Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, September 29, 2016

Tiga Dongeng: Sudah Keliru, Mencatut Pula

PERISTIWA politik adalah fakta yang selalu dibumbui dongeng, kultus, mitos, klaim, rumor, spekulasi, dan pertaruhan. Sesuatu yang sebetulnya wajar dan manusiawi.

Kultus dan klaim ''pilihan elit'' melawan ''kekuatan rakyat'' menjadi dongeng, rumor, spekulasi, bahkan pertaruhan, yang diusung beberapa pihak bersamaan dengan dimulainya tahapan Pilkada Bolmong 2017, menegaskan bahwa tesis itu adalah fakta. Lalu, pemain-pemain politik yang biasa melibatkan diri, terutama di BMR, antara lain Pitres Sombowadile, ikut menerjunkan diri lewat tulisannya.

Pembaca, saya menanggapi analisis Yasti Vs Salihi: Perjuangan Melawan Mujur dari Pitres dan dipublikasi di liputanbmr.com (http://www.liputanbmr.com/bolmong/yasti-vs-salihi-perjuangan-melawan-mujur/), Selasa, 27 September 2016, sebagai pelurusan. Namun, bila dia kemudian menafsir tulisan Linduran Mujur Pilkada Bolmong 2017 yang diunggah di blog ini sebagai pemihakan terhadap Yasti Soepredjo Mokoagow, tidak sedikit pun saya bantah.

Benar! Saya memihak, tetapi tidak kehilangan fairness. Kalau hari ini Salihi B. Mokodongan diperlakukan tidak layak, di-black campaign, saya juga tidak akan segan membela dia. Ini bukan sekadar klaim. Akhir Sunyi Sang Bupati yang dipublikasi Minggu, 10 Juli 2016, adalah bukti saya masih mampu bersikap adil. Saya tidak punya kepentingan terhadap Yasti, demikian pula dengan Salihi, yang dua-duanya saya kenal baik; kecuali bahwa mereka adalah tokoh politik dan publik yang tindak-tanduk dan lakunya boleh didukung, dikritik, dikritisi, dan--bila perlu--dicaci.

Karena posisi pribadi itu, juga sebab tahu Pitres tergolong mudah bereaksi jika kepentingannya diusik, saya sebetulnya tak ingin terlampau serius menanggapi dia. Cuma, saya juga tidak tahan membiarkan kesombongan dan sok tahunya tidak dikoreksi. Kasihan betul kalau pada akhirnya--dengan membiarkan dia mempercayai karang-karangan sendiri--apapun yang dia tulis dan sampaikan ditanggapi sekadar salah satu dari jutaan sampah (utamanya) produksi media sosial.

Kalau pada akhirnya saya, di tengah (pura-pura biar tampak serius) keasyikan mengikuti sebuah konferensi tentang keberlanjutan, menanggapi (lagi) tulisan Pitres, Mengunyah Kenari, Yang Dikira 'Namu-namu', He, He, He, yang ditayang di akun facebook-nya, Kamis, 29 Oktober 2016, anggap saja tak lebih dari dongeng periuh Pilkada Bolmong. Dan memang tiga kisah yang akan saya tuliskan berikut adalah dongeng semata. Andai ada nama, tempat, atau peristiwa yang sekiranya memiliki kemiripan, itu hanya kesengajaan yang sepenuhnya saya sadari.

Dongeng pertama. Alkisah ada satu keluarga dengan ayah berlatar Jawa Tondano dan ibu asal Mongondow yang dikarunia lima anak perempuan. Sang ayah menyandang marga Soepredjo, si ibu ber-fam Mokoagow. Salah satu di antara keempat anak dalam keluarga ini dikenal berani dan--kendati perempuan--tidak segan adu fisik. Di masa SMP, misalnya, sekali pun dalam kondisi salah satu kakinya patah, anak perempuan tak biasa ini berani adu fulungku dengan tentara. Hasilnya, serdadu yang jadi lawan KO dengan rahang patah.

Seperti biasa, para orang tua (terutama paman-paman anak perempuan ini) merasa perlu membahas laku yang tidak umum itu. Salah satu simpulannya, barangkali nama yang disandangkan terlalu berat (atau justru ringan belaka). Diusulkanlah agar namanya diubah. Kedua orangtuanya, setelah mendengar pertimbangan dari delapan paman si anak dari pihak ibu (yang adalah saudara perempuan satu-satunya di antara mereka kakak-beradik) bersetuju namanya di ubah menjadi Yasti (dari Triastuti) Soepredjo (nama belakang ayahnya) Mokoagow (marga ibunya).

Nama resmi versi keluarga ini hanya diketahui persis oleh kalangan terdekat. Akan halnya dokumen resmi, termasuk ijazah, mulai dari SD hingga PT, masih mencantumkan nama sesuai akte kelahiran. Hingga, satu saat anak perempuan yang sudah dewasa ini, yang sukses berkiprah di dunia bisnis dan politik, memutuskan melegalkan namanya menjadi Yasti Soepredjo Mokoagow. Legalisasi ini selesai dilakukan sekitar Juni 2008.

Pada September 2008, dia menetapkan langkah mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI dari PAN. Di partai ini dia bukan pendatang baru. Sejak 1999 namanya sudah tercatat sebagai Koordinator Deklarasi PAN Sulut.

Pencalonan itu memerlukan dukungan tim kecil yang bekerja menyiapkan berbagai perencanaan, strategi, dan langkah aksi. Tim inilah, salah satunya adalah Ismail Dahab, yang kemudian berkumpul pertama kali pada Oktober 2008.  Di pertemuan ini Yasti Soepredjo Mokoagow secara langsung berkenalan dengan Ismail.

Bila kemudian ada kisah yang sengaja disebarkan bahwa Ismail Dahab-lah yang mengurusi legalisasi nama Yasti Soepredjo Mokoagow, pasti ada yang memang tukang bohong, meng-klaim dengan tidak tahu malunya, atau justru sekadar mencatut. Saya sendiri berkeyakinan Ismail Dahab tidak bakal berbohong atau mengklaim sesuatu yang sama sekali tidak melibatkan dia.

Dongeng kedua. Di FISIP Unsrat ada seorang mahasiswi yang populer dikenal sebagai Yasti Mokoagow, yang aktif di berbagai kegiatan dan bahkan menjadi Bendahara Himpunan Mahasiswa Ilmu Politik sepanjang 1988-1991. Diam-diam dia tidak hanya bergiat di internal kampus, tetapi juga perlahan-lahan merintis usaha di sela-sela kesibukan kuliah.

Dia, yang berasal dari keluarga menengah biasa di negeri ini, tidak segan dan malu melirik peluang bisnis. Kerja kerasnya setapak demi setapak berwujud menjadi sesuatu yang profesional. Itu sebabnya, pada 1992--lebih satu tahun sebelum menamatkan kuliah (yang tergolong terlambat untuk mahasiswa FISIP)-- dia sudah menyandang jabatan Dirut PT Jaton Sejahtera.

Selepas kuliah, dia lebih leluasa mengembangan bisnis dan karir. Portfolio-nya pun merentang dari Dirut PT Abdi Jaya Perkasa (2000), Dirut PT Bayu Cipta Buana (2004), Komisaris PT Visindotama Medikarsa Prima (2004), hingga Presdir PT Lintang Cakrawala Group (2007).

Latar belakang bisnis dan profesional itu, yang dapat ditelusuri dengan mudah apakah tergantung pada proyek APBD/APBN atau tidak, membawa perubahan besar pada kemakmuran ekonomi dan posisi sosialnya. Membuat dia, yang sudah terbebas dari kepusingan memenuhi tuntutan dasar sehari-hari, melirik peluang politik dengan mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 2009 dan terpilih. Sebagai penyelenggara negara, dia harus pula menyetor LHKPN pada 2009 dengan mencantumkan kekayaan (pribadi) antaranya sejumlah Rp 22 miliar.

Rumor dan spekulasi tokoh dongeng kita ini berdaya secara ekonomi baru setelah terpilih menjadi anggota DPR RI dan mampu membuka pintu kesempatan, jelas jauh dari fair dan mengandung niat jahat. Atau barangkali yang dimaksudkan adalah seseorang yang lain?

Dan dongeng ketiga. Tersebutlah ada seseorang yang merasa punya kebisaan dalam banyak hal, terutama (menurut pendapatnya sendiri) strategi politik dan eksekusinya. Kebisaan ini dijajakan, dibeli, dan diuji coba di peristiwa-peristiwa politik semacam Pemilu dan Pilkada. Ada kandidat yang mujur terpilih saat dia tangani, tetapi kebanyakan hanya ''nyaris terpilih'' atau ''hampir menang''.

Di Pilkada Bolmong 2017 yang tahapannya sudah dimulai sejak pendaftaran bakal calon pada 21-23 September 2016 lalu, tokoh dongeng kita ini ingin pula ambil bagian. Tentu dengan menyasar kandidat yang paling mungkin menang dan punya dukungan fulus yang tetesannya tidak seperti kran mampet. Untuk mendekati kandidat yang disasar, tokoh dongeng kita ini ''katanya'' (ingat: kita sedang menyimak dongeng) kemudian meminjam mulut Penjabat Bupati Bolmong.

Singkat kisah, pesan disampaikan dan mendapat jawabannya pendek: chemistry-nya tidak cocok. Tegasnya, tak mungkin bakal kandidat ini bekerja sama dengan tokoh dongeng kita. Konon, yang saya dengar dari burung-burung dan kodok-kodok (tentu bukan burung kolibri dan kodok kento'), tawaran terlibat dalam tim pemenangan dari tokoh dongeng kita ini telah pula ditolak oleh seorang kandidat bakal Cabup dari kabupaten lain di Sulut. Benar-tidaknya kabar ini, bukan urusan yang perlu dan penting ditelusuri. Namanya juga dongeng. Cuma ''konon''.

Berkaitan dengan Pilkada Bolmong, apa yang terjadi kemudian dengan penolakan dari kandidat bakal Cabup itu? Dongeng yang seru tentu melibatkan konflik yang menggugah dan membuat penyimaknya termehek-mehek. Dan itu, jika perlu, akan saya ceritakan di lain kesempatan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; APBN: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Dirut: Direktur Utama; DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; FISIP: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; KO: Knockout; LHKPN: Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Presdir: Presiden Direktur; PT: Perguruan Tinggi/Perseroan Terbatas; SD: Sekolah Dasar; SMP: Sekolah Menengah Pertama; Sulut: Sulawesi Utara; dan Unsrat: Universitas Sam Ratulangi.

Tuesday, September 27, 2016

Linduran Mujur Pilkada Bolmong 2017

MENJELANG siang, Selasa, 27 September 2016, saya baru menghempaskan badan ke sofa lobi Best Western Hotel, Tsim Sha Tsui, Hongkong, ketika menerima kiriman tautan tulisan Pitres Sombowadile. Selang beberapa jenak, dua BBM juga tiba, mengabarkan analisis yang ditulis sang ''budayawan'' ini--demikian ''pangkat'' yang disematkan media online yang mempublikasi tulisannya.

Sembari menahan kantuk karena perjalanan semalaman yang menguras semangat dan agak kurang sabar sebab check in yang selambat siput, saya membaca cepat analisis unggahan liputanbmr.com, Yasti Vs Salihi: Perjuangan Melawan Mujur (http://www.liputanbmr.com/bolmong/yasti-vs-salihi-perjuangan-melawan-mujur/), itu. Pilkada Bolmong 2017 tampaknya adalah momen yang tak ingin diluputkan para ''pemain politik'' di Sulut, termasuk Pitres yang belakangan sudah tak sungkan pula mengaku sebagai ''bagian dari Mongondow''.

Sebagai kawan, hubungan saya dengan Pitres sangat berwarna. Merentang dari zaman mahasiswa (berbagi hampir apa saja, kecuali pacar, pakaian, dan baju dalam) hingga sesekali cakar-cakaran di masa kini saat sudah sama-sama berada di bawah ancaman asam urat dan kawan-kawan. Dan tentang tulisan-tulisannya, terlebih esai dan analisis, selalu saya baca dengan bungah dan takjub: terutama menjadi pengingat bahwa bilangan usia yang kian banyak adalah takdir, tapi bijaksana dan hati-hati adalah soal pilihan, kewarasan, dan kewaspadaan.

Karenanya, dengan khusyuk saya mengaminkan saja analisis ''mujur'' yang ditulis Pitres. Dari aspek substansi, dia sepenuhnya benar. Toh sifatnya subyektif, sesuai dengan kelengkapan (atau kekurangan) informasi, bukti, pengetahuan, dan teori yang digunakan, serta konteks yang direntang dari asumsi ke simpulan. Terlebih dikemas pula dengan bahasa kekinian yang meliuk, melambai, dan menikung. Luar biasa!

Masalahnya, sekali pun hubungan kami tidak selalu baik-baik saja, dia tetap karib. Terhadap musuh sekalipun saya tidak pernah menyimpan hati, apalagi untuk kawan. Musuh yang keliru wajib diingatkan. Kawan yang silap, walau misalnya dilakukan dengan sadar dan sengaja, mutlak diluruskan. Maka, saya kira tidak ada salahnya jika sejumlah fakta fundamental yang disitir, yang ''mujur tak dapat ditolak'' sepertinya 100% hasil karangan dan duga-duga belaka, mendesak dan mustahak segera dikembalikan pada khitahnya.

Saya mesti terlebih dahulu men-disclosure, bahwa: tulisan ini bukan ajakan berdebat. Lagi pula apa yang saya beberkan tidak penting-penting amat, walau memang menyangkut akurasi yang mempengaruhi pengetahuan dan persepsi para pembaca analisis Pitres itu. Dan saya menjamin: fakta-fakta yang saya sampaikan tidak dicomot begitu saja dari dahan namu-namu, dibaca dari daun pisang, atau ditangkap dari bisikan angin dan pohon pinang. Saya tahu persis, mendengar langsung, melihat, dan ada ketika apa yang dipaparkan ini terjadi.

Bacaan sepintas saya, setidaknya ada empat fakta yang tingkat kekeliruannya mencengangkan dan perlu dikoreksi demi menjaga nama baik Pitres--yang juga diketahui telah pula menulis buku sejarah (kalau tidak salah, salah satu fragmen penting dalam sejarah Bolmong). Saya tidak tahu apakah dengan demikian dia sudah boleh dibaptis juga sebagai sejarawan. Namun, mengingat jantung sejarah adalah akurasi data dan peristiwa serta orang-orang yang terlibat, agar ''sejarawan'' kita ini selamat dari penyesatan terhadap pembaca dan penyimaknya, (apa boleh buat) dia harus diluruskan dalam tempo sesingkat-singkatnya.

Pertama, nama Yasti Soepredjo Mokoagow dan peran Ismail Dahab. Sejak masih mahasiswa di FISIP Unsrat Yasti memang sudah dikenal sebagai Yasti. Saya tahu persis karena dia adik tingkat (saya sendiri di FT) yang aktif dalam banyak kegiatan di kampus. Nama inilah, jauh sebelum dia memutuskan ikut Pemilu 2009, yang kemudian dilegalkan melalui dokumen hukum yang diakui di negeri ini.

Tidak ada peran Ismail Dahab, yang disebut Pitres sebagai konsultan politik, yang menyarankan agar dia menyandang nama ''Yasti Soepredjo Mokoagow''. Ismail bahkan baru terlibat dalam tim yang mengantar Yasti terpilih sebagai anggota DPR RI 2009-2014 setelah hampir seluruh strategi dan perangkat pendukung kampanye pencalonannya selesai disusun dan dibuat.

Tentu kalau Pitres berendah hati mengakui bahwa dia memang mengarang-ngarang saja, dia tak bakal segan menguji apa yang saya sampaikan ini dengan mencermati dokumen-dokumen legal riwayat hidup Yasti, juga menanyakan langsung pada Ismail Dahab.

Kedua, sinisme bahwa Yasti adalah kontraktor proyek-proyek pemerintah dan baru berkelimpahan (finansial) setelah menjadi anggota DPR RI. Dugaan ini juga pasti hasil raupan dari gosip kedai kopi. Pitres tampaknya tidak pernah tahu, diberi tahu, atau mencari tahu, bahwa sebelum meraih gelar sarjana Yasti sudah membangun perusahaan (dengan tangan dan otaknya sendiri) dan berhasil mendapatkan kontrak besar dan gurih dari satu perusahaan multi nasional.

Mengingat saya bukan juru bicara atau kuasa hukum Yasti, Pitres boleh mengecek sendiri info tersebut--lengkap dengan kronologi tahun ke tahunnya--, misalnya melalui laporan pajak yang bersangkutan.

Ketiga, menang di beberapa kompetisi politik karena kekuatan logistik. Ini spekulasi hasil generalisasi. Seperti mengatakan semua burung bisa terbang, tetapi kecuali burung onta dan keluarganya. Sekali lagi, jika kawan Pitres tidak buru-buru berpanas hati, saya bisa menunjukkan contoh bagaimana pendanaan politik yang melibatkan Yasti dikelola. Dari 2009, bundelan dokumennya masih terjaga dengan baik, lengkap, dan apa adanya. Serta, yang terpenting, membuktikan, dia adalah politikus yang meraih posisi dengan biaya yang, kalau terlalu lebay disebut murah, maka kita katakan saja sangat masuk akal.

Dan, keempat, Salihi B. Mokodongan terpilih sebagai Bupati Bolmong 2011-2016 semata karena faktor mujur. Pitres, maafkan saya, tapi pernyataan  ini jelas hasil linduran yang mengecilkan kecerdasan, kecerdikan, dan kepiawaian banyak orang. Tanyakan langsung pada Salihi bagaimana dia dipersiapkan sejak setelah Pemilu 2009 untuk bertarung di Pilkada Bolmong 2011. Mulai dari rencana Cawabup, kemudian berubah menjadi Cabup, dan akhirnya terpilih.

Tanyakan pula pada banyak orang yang terlibat, yang berada di lingkaran terdalam tim yang mengantar SBM-YT sebagai Bupati-Wabup Bolmong 2011-2016, bagaimana perencanaan terstruktur dan kerja-kerja politik massif yang dilakukan supaya pasangan ini sukses. Kalau pun ada faktor mujur, karena Salihi ditemukan dan diusung oleh orang-orang yang tepat.

Saya kira demikianlah koreksi ini, tidak lebih dan kurang sebagai ekspresi sayang dan hormat saya pada Pitres. Kamerad dan karib yang hubungannya dengan saya tidak selalu manis dan tidak pula pernah benar-benar pahit. Kita masih tetap kompak kan, Pit?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPR RI: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia; FISIP: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik; FT: Takultas Teknik; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; SBM-YT: Salihi B. Mokodongan-Yani Tuuk; Sulut: Sulawesi Utara; Unsrat: Universitas Sam Ratulangi; dan Wabup: Wakil Bupati.

Monday, September 26, 2016

Kembali SBM ke Beringin: ''Checkmate'' untuk ''Soa-soa''

KONTESTASI Pilkada Bolmong 2017 baru tahap pemanasan, tapi kejutan sudah meletus. Musababnya adalah manuver tak terduga bakal Cabub, Salihi B. Mokodongan, yang diusung PD, PG, dan Gerindra, serta didukung sebagian elit dan kader PAN Sulut dengan kilah dia adalah kader partai ini.

Tanpa petanda sebelumnya, tiba-tiba SBM memaklumatkan dia kembali ke PG. Deklarasi pulang ke bawah naungan beringin (partai asalnya sebelum dicalonkan PAN di Pilkada Bolmong 2011) ini, bahkan dilakukan secara terbuka di pelantikan Pengurus DPD I Sulut dan DPD II PG Kabupaten Minsel serta 12 DPD lainnya di Amurang, Minsel, Minggu, 25 September 2016. Tak main-main, jaket kuning sebagai simbol pengakuan SBM kembali jadi kader disematkan langsung oleh Ketua DPP PG, Setya Novanto.

Ketika mendapat kabar ''mufaraqah''-nya SBM dari PAN, partai yang dia pimpin lima tahun terakhir sejak terpilih sebagai Bupati Bolmong 2011-2016, saya hanya mengeleng-ngeleng tak percaya. Sungguh, mulanya saya menduga kabar ini semacam hoax kampanye negatif terhadap SBM dan pasangannya, Jefry Tumelap. Atau strategi playing victim (fabrikasi jadi korban untuk memanipulasi orang lain demi mencari perhatian) mengingat beberapa politikus elit dan tokoh pendukung pasangan ini adalah masternya. Sebab, di hadapan kompetisi politik penting seperti Pilkada, bukankah lebih banyak manfaat ketimbang mudaratnya dia tetap jadi kader PAN?

Hitung-hitungan politik rasional pasti menyepakati, dengan diusungnya SBM-JT oleh tiga partai, maka ''pasar politik'' mereka sudah pasti adalah konstituen parpol pendukungnya. Modal pasangan ini kian gembung karena SBM adalah kader PAN dan sekali pun partai ini resminya mencalonkan YSM-YT, tetapi Ketua DPW Sulut, Sehan Landjar, membelot dan bersikukuh tetap mendukung SBM-JT. Artinya, PAN juga bakal menyumbangkan potensi suara signifikan terhadap mereka. Apalagi, pembangkangan Eyang dan sejumlah elit PAN di Sulut disertai keyakinan tidak akan ada sanksi dari DPP, sebab YSM dan SBM sama-sama kader terbaik mereka.

''Main dua kaki'' dengan dalih kandidat yang bertarung sama-sama kader, walau menyebabkan partai ini terpecah-belah, terbukti berhasil mendudukkan ''kader PAN'', Sehan Landjar, di kursi Bupati Boltim 2016-2021. Tak jadi soal apakah dia kader jenis plastik, 18 karat, 21 karat, atau 24 karat. Bukan pula masalah jika pertengkaran sisa Pilkada Boltim masih beranak-pinak di internal PAN Sulut. Politik tanpa gesekan dan otot-ototan hambar dan membosankan.

Hingga usai pendaftaran pasangan SBM-JT ke KPU Bolmong, saya kira orang banyak (termasuk saya sendiri) yang setia mengikuti dinamika politik BMR, sependapat di atas kertas modal politik pasangan ini cukup melimpah. Terlebih tokoh sekaliber Eyang dan Ketua DPD PAN KK, Jainuddin Damopolii, tegas bersikap pantang mundur mengantar SBM-JT ke kursi Bupati-Wabup Bolmong.

Memang ada segelintir orang yang menyuarakan analisis berbeda, bahwa keterlibatan elit PAN Sulut seperti Eyang, JD, dan bahkan Wasekjen DPP, Dedi Dolot, justru strategi mengamankan keputusan partai. Alasan yang dikemukakan sejalan dengan klaim yang kerap disuarakan Dolot, bahwa dia adalah ''orang dekat dan kepercayaan'' Ketua DPP, Zulkifli Hasan, yang mengemban tugas  ''mengamankan'' kepentingan partai di Sulut. Benar-tidaknya klaim ini, cuma PAN yang tahu persis. Yang jelas, di beberapa peristiwa politik (termasuk Pilkada Bloltim yang mempertemukan kepentingannya dan kebutuhan Eyang), setidaknya yang terpapar di media massa, tampaknya Dolot mengambil peran signifikan. Ya, sekali pun politik yang dia praktekkan terlalu tampak amatir, mentang-mentang, dan sok jago.

Tapi jika benar dukungan Eyang, JD, dan para elit, kader, dan simpatisan PAN di Sulut yang berbaris di belakang mereka adalah demi mengamankan keputusan DPP, maka itu sejahat-jahatnya politik. Keputusan DPP adalah pasangan YSM-YT. Dan jika mereka wajib diamankan, maka pasangan SBM-JT harus kalah. Dengan kata lain, keterlibatan ''orang PAN'' dengan pasangan yang didukung PD-PG-Gerindra adalah justru untuk melemahkan koalisi ini.

Saya sesungguhnya tak hirau dengan analisis berbau konspirasi jahat itu. Saya tidak tahu bagaimana para politikus usia muda di PAN, terlebih yang mendadak kejatuhan anugerah kekuasaan. Tapi masak sih orang tua dan tokoh sekelas Eyang dan JD mau berpolitik serendah dasar selokan?

Namun, kembalinya SBM ke PG tak urung langsung memicu saya mengingat analisis berbau konspirasi jahat itu, dengan aneka syak: Jangan-jangan memang ada konspirasi dan SBM sudah menciumnya? Jangan-jangan karena tahu ada konspirasi, SBM lalu memutuskan mengambil langkah kuda dan rokade? Dan banyak jangan-jangan yang lain, termasuk jangan-jangan kali ini Eyang benar-benar checkmate oleh salah ucap dan langkah sendiri? Mau bilang apa? Manuver terkini SBM telak menohok ''filosofi kucing'' yang dia gembar-gembor di pelantikan sebagai Ketua DPW PAN Sulut; juga meniadakan satu-satunya benang merah alasan mengapa kader PAN tak haram mendukung SBM-JT.

Barangkali Eyang perlu merevisi kembali filosofi kepemimpinannya itu. Kalau ternyata payah menegakkan filosofi kucing, tidak ada salahnya ganti dengan, misalnya, ''filosofi katang'' (yang nongol dari lobang saat perlu), ''filosofi musang'' (yang penting ayam dan telur berhasil digondol), atau ''filosofi soa-soa'' (biar pongo tapi gesit).

Sebab, faktanya, dari kata per kata ucapannya sendiri, sebagaimana rekaman video yang kemudian saya tonton, SBM jernih dan sepenuhnya sadar mengatakan dia kembali ke PG. Orang tua ini, seorang petahana Bupati, telah berhaji pula, tentu tidak sedang mengigau, membaca mantera, atau--meminjam perkataan warga tempat asal Ibu saya, Kopandakan--molimbu-limbung kon ubol. Dia kini hengkang dari PAN, pulang kembali ke PG. Titik!

Pernyataan melipur lara elit, tokoh, kader, dan simpatisan PAN di Sulut yang Jumat, 23 September 2016, gagah berani mengantar SBM-JT mendaftar ke KPU Bolmong, bahwa SBM menggunakan jaket PG karena menghargai partai yang mengusung dia sebagaimana dikutip totabuanews.com, Minggu, 25 September, Tak Persoalkan Sikap Salihi, Eyang Berterima kasih kepada Partai Golkar (https://totabuanews.com/2016/09/tak-persoalkan-sikap-salihi-eyang-berterima-kasih-kepada-partai-golkar), cuma menista akal sehat sendiri. Kecuali kalau Eyang dan rombongan di bawah kepemimpinannya memang bersigegas beralih ke ''filosofi soa-soa'': tekeng pongo dan dengan gesit mengkreasi alasan berkelit.

Kali ini, sebagai tokoh utama, Eyang mesti memeras akal kancil hingga tetes terakhir ide paling kreatifnya. Saat dia, JD, Dedi Dolot, sejumlah kader, serta simpatisan membelot dari putusan DPP dan tak mendukung YSM-YT, benteng pertahanannya adalah: SBM juga salah satu kader terbaik PAN. Begitu SBM melompat pulang ke PG, kilahan ini kehilangan makna dan tuah. Roboh sudah benteng tempat berlindung. Rame-rame ta colo di pece dolong. Dan  karena so ta colo, agar tak memikul aib dan cemooh, mengapa tidak sekalian mereka beramai-ramai mengikuti SBM ke pelukan beringin BMR yang kian tak rindang lagi?

Saya kira, sepragmatis-pragmatis dan oportunisnya PAN, DPP pasti mengambil sikap tegas. Di belahan bumi manapun saya belum menemukan ada parpol yang menoleransi laku bangkang para elit dan tokoh-tokohnya, yang justru bekerja demi memenangkan partai dan kader pesaing. Namun, itu pun kalau PAN masih sebenar-benar partai, bukan suaka margasatwa yang isinya melulu kucing garong, katang, musang, dan soa-soa.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPW: Dewan Pimpinan Wilayah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; JD: Jainuddin Damopolii; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Minsel: Minahasa Selatan; Parpol: Partai Politik; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Paryai Demokrat; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; SBM-JT: Salihi B. Mokodongan-Jefry Tumelap; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup: Wakil Bupati; dan YSM-YT: Yasti Soepredjo Mokoagow-Yani Tuuk.

Sunday, September 25, 2016

Politik Dhuafa Imajinasi dan Kreativitas

JIKA hanya mengikuti pemberitaan permukaan dan lalu lintas kabar di media sosial, saya pasti mempersepsi betapa hebat pasangan bakal Cabup-Cawabup Pilkada Bolmong 2017, Salihi B. Mokodongan-Jefry Tumelap. Seolah-olah bersamaan dengan dikantonginya dukungan dari tiga parpol, PD, PG, dan Gerindra  serta didaftarkannya mereka sebagai calon kontestan, masyarakat Bolmong tinggal menunggu pelantikan Bupati-Wabup 2017-2022.

Skenario penciptaan persepsi seperti itu gamblang terbaca dari satu-dua media online yang tanpa malu-malu segera menempatkan diri jadi penyokong SBM-TJ. Juga, sejumlah orang (termasuk beberapa pewarta) yang aktif menyebarkan gambar-gambar massa yang diklaim sebagai ''ribuan'' pendukung pasangan ini.

Ibarat menonton film, dengan menyimak adegan pembukaan ''drama'' SBM-JT sejak penjemputan kepulangan mereka usai mengantongi SK dukungan hingga pendaftaran ke KPU Bolmong, kita sudah tahu siapa-siapa penulis skenario dan sutradaranya. Terlebih media-media yang sama juga memampang judul-judul bombastis semacam Eyang, MMS, Djelantik dan ADM Masuk Tim Pemenangan (totabuanews.com, Kamis, 22 September 2016, https://totabuanews.com/2016/09/sbm-jitu-power-people-eyang-mms-djelantik-dan-adm-masuk-tim-pemenangan).

Para politikus dan praktisi--terutama yang berulang-ulang terjun dalam kompetisi politik di BMR--serta pendukung, simpatisan, dan (yang tak boleh diluput) penasihat mereka, memang dhuafa imajinasi dan kreativitas. Alhasil, pencitraan yang kini langsung disematkan terhadap SBM-JT tak lebih dari ''calana tua'' yang hanya dimofikasi seadanya dan dipas-paskan terus-menerus. Demikian di Pilwako KK, Pilkada Boltim, dan kini Pilkada Bolmong.

Tempat berbeda, calon yang sama sekali berbeda, tetapi dengan metode, pendekatan, cara, orang-orang, dan bahkan jargon yang setali tiga uang. Juga, (potensi) ''kecurangan'' yang mirip-mirip.

Tentang ''main curang'', kaum politikus dan politik di mana pun biasa memang pragmatis, permisif, dan akomodatif. Apalagi yang batasannya berada di wilayah abu-abu dan mudah dibalik sebagai upaya kampanye hitam pesaing. Misalnya, tiba-tiba pada Jumat pagi, 23 September 2016, beredar kabar bahwa semalaman hingga menjelang subuh ada pihak yang bolak-balik ke kantor KPU Bolmong, mencocokkan daftar kelengkapan dokumen pasangan SBM-JT dengan para komisioner. Kabar ini diiringi penegasan, sejumlah jurnalis sedang menginvestigasi dengan mengumpulkan bukti-bukti, termasuk foto dan kronologinya.

Masalahnya, kalau pun kejadian itu benar, apakah kategorinya main curang atau cuma bentuk kedunguan sejumlah orang yang tidak paham etika, termasuk oknum-oknum (komisioner) KPU Bolmong yang gagal menjalankan tugasnya mensosialisasi tahapan Pilkada serta syarat-syarat dan prasyaratnya? Buat saya pribadi, karena Pilkada adalah kontestasi politik, ada Panwaslu, dan KPU punya DKPP, jika ''hubungan gelap-gelapan'' itu benar dan merupakan pelanggaran, siapa pun warga negara yang mengetahui wajib hukumnya melaporkan ke pihak berwenang.

Sebaliknya, kalau kabar itu sekadar rumor yang dibuat-dibuat demi merusak fairness Pilkada dan reputasi orang-orang yang dilibatkan, penyebarnya mesti diberi pelajaran setimpal.

Kembali ke metode, pendekatan, cara, orang-orang, dan jargon usang yang terus berulang di setiap kontestasi (besar) politik di BMR. Pengerahan ''ribuan orang'' untuk show of force mendukung SBM-JT yang disertai publikasi sebagai ''kekuatan rakyat'', bagi politikus ingusan adalah langkah jenius. Tapi dengan mencermati proses didukungnya SBM-JT (juga YSM-YT) serta tahapan panjang Pilkada yang baru berpuncak 2017, unjuk kekuatan dan klaim itu tak beda dengan buang-buang energi.

Pembaca, dua pasang bakal calon yang kita terdaftar dan dalam proses verifikasi di KPU Bolmong, YSM-YT dan SBM-JT, sama-sama hasil keputusan politik para elit parpol. Dua-duanya diusung oleh parpol, bukan kandidat independen di mana orang per orang rakyat Bolmong (yang memiliki hak pilih) menyetor KTP sebagai bentuk dukungan riil. Kalau kekuatan rakyat hanya diukur dari banyaknya orang yang berkerumun dan mengekor di belakang iring-iringan kandidat, lalu apa bedanya dengan pawai HUT Kemerdekaan atau parade bunga?

Politik adalah pendidikan agar warga negara memahami negara, kebangsaan, serta perangkat, pranata, tata cara, termasuk tata laksananya. Klaim-klaim yang semata bertujuan dan ditujukan untuk pencitraan yang galib dipraktekkan di kontestasi politik di BMR, menurut saya sangat tidak mendidik kesadaran, kecerdasan, dan keawasan orang banyak; cenderung berbiaya tinggi; pendewaan terhadap segilintir politikus; dan akhirnya sarat tendensi ''belantik sapi''.

Politikus, praktisi, dan para penasihat politik di BMR umumnya yang malas belajar--membuat otak mereka juga kian tumpul--alpa bahwa dinamika di negeri ini (apalagi global) sudah bersigegas meninggalkan pencitraan dan politik berbiaya mahal. Kini politikus yang menjadi kandidat kontestasi apapun diukur dari rekam jejak dan reputasinya. Maka, hanya mereka yang benar-benar cerdas, berpihak pada orang banyak, dan konsisten yang mendapat nama dan tempat. Mereka (Walikota, Bupati, dan Gubernur) adalah orang-orang dengan kualitas seperti Walikota Risma (Surabaya), Ridwan Kamil (Bandung), Dedi Mulyadi (Purwakarta), atau Ahok (DKI Jakarta).

Belajar dari praktek terbaik menemukan pemimpin daerah seperti Risma dkk itu, saya kira belum terlambat bagi mereka yang waras dan peduli untuk mengingatkan (lagi), yang akan dipilih (jika lolos dari seluruh rangkaian proses) sebagai Bupati-Wabup Bolmong 2017-2022 adalah YSM-YT dan SBM-JT. Kandidatnya adalah dua pasang politikus ini. Bukan Eyang, DjM, Jainuddin Damopolii, MMS, ADM, atau siapapun yang merasa syur mengaku atau diakui sebagai tokoh politik dan publik di Bolmong.

Yang perlu didengar adalah visi, misi, kebijakan, strategi, dan rencana aksi dari pasangan YSM-YT dan SBM- JT. Yang harus disimak adalah bagaimana dua pasang ini menjabarkan dan mengartikulasikan komitmen dan rencana mereka terhadap Bolmong lima tahun mendatang. Yang mutlak dicermati adalah rekam jejak dan reputasinya sebagai politikus dan pemimpin orang banyak.

Rakyat Bolmong patut punya pemimpin yang sebenar-benar pemimpin, bukan boneka sekelompok orang, apalagi sekadar pasangan yang dihasilkan dari ''belantik sapi'' untuk kepentingan segelintir politikus yang tujuannya akhirnya adalah perebutan kekuasaan untuk dibagi (atau dipertengkarkan) di antara sesama mereka. Jadi, jika orang-orang hebat di belakang YSM-YT atau SBM-JT naik panggung dan berkoar, mari kita nikmati sebagai hiburan belaka. Toh biasanya pidato dan ulah mereka juga cuma beda tipis dengan stand up comedy. Berkata ke Barat sembari (selalu terbukti) justru menghambur ke Timur.

Kenyang dengan lawakan, konstituen di Bolmong  tak perlu sungkan pula berpartisipasi dalam lelehan air mata jika ada kandidat dan penyokongnya yang menjual keharuan melalui ''strategi berurai tangis''. Menangis, kata aktor Bruce Willis pada lawan mainnya, Damon Wayans, di The Last Boy Scout (1991), baik untuk membersihkan jiwa. Asal, tancapkan di benak, sungguh tipis belaka perbedaan dandi dan kandi dalam bahasa Mongondow. Apalagi orang yang pelo karena sedu sedan biasanya gampang mengacaukan dan membolak-balik penempatan ''d'' dan ''k''.

Sebab, yang terpenting adalah sajian utamanya: Apa dan bagaimana YSM-YT dan SBM-JT mempidatokan, mensosialisasi, dan mentransparansi komitmen serta rencana mereka terhadap Bolmong di bawah kepemimpinannya. Hanya kapten dan mualim kompeten yang mampu membawa kapal besar kabupaten ini melewati tak terduganya ombak dan angin di samudera peradaban.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ADM: Aditya Didi Moha; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; Dandi: Janji; DjM: Djelantik Mokodompit; Dkk: Dan kawan-kawan; DKPP: Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Kandi: Dusta; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; MMS: Marlina Moha-Siahaan; Parpol: Partai Politik; PD: Partai Demokrat; PG: Partai Golkar; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); SBM-JT: Salihi B. Mokodongan-Jefry Tumelap; SK: Surat Keputusan; YSM-YT: Yasti Soepredjo Mokoagow-Yani Tuuk; dan Wabup: Wakil Bupati.