesi ini), bohong, dan sekadar sensasional, cuma nista untuk kaumnya. Audy Kerap adalah aib yang menumpahi para pewarta tak hanya di Bolmong. Dengan jabatan Ketua PWI KK, dia borok busuk di tubuh organisasi ini di Sulut.

Cema itu kian lengkap karena, de facto dan de jure, ternyata kotamobagupost.com dan PT Grafika Pers Cemerlang sebagai publikatornya tak dapat dikategorikan sebagai media siber. Badan hukum dan situs ini tak masuk daftar perusahaan pers di Dewan Pers. Artinya, Kronik Mongondow, yang cukup puas sudah didaftar di bookmark orang-orang di BMR yang masih kukuh menjaga kewarasannya, lebih cetar dong dari kotamobagupost.com.

Musim penghujan yang mulai menerpa Indonesia membawa guyuran di mana-mana, terlebih ''kota never dry'' Bogor (belakangan saya lebih banyak tinggal di kawasan ini), membuat kursi tempat saya bekerja tak jua hangat. Tempat duduk dingin menjadikan betah mengutak-ngatik komputer berjam-jam. Dari itu, pasti masih banyak uar-uar tentang Audy Kerap yang bakal tersiar. Kabar cegaknya, materi-materinya tinggal menunggu dituang di blog ini.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kasat: Sepala Satuan; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KK: Kota Kotamobagu; Lantas: Lalu Lintas; PD/PRT: Peraturan Dasar/Peraturan Rumah Tangga; Polres: Kepolisian Resort; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Tuesday, October 25, 2016

Neno, Menulis Itu Sama dengan Berkuteks

PEWARTA unyu itu, yang mengaku ''anak baru'' jagad media, bernama Neno. Sungguh, saya tak menghafal lengkapnya. Kawan-kawan yang mengirimkan tautan dua tulisannya--maafkan, juga tak saya baca--bilang, senyum Neno manis sekali. Mirip senyum Cinta di AACD yang bikin banyak cowok tukang nonton melipir-lipir dan baper.

Saya lalu dapat beberapa kiriman gambar gadis dengan hijab coklat. Kamera mengambil close up wajahnya dari sudut yang tepat dan menampakkan paras yang bagi kebanyakan cowok memang bikin mabuk. Untunglah saya sudah menjelang usia opa-opa, tak lagi terpukau dengan yang manis-manis, terlebih yang senang mencubit-cubit kecil. Lagi pula saya sudah punya yang senyum manisnya luar biasa dasyat, cubitan kecilnya romantis dan maut, yang omelannya bagai musik pengantar tidur.

Biarlah roman-roman syahdu jadi milik kalian saja, para muda, terutama wartawan-wartawan jomblo yang jumlahnya tak sedikit di BMR. Yang kerjanya cuma bikin status-status penuh harap setiap Jumat dan Sabtu malam. Buat saya: yang muda yang punya romansa, yang tua ongkos jo.

Neno, diam-diam kamu sekarang punya banyak fans. Gara-gara tulisanmu yang disertai foto, banyak yang gegar dan ge-er. Mungkin malah sekarang sedang cari-cari perhatian. Bukan sebab tulisanmu membuat nyali bergetar, tetapi foto itu lho.

Salah satu adik saya bahkan spesial menelepon hanya membacakan tulisanmu, setelah itu meminta agar jangan terlampau keras jika berniat menanggapi. Kawan lain malah menghimbau dengan serius supaya saya jangan membuat Neno menangis. ''Dia itu sangat sensitif,'' katanya. Kristianto Galuwo, penulis yang cita-citanya campur aduk antara kepingin jadi wartawan, penyair, entah pula cerpenis atau pujangga, bahkan mendedikasikan tulisan Untuk Neno di blog-nya (http://sigidad.blogspot.co.id/2016/10/untuk-neno_22.html).

Ah, laki-laki memang buaya. Nasehat saya, Neno--usiamu mungkin hanya terpaut sedikit dengan anak pertama saya--, karena katanya kamu manis sekali, hatilah-hatilah. Umumnya kaum pria hanya dapat didefinisikan ke dua kategori: kalau bukan buaya, maka boleh jadi bajingan. Tidak tertutup kemungkinan sudah buaya, bajingan pula; atau bajingan yang memang buaya.

Sebab engkau memilih profesi yang setiap hari bertemu, berhubungan, dan bersosialisasi dengan aneka rupa orang dan tabiatnya, maka waspadalah. Awaslah terhadap perhatian mendadak, terlebih kebaikan tiba-tiba, semisal: ''Ade' mo suka pasang behel?''; ''Ade so bayar doi kost?''; atau, ''Ade' pe telepon kaka' ganti akang jo deng iPhone neh.'' Kalimat-kalimat seperti ini adalah sinyal merah. Tanda-tanda buaya sedang diam-diam merayap atau bajingan tengah menebar pancing.

Tapi tulisan ini bukanlah tentang pesona, terlebih pelajaran kecantikan, dan bikin kaum pria terpiuh-piuh. Saya belum pernah mengelola kapsalon, lembaga pelatihan kepribadian, apalagi pembelajaran tata busana dan make up. Maka mari kita dadah saja sedikit tausiah memahami kepenulisan sebagai awal menuju dunia jurnalistik. Supaya terasa akrab, seperti keseharianmu sebelum beranjak dari rumah, pendekatan yang saya gunakan adalah berkuteks.

Pertama, kamu tahu kan apa itu kuteks? Nah, pahamilah jenis-jenisnya, terutama warna dan kepantasan momen-momen penggunaannya. Cocokkan bahannya dengan kukumu, kekontrasan dengan kulit, dan juga busana yang bakal dikenakan. Tak ada maksud gender bias, tapi bukankah tak enak, misalnya, memandang perempuan berkuteks merah menyala, bergincu hitam, eye shadow coklat, dengan terusan kuning cerah? Itu dandan atau burung nuri sedang mengepak?

Mari kita balik pengetahuan terhadap jenis-jenis kuteks itu jadi penguasaanmu terhadap kata, tanda baca, dan tata bahasa. Bagaimana mencocokkan warna kuteks dengan kuku, kulit, sapuan di bawah mata, dan busanamu ke penempatan kata per kata dan tanda baca dalam kalimat, kemudian kalimat ke alinea, dan alinea ke tulisan utuh.

Neno yang senyumnya katanya manis sekali, sekarang kamu sudah tahu bagaimana membuat sebuah tulisan bukan?

Kedua, tidakkah menyebalkan melihat wanita dengan warna kuteks yang pas sepas-pasnya dengan kuku, kulit, sapuan di bawah mata, dan busananya, tapi sayang pemakaiannya cemang-cemong. Saat dicatkan ke kuku, kuteks itu meluber ke mana-mana, ada yang terlampau tebal, tak halus, atau justru tebal-tipis tak karuan mirip rambut aki-aki.

Sebagai perempuan, kamu tahu betul, supaya kuteks itu indah, dia mesti tepat hanya berada di permukaan kuku. Tidak boleh lebih, bahkan sekadar nol koma sekian milimeter hingga mengotori kulit. Agar kesempurnaan yang demikian tercapai, rajin-rajinlah berkuteks. Tidak susah, kan? Setahu saya ada bahan yang namanya ''aseton'' yang ampuh menghapus, supaya kamu bisa berganti-ganti jenis dan warna kuteks.

Ayo kita terapkan kerajinan berkuteks itu jadi terus-menerus berlatih menempatkan kata, menaruh tanda baca, merangkai jadi kalimat, membentuk alinea, dan akhirnya tulisan lengkap. Dengan tak henti berlatih, lama-kelamaan kamu menemukan mana kata yang enak, kalimat yang gurih, alinea lezat, dan tulisan yang benar-benar makyus.

Dan ketiga, sungguh membosankan juga mengulang-ngulang jenis dan warna kuteks yang sama. Atau bentuk pengecatannya yang itu-itu juga. Supaya kamu banyak banyak tahu dan kian piawai seluk-beluk kuteks, seringlah membaca-baca brosur; mencari-cari info; tahu bagaimana ditemukan, diproduksi, dan didistribusikan bahan kecantikan ini; atau mengeksplorasi  perkuteksan yang kini berserak di mana saja. Di zaman internet ini, menemukan informasi semudah mengerling, senyum, atau mengupil.

Sekarang gunakan kebisaan dan kebiasaan mencari tahu itu jadi ghirah terhadap informasi, bacaan, musik, film, atau apa saya yang bisa membuat kamu menemukan sesuatu yang baru. Simak, cermati, ingat-ingat, lalu gunakan sebagai pengaya ketika merangkai kata, tanda baca, kalimat, alinea, hingga jadi tulisan. Jangan lupa, jujurlah mencantumkan dari mana engkau menambahkan sesuatu di antara pikiran-pikiranmu sendiri.

Neno yang saya harap tak berhenti manis, tersenyum, dan waspada terhadap para penggemar--terutama buaya dan bajingan--, dari berkuteks sekarang kamu sudah bisa menulis. Jika demikian, jadi wartawan itu cuma seperti menata alat-alat dandan di atas meja rias. Ingat-ingat saja resep 5W + 1H, dalami UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Pedoman Penyiaran Media Siber, lalu mulailah bekerja dan tak henti berlatih.

Begitulah tausiah singkat saya, Neno. Mudah-mudahan satu saat saya bakal membaca tulisanmu seperti melihat perempuan yang meliuk anggun atau memandang rèisttafel lezat di meja makan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

5W + 1H: What, who, when, where, why, how; AACD: Ada Apa dengan Cinta; Baper: Bawa Perasaan; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Rèisttafel: Penyajian makanan berurutan dengan pilihan hidangan dari berbagai daerah di Indonesia; Unyu: Lucu; dan UU: Undang-undang.