Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, January 27, 2015

Tipu-tipu Bonus PT J Resources Bolaang Mongondow

LEBIH sebulan karyawan PT JRBM di operasi tambang Lanut berselisih dengan manajemen perusahaan. Senin, 26 Januari 2015, DPRD Boltim bahkan menggelar dengar pendapat demi mengurai ketidaksepahaman karyawan-manajemen ini.

Biasanya saya tidak terlampau ambil pusing terhadap urusan internal perusahaan seperti itu. Di lingkungan perusahaan dengan skala operasi cukup besar, yang mempekerjakan ratusan orang, selalu ada ketidakpuasan. Terlebih bila SP ikut terlibat. Apalagi, sepengalaman saya, di perusahaan tambang (JRBM adalah perusahaan tambang) isu-isu yang disoal biasanya tak jauh dari jadwal kerja dan libur (roster), jenjang karir, serta salary and benefit.

Tak salah, sebab isu yang kini memantik silang-selisih karyawan dan manajemen PT JRBM di operasi tambang Lanut, sebagaimana yang saya simak dari situs Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com/2015/01/26/manajeman-jrbm-tak-penuhi-tuntutan-karyawan), adalah urusan bonus 2014 yang sebelumnya sudah dijanjikan oleh manajemen. Menurut situs ini, dengar pendapat itu dipimpin Ketua Komisi II, Argo Sumaiku, dan dihadiri sejumlah anggota DPRD Boltim, Asisten II Pemkab Boltim, Kadis ESDM, dan Kadisnaker. Dari PT JRBM, selain para karyawan, yang hadir adalah GM Rendi Martono, Manager HRD Suhada, dan Manajer Eksternal Adhi Prasetyo.

Semestinya dengar pendapat di DPRD Boltim itu adalah ikhtiar menjernihkan masalah. Kenyataannya, yang berlangsung adalah dagelan DPRD yang sekedar ‘’tunjung jago’’, aparat Pemkab Boltim yang tak punya sikap—sebab tampaknya buta tuli wewenang dan tanggung jawabnya—, dan tipu-tipu wakil manajemen perusahaan dengan alasan gaya ‘’pura-pura gila’’.

Sebagai wakil manajemen, GM PT JRBM di operasi tambang Lanut, mengemukakan bonus tak dapat diberikan karena dua tahun terakhir perusahaan tak bisa memenuhi target produksi. Sedang Manajer Eksternal berkilah, dengan mengutip PKB, yang bonus diberikan dengan dua syarat: safety dan pencapaian target produksi.  Safety tercapai, target produksi tidak. Sementara SK yang menjadi pegangan karyawan yang menggugat, katanya, hanya bagian upaya memacu semangat kerja.

Dari yang saya baca, kemudian beberapa telepon pendek ke sejumlah orang yang tahu persisnya isunya, dapat disimpulkan: seharusnya mulut dua wakil manajemen perusahaan yang hadir itu pantas disumpal dengan fulungku. Khusus terhadap Manajer Eksternal, saya kira bila kutipan dari Tribun Manado itu sebagaimanya yang dia ucapkan, karyawan PT JRBM operasi tambang Lanut, Pemkab, DPRD, dan masyarakat (khususnya) sekitar tambang pantas mengusir yang bersangkutan keluar dari Mongondow sesegera mungkin. Dia bukan hanya manajer yang buruk, tapi juga pendusta dan manipulator licik.

Klausal bonus 2014 yang kini dipersilangselihkan, sesuai SK (lebih tepatnya memo) manajemen tidak menyebutkan syarat safety atau target produksi, tetapi kinerja karyawan. Terminologi kinerja sendiri dapat bersifat individu atau komunal karyawan, yang tidak mutlak berhubungan dengan produksi. Karyawan boleh punya kinerja terbaik, tetapi bila cebakan yang sedang diolah low grade atau kapasitas produksi sengaja diturunkan karena harga emas sedang rendah, maka produksi sangat mungkin tidak sesuai dengan rencana awal.

Saya tidak tahu apa latar belakang pendidikan Manajer Eksternal PT JRBM yang mewakili manajemen di dengar pendapat dengan DPRD Boltim itu. Tetapi saya kira, dengan omongan yang setara kentut, dia lebih tepat jadi gembala bebek ketimbang menjadi profesional di perusahaan tambang berstandar Tbk. Selain disumpal dengan fulungku, diusir dari Bolmong, dia pantas pula ditempeleng dengan dokumen PKB PT JRBM. Barangkali dengan demikian dia bisa menata keselarasan otak dan mulutnya, bahwa memo bonus 2014 adalah kebijakan manajemen yang tidak punya hubungan sama sekali dengan klausal PKB.

Pembaca, isu yang langsung maupun tidak menaikkan tensi sosial dan ekonomi Boltim ini sesungguhnya amat sangat sederhana. Manajemen PT JRBM, khususnya di operasi tambang Lanut, telah menjanjikan bonus 2014—lewat surat resmi—kepada para karyawannya. Janji bonus ini tidak diimbuhi klausal apapun kecuali kinerja karyawan yang takarannya adalah pemenuhan tanggungjawab dan kewajiban sesuai scope of work dan key performance indicator individu atau komunal—tergantung pada performance mana yang ditakar. Pokoknya: pada akhir 2014 karyawan, sesuai tingkatan kinerjanya, akan menerima bonus.

Sebagai latar, PT JRBM adalah bagian dari PT J Resources Asia Pacific Tbk yang listed di BEI (IDX). Artinya, perusahaan ini setidaknya punya standar manajemen yang lolos dari syarat dan prasayarat BEI. Dengan demikian, orang banyak tidak perlu meragukan bahwa perusahaan ini setidaknya dikelola dengan manajemen yang baik, bukan model warong biapong atau kedai kopi yang ‘’tiba saat, tiba akal’’.

Tegasnya, yang ingin saya katakan adalah, seluruh operasi dan biaya yang dibutuhkan perusahaan (termasuk Capex dan Opex) untuk 2014 telah dikalkulasi, direncanakan dengan matang, dan tersedia sebelum akhir 2013. Termasuk bonus yang dijanjikan manajemen. Saya berkeyakinan Presdir dan jajaran direksi PT JRBM tak sedang mabuk cap tikus pada Juli 2014, lalu ujug-ujug membuat dan meneken surat keputusan pemberian bonus.

Dengan tidak memenuhi janji memberikan bonus 2014, silang-selisih antara karyawan dan manajemen PT JRBM sesungguhnya tidak lagi berada di wilayah PHI, melainkan tindak pidana penipuan yang penyelesaiannya dapat segera dimulai dengan laporan ke Polres Bolmong. Masalahnya, apakah dengar pendapat di DPRD Boltim yang dipimpin Ketua Komisi II telah dengan cermat menelaah memo janji bonus itu hingga tahu persis bahwa janji manajemen perusahaan itu adalah penipuan? Apakah pula Kadis-Kadis yang terlibat dalam dengar pendapat benar-benar menjalankan tanggung jawabnya dan bukan sekadar ‘’kerbau  dicocok hidung’’-nya PT JRBM?

Bagi saya pribadi, sebagai warga Mongondow, penipuan yang dilakukan PT JRBM di operasi tambang Lanut terhadap karyawannya sendiri, mengkonklusi banyak pertanyaan. Salah satu adalah pemberdayaan dan pengembangan masyarakat (community development) yang pasti tercantum sebagai salah satu pasal yang wajib dilaksanakan setiap perusahaan pemegang KK di Indonesia.

Saya—dan juga kebanyakan warga Mongondow, lebih khusus yang berada di sekitar tambang Lanut—patut bersyak, jangan-jangan PT JRBM menjalankan kewajiban pemberdayaan dan pengembangan masyarakatnya hanya dengan tipu-tipu dan manipulasi. Apalagi perusahaan ini tidak pernah secara transparan membeberkan apa saja yang sudah mereka lakukan. Bahkan tidak juga lewat laporan keberlanjutan (sustainability report) yang sudah menjadi praktek umum di kalangan perusahaan yang kredibel dan layak dipercaya.

Dengan kasus tipu-tipu bonus itu, Pemkab dan DPRD Boltim harus mengevaluasi kembali seluruh operasi PT JRBM di operasi tambang Lanut (juga Pemkab dan DPRD Bolmong serta Bolsel di operasi tambang Bakan). Bukan tidak mungkin ada banyak tipu-tipu lain yang disembunyikan, hingga cukup alasan mengusir mereka dari wilayah Mongondow. Jika Pemkab dan DPRD tidak punya cukup keberanian—entah karena kadung makan suap (praktek yang umum di kalangan perusahaan tambang dengan ketatalaksanaan yang longgar)—, jangan salahkan kalau kemudian orang banyak yang akan melakukan.

Terus-terang, saya menyimpan kecurigaan—khususnya—terhadap Pemkab Boltim yang terkesan tak mengambil tindakan apa-apa, padahal operasi tambang Lanut adalah salah satu (kalau bukan satu-satunya) penyumbang PAD signifikan kabupaten ini. Bupati Boltim yang biasanya tangkas menunjukkan perhatian terhadap masalah yang dihadapi rakyatnya, dalam isu mogok karyawan PT JRBM, tiba-tiba seperti kura-kura yang meringkuk menyembunyikan kepala. Apa karena mayoritas karyawan PT JRBM di operasi tambang Lanut bukan warga Boltim? Atau karena ada apa-apanya antara perusahaan ini dengan Bupati dan jajarannya?

Apa yang mesti ditakutkan oleh Pemkab dan DPRD? PT JRBM hengkang dari Mongondow? Tidak masalah, sebab diusir karena cuma mempaktekkan tipu-tipu atau mengakhiri operasi tambangnya sesuai rencana, kewajiban perusahaan ini terhadap dampak sosial dan lingkungannya tidak akan gugur begitu saja. Lagipula, sepanjang pemerintah—dari daerah hingga pusat—menjalankan kewajibannya dengan tertata laksana, saya yakin investor tambang yang serius akan antri menanamkan duitnya di Mongondow. Termasuk men-take over operasi tambang PT JRBM.

Pemkab dan DPRD yang bersih dan punya harga diri tidak akan membiarkan ada praktek bisnis yang melecehkan, apalagi dengan modus tipu-tipu terhadap pemangku kepentingan utamanya, seperti yang terjadi antara karyawan dan manajemen PT JRBM di operasi tambang Lanut.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BEI: Bursa Efek Indonesia; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Capex: Capital Expenditure; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; ESDM: Energi dan Sumber Daya Mineral; GM: General Manager; IDX: Indonesia Stock Exchange; JRBM: J Resources Bolaang Mongondow; Kadis: Kepala Dinas; Kadisnaker: Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi; KK: Kontrak Karya; Opex: Operational Expenditure; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PHI: Perselisihan Hubungan Industrial; PKB: Perjanjian Kerja Bersama; Polres: Kepolisian Resor; PT: Perseroan Terbatas; SK: Surat Keputusan; SP: Serikat Pekerja; dan Tbk: Terbuka.

Saturday, January 24, 2015

Fitnah Keji di Kabupaten ‘’Lollipop’’

’PERINGATAN’’ disampaikan sejumlah kawan beberapa hari terakhir, bahwa, ‘’Jangan hanya mendengarkan para tukang fitnah dan penghasut yang kecewa karena tidak dapat merampok APBD Boltim untuk kantongnya sendiri. Mereka yang berjiwa korupsi akan sulit menerima orang seperti Sehan Landjar, Jokowi, atau Abraham Samad sebagai pemimpin.’’

Saya tidak paham konteks ‘’peringatan’’ itu. Tidak pula ingin tahu dari mana muasalnya. Saya bukan pengamat status BBM, jauh dari suka terhadap media sosial, apalagi bisik-bisik rumor ala arisan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Sepengetahuan saya, tiga tulisan terakhir di blog ini (Kebijakan T*# Sapi di Pemkab Boltim; Kekuasan yang Serakah, Seorang Bocah, dan ‘’Lollipop’’; dan Satu Bupati, Lima Parpol), tidak menyinggung-nyinggung urusan APBD. Akan halnya, tukang fitnah dan penghasut, saya menebak apakah yang dimaksud adalah sumber informasi yang saya jadikan dasar mengkritisi dan mengkritik kebijakan dan laku (sekali lagi: kebijakan dan laku) Bupati dan jajaran Pemkab Boltim.

Hanya mendengarkan para tukang fitnah dan penghasut, tentu bukan urusan sepele. Akibatnya, saya harus mengerahkan keterampilan dua jempol, panjang lebar menjelaskan lewat BBM dan WhatsApp. Tapi karena kian banyak yang menyampaikan ‘’peringatan’’ itu, ada baiknya tulisan ini dijadikan saja penjelasan generiknya.

Pertama, sumber yang saya nukil adalah media mainstream, termasuk yang digunakan Bupati dan Pemkab Boltim mewartakan kebijakan, perkembangan, kinerja, dan tetek-bengek pemerintahan di kabupaten ini. Mengikuti logika ‘’peringatan’’ yang entah dipetik dari sumber mana itu, saya jadi bersyak: Apakah yang dimaksud Radar Bolmong (di tulisan (Kebijakan T*# Sapi di Pemkab Boltim) atau detikawanua.com (untuk Satu Bupati, Lima Parpol) adalah kumpulan gerombolan tukang fitnah dan penghasut dengan motif merampok APBD Boltim?

Pemkab Boltim, lebih khusus Bupati, harus mengambil tindakan terhadap para tukang fitnah dan penghasut yang menyasar APBD itu. Apalagi kepemimpinan Bupati Sehan Landjar ‘’katanya’’ setara dengan Jokowi dan Abraham Samad—sekali pun kita semua tahu, di Pilpres 2014 lalu Eyang justru mendukung Prabowo-Hatta. Masak sih Bupati dengan kharisma kepemimpinan luar biasa seperti dia, yang dicintai masyarakatnya tanpa reserve, menutup mata terhadap lalu-lalangnya para tukang fitnah, penghasut, dan penjarah APBD?

Bukankah membiarkan para bajingan itu berlaku seenaknya sama dengan mempertaruhkan citra Bupati dan jajaran Pemkab? Kita semua akan menanggung aib dan malu kalau sampai ada yang men-stempel Boltim cuma ‘’Kabupaten Lollipop’’, ‘’Tingkat II Balapis’’, atau ‘’Daerah Otonomi Lalampa’’ kalau ada pembiaran terhadap kebrengsekan fitnah dan hasutan, terlebih kalau sasarannya adalah Bupati dan Pemkab; dan yang menjadi pelaku adalah institusi media.

Dengan demikian, benderanglah bahwa (setidaknya) di tiga tulisan itu, sumber saya sahih, institusi publik yang legal, bukan tukang fitnah dan penghasut. Soal apakah mereka bertujuan menjarah APBD Boltim atau ini juga fitnah dan hasutan yang lain, bukan urusan saya membuktikan.

Kedua, saya harus mengakui bahwa dugaan adanya tukang fitnah dan penghasut—tanpa mengaitkan dengan penjarahan APBD yang memang tidak saya ketahui persis—barangkali ada benarnya. Setiap hari ada saja kabar, informasi, kisikan, atau sekadar by the way yang saya terima tentang Bupati dan jajaran Pemkab di Boltim. Sekalipun sumbernya kredibel, kalau info itu tak dapat saya verifikasi, check, dan cross check, pasti tidak akan digunakan sebagai bahan tulisan.

Saya tahu, di kalangan orang Mongondow tidak sedikit yang menganggap saya sombong, tengil, keterlaluan, bahkan barangkali gila, karena suka mencari-cari masalah dengan para elit. Tetapi tentu saya tidak goblok mengkritisi dan mengkritik Bupati sekelas Eyang, yang bukan hanya politikus piawai, tokoh kuat di Bolmong Raya dan Sulut, tetapi juga sarjana hukum, dengan menggunakan sumber-sumber sembarangan. Memangnya enak dilaporkan ke Polres Bolmong karena mencermarkan atau menghina nama baik Bupati?

Saya menghormati dan menyayangi Sehan Landjar, sebagai Bupati dan seorang kawan. Karenanya, demi mengingatkan dia, tidak ada salahnya saya mengungkap beberapa informasi yang patut diduga sekadar fitnah dan hasutan. Pengungkapan ini penting mengingatkan Bupati dan jajaran Pemkab Boltim agar waspada dan bila perlu menelusuri dan menyeret para tukang fitnah dan penghasut itu ke depan hukum.

Demi kenyamanan saya, terlebih dahulu di-disclosure, bahwa pengungkapan ini tanpa maksud meneruskan dugaan fitnah dan hasutan; tidak pula demi menghina Bupati Boltim; serta tidak dapat digunakan—apalagi saya diminta menjadi saksi di depan hukum—sebagai dasar gugatan terhadap pihak lain. Apa yang saya sampaikan adalah bukti tidak ada niat jahat dan bahwa benar ada lalu-lalang isu di di tengah masyarakat Boltim, yang sesungguhnya bagi saya pribadi adalah informasi yang hanya cukup didengar, dibaca, dan ditertawai.

Informasi yang patut diduga sebagai fitnah dan hasutan itu, misalnya, menyebutkan sekarang ini pidato Eyang di acara apapun hanya disambut dingin. Indikatornya, cuma sedikit warga yang hadir yang bertepuk-tangan. Komentar saya, tentu saja sedikit yang bertepuk-tangan karena sebagian besar masih terpukau kedasyatan retorika dan kandungan pidatonya.

Atau, kabar bahwa Eyang gemar marah-marah di apel PNS, mengancam-ngancam Kades, bahkan memerintahkan pemecatan Kadus semata karena status di facebook yang dianggap menyindir dia, tentu adalah informasi yang tak dapat dipertanggungjawabkan. Cuma fitnah dan hasutan keji. Siapa yang percaya Bupati dengan kualitas seperti Eyang bertingkah demikian tidak patutnya? Memangnya dia rela menurunkan derajat menyandarkan kebijakannya hanya karena provokasi status facebook?

Pun, mana boleh saya mempercayai fitnah dan hasutan, bahwa Eyang dan keluarganya memperlakukan APBD Boltim seperti milik mereka sendiri yang diatur lewat ‘’bagi hasil’’. Artinya, pemenang tender adalah kontraktor yang bukan menyetor fee pada Bupati atau keluarganya, tetapi menempuh langkah ‘’syariah’’ dengan bagi hasil.

Sama dengan mengatakan bahwa ada jalan perkebunan di Tombolikat yang pembangunan mangkrak tetapi sudah dinyatakan 100% selesai, demikian pula dengan terkatung-katung dan mubazirnya Pasar Pondabo. Saya berkeyakinan jalan yang dimaksud itu memang selesai 100% dan Pasar Pondabo sudah memberikan kemaslahatan pada masyarakat penggunanya. Fitnah dan hasutan keji harus jadi musuh bersama, sebab kekejamannya lebih berbahaya dari pembunuhan.

Saya juga menampik fitnah dan hasutan, bahwa anak tertua Eyang gemar memanfaatkan kekuasan ayahnya dengan mengangkangi proyek-proyek di Boltim, misalnya sekadar tender pengadaan generator yang nilainya cuma Rp 70 juta atau menguasai lapak pedagang kecil di Pasar Kotabunan.

Demi kehormatan Bupati—dan keluarga—serta Pemkab Boltim, ulah bakhil para tukang fitnah dan penghasut itu harus dibungkam. Tentu lain soal kalau informasinya memang mengandung kebenaran.

Dan ketiga, terkait dengan poin kedua, urusan fitnah dan hasut, terakhir saya diprovokasi bahwa Bupati Boltim tersinggung dengan tulisan Kebijakan T*# Sapi di Pemkab Boltim, karena tidak terima disebut ‘’t#* sapi’’. Para terduga tukang fitnah dan penghasut menyampaikan ke saya, Bupati sudah menyiapkan tulisan yang bakal dimuat di salah satu media terbitan Manado, tetapi urung karena dianggap sangat keras dan menyinggung saya.

Pembaca, sedikit saja pelurusan dari saya. Yang saya sebut ‘’t#* sapi’’ adalah kebijakan, bukan siapa yang mengambil kebijakan. Itu sebabnya, saya tidak percaya dan menganggap kabar Bupati Boltim tersinggung karena merasa disebut ‘’t#* sapi’’ adalah fitnah dan hasutan pula. Lagipula, kalau sampai ada kritik yang sangat keras terhadap saya, apa yang salah? Tetapi, mohon dicatat sebaik-baiknya, saya bukan pejabat publik, tokoh, atau orang penting yang harus bertanggung jawab pada umum. Sebaliknya, Bupati adalah jabatan publik yang memang harus dan wajib dikritisi.

Selebihnya, saya sungguh-sungguh prihatin dengan Kabupaten Boltim, Bupati dan orang-orang di sekitarnya, serta jajaran Pemkab, yang menjadi bulan-bulanan fitnah dan hasutan itu. Apalagi kalau sampai fitnah dan hasut berdampak pada APBD. Saya menyarankan Eyang mengungkap siapa pelaku, latar belakang, dan motif fitnah dan hasutan terutama terhadap dia, lalu mengambil langkah hukum tanpa kompromi.

Saya mendukung sepenuh hati agar Eyang membuktikan dia bukan Bupati kelas onde-onde, apalagi kerupuk.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Kades: Kepala Desa; Kadus: Kepala Dusun; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pilpres: Pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden); dan PNS: Pegawai Negeri Sipil.

Wednesday, January 21, 2015

Satu Bupati, Lima Parpol

DUA tulisan saya (Kebijakan T*# Sapi di Pemkab Boltim dan Kekuasan yang Serakah, Seorang Bocah, dan ‘’Lollipop’’) mengundang aneka tanggapan. Beberapa di antaranya dari elit dan tokoh publik di Mongondow yang kandungannya kurang lebih senada: ‘’Kiapa bagitu pe marah pa Bupati Boltim? So nyanda batamang deng Eyang dang? ’’

Agar tak jadi spekulasi dan akhirnya fitnah, secara terbuka—bukankah Bupati Boltim juga orang yang sangat transparan dan blak-blakkan?—saya perlu menjelaskan: Pertama, penjegalan Ramadan Mamange yang terpilih dengan fair sebagai salah seorang komisioner Panwaslu Boltim tidak hanya membuat saya marah. Banyak orang yang diam-diam ngerundel, bahkan mencaci, kebijakan itu. Bedanya, saya menyampaikan gugatan dan celaan secara terbuka, sekaligus bentuk peduli dan sayang saya ke Bupati Sehan Landjar.

Saya tahu persis, walau ada argumentasi tak terbantahkan bahwa terpilihnya Ramadan adalah hak yang harus dihormati, dengan ego ‘’maha tahu’’ dan ‘’politisi hebat’’-nya, Bupati Boltim pasti tidak akan menarik surat pembatalan izin yang sudah dikirim. Tapi, setidaknya dengan menuliskan tanpa tedeng aling, saya menunaikan kewajiban sebagai kawan dalam pahit dan manis dengan Eyang.

Dan kedua, Sehan Landjar tetap kawan yang saya hormati dan sayangi, lengkap dengan kelebihan dan kekurangannya. Bahkan kalau pun karena perbedaan pendapat dan sikap kemudian dia mencoret saya dari daftar sahabat, tidak akan mengurangi atau menambah pandangan saya terhadap dia. Tidak pula mengurangi kepercayaan saya, terutama dalam soal politik—termasuk saat menyongsong Pilkada Boltim menjelang akhir 2015 ini—bahwa dia tetap politikus kuat. Dengan manajemen perilaku dan omongan yang tertata, seharusnya Eyang melenggang mudah di pencalonan periode keduanya.

Masalahnya, selain kesenangan bicara yang kerap berlebihan (untuk mempersopan ‘’exaggerating’’ dan ‘’bluffing’’), Eyang punya kedoyanan menciptakan ‘’musuh politik’’ lewat berbagai manuver membingungkan. Cukup lama saya mencermati zig-zag politik Eyang dengan menduga-duga bahwa dia adalah ahli strategi jenius yang hanya mampu dipahami segelintir orang. Bahwa dia sedang memainkan langkah kuda yang baru diakui setelah diuji oleh waktu dan fakta.

Belakangan, dengan memohon maaf sebesar-besarnya pada Eyang, saya ternyata salah. Berbagai manuver itu justru menunjukkan Eyang sama sekali tidak punya strategi. Dia sekadar politikus impulsif yang ‘’kebetulan’’ dikarunia kemampuan oral yang baik. Selebihnya, apa yang dia lakukan adalah kreativitas yang jauh dari matang. Sebagai politikus, praktek politiknya adalah gambaran yang sangat pas dari pernyataan Groucho Marx (1890-1977), ‘’Politics is the art of looking for trouble, finding it everywhere, diagnosing it incorrectly and applying the wrong remedies.’’

Mari kita cermati laku politik Eyang sejak dia terpilih sebagai Bupati Boltim, empat tahun lampau. Sebelum mencalonkan diri di Pilkada Boltim 2010, dia adalah mantan anggota DPRD Kabupaten Gorontalo dari PBR, yang di Pemilu 2009 tak terpilih lagi sebagai legislator. Sewaktu diusung PBR, PKB, PDS, dan Partai Republikan sebagai calon Bupati, saya sempat bertanya pada beberapa kawan, ‘’Kalau dia politikus hebat, mengapa Eyang tidak terpilih lagi di DPRD Kabupaten Gorontalo? Apa karena rakyat Gorontalo tidak pandai mengapresiasi seorang politikus berkualitas; atau sebab mereka justru kapok terhadap ‘sesuatu’?’’

Eyang dan pasangannya, Medy Lensun, terpilih sebagai Bupati-Wabup Boltim 2010-2015. Di saat yang sama, konsolidasi politik nasional mendorong PBR yang gagal mencapai ambang batas parlemen bergabung dengan PAN. Eyang yang berlatar PBR dan—sejak terpilih sebagai Bupati—cukup dekat dengan elit-elit PAN Sulut, mendapatkan panggung yang lebih luas. Sepengetahuan saya, dia bahkan ditunjuk menjadi Koordinator PAN Sulut dan Gorontalo.

Bulan madu Eyang dan PAN tak berlangsung lama. Saya tidak tahu persis apa penyebab kiprahnya di PAN menyurut. Yang jelas, tak lama kemudian saya terlongo-longo karena ditunjukkan foto Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, sedang menyematkan jaket partai ini ke Eyang. Apakah peristiwa itu sekadar strategi, karena di saat yang sama PKB adalah ‘’partai jangkar’’ pencalonan kakaknya, Muhamad Salim Landjar,di Pilwako KK 2013?

Yang jelas, di mana-mana Eyang selalu mengatakan bahwa dia adalah Bupati yang independen dari Parpol. Fokusnya adalah kepentingan pemerintahan dan masyarakat Boltim. Alasan ini pula yang kerap diutarakan, kendati menjelang Pemilu 2014 masyarakat melihat dia nyaris identik dengan Hanura, terlebih karena istrinya, Nursiwin Dunggio, adalah Ketua Dewan Penasihat partai ini di Boltim. Begitu ‘’lengketnya’’ Eyang dengan Hanura, dia bahkan tidak segan secara terbuka menyerang Ketua PAN (kini Ketua DPRD) Boltim, Sam Sachrul Mamonto, yang dianggap menjadi pesaing kuat ‘’jagoannya’’, (mantan) Ketua Hanura Boltim, Chandra Modeong.

Di masa kampanye Pemilu 2014 saya bahkan sempat dikisiki perihal serangan Eyang terhadap Sachrul yang dianggap keterlaluan. Konon, dia sampai mengatakan Ketua PAN Boltim ini tidak akan duduk di DPRD, tapi ‘’mo dudu di pece.’’ Terhadap rumor dan ‘’katanya’’ ini, saya cuma mesem-mesem dan menganggap sebagai bumbu politik yang sedang pasang naik. Lagipula, di depan umum hubungan Eyang-Sachrul tampak baik-baik saja.

Sama dengan kisah pidato Eyang di kunjungan anggota DPRD Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, ke Boltim pada Kamis, 15 Januari 2015, lalu. Kata cerita yang disampaikan ke saya, di hadapan para legislator itu Eyang menyampaikan dia berhasil mendudukkan Sachrul sebagai Ketua DPRD Boltim. Cerita ini cuma saya tanggapi dengan tawa. Benar-tidaknya, tentu para hadirin yang ada saat itu dapat mengkofirmasi.

Improvisasi politik Eyang memang lucu. Berkebalikan dengan fakta politik yang dipahami umum, tiba-tiba dia digadang (dan menggadang diri) sebagai kandidat Ketua PDIP Boltim, setidaknya demikian yang saya baca di situs detikawanua.com, Jumat, 9 Januari 2015 (http://www.detikawanua.com/2015/01/sejumlah-pac-pdip-restui-lanjar-ketua.html) dan Radar Bolmong, Kamis, 15 januari 2015 (http://radarbolmongonline.com/2015/01/pertarungan-sengit-petahana/). Di Radar Bolmong bahkan lengkap dengan kutipan, ‘’Prinsip saya, saya tidak meminta, tetapi jika diberikan (Ketua PDIP Boltim) maka saya akan tangkap dengan tangan kanan.’’

Tak terbantahkan, kata-kata Eyang memang punya daya pukau. Hanya saja, siapa oknum di balik harapan palsu Ketua PDIP Boltim itu?

Mungkin tak ada di lingkaran dekat Eyang yang berani menginformasikan, bahwa akhir-akhir ini di balik punggungnya dia kerap jadi olok-olok penyedap bual-bual. Terakhir, di grup BBM yang menghimpun para jurnalis, tokoh publik, dan aktivis di Mongondow, saya turut terbahak-bahak membaca komentar, bahwa upaya penganuliran Ramadan Mamange sebagai komisioner Panwaslu Boltim memang sudah tabiat kekuasaan ala Eyang. ‘’Sebelum ambe Ramadan pe lollipop, dia pare Chandra Modeong pe balapis di Hanura. Kong skarang dia samantara rampas Medy pe ongol-ongol di PDIP.’’ Lucu dan faktual.

Saya—sekali lagi sebagai kawan yang tak menyembunyikan apapun di depan dan di belakangnya—mau jujur ke Eyang, bahwa dia tak punya reputasi baik di depan para elit politik PDIP di Sulut dan Pusat. Tokoh-tokoh teras partai ini belum lupa, bagaimana di Pilpres 2014 lalu Eyang diberi tempat terhormat dan akses luas ke Ketua Umum PDIP dan Capres Jokowi. Di salah satu kampanye Pilpres di Manado yang dihadiri Megawati dan Jokowi, Eyang bahkan menjadi darling. Dia menenggelamkan wakilnya, Medy Lensun, yang sudah resmi menjadi kader PDIP.

Mendadak—yang belakangan seluruh peristiwanya saya ketahui persis, termasuk dari beberapa tokoh utama PDIP—Eyang berbalik menjadi tim sukses Capres-Cawapres Prabowo-Hatta. Pembaca, politik tak jauh dari siasat dan akal bulus, tetapi saya sependapat dengan para elit PDIP (terutama di Sulut) bahwa ada etika dan kepatutan yang pantas dikritisi dari improvisasi dan manuver Eyang di Pilpres 2014 itu.

Jadi, ketimbang menanggapi serius godaan dan iming-iming dari para PHP, menurut hemat saya, sudah waktunya Eyang berhenti bertualang dalam berhubungan dengan Parpol. Pilkada 2015 tidak lama lagi, tetapi masih cukup waktu buat dia untuk fokus dan merestorasi reputasi politiknya. Toh ada Hanura yang hampir dipastikan bakal mencalonkan dia, kecuali jika ada perubahan drastis sikap politik partai ini. Dan yang terpenting, mayoritas masyarakat Boltim juga—di permukaan—masih memberikan dukungan kuat terhadap kepemimpinannya.

Selain stop improvisasi dan manuver tak perlu, Eyang juga mesti belajar keras memenej omongannya. Serta, yang tak kurang penting, berhenti menyakiti siapa pun, tidak peduli dia selevel kepala dusun, seorang CPNS, apalagi elit politik atau tokoh di Boltim.

Perkara saya pribadi, kalau karena kritik bertubi-tubi terhadap Eyang lalu dia murka dan mencoret dari daftar orang yang patut berhubungan dengannya, tidak masalah. Saya cukup puas bila melewati Boltim yang Bupati 2015-2020 (atau 2016-2021)-nya tetap Sehan Landjar dan mengatakan ke kedua anak saya: ‘’Eyang itu temannya Papa. Dalam putih dan hitamnya, dalam baik dan buruknya, dalam manis dan pahitnya.’’***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Capres: Calon Presiden; Cawapres: Calon Wakil Presiden; CPNS: Calon Pegawai Negeri Sipil; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat; Hanura: Hati Nurani Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; PAN: Partai Amanat Nasional; Parpol: Partai Politik; PBR: Partai Bintang Reformasi; PDIP: Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; PDS: Partai Damai Sejahtera; PHP: Pemberi Harapan Palsu; Pemilu: Pemilihan Umum; Pilkada: Pemilihan Kepala Daerah; Pilpres: Pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden); Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PKB: Partai Kebangkitan Bangsa; Sulut: Sulawesi Utara; dan Wabup: Wakil Bupati.

Tuesday, January 20, 2015

Kekuasan yang Serakah, Seorang Bocah, dan ‘’Lollipop’’

BOCAH itu cuma anak kecil biasa yang mengimpi-impikan permen. Sebatang lollipop dengan warna-warni cerah, menggoda selera.

Demi impian yang tak muluk-muluk itu—dia toh tak sedang merencanakan kudeta, akuisisi jabatan puncak politik, atau mendongkel seorang penguasa dari kursinya—sen demi sen, rupiah demi rupiah, disisihkan. Ada celengan ayam jago yang diletakkan dengan khusyuk di ujung kepala ranjang. Yang dia belai penuh sayang menjelang tidur dan tatkala terjaga ketika pagi semburat di Timur. Kekerasan hati kanak-kanak yang mengejar ingin memang selalu mengagumkan.

Dan hari itu tiba. Dengan wajah bagai matahari merekah, si bocah akhirnya mendapatkan lollipop yang dia perjuangkan dengan mengorbankan kesenangan jajan. Saya membayangkan dia mendekap permen itu penuh khimat. Kepala kecilnya dipenuhi skenario bagaimana mengelupas pembungkus permennya, mematut-matut gula-gula yang melelehkan liur itu, sebelum mulai menggulum kesenangannya.

Lalu impian itu tiba-tiba runtuh. Sejumlah orang yang bertubuh besar, gempal, garang, penuh kuasa, dengan aneka rupa permen di semua sakunya, merenggut lollipop dari tangan si bocah. Dunia memang tidak kiamat, tapi kita dapat membayangkan remuk seperti apa yang membadai jiwa kanak-kanaknya.

Bocah dan permen lollipop itu adalah Ramadan Mamange, CPNS yang lolos seleksi Panwaslu Boltim. Bila komisioner Panwaslu adalah ‘’permen lollipop’’, jabatan publik ini tak ada apa-apanya dibanding kekuasaan yang ada di genggaman Bupati dan para elit birokrasi Pemkab Boltim. Bupati Boltim, Sehan Lanjar, bukan cuma punya ‘’banyak permen di seluruh sakunya’’. Kekuasaan yang disandangnya adalah ‘’pabrik permen’’. Lalu demi kepuasan apakah satu-satunya ‘’permen’’ yang dimiliki Ramadan mesti direngut dari tangannya?

Kekuasaan yang serakah memang mudah kehilangan jiwa dan hati, lalu menjadi kesewenang-wenangan dan anarki. Penjegalan terhadap Ramadan, yang tak punya kuasa apa-apa kecuali keinginan mengembangkan kompetensi dan peran publiknya di Boltim, tak beda dengan mengambil paksa satu-satunya lollipop dari tangan seorang bocah. Demi menuntaskan kepuasan, anak kecil ini bahkan perlu diancam agar memilih PNS atau Panwaslu; dengan alasan seorang PNS harus loyal pada pimpinan yang apapun perintahnya mutlak dipatuhi.

O, rupanya para elit di Pemkab Boltim belum membaca, apalagi mencermati UU No. 5/2014 Tentang ASN. Di empat pasal di bab II UU ini menguraikan asas, prinsip, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku ASN, saya tidak menemukan ada perintah loyalitas pada atasan versi elit-elit Pemkab Boltim itu. Yang ada, sebagaimana dicantumkan di pasal 5, ayat 2, poin e, adalah: Pegawai ASN melaksanakan tugasnya sesuai dengan perintah atasan atau Pejabat yang Berwenang sejauh tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika pemerintahan.
Pemimpin seperti apa yang harus dipatuhi itu? Lihat pasal 2, 3, dan 4. Secara eksplisit, pasal 4 poin bahkan menyatakan, ‘’mengutamakan kepemimpinan berkualitas tinggi.’’ Kualitas tinggi macam apa yang dipertunjukkan oleh para pemimpin di Pemkab Boltim, yang sebelumnya mengizinkan seorang CPNS mengikuti seleksi Panwaslu, tetapi kemudian menganulir dengan alasan yang dibuat-buat dan dicari-cari?

Sejatinya, Ramadan Mamange berhak mempertanyakan dan menggugat keputusan yang jauh dari keadilan dan perlakuan setara yang terus-menerus ditekankan dalam UU ASN. Hak-haknya dijamin pasal 21, terutama berkaitan dengan perlindungan (hak) dan pengembangan kompetensi. Perihal pengembangan kompetensi ini, enam ayat di pasal 71 rinci menjabarkan apa dan bagaimananya.

Sebaliknya, sesuai amanat pasal 63, ayat (3) dan (4), UU ASN, seorang CPNS seperti Ramadan wajib menjalani masa percobaan, yang dilaksanakan melalui proses pendidikan dan pelatihan terintegrasi untuk membangun integritas moral, kejujuran, semangat dan motivasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang. Menurut pasal 64, ayat (1), masa percobaan itu dilaksanakan selama satu tahun dan pasal (2) menekankan, instansi Pemerintah wajib memberikan pendidikan dan pelatihan kepada calon PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama masa percobaan.

Ramadan adalah CPNS Boltim yang mengikuti tes pada 2013 dan menerima SK pada awal 2014. Hingga awal 2015 ini dia menjalani masa percobaan tanpa cacat, bahkan mendorong dirinya mengembangkan kompetensi lebih dari sekadar guru dengan mengikuti seleksi Panwaslu. Ketika itu, di manakah Pemkab Boltim, yang jangankan melaksanakan pelatihan lain, pra jabatan yang menjadi pelatihan paling dasar pun, belum dilaksanakan sama sekali untuk CPNS peserta tes 2013.
Pemkab Boltim yang belum menunaikan kewajibannya sama sekali tidak pantas menuntut hak dipatuhi. Lain soal kalau para elit pemerintahan dan birokrasi di kabupaten ini memang tak paham menguraikan asas, prinsip, nilai dasar, serta kode etik dan kode perilaku ASN. Dan demikianlah tampaknya yang terjadi.

Yang lebih memalukan, para elit pemerintahan dan birokrasi di Pemkab Boltim secara tak langsung sedang diajari nilai dasar, kode etik, dan kode perilaku oleh Ramadan. Percayalah, tuan-tuan pembesar, CPNS yang haknya Anda rampas dan ditakut-takuti dengan perkara loyalitas ini tak bakal melawan. Dia, sebagaimana bocah yang tak kuasa membela diri di depan orang-orang besar dan kuat, hanya akan menunduk dan diam seribu bahasa.

Saya kenal Ramadan. Amat dekat. Di balik sikapnya yang selalu santun ada energi dan keberanian besar yang tersimpan. Di masa mahasiswa dan tahun-tahun sesudahnya dia adalah aktivitas yang berani, juga seorang pesilat kelas pendekar. Untunglah, nyali tangguhnya diimbangi dengan kecerdasan dan kemampuan menahan diri.

Penerimaan Ramadan terhadap kesemena-menaan yang ditimpakan padanya, buat saya, sungguh mengundang malu. Saya malu karena etika, moralitas, kode etik, dan kode perilaku para elit pemerintahan dan birokrasi di Boltim—yang sebagian besar saya kenal dengan baik—tidak lebih bernilai dari sebatang lollipop yang dirampas paksa dari seorang bocah.

Maka waspadalah, terutama di tahun politik ini, di mana Pilkada serentak (dimana Boltim menjadi salah-satunya) dilaksanakan, perlakuan terhadap Ramadan bisa berakhir sebagai awal bola salju gugatan terhadap kredibilitas dan integritas Bupati Sehan Lanjar—yang pasti kembali mencalonkan diri untuk periode keduanya. Diam, penerimaan, dan kepasrahan Ramadan terhadap penjegalannya (saya belum mendengar atau menemukan satu komentar pun yang dia sampaikan ke publik), pasti mengundang simpati dan empati orang banyak.

Sepengalaman saya, kesewenang-wenangnya penguasa terhadap mereka yang tak berdaya selalu berakhir sebagai tragedi kekuasaan. Kita, seluruh warga Mongondow, tahu persis: dengan kekuatan politik yang dia genggam, Sehan Lanjar hampir dipastikan bakal melenggang ke periode kedua jabatan Bupati Boltim. Tapi, siapa yang tahu badai seperti apa mendadak tiba dan menghantam dia? Bukankah taifun selalu bermulai dari angin sepoi-sepoi?

Di titik ini saya berhenti marah. Saya justru jatuh kasihan pada para elit itu, termasuk Bupati, karena kian terbeber fakta-fakta bahwa kata-kata mereka nyatanya berbanding terbalik dengan adab dan perilaku yang dipraktekkan. Kalau hari ini mereka dengan tega dan dingin merampas satu-satunya ‘’permen’’ yang menjadi hak Ramadan yang ‘’cuma kelas bocah’’—terutama karena status CPNS-nya—, tidak usah terkejut bila besok-lusa orang-orang itu bahkan tanpa sungkan merampok dot dari mulut bayi.

Kekuasaan yang serakah seperti itukah yang diharap, diimpi, dan diinginkan rakyat Boltim?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; BKD: Badan Kepegawaian Daerah; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; CPNS: Calon Pegawai Negeri Sipil; Panwaslu: Panitia Pengawas Pemilihan Umum; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai Negeri Sipil; SK: Surat Keputusan; dan UU: Undang-undang.