Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, July 30, 2015

Pilkada Boltim: Cuma Kompetisi Politisi KW2

‘’DRAMA’’ pendaftaran Cabup-Wabup Boltim, Selasa, 28 Juli 2015, berakhir anti klimaks. Petahana, Sehan Landjar, berpasangan dengan Cawabup Rusdi Gumalangit, yang diusung PAN, Hanura, Gerindra, PD, PKB, serta PKS dan Sam Sachrul Mamonto-Medi Lensun yang digadang PDIP bersama Nasdem, hingga pukul 16.00 Wita (batas waktu yang ditetapkan KPU Boltim) urung mendaftar.

Tanpa kandidat yang mengajukan diri, Pilkada Boltim—yang merupakan bagian dari Pilkada serentak 2015—patut dicatat sebagai prestasi nasional karena cuma setara ‘’cakar-cakaran murid TK memperebutkan bangku di ruang kelas’’. Apalagi, berhari-hari sebelumnya masyarakat tak henti dibombardi sesumbar salah satu pasang kandidat yang merasa paling siap. Pula, di hari terakhir—dari tiga hari pendaftaran yang dibuka KPU Boltim—, orang banyak begah disuguhi tontonan dan konvoi massa pendukung para kandidat.

Apa yang terjadi? Mengapa Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit yang mengusung tagline SERIUS—ihwal slogan ini, ada yang mengirimkan BBM ke saya, bahwa yang lebih menggigit harusnya SEBE RUGI, akronim ‘’Sehan Bersama Rusdi Gumalangit’’—dan Sachrul Mamonto-Medi Lensun (SMILE) membatalkan proses pendaftaran mereka?

Berbagai informasi yang berhamburan, terutama yang disajikan media massa pada Rabu, 29 Juli 2015, penuh spekulasi, duga-duga, dan kilahan. Spekulasi dan duga-duga yang paling menonjol adalah, dua pasang kandidat yang ‘’katanya’’ sudah mengantongi SK dari Parpol pendukung, saling menunggu siapa yang mulai menjalan batu caturnya. Akan halnya kilahan, dari kubu SERIUS, mengutip Ketua Tim Pemenangan, Yusra Alhabsi, Harian Radar Bolmong (SMILE dan SERIUS Takut Mendaftar) menulis masalahnya terletak dokumen pencalonan yang masih harus dilengkapi. Dari pihak SMILE, Sachrul Mamonto beralasan, karena tidak ada pasangan calon lain, mereka menunda pendaftarannya sebab toh tetap ada kesempatan di babak kedua.

Saya memilih mengabaikan berbagai informasi yang berkesiuran itu. Faktanya jelas: ada dua pasang Cabup-Cawabup di Boltim yang terang-terangan berkompetisi dengan cara yang kekanak-kanakkan. Kalau yang dimainkan adalah strategi dan taktik politik, maka mereka secara terbuka menunjukkan ketidakhormatan dan meremehkan Parpol pengusung serta kecerdasan konstituen Pilkada yang pantas tersinggung, sebab ternyata cuma dibuai omong-kosong akrobat perebutan kursi kekuasaan.

Pasangan SERIUS yang beralasan masih melengkapi dokumen pendaftaran, seperti dengan suka rela mengakui mereka tidak didukung persiapan terencana dan solid. Bahwa pasangan ini lebih mendahulukan perburuan SK dukungan Parpol dan menganggap enteng dokumen-dokumen persyaratan yang lain. Syak yang lain: Jangan-jangan dukungan yang dikantongi belum memadai?

Kalau pun dukungan telah memadai, menunda pendaftaran yang sebelumnya sudah digembar-gemborkan, tak beda dengan melecehkan Parpol yang telah men-SK-kan mereka. Tanpa dikatakan pun, orang yang memahami praktik politik praktis tahu persis, salah satu syarat Parpol mengeluarkan SK dukungan adalah kesiapan prima kandidat yang rekomendasikan. Dokumen pendaftaran belum lengkap? Alasan macam apa ini? Kemana saja dan apa yang dilakukan kandidat dan rombongan gentong nasi Tim Pemenangannya selama ini?

Syukurlah umumnya Parpol memang masih dikelola acak-acakkan, jauh dari manajemen politik yang berharga diri dan berintegritas. Di tempat-tempat dengan praktik politik yang lebih dewasa dan tegas, dukungan Parpol terhadap kandidat yang mendadak tidak siap, pasti segera ditarik. Tidak ada faedahnya mengusung politikus yang tidak punya kemampuan paling mendasar dalam manajemen kepemimpinan: menyiapkan diri sendiri.

Sama dengan bercapek-capeknya Sachrul Mamonto seharian di KPU Boltim menunggu mendampingi SERIUS mendaftarkan diri, sebab dia adalah Ketua PAN Boltim yang menjadi jangkar pendukung pasangan ini. Apa pesan dan pelajaran yang patut dipetik publik dari tingkah pahlawan kesiangan ini? Sachrul ingin menunjukkan jiwa besar? Moralitas, etika, dan integritas politik? Atau sekadar mengolok-olok SERIUS yang sukses merampas rekomendasi dan SK DPP PAN dari tangannya?

Saya harus minta maaf pada Sachrul (saya akui, dia adalah salah satu sahabat yang tetap karib dan penuh hormat walau sudah berada di posisi elit politik dan publik), tetapi kehadirannya di KPU Boltim menunggu mendampingi pendaftaran pencalonan SERIUS adalah puncak pelecahan terhadap diri sendiri. PAN sudah melepeh dia. Kinerja politiknya yang kinclong—fraksi utuh dan jabatan Ketua DPRD Boltim—, yang seharusnya menghasilkan kepercayaan penuh DPP PAN, justru dinafikan dengan rekomendasi dan SK untuk SERIUS. Ditambah lagi, bila PAN masih Parpol yang punya harga diri, integritas, sistem, dan manajemen yang tertata, dia seharusnya terkena sanksi serius karena mbalelo dengan bersikukuh mencalonkan diri melawan kandidat partainya.

Jadi, apa yang kau cari dan ingin buktikan lagi, Sachrul? Kenyataan politik (praktis) memang pahit. Jauh dari romantisme kepahlawan hitam-putih yang suka digambarkan film-film Hollywood. Bersikap bagai domba tak berdosa di tengah para buaya, sama dengan menunggu lampu merah menyala, tengah malam buta, di jalan di jantung gurun terpencil di mana kendaraan yang lewat seharian dapat di hitung dengan jari tangan, sebelum menyeberang. Tindakan ini tidak salah. Sangat benar dan heroik, sekaligus bodoh tak ketulungan.

Kembali pada penundaan pendaftaran, alasan SMILE pun sama tidak bermutunya. Mengetahui, memahami, menganalisis, dan menetapkan strategi memenangkan Pilkada adalah proses yang kompleks dan komprehensif, dengan menitikberatkan pada pencapaian keunggulan-keunggulan dibanding pesaing. Maka pesaing memang menjadi faktor penting yang harus diperhitungkan. Tetapi dengan meletakkan faktor ini menjadi yang paling utama, SMILE justru mengorbankan keuntungan terpenting dari proses perebutan fokus perhatian para pemilih: kepastian terhadap pilihan.

SMILE dan tim pemenangannya tampaknya terlalu masyuk mematut kepentingan mereka serta mencermati langkah-langkah SERIUS yang dipersepsikan sebagai pesaing terkuatnya. Mereka mengabaikan perkembangan politik lebih luas, terutama wacana dan perdebatan berkaitan dengan alternatif konstitusional bila ada daerah yang ternyata hanya punya satu pasang calon dalam Pilkada serentak 2015.

Dengan tetap mendaftar dan menjadi calon tunggal, sekali pun Pilkada ditunda, SMILE tak kehilangan nilai tambah. ‘’Panggung’’ Sachrul Mamonto sebagai Ketua DPRD Boltim (sebab tahapan Pilkada berhenti, maka proses mundurnya di DPRD juga boleh dong dihentikan) tidak terganggu, sementara Sehan Landjar yang masa jabatan Bupati-nya segera berakhir, harus bekerja keras berlipat-lipat agar tetap ada di benak para pemilih. Keunggulan lain yang juga diluputkan adalah ide yang kini berkembang, bahwa Pilkada tetap dilaksanakan dan pasangan tunggal yang terdaftar bertarung melawan kotak kosong; atau bahkan cukup dibawa ke Sidang Paripurna DPRD dan disahkan.

Itu sebabnya, batalnya SERIUS dan SMILE mendaftar di hari terakhir pendaftaran Cabup-Cawabup di Pilkada Boltim, bukan sekadar sebuah titik balik proses politik. Peristiwa ini menjadi krusial sebagai penakar kualitas kepemimpinan dua pasangan calon pemimpin Boltim 2016-2021. Sedihnya, mereka sama-sama mengecewakan. Sama-sama tak memiliki kualitas terpenting yang mutlak dimiliki setiap pemimpin publik: kemampuan manajemen, merumuskan strategi, dan keberanian mengambil risiko.

Apa yang mereka pertontonkan menunjukkan, SERIUS dan SMILE tidak sedang mempraktekkan politik yang berpihak dan mengindahkan kepentingan umum. Yang mereka deder di depan umum adalah politicking. Kamus daring MacMillan (http://www.macmillandictionary.com/dictionary/british/politicking) mendefinisikan politicking sebagai: ‘’political activity by someone who is only interested in doing things for their own advantage, not in helping other people’’. Relakah masyarakat Boltim memilih pemimpin egois yang hanya mengedepankan kepentingan mereka di atas hajat hidup orang banyak?

Menurut saya, tanpa kemampuan manajemen, merumuskan strategi, dan keberanian mengambil risiko, SERIUS dan SMILE hanya punya modal minim: keinginan dan ambisi meraih jabatan politik dan publik tertinggi di Boltim. Artinya, mereka hanya seperempat pemimpin. Celakanya, bahkan pemimpin dengan bekal yang utuh belum tentu mampu berkontribusi maksimal bagi kesejahteraan dan kemaslahatan yang dipimpin, apalagi politikus yang hanya sejenis KW2?

Saya sungguh bersimpati dan berempati terhadap Boltim dan masyarakatnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Gerindra: Gerakan Indonesia Raya; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KW: Istilah untuk menunjukkan kualitas barang. Tingkatannya mulai dari Ori (untuk menunjukkan produk asli), KW Super (hampir sepurna seperti produk asli), KW1 (mendekati produk asli), KW2 (mirip produk asli), dan seterusnya: Nasdem: Nasional Demokrat; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; PKS: Partai Keadilan Sejahtera; SK: Surat Keputusan; TK: Taman Kanak-kanak; dan Wita: Waktu Indonesia Tengah.

Wednesday, July 29, 2015

Coro DPRD Bolmong itu Bernama Tonny Tumbelaka

KADISPARBUD, Nancy Mokoginta, keluar dari ruang Komisi III DPRD Bolmong  dengan air mata bercucuran. Peristiwa ba’da magrib, Selasa, 28 Juli 2015, ini segera menyebar, memercik spekulasi, dan memicu amarah sejumlah orang—mereka yang bersimpati dan berempati, serta (yang terpenting) kerabat Kadisparbud.

Tangisan Kadisparbud itu (sebuah peristiwa tidak biasa, bahkan dalam sejarah DPRD Bolmong) saya ketahui dalam perjalanan di ruas tol Jakarta-Bogor. Kabar yang tiba menyatakan: air mata Ibu Kadis telah membuat sejumlah orang—kerabat, teman, dan kenalan—berkumpul di Gogagoman dengan darah mengelegak. Walau agak kurang mengerti konteknya, saya dapat memahami. Di Mongondow, tangisan seorang perempuan—terlebih dia kakak atau adik, ibu, nenek, atau sekadar kerabat—yang jatuh karena kesewenang-wenangan yang menggores perasaan, semestinya mampu membuat gentar siapapun yang menjadi penyebab.

Hanya ada daftar pendek masalah yang dapat membuat ‘’seorang Mongondow’’ gelap mata. Salah satunya adalah hati yang luka dari perempuan yang mereka hormati. Dan saya yakin sepenuhnya, lepas dari posisi birokrasinya ‘’yang kebetulan’’ Kadisparbud, Nancy Mokoginta adalah anak, adik, kakak, ibu, nenek, atau kerabat dari sekian banyak orang, baik yang berpendidikan maupun tidak; yang waras maupun tidak; yang berpolitik maupun tidak; yang berbudaya maupun yang masih tergolong barbar.

Walau dapat dikategorikan tak berpendidikan tinggi (sekali), saya merasa cukup waras, sedikit paham politik, dan yakin masih berbudaya, hingga informasi tangisan Kadisparbud itu saya sikapi dengan hati-hati. Yang pertama tercetus adalah pertanyaan, dalam rangka apakah Kadisparbud hadir di DPRD Bolmong? O, ternyata berkenaan dengan Rapat Pembahasan Ranperda LPJ Kepala Daerah Bolmong 2014. Asumsi saya, pasti ada debat, kritik, celaan, barangkali bentakan atau sejenisnya yang memang menjadi tabiat khas anggota DPRD (dan politikus umumnya), yang membuat air matanya tumpah.

DPRD yang melaksanakan tugasnya, berhak menyatakan, mengeluarkan, mengumandangkan, bahkan meneriakkan apa saja. Bahwa ada Kadis lemah hati, tipis rasa, yang tersinggung dan menangis, demikianlah risiko yang harus diterima. Kalau tak sudi, letakkan jabatan dan tinggalkan Gedung DPRD Bolmong.

Tapi, kisahnya tidak sesederhana itu. Sebab urusan yang jadi penyebab ternyata tidak terkait dengan Rapat Pembahasan Ranperda LPJ Kepala Daerah Bolmong 2014. Tidak pula ada juntrungannya dengan pelaksanaan tanggung jawab, wewenang, kewajiban, tugas, kerja, dan hak DPRD Bolmong dan anggotanya sesuai UU Nomor 17/2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Peristiwa itu, yang informasinya sepenuhnya terkonfirmasi, bermula dari jeda Rapat Komisi III dengan dinas-dinas yang terkait berkenaan dengan Pembahasan Ranperda LPJ Kepala Daerah Bolmong 2014, karena waktu magrib tiba. Ketika Ketua Komisi rehat untuk sholat, Sekretaris Komisi III, Tonny Tumbelaka, yang berasal dari PDIP, meminta seluruh staf Sekretariat DPRD Bolmong dan staf yang mendampingi Kadisparbud untuk meninggalkan ruang. Yang tersisa dalam ruangan hanyalah Kadisparbud, Sekretaris Komisi III, dan beberapa anggota DPRD Bolmong yang lain.
Apa yang dibicarakan di dalam ruangan itu? Pembaca, sebab topiknya sungguh memalukan dan hanya mempertontonkan tumpul otak dan busuknya aurat politik segelintir anggota DPRD Bolmong, maka sebaiknya saya tidak mengumbar sembarangan—kecuali di saat yang memang sungguh-sungguh dibutuhkan. Singkatnya (yang sepenuhnya menjadi simpulan dan penilaian saya), aksi dengan aktor utama Sekretris Komisi III cuma soal ‘’perampokan’’. Sayangnya, tersebab ‘’perampoknya’’ amatir dan pemula, dilakukan dengan cara yang kasar, semena-mena, dan murahan.
Tonny Tumbelaka (saya tidak peduli asal partainya, siapa dia, dan jabatan publik mentereng ‘’anggota DPRD yang terhormat’’ yang dia sandang) tampaknya harus belajar lebih keras jadi ‘’rampok profesional’’ yang tidak memerlukan suara keras, bentakan, pin Garuda diapit padi dan kapas, dan SK anggota DPRD untuk mendapatkan semua yang diinginkan, termasuk—misalnya—duit setoran dari Kepala SKPD. ‘’Rampok profesional’’, apalagi dia politikus yang punya jabatan di partai dan di lembaga legislatif, cukup tersenyum dan berbisik. Bahkan, yang sangat profesional, lebih lihai lagi: hanya dengan kerlingan, yang dilirik rela menyerahkan segala yang dia maui, dengan riang-gembira pula.
Politikus dengan modus sewenang-wenang seperti yang diperlihatkan Tonny Tumbelaka menunjukkan dia hanya sekelas coro. Dan di belahan dunia mana pun, perlakuan terbaik untuk coro adalah diinjak atau dihantam hingga remuk. Perlu saya beritahu pada Tonny Tumbelaka, dengan kasus ba’da magrib itu dia tidak hanya sedang menguji nyali seorang Kadisparbud. Yang dia lakukan adalah menantang harga dari penghormatan banyak orang terhadap seorang perempuan, lepas dari jabatan formalnya sebagai Kadis.
Galibnya politikus dan angota legislatif, kilahan pertama yang bakal terlontar tentu mengacu pada UU Nomor 17/2014 berkenaan dengan Hak Imunitas anggota DPRD kabupaten/kota sesuai Pasal 388, Ayat 1 sampai 4, dan Tatib DPRD Bolmong. Cemen! UU Nomor 17/2014 tidak melindungi anggota DPRD yang melakukan tindak pidana dan melanggar Tatib.
Pertama, peristiwa yang menyebabkan tangis Kadisparbud jatuh terjadi saat rapat di-skorsing. Dua, tidak ada staf Sekretariat DPRD Bolmong yang berada di ruangan, menyaksikan, mencatat, dan menotulensi peristiwanya sebagaimana yang diatur dalam Tatib DPRD Bolmong. Artinya, pertemuan yang melibatkan Kadisparbud, Sekretaris Komisi III, dan beberapa anggota DPRD Bolmong itu adalah rapat liar yang terlaksana karena pemaksaan dan unjuk kekuasaan semata. Dan ketiga, urusannya sama sekali tidak berkaitan dengan tanggung jawab, wewenang, kewajiban, tugas, kerja, dan hak DPRD Bolmong dan anggotanya. Dengan demikian, apapun yang terjadi di dalam ruangan Komisi III DPRD Bolmong yang menyebabkan Kadisparbud melelehkan air mata, adalah peristiwa yang berkonsekwensi hukum pribadi.
Maka, siapa pun pihak yang keberatan—tidak hanya Kadisparbud—pantas membawa peristiwa itu ke ranah pidana dan melaporkan ke Dewan kehormatan DPRD Bolmong. Di saat yang sama, anggota DPRD yang menjadikan pin dan SK keanggotaan ‘’yang terhormatnya’’ sebagai alat kesewenang-wenangan, lebih dari harus dibina dengan serius. Bila perlu, yang bersangkutan di-PAW demi menyelamatkan muka partai dan lembaga DPRD yang terhormat. Derajat preman jalanan lebih terhormat dari ‘’rampok’’ bersenjata pin dan SK keanggotaan DPRD.
Karenanya, saya tidak melihat ada satu pun alasan yang masuk akal, sahih, dan etis mempertahankan seorang anggota DPRD yang melakukan pelanggaran seserius aksi yang diperanutamai Tonny Tumbelaka.
Di luar itu, saya menyarankan yang bersangkutan waspada dan berhati-hati. Ada perhitungan yang sedang ditimbang-timbang penagihannya oleh sejumlah (banyak orang) terhadap ‘’penganiayaan’’ pada Kadisparbud Bolmong itu. Takarannya sederhana: kalau Tonny Tumbelaka boleh menggunakan cara jalanan dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan, jangan pernah menyalahkan jika ada pihak lain yang juga melakukan hal yang sama.
Coro Tonny, peringatan itu bukanlah ancaman, melainkan sikap orang Mongondow yang menjunjung adab dan etika budaya tinggi yang tak meluputkan kesantunan kendati dengan hati dididihi geram.***
Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; DPD: Dewan Perwakilan Daerah; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Kadis: Kepala Dinas; Kadisparbud: Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan; LPJ: Laporan Pertanggungjawaban; MPR: Majelis Permusyawaratan Rakyat; PAW: Pergantian Antar Waktu; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Ranperda: Rancangan Peraturan Daerah; SK: Surat Keputusan; SKPD: Satuan Kerja Pemerintah Daerah; Tatib: Tata Tertib; dan UU: Undang-undang.

Monday, July 13, 2015

Gegar Politik Boltim untuk Mereka yang Waras

MINGGU, 12 Juli 2015, Bupati Sehan Landjar pulang ke Boltim—dari lawatan lebih dua pekan di Jakarta, memburu tiket pencalonan di Pilkada serentak, Desember 2015 mendatang—dan disambut pikuk massa. Saya turut menikmati keriuhan unjuk kekuatan politik ini dari lalu lintas broadcast BBM dan pertukaran kabar (juga foto-foto) di WhatsApp.

Teknologi membuat jarak menjadi pendek; informasi datang secepat  kilat; dan pengetahuan mekar hampir selalu seketika bersama fenomena dan bukti-bukti faktual.

Bupati yang diakrabi dengan sapaan ‘’Eyang’’ ini, para pendukung, dan simpatisannya pantas bersuka ria. Konon, dia pulang dengan menggantongi SK DPP PAN sebagai Cabup Boltim 2016-2021 berpasangan dengan Cawabup Rusdi Gumalangit. Di jejeran hadirin penyambut berkibar bendera PAN, juga simbol beberapa Parpol lain. Katanya—sekali lagi, sebab saya tidak menyaksikan langsung, maka yang pantas adalah ‘’katanya’’—ada PKB, Hanura, dan PD.

Aksi itu pantas diacungi dua jempol. Dalam hal memainkan emosi massa, memutar bandul politik yang sebelumnya hampir tak terjangkau, Eyang masih tetap tak ada duanya di Bolmong Raya. Saya harus mengakui tak henti terkagum-kagum terhadap manuver dan siasatnya, kendati ada kabar lain yang tak kurang sahihnya, bahwa elit tertinggi PAN justru telah menyepakati Ketua DPD PAN Boltim, Sam Sachrul Mamonto, yang resmi di-SK-kan sebagai Cabup berpasangan dengan Medi Lensun yang diusung PDIP. Kesepakatan petinggi PAN ini sudah pula dikomunikasikan dengan PDIP, yang prosesnya saya duga berlangsung saat Eyang sedang dalam penerbangan kembali ke Manado.

Simpan-siur kabar itu membuat ihwal SK PAN untuk Cabup-Cawabup Boltim 2016-2021 tak beda dengan misteri Aki Botutu. Karena itu, kita—orang banyak yang jadi konsumen dan penonton politik—mohon bersabar. Untuk sementara waktu nikmati saja kesumrigahan Eyang, para pendukung, dan simpatisannya; sembari bersimpati dan berempati terhadap lara dan ‘’makang hati’’ yang dipikul Sachrul Mamonto.

Lepas dari masih liarnya cerita akhir isu rekomendasi dan SK DPP PAN itu, warga Mongondow—dan khususnya para politikus—semestinya menjadikan gegar politik di Boltim sebagai pembelajaran penting. Apa yang terjadi bukan sekadar anomali politik dari anomali perilaku Parpol dan para elitnya, tetapi juga berpotensi menguji normalitas atau justru anomalitas sosial masyarakat pemilih di Boltim.

Skenario satu, Landjar-Gumalangit benar-benar mengantongi SK DPP PAN sebagai Cabup-Cawabup, sekaligus menyingkirkan, mempermalukan, dan—mohon maaf—menistakan Sachrul Mamonto sebagai kader yang bahkan menggantar partai ini meraih satu fraksi utuh dan kursi Ketua di DPRD Boltim. Jika skenario ini yang terwujud, kabar baiknya: Eyang bukan hanya mendapatkan tiket Pilkada, tetapi dengan sekali tending dia juga paripurna meminggirkan salah satu pesaing utamanya.

Namun, di balik kabar baik itu ada kabar buruk yang lebih merugikan Eyang. Pertama, dia justru menciptakan lebih banyak die hard, tidak hanya di internal PAN, yang bertekad mati-matian mengalahkan dia. Dari sudut pandang manapun, tindakan Eyang merampas ‘’panada’’ dari mulut Sachrul Mamonto menunjukkan tingkat keburukan etika dan fatsun politiknya. Dan kedua, jika Sachrul tetap mendapatkan dukungan dari PDIP dan satu Parpol lain sebagai penggenap, manuver dan siasat Eyang akan sangat efektif menjadi propaganda kezaliman dan kesemena-menaan kekuasaan.

Jenis isu seperti itu, terlebih dengan sebagai fakta yang dikonsumsi telanjang oleh umum, sangat efektif menggerus kepercayaan pemilih terhadap seorang kandidat pejabat publik. Sepengelaman saya, hanya segelintir orang yang cukup toleran dengan perilaku zalim dan semena-mena.

Tetapi, kabar yang lebih buruk lagi justru dialamatkan untuk PAN. Realitas politik saat ini membuktikan: di Sulut, partai ini hanya bergigi di empat dari lima kota dan kabupaten di Bolmong Raya. Di Kabupaten Bolmong, Boltim, dan Bolmut, serta Kota Kotamobagu, PAN berhasil mencapai satu fraksi utuh. Dari wilayah ini pula PAN mendudukkan dua kadernya di DPRD Sulut dan menyumbang suara mayoritas untuk satu anggota DPR RI.

Alih-alih mengusung Sachrul Mamonto, dengan memberikan rekomendasi, kemudian SK Cabup-Cawabup untuk Landjar-Gumalangit, PAN bagai memaklumatkan ketiadaan penghormatan dan penghargaan terhadap kader sendiri. Bila Sachrul—didukung jajaran pengurus lainnya—yang sudah bekerja keras menghadirkan satu fraksi di DPD yang dia pimpin dilepeh begitu saja, dapat dipastikan di masa datang hanya politikus meheng yang cukup bernyali dan sudih berkhimat di partai ini.

Apalagi, melihat sepak-terjang segelintir kader PAN dari DPP hasil Kongres Bali, Maret 2015 lalu, yang kini turun wara-wiri di Bolmong Raya, kedunguan politik ‘’menukar sapi dengan bebek pincang’’ itu tidak mustahil terjadi. Tanpa perlu menguasai ilmu nujum, kita sudah dapat menduga, kader dan simpatisan yang masih punya cukup kadar kewarasan bakal ramai-ramai meninggalkan partai ini. Wassalam, good-bye, au revoir….

Siapa yang ingin, meminjam komentar seorang tokoh politik di Boltim, ‘’Cuma ba pece-pece deng partai yang nyanda ada integritas?’’

Skenario dua, SK DPP PAN ternyata tetap diberikan pada Sachrul, berpasangan dengan Medi Lensun. Kabar baiknya: koalisi PAN-PDIP ini membuktikan bahwa politik adalah ikhtiar telaten membangun bata demi bata kepercayaan konstituen terhadap Parpol dan politikus yang mereka dukung. Bahwa politik bukanlah jalan pintas meraih tujuan semata karena peluangnya mudah dipertukarkan dengan ‘’sesuatu’’.

Langkah PAN mempercayai dan mendukung kader sendiri di Pilkada Boltim berarti pula menyelamatkan integritasnya. Menunjukkan dengan kepala tegak bahwa partai ini adalah wahana yang memberi tempat tertinggi untuk kader-kader dan simpatisannya, terutama mereka yang berkinerja dan berprestasi optimal.

Sebagaimana yang kesatu, skenario kedua ini juga punya kabar buruk. Pertama, pasti memojokkan dan mengancam posisi Landjar-Gumalangit. Tanpa PAN, kalau mereka tetap didukung beberapa Parpol (setidaknya yang diklaim sudah memberi dukungan), pencalonan memang bukanlah masalah. Yang jadi soal adalah integritas dan kredibilitas—terutama—Eyang sebagai politikus yang sudah membordir publik dengan klaim sangat meyakinkan. Kegagalan membuktikan klaim rekomendasi dan SK DPP PAN, membuat untuk kesekian kalinya dia bakal dituduh sebagai pendusta, sebuah citra dan reputasi yang tak beda dengan stempel paria untuk seorang politikus di kompetisi sepenting Pilkada.

Dan kedua, pengurus atau kader PAN—siapa pun dia—yang berada di balik gegar rekomendasi dan ‘’konon’’ SK DPP untuk Landjar-Gumalangit, jelas kuyup lumpur comberan politik. Tidak memerlukan waktu lama nama-nama mereka akan dipertukarkan sebagai peringatan di kalangan para politisi, menjadi olok-olok, bahkan mungkin diisolasi dan kehadirannya ditunggu cuma karena politik—seganas, dingin, dan sebrutal apapun—tetap memerlukan badut penghibur.

Saya sungguh tidak sabar menunggu siapa-siapa politikus yang akan menjadi badut saat pendaftaran Cabup-Cawabup Boltim 2016-2021 berlangsung, 26-28 Juli 2015 mendatang. Yang jelas, dari dua kemungkinan skenario itu, tampaknya pihak yang paling diuntungkan justru Sachrul Mamonto. Karenanya, mungkin tidak berlebihan bila saya menyarankan agar dia beranjangsana, menemui Eyang, dan menghaturkan terima kasih sebesar-besar.***

Singkatan dan Istilah yang digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Hanura: Hati Nurani Rakyat; PAN: Partai Amanat Nasional; PD: Partai Demokrat; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; RI: Republik Indonesia; dan SK: Surat Keputusan.

Saturday, July 11, 2015

Politik ‘’Bahlul’’ Kader PAN

SURAT—katanya—dan pernyataan Wasekjen DPP PAN, Dedi Dolot, bahwa partai berlambang matahari ini merekomendasi Sehan Landjar-Rusdi Gumalangit sebagai bakal calon Bupati-Wabup Boltim 2016-2021, mendadak jadi ‘’ombak besar’’ menjelang Pilkada serentak di Bolmong Raya. Saya membaca kabar ini di situs liputanbmr.com (http://www.liputanbmr.com/boltim/dpp-pan-resmi-calonkan-sehan-rusdi-di-pilkada-boltim-2015-2020/), Rabu, 8 Juli 2015, sembari membayangkan seorang politikus muda bau kencur yang kaget kuasa sedang unjuk kebolehan.

Isu rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit memang memanaskan tensi politik dan membuat ‘’gatal-gatal’’ banyak pihak. Mantan kader PAN yang banting setir jadi PNS di Boltim, Ahmad Alheid, bahkan menulis dengan semburan kekesalan terhadap langkah politik yang dia nilai ‘’bernalar bengkok’’ itu di Harian Sindo Manado, Kamis, 9 Juli 2015 (Nalar Bengkok Politik PAN). Dengan tanpa memihak siapa pun—memangnya siapa saya?—, saya setuju sepenuhnya terhadap seluruh argumen yang disampaikan Alheid.

Di bawah permukaan, ‘’nalar bengkok’’ itu menjalar menjadi persoalan yang segera mengerucut ke tokoh-tokoh teras dan elit di DPP PAN. Jumat malam (10 Juli 2015), dalam perjalanan pulang usai silahturrahim dengan seorang kerabat (pengusaha yang sedang menjejak karir politik) saya menerima kabar, rekomendasi terhadap Landjar-Gumalangit bahkan membuat beberapa ‘’dewa PAN’’ turun tangan. Mereka sama heran, bingung, dan tidak mengerti asal-muasal rekomendasi itu, sebagaimana orang banyak yang melek politik di Boltim.

Mereka yang lebih tenang dan memahami mekanisma, tata aturan, dan manajemen Parpol, semestinya tidak serta-merta menelan kabar rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit. Rekam jejak hubungan  Eyang—sapaan populer Sehan Landjar—dan PAN jauh dari manis, apalagi mesra. Sebab itu, hanya satu cara pandang yang masuk akal bila benar Eyang menggantongi rekomendasi PAN: ada bau duit yang sangat kental. Dengan kata lain, ada pihak yang membeli ‘’tiket politik’’ pada calo yang—kalau bukan pengurus teras DPP—pasti punya akses cukup bagus ke pengambil keputusan di elit PAN.

Pernyataan Ketua Tim Pilkada DPW PAN Sulut, Husen Tuahuns, yang dikutip situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2015/07/10/husen-tak-ada-nama-sehan-landjar-dalam-rekomendasi-kami), Jumat, 10 Juli 2015, Husen: Tak Ada Nama Sehan Landjar dalam Rekomendasi Kami, semestinya sudah terang-benderang.  Merujuk pada aturan dan mekanisme internal PAN, hampir mustahil Eyang mengantongi restu partai ini karena tidak ada namanya dalam rekomendasi yang disampaikan DPW ke DPP.

Pemberitaan yang lebih tegas saya temukan di Harian Radar Manado, Jumat, 10 Juli 2015 (PAN Tidak Pernah Akomodir Landjar). Husen dengan keras menyatakan isu rekomendasi yang beredar bohong belaka, karena Eyang tidak pernah mengikuti tahapan pencalonan sesuai aturan dan mekanisme PAN. Parpol modern yang menghormati tata aturan, kader, dan konsituennya tentu mesti taat terhadap tata kelola yang dia tetapkan sendiri. Kecuali kalau PAN ‘’kian lucu’’ dan dikelola sekadar sebagai fans club-nya Amien Rais (sebagai ‘’Bapak Besar’’-nya), Zulkifli Hasan (dalam posisi sebagai Ketua Umum), atau kelompok hura-hura politik belaka.

Merujuk pada Ketua Tim Pilkada DPW Sulut itu (lagi pula, siapa yang harus dipedomani kalau bukan dia?), jika tiba-tiba ada rekomendasi yang berbeda, akal sehat kita sepantasnya menyimpulkan: barangkali ada jin atau hantu belau yang sedang mempermainkan Eyang. PAN selayaknya menangkap jin atau hantu itu dan mengandangkan dalam botol.

Walau demikian, saya pribadi tidak akan buru-buru menyimpulkan peluang Landjar-Gumalangit mendapatkan SK Cabup-Cawabup dari DPP PAN sama sekali nol. Politik Indonesia yang ajaib dan kerap melawan akal sehat, selalu membuka peluang terjadinya sesuatu yang normalnya ‘’tidak mungkin’’ sekalipun. Apalagi kalau sudah melibatkan pertukaran pengaruh politik dengan kekuasaan atau imbalan tertentu.

Sukar dielakkan ada aroma tak sedap dari isu ‘’mendadak-sontak’’ rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit, yang berhulu pada politikus yang tiba-tiba namanya rajin terdengar di Bolmong Raya: Wasekjen DPP PAN, Dedi Dolot. Entah karena media (terutama online) malas mencari sumber berita atau sebab yang bersangkutan agresif mengasongkan dirinya (sembari meyakinkan umum bahwa dia adalah tokoh politik baru dari Mongondow), dia selalu dikutip menyertai isu rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit.

Agresitivitas Dedi Dolot bahkan cenderung kasar dan mentang-mentang, setidaknya tercermin dari pernyataannya, sebagaimana yang dikutip totabuannews.com (http://totabuanews.com/2015/07/dpp-pan-tegaskan-semua-kader-partai-wajib-dukung-sehan-landjar/), Selasa, 7 Juli 2015 (DPP PAN Tegaskan Semua Kader Partai Wajib Dukung Sehan Landjar). ‘’Apa yang sudah menjadi keputusan partai, maka setiap kader partai harus mengamankannya. Itu Wajib!’’

Oh, tahulah saya betapa bahlul-nya politikus satu ini. Rekomendasi (kalau pun benar ada ‘’barang ini’’ serta sesuai aturan dan mekanisme internal partai) belum menjadi SK. Apa yang harus diamankan dari sebuah rekomendasi, yang masih harus diuji keseluruhan proses dan kelayakannya sebelum menjadi keputusan partai? Saking bernafsunya Wasekjen satu ini, dia tak sungkan memamerkan keterbatasannya memilah antara rekomendasi (yang semata saran) dan keputusan sebagai sikap partai. Politikus yang pengetahuan dasar manajemen organisasi saja payah kok bisa-bisanya dipilih sebagai Wasekjen?

Saya tidak kenal Dedi Dolot. Tidak pula punya kepentingan atau urusan dengan yang bersangkutan. Sebagai bagian dari masyarakat Mongondow, saya turut senang melihat ada politikus berlatar Bolmong yang berdaya di tingkat nasional. Tetapi, di saat bersamaan, saya juga punya reserve terhadap perilaku, pengetahuan, dan adab politik siapapun politikus Bolmong atau berlatar Bolmong.

Karena pengetahuan yang terbatas itu—ingatan saya hanya sepintas pada enam-tujuh tahun lampau berkenaan dengan baliho kampanye Pileg Dedi Dolot yang sok avant-garde dengan menciplak hampir mentah-mentah gaya iklan sebuah merek rokok—saya tidak berani memberikan komentar apapun tatkala ada beberapa politikus Mongondow (terutama yang berkeinginan berkompetisi di Pilkada) menanyakan rekam-jejaknya. Saya tidak tahu apa konteksnya, yang jelas mereka umumnya menginformasikan akan bertemu dengan Dedi Dolot.

Saya baru dapat menyambungkan puzzle-puzzle yang berkaitan dengan Dedi Dolot ketika isu rekomendasi PAN terhadap Landjar-Gumalangit meruyak; dan aktifnya dia menjadi ‘’juru bicara’’ yang mengatasnamakan partai dalam urusan ini. Pertanyaan saya: Apa sumbangsih orang ini terhadap perkembangan PAN di Sulut, yang dari sebuah partai pinggiran enam-tujuh tahun lampau, menjadi ‘’sesuatu’’ saat ini (setidaknya ditandai dengan kursi di DPR RI dan fraksi utuh di beberapa kota dan kabupaten), hingga dia mendadak tampil layaknya politikus jagoan di Bolmong Raya paska Kongres PAN di Bali, Maret 2015 lalu?

Politik, politikus, dan Parpol tidak lepas dari dinamika dan sejarah eksistensinya. Sepengetahuan saya, prestasi PAN di Sulut umumnya dan Bolmong Raya khususnya, tak lepas dari kerja keras para pengurus, kader, dan simpatisannya dari hari ke hari, bulan ke bulan, dan tahun ke tahun, agar partai ini direken. Tidak satu pun saya menemukan catatan ada sumbangsih berarti dari seorang Dedi Dolot. Sebab itu, sekalipun bukan seorang kader atau aktivis PAN, saya tak segan ikut mengomentasi—dan mencela—manuvernya yang lebih membela Sehan Landjar ketimbang Ketua DPD PAN Boltim, Sam Sachrul Mamonto.

Sachrul Mamonto, yang membawa PAN mendapatkan satu fraksi utuh di DPRD Boltim, sudah membuktikan dan memberi arti tertentu terhadap partai ini. Sepak-terjang dan ulah Dedi Dolot, khususnya yang seolah-oleh meniadakan apa yang telah dicapai Sachrul, hanya menunjukkan dia sekadar petantang-petenteng karena didapuk menjadi Wasekjen DPP (yang penunjukkannya pun dapat dipertanyakan atas dasar apa). Menurut hemat saya, bila dibiarkan, ulah politikus ‘’mendadak kuasa’’ seperti ini bakal sukses membawa PAN terjun bebas di event politik apapun di Sulut, dan bahkan Pemilu 2019 mendatang. Dan saya berani bertaruh untuk itu.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bahlul: Berasal dari bahasa Arab. Akar katanya adalah bahlala yang artinya sesuatu yang batil atau sesat. Kata ini digunakan sebagai istilah untuk menyatakan orang yang berkelakuan rada-rada aneh atau pandir; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cabup: Calon Bupati; Cawabup: Calon Wakil Bupati; DPD: Dewan Pengurus Daerah; DPP: Dewan Pengurus Pusat; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; DPW: Dewan Pengurus Wilayah; PAN: Partai Amanat Nasional; Pileg: Pemilihan Legislatif; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; PNS: Pegawai Negeri Sipil; RI: Republik Indonesia; SK: Surat Keputusan; Sulut: Sulawesi Utara; Wabup: Wakil Bupati; dan Wasekjen: Wakil Sekretaris Jenderal.