Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, December 27, 2014

‘’Pak Kapolres Bolmong, di Akhir Tahun Ini Bolehkah Saya Bertanya?’’

BERURUSAN dengan polisi, terlebih karena terjerat perkara, adalah salah satu yang berada di daftar teratas ketakutan saya.

Mungkin karena saya lahir di era bergolak, ketika ‘’awas polisi’’ atau ‘’awas tentara’’ masih semujarab sihir Lord Voldemot yang ‘’namanya tak dapat disebutkan’’ karena ‘’kau tahu siapa dia’’. Bukankah sesuatu yang terus-menerus dicecokkan di benak, terlebih ketika masa kanak, akan membentuk ingatan dan kepercayaan yang tak lekang dimakan waktu?

Barangkali pula ketakutan berurusan dengan polisi itu karena saya tumbuh dan dewasa di era kediktaktoran lembut Orba yang serba tertib dan resik; termasuk dalam soal menggerakkan aparat bersenjata membungkam (dalam beberapa kasus bahkan meniadakan) sesiapa yang mempertanyakan kekuasan. Saya tak hendak bicara HAM, tetapi di zaman itu rasanya polisi (apalagi tentara) mudah melayangkan tempeleng atau tendangan, sekali pun perkaranya cuma tetek-bengek sepele.

Dulu sekali, di masa mahasiswa, saya suka menguji nyali dengan turut berunjuk rasa dan akhirnya berurusan dengan polisi, bahkan tentara. Percayalah, ‘’dipinjam’’ atau ‘’diundang’’ ke Polres, Polda, atau ke Kodim tak beda dengan dipaksa duduk di tengah gelap pekuburan umum, tengah malam Jumat Kliwon, dengan gerimis dan guntur bersahut-sahutan.

Saya tidak malu mengakui, karena takut pada polisi (juga tentara), di Polres, Polda, atau Kodim, saya tidak mampu membuka mulut. Cuma bisa cengengesan dan ketawa-ketiwi. Dan bagi aparat berwenang yang punya banyak kerjaan, ‘’pinjaman’’ atau ‘’undangan’’ yang bertingkah mirip badut HUT sama sekali tak berguna. Cukup dibentak-bentak dengan bonus tempelengan dan tendangan di bokong, lalu dipulangkan dengan pesan: ‘’Awas kalau terlibat lagi!’’

Itu dulu, yang nyatanya tak jauh beda dengan kini. Bukankah di masa kini, dimana Indonesia punya Komnas dan para aktivis HAM yang bising bicara perlindungan hak dasar manusia, penyelewengan dan tindak kekerasan polisi (dan tentara) masih lumrah terjadi? Tonton saja televisi; baca koran, majalah, dan situs berita; atau dengar radio, dan simak bagaimana perilaku brutal para pelindung dan pengayom masyarakat masih tetap dipraktekkan.

Karenanya, saya tetap takut berurusan dengan polisi. Sama takutnya pada serdadu, hiu, ular kobra, macan, harimau, singa, tumbuhan beracun, makanan busuk, kudis, kurap, orang bertopeng yang mengalungkan celurit, bajingan tengik yang menodongkan pistol, dan banyak hal ngeri lainnya.

Terima kasih, ya, Allah, urusan saya dengan polisi bertahun-tahun belakangan ini cuma memperbaharui SIM dan silaturahmi Idul Fitri atau Natal dan Tahun Baru. Semoga saya tidak pernah menginjak kantor polisi untuk urusan yang ‘’sudah ngeri, tak sedap pula’’.

Tersebab penakut terhadap polisi, apalagi yang berpangkat tinggi (tempelengan brigadir saja sudah biking kliyengan, apalagi kalau AKBP), saya menulis  ketidakmengertian yang ditujukan ke Kapolres Bolmong, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK, ini dengan was-was. Membuat jengkel, apalagi menyinggung perasaan perwira menengah di posisi Kapolres, bisa bikin runyam.

Sudah penakut, saya juga tak pintar berbasa-basi. Jadi, Pak Kapolres Bolmong yang baru menjabat satu bulan lebih sedikit, saya ingin bertanya: Sebenarnya berapa lama waktu yang dibutuhkan polisi untuk menyidik perkara korupsi, katakanlah yang tidak rumit-rumit amat seperti penyelewengan TPAPD Bolmong 2010-2011 atau Mami 2011 di DPR Boltim? Sungguh, pertanyaan yang terlalu gampang  ini bukan sindiran, apalagi saya tahu sebelum dimutasi memimpin Polres Bolmong, Pak Simanjuntak adalah Kasubdit Tipikor Polda Sulut.

Penetapan mantan Kasubdit Tipikor menjadi Kapolres Bolmong tentu bukan hasil kocokan undian arisan ibu-ibu. Logika awam seperti saya menduga karena kasus korupsi di seantero daerah ini sudah berada di tahap yang memerlukan perhatian khusus. Galibnya begitu kan? Di daerah yang banyak garong dan maling, biasanya Kapolres yang ditunjuk berlatar Reskrim atau Brimob; sebaliknya di wilayah yang urusan lalu lintasnya seperti kain salah tenun, yang dipilih perwira menengah dari Korps Lantas.

Apakah ada hubungan antara prestasi di jabatan sebelumnya hingga seorang perwira menengah di promosi menjadi Kapolres, adalah urusan internal Polri. Saya berprasangka baik saja, bahwa selama menjadi Kasubdit Tipikor Polda Sulut, AKBP Wiliam A Simanjuntak, SIK pasti sangat berprestasi. Bahwa kinerjanya tak banyak ditulis media, termasuk situs berita, lebih karena para wartawan di Sulut sekarang cuma doyan BBI, BBK, atau advertorial. Dan Kasubdit Tipikor tahu persis, BBI, BBK, atau advertorial mudah terpeleset jadi suap-menyuap yang ujung-ujungnya kasus korupsi.

Jadi, Pak Kapolres, berapa lama waktu yang dibutuhkan polisi untuk menyidik perkara korupsi? Apakah memang perlu waktu lebih dari setahun sekadar melimpahkan berkas, bukti, dan tersangka yang sudah P21 seperti kasus TPAPD yang terkait dengan mantan Bupati Bolmong, Marlina Moha-Siahaan? Tidakkah Polres Bolmong mempertimbangkan keadilan untuk MMS yang kepastian hukumnya dikatung-katung begitu lama? Kalau dugaan Tipikor yang nilainya hanya lebih Rp 4 miliar memerlukan waktu selama itu, bagaimana dengan kasus yang bilangannya mencapai puluhan miliar?

Begitu juga dengan dugaan Tipikor Mami di DPR Boltim, yang penetapan tersangkanya sudah sejak berbulan lalu. Bagaimana kabarnya kasus ini? Walau baru menduduki jabatan, Pak Kapolres tentu sudah mendapat laporan, bahwa tiga tersangka dari Sekretariat DPR telah masuk bui. Salah seorang di antaranya bahkan meninggal dunia dalam tahanan. Tapi bagaimana dengan 20 anggota DPR Boltim yang diduga turut terlibat penyelewengan itu? Apakah perlu menunggu mereka wafat dulu baru kasusnya ditindak-lanjuti dengan penghentian penyidikan? Atau memang kita biarkan saja isunya perlahan-lahan hilang dari ingatan orang banyak?

Pertanyaan-pertanyaan saya cukup valid, Pak Kapolres. Coba cek, banyak kasus dugaan Tipikor di Bolmong di tangan Polres yang kemajuan proses penyidikannya bagai perlombaan lari kura-kura dan siput. Ada pula yang menghilang begitu saja seperti disulap tuyul. Konon, kata bisik-bisik rumor di tengah masyarakat, proses Tipikor yang lambat atau hilang itu karena polisi sedang mati-matian memeras informasi, juga isi dompet, tersangka. Saya tidak percaya dengan bisik-bisik tidak bertanggungjawab itu, makanya memberanikan diri bertanya pada Pak Kapolres.

Supaya tak kian melantur, lancang, dan memperparah ketakutan saya terhadap polisi, pertanyaan akhir tahun ini saya batasi dulu pada dua kasus dugaan Tipikor itu. Saya berharap Pak Kapolres tidak tergelincir jadi pelawak seperti Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu yang omongannya tentang tersangka TPAPD 2010-2011 seperti burung kakatua sakit tetelo. Sangat tidak lucu membayangkan Pak Kapolres yang punya pangkat keren di pundak tak berbeda dengan bintang stand up comedy, Cak Lontong atau Mongol.***

Singkatan dan Istilah yang digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; BBI: Berita Berbayar Iklan; BBK: Berita Berbayar Koran; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Brimob: Brigade Mobil; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; HAM: Hak Asasi Manusia; HUT: Hari Ulang Tahun; Kasi: Kepala Seksi; Kasubdit: Kepala Sub-Direktorat; Kejari: Kejaksaan Negeri; Kodim: Komando Distrik Militer; Komnas: Komisi Nasional; Lantas: Lalu Lintas; Mami: Makan Minum; MMS: Marlina Moha-Siahaan; Orba: Orde Baru; Pidsus: Pidana Khusus; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resor; Polri: Kepolisian Republik Indonesia; Reskrim: Reserse Kriminal; SIM: Surat Izin Mengemudi; Sulut: Sulawesi Utara; Tipikor: Tindak Pidana Korupsi; dan TPAPD: Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintahan Desa.

Thursday, December 25, 2014

Pelawak Pikun di Kejari Kotamobagu

PERKEMBANGAN kasus penyalahgunaan dana TPAPD Kabupaten Bolmong kian mirip lelucon ketimbang keseriusan penegakan hukum. Kali ini, andai apa yang saya simak di beberapa situs berita benar adanya, pelawak yang jadi bintang utama pertunjukan adalah Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu, Ivan Bermuli, SH.

Salah satu situs yang saya rujuk, zonabmr.com (http://www.zonabmr.com/read/8014/kasus-tpapd-bolmong-ivan-sebut-mms-sulit-dijerat.html), Sabtu, 20 Desember 2014, menulis pernyataan Bermuli pada Kamis, 18 Desember 2014, bahwa mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan sulit dijerat karena tidak cukup bukti. Pernyataan Bermuli ini seperti mementahkan proses hukum (penyidikan) terhadap MMS yang sudah berjalan dua tahun, bahkan sudah P21, lalu ‘’konon’’ disusul dengan P21A.

Dasar yang digunakan Bapak Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu yang terhormat, karena sesuai fakta persidangan, kerugian yang ditanggung negara dari penyalahgunaan dana TPAPD Bolmong TA 2010-2011 sepenuhnya menjadi tanggungjawab Cimmy Wua (kala itu Kabag Pemdes Pemkab Bolmong). Alhasil, MMS pun sulit dijerat.

Karena meragukan kebenaran pernyataan itu, saya sungguh-sungguh meluangkan waktu mendalami apakah kemudian ada bantahan dari Ivan Bermuli. Siapa tahu wartawan yang salah dengar, salah kutip, dan salah tulis, yang ujung-ujungnya saya ikut bersalah lalu terkena UU ITE. Hasilnya, sejauh yang saya telusuri, berita yang mengutip Kasi Pidsus itu tak pernah dibantah, diluruskan, atau dikoreksi. Dengan kata lain, kandungan kebenarannya sahih.

Baiklah. Mari kita telisik silang-sangkarut TPAPD Bolmong 2010-2011. Saya mengenal dekat Cimmy Wua. Saya tahu persis bagaimana sikapnya tatkala dugaan penyalahgunaan TPAPD itu mencuat ke permukaan dan masuk proses penyidikan.

Ketika itu, sulit bagi saya menilai Cimmy yang bagai ‘’kambing siap disembelih’’ dengan mengakui penyalahgunaan itu sepenuhnya adalah tanggungjawabnya; dan dia siap menerima ganjaran setimpal. Saya tidak tahu apakah penyerahan diri seperti itu adalah bentuk loyalitas paripurna, kesetiaan bawahan terhadap atasan, kesadaran seseorang yang tahu diri karena berbuat salah fatal, atau semata-mata kebodohan pahlawan kesiangan.

Dengan tetap menghormati proses hukum yang telah dia jalani, saya pribadi menilai Cimmy Wua adalah sangat sedikit dari ‘’the last gentlement’’ di birokrasi Pemkab Bolmong. Dia terseret ke pusaran TPAPD (ingat: Cimmy menduduki jabatan Kabag Pemdes di triwulan III, menggantikan Mursid Potabuga) dan ikut tergulung semata-mata karena kebejadan memang sudah berlangsung. Ini juga fakta persidangan, Tuan Kasi Pidsus Kejari Bolmong yang pelawak.

Yang jelas (semoga saya tidak silap), Cimmy Wua memang tidak berusaha menyeret siapa pun ikut serta memikul tanggung jawab yang dia klaim. Bagi saya, lepas dari ada tindak pidana yang menyeret dia ke balik bui, sosok Jimmy adalah model bawahan, rekan kerja, atau atasan yang didambakan. Sejauh ini, di kasus TPAPD itu, saya menilai Cimmy adalah orang yang mampu menempatkan ‘’rahasia tetap sebagai rahasia’’, walau dia harus menanggung konsekwensi yang tak ringan.

Kembali ke Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu, yang selain pelawak, tampaknya juga mengidap pikun. Penyalahgunaan TPAPD Bolmong 2010-2011 tidak hanya menjerat Cimmy Wua, tetapi juga sejumlah pejabat, termasuk Kabag Pemdes pendahulunya, Mursid Potabuga. Sepengetahuan saya, selama proses hukum yang dia jalani, baik sebagai tersangka maupun saksi untuk tersangka lainnya, Mursid konsiten menyebutkan keterlibatan MMS. Dokumentasi konsistensi Mursid salah satunya di rekam sulutexpress.com (http://www.sulutexpress.com/berita/kesaksian-cimmy-ringankan-terdakwa-eks-sekda-ferry.html), Jumat, 15 Agustus 2014.

Kalau kasus TPAPD sepenuh tanggungjawab Cimmy Wua, mengapa sebakul tersangka lain masuk persidangan dan kemudian divonis bersalah? Mengapa pula ada mantan Sekda Bolmong, Ferry Sugeha, yang sudah diputus hukuman kurung satu tahun dan penggantinya (ketika itu Asisten III), Farid Asimin, kini masuk tahanan kejaksaan karena kasus yang sama, yang menjerat Cimmy Wua dan kawan-kawan?

Logika (hukum) apakah yang digunakan Bermuli? Sebab bukankah Kejari Kotamobagu pula yang menetapkan proses penyidikan MMS di Polres Bolmong sudah P21? Dan, Pembaca, siapakah jaksa yang mengumumkan P21 itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah tuan Kasi Pindsus Kejari Kotamobagu, Ivan Bermuli, SH. Tidak percaya, tengok totabuan.co,  Jumat, 27 Desember 2013 (http://totabuan.co/2013/12/kejaksaan-resmi-tetapkan-berkas-kasus-tpapd-milik-mantan-bupati-bolmong-p21/).

Model penegak hukum seperti Bermuli, yang pernyataannya pada Desember 2013 sudah tempe, tiba-tiba pada Desember 2014 (atau hampir tepat satu tahun kemudian) kembali jadi kedelai, sungguh-sungguh meruntuhkan kepercayaan terhadap proses yang adil dan benar dalam rantai penegakan hukum di negeri ini. Apakah karena dia, sebagai jaksa, lebih menggunakan logika pelawak yang pikun; atau (spekulasi lain) sebab ada rencana tipu-tipu pengalih perhatian umum yang diskenariokan agar akhirnya MMS lolos dari proses hukum?

Kelihatannya logika dan kewarasan Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu ini perlu diluruskan dengan toyoran sekeras-kerasnya di jidat. Demikian pula dengan mulutnya yang layak di-Rinso agar tak mencla-mencle.

Bagi saya pribadi, bersalah atau tidaknya MMS dalam kasus TPAPD Bolmong 2010-2011, bukan lagi masalah mendasar. Yang terpenting adalah kepastian bahwa proses hukum dijalankan dengan benar; dengan mempertimbangkan semua fakta, temuan, dan kesaksian; yang dibuka setransparan-transparannya di pengadilan. Berkas perkara MMS sudah di P21. Tidak ada alasan dia tidak dibawa di pengadilan. Kecuali bahwa proses P21 itu adalah kejahatan tersendiri yang memang diniatkan oleh Kejari Kotamobagu terhadap orang yang semestinya tidak bersalah. Sama jahatnya dengan dikatung-katungnya tindak lanjut P21 itu hingga setahun lamanya di Polres Bolmong.

Kita, orang banyak, berhak mengajukan pertanyaan: Mengapa P21 berkas kasus TPAPD MMS masih tetap di tangan Polres Bolmong sudah ditetapkan oleh Kejari Kotamobagu pada Desember 2013? Percayalah, ditodong dengan pertanyaan ini, saya yakin akan banyak omong kosong yang disemburkan oleh para pejabat teras Polres Bolmong. Pengalaman saya, salah satu keahlian para pejabat penegak hukum adalah membual seolah-olah orang banyak buta-tuli hingga cukup puas ditipu dengan alasan prosedur dan tetek-bengek teknis kerja penegak hukum.

Mengingat saya (juga umumnya warga Mongondow) bukan keledai tanpa otak, yang lebih masuk akal adalah versi bisik-bisik yang barangkali belum mampir di kuping Kapolres dan Kajari, bahwa proses hukum para ‘’tersangka papan atas’’ TPAPD Bolmong 2010-2011 memang sengaja diulur-ulur sekaret mungkin. Musababnya, karena mereka adalah ATM yang paling mudah dicolek, yang rela mengeluarkan ongkos maksimal agar kasusnya sedapat mungkin tak sampai ke pengadilan.

Bisik-bisik terbaru yang disampaikan ke saya, bahkan lebih gawat lagi. ‘’Katanya’’, jika MMS dilimpahkan ke Kejari Kotamobagu dan masuk pengadilan, dia akan ‘’bernyanyi merdu’’: Siapa-siapa saja yang sudah menggoyang ATM TPAPD 2010-2011, kapan, dan berapa jumlahnya.

Jadi, Pak Kapolres Bolmong, AKBP William A Simanjuntak, SIK, mohon segera P21 dari Kejari Kotamobagu ditindak-lanjuti dengan pelimpahan berkas, bukti-bukti, dan tersangka. Lalu mari kita dengarkan apakah benar ada ‘’nyanyian merdu’’ itu; atau setidaknya supaya MMS tidak tersandera ‘’pidana sosial’’ padahal dia tidak bersalah sebagaimana logika yang dinyatakan Kasi Pidsus Kejari Kotamobagu.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ATM: Automated Teller Mechine; Bolmong: Bolaang Mongondow; ITE: Informasi dan Transaksi Elektronik; Kabag: Kepala Bagian; Kajati: Kepala Kejaksanaan Negeri; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; Kasi: Kepala Seksi; Kejari: Kejaksanaan Negeri; MMS: Marlina Muha-Siahaan; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemdes: Pemerintahan Desa; Pidsus: Pidana Khusus; Polres: Kepolisian Resor; Sekda: Sekretaris Daerah; Sulut: Sulawesi Utara; TA: Tahun Anggaran; TPAPD: Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintahan Desa; UU: Undang-undang.

Wednesday, December 24, 2014

KPU KK: Penghargaan Bumbu ''Maraju''

KPU KK memperoleh penghargaan kategori (penyelenggara) Pemilu Berintegritas Tingkat Kabupaten/Kota. Penghargaan ini diserahkan di Rakornas KPU, KPU/KIP Provinsi dan KPU/KIP Kabupaten/Kota di Ecopark, Ancol, Jakarta, Rabu (17 Desember 2014).

Saya mengetahui apresiasi yang diterima Nayodo Kurniawan itu dari situs Rakyat Merdeka Online (http://www.rmol.co/read/2014/12/17/183784/Inilah-Sejumlah-KPU-Daerah-yang-Mendapatkan-Award-) yang biasanya cuma ditengok sepintas. Sebagai rujukan, sekali pun menjadi bagian dari raksasa media, saya tidak punya kepercayaan tinggi terhadap situs ini. Anda yang meragukan pendapat saya, silahkan rutin menyimak unggahan di situs ini dan nilai sendiri.

Tapi, benar adanya KPU KK menerima penghargaan. Kendati tak jelas betul tolok-ukur yang digunakan (dan demikianlah kebanyakan penghargaan di negeri ini), kita yakin saja mereka berintegritas sebagaimana prestasi yang disematkan itu. Selamat untuk para komisioner dan seluruh jajarannya, lalu saya membayangkan senyuman sumringah setengah ledekan dari Nayodo Kurniawan.

Penghargaan yang diterima KPU KK memperpanjang deretan award yang diraih kota ini sepanjang 2014, terutama untuk Pemkot. Saya tidak merekam di ingatan apa saja jenis penghargaan itu, karena tampaknya tidak banyak pengaruhnya terhadap fakta yang dirasakan warga kota. Setidaknya ‘’perasaan’’ ini yang saya tangkap setiap kali berada di kediaman orangtua di KK. Sebab sifatnya yang ‘’perasaan’’, tentu indikatornya subyektif belaka. Sama subyektifnya dengan penghargaan yang dianugerahkan, yang tidak disertai dengan disclosure tolok ukur penilaiannya.

Misalnya, di puncak peringatan Hari Kontrasepsi se-Dunia, Selasa (30 September 2014), Pemkot KK menerima MDG’s Award Target 5b 2014 (http://www.okemanado.com/2014/09/30/terbaik-se-indonesia-bidang-kesehatan-ibu-dan-anak-kotamobagu-terima-penghargaan-mdgs-award-2014/). Saya, yang tetap merasa sebagai salah seorang warga KK, tentu turut gembira. Tetapi apa tolok ukur penghargaan itu? Apakah penghargaan ini menunjukkan dari visi, misi, kebijakan, hingga aktivitasnya, Pemkot KK memang konsisten dengan kinerja mendukung pencapaian MDG’s?

Maaf saja, dengan tetap menghargai kerja keras jajaran Pemkot, saya berani memastikan, MDG’s Award itu tidak mencerminkan kenyataan di KK. Ujiannya sederhana: Apa kebijakan spesifik Pemkot, khususnya Walikota dan Wawali, berkaitan dengan MDG’s? Coba tunjukkan sepotong dokumen yang menimal cukup komprehensif sebagai bukti? Kalau ada, saya tidak akan malu meminta maaf pada jajaran Pemkot KK.

Penghargaan-penghargaan tiban yang kerap diterima di negeri ini tampaknya memang tidak mengukur aspek-aspek yang lebih fundamental, khususnya landasan kebijakan dan konsistensi kinerjanya. Contoh lain, Adipura yang diterima KK, yang capaiannya naik turun mirip ingus bocah pilek. Tahun ini dapat piala, berikutnya cuma sertifikat, dan nanti entah sekadar elusan di punggung disertai ucapan, ‘’Good job.’’ Musababnya sederhana: Mana kebijakan komprehensif yang mendorong seluruh pemangku kepentingan KK meletakkan pengelolaan kotanya sebagai tanggung jawab bersama?

Suka atau tidak, dalam konteks pengelolaan kota, yang kita dengar, lihat, dan alami di KK cuma sekadar aktivitas yang bergantung pada selera siapa yang duduk di kursi pengambil keputusan tertinggi. Tengok saja, di zaman Walikota Djelantik Mokodompit ada Jumpa Moposat; di era Tatong Bara menjadi Lipu’ Modarit Lipu’ Mosehat (bahasa Mongondow yang digunakan ini mengandung kekeliruan pula), yang diniatkan dilaksanakan setiap Jumat.

Yang berubah hanya penamaan, bukan substansi. Tidak ada penyadaran, pelurusan budaya, atau perilaku jorok masyarakat yang dikandung dari aktivitas Jumatan itu. Sekadar menunjukkan ada upaya agar orang banyak bergerak urun-rembuk membersihkan kotanya, yang pada akhirnya cuma jadi alasan buat para PNS masuk kantor lebih lambat atau meninggalkan pekerjaan dengan kilah kerja bakti Lipu’ Modarit Lipu’ Mosehat.

Itu sebabnya saya skeptis dengan  segala penghargaan dan award-award yang diterima KK, termasuk KPU-nya. Walau, harus diakui, di tangan lima komisionernya (Nayodo Kurniawan, Nova Tamon, Asep Sabar, Iwan Manoppo, dan Aditya Tegela) KPU KK memang menunjukkan kinerja optimal di 2014. Mereka sukses melaksanakan Pileg, kemudian Pilpres, kendati dengan kekusutan hubungan (yang lebih bersifat pribadi) dengan beberapa elit politik teras di KK. Nayodo dan kawan-kawan berhasil melewati ‘’titian krusial’’, khususnya saat meloloskan mantan Walikota, Djelantik Mokodompit, sebagai Caleg.

Saya termasuk yang gigih bersoal ihwal lolosnya DjM di Pileg 2014, tetapi bukan pada KPU, melainkan proses pemenuhan syarat administratifnya yang memang menjadi wewenang lembaga lain. Andai PAN yang ketika menggugat lolosnya DjM memfokuskan pada keabsahan proses pemenuhan syarat administratif; bukan sah-tidaknya putusan KPU KK; arah bandul politik KK hari ini pasti berbeda.

Kalau lolosnya DjM sebagai Caleg di Pileg 2014 adalah ujian integritas KPU KK, Nayodo dan kawan-kawan lulus cum laude. Sama halnya dengan Pileg dan Pilpres yang diwarnai demannya hubungan Ketua KPU KK dengan Walikota. Saya tidak tahu persis (karena memang tidak pernah bertanya langsung ke Nayodo atau Walikota), apakah hubungan yang meriang itu akibat dampak ikutan lolosnya DjM sebagai Caleg 2014; atau sebab lain. Soalnya, yang mampir ke kuping saya sudah mirip teori konspirasi novel-novel picisan.

Kata cerita-cerita itu, karena DjM lolos, Walikota yang pesaing politiknya ogah-ogahan memenuhi kebutuhan, terutama yang membantu operasional, KPU KK. Padahal, baik di pertemuan langsung dengan Walikota dan jajarannya atau sesuai perintah oleh UU dan turunannya, Pemkot wajib mendukung terlaksananya tanggung jawab yang diemban KPU. Sekadar cerita, tak ada salahnya didengarkan. Perkara dipercayai atau tidak, saya memilih menggunakan kewarasan dan akal sehat.

Kewarasan dan akal sehat itu juga yang bekerja ketika di Idul Fitri lalu saya dikisiki, bahwa Ketua KPU KK tidak bersilaturahim ke Walikota karena hubungan mereka tidak harmonis. Benar-tidaknya rumor ini, saya tak ambil pusing. Yang saya tahu (sebab memang hadir di kediaman Ketua KPU KK), di Idul Fitri keduanya sama-sama sibuk melayani tamu dari pagi hingga pagi. Lagipula, kalau takarannya adalah berjabat tangan dengan Walikota di rumah jabatan, saya juga boleh dikategorikan sebagai salah seorang yang hubungan sosialnya sedang panas-dingin.

Padahal, satu-satunya alasan saya sungkan bersilaturahim dengan para elit di KK (kecuali ke beberapa orang yang sama ‘’koboi’’-nya) di Idul Fitri, karena tidak punya pakaian yang sesuai dengan adab dan sopan santun orang Mongondow. Masak iya silaturahim ke kediaman orang penting dengan kaos oblong dan sandal gunung?

Kembali ke penghargaan penyelenggara Pemilu berintegritas, saya kira dengan mengesampingkan segala cerita, kisik-kisik, dan rumor tak penting, dengan menelisik rekam jejak, kinerja, dan konsistensi Nayodo dan kawan-kawan, mereka layak menerima anugerah itu. Kalau pun ada maraju yang menjadi bumbu tambahan, bukankah itu menjadi penyedap bual-bual di Kopi Jarod atau Korot?

Sedap yang lain, bagi para komisioner dan jajaran KPU KK, penghargaan berintegritas itu adalah modal reputasi yang luar biasa mahalnya untuk pencalonan di periode berikut. Penghargaan itu adalah karpet merah Nayodo Kurniawan dan Nova Tamon ke KPU Provinsi (mengingat keduanya sudah lebih dari satu periode di KK); dan periode kedua di KPU KK untuk Aditya Tegela, Asep Sabar, dan Iwan Manoppo. Hanya tim seleksi kapiran yang tidak meloloskan komisioner berintegritas. Sebab, apa lagi takaran yang lebih tinggi untuk mengukur kualitas seseorang kecuali integritasnya?

Akan halnya Sekretaris KPU dan jajarannya yang pasti turut menyumbang kinerja integritas para komisioner, Pemkot KK harus mempertimbangkan ganjaran setimpal. Barangkali semacam promosi ke kepala dinas untuk Sekretaris KPU (yang berintegritas itu) dan kenaikan eselon untuk jajarannya. Integritas memang sedap bukan?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Caleg: Calon Anggota Legislatif; DjM: Djelantik Mokodompit; KIP: Komite Independen Pemilihan; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; MDG’s: Millennium Development Goals; PAN: Partai Amanat Nasional; Pemkot: Pemerintah Kota; Pemilu: Pemilihan Umum; Pileg: Pemilu Legislatif; dan Pilres: Pemilihan Presiden (dan Wakil Presiden).

Natal, Tahun Baru, dan Sentimen-sentimen yang Menjengkelkan

TOKO yang sepengetahuan saya tak memajang nama itu terletak tak jauh dari titik awal Jalan Amal Mogolaing. Pemiliknya adalah Keluarga (Almarhum) Ko’ Yunus.

Di masa kanak saya, toko itu adalah yang terbesar di seluruh Mogolaing dan Ko’ Yunus adalah pebisnis yang mengasyikan. Hingga periode remaja saya, setidaknya sampai lulus SMA, belanja ke toko Ko’ Yunus selalu menyenangkan. Dia dan istrinya tak hanya melayani keperluan belanja, tetapi juga menanyakan kabar Ibu dan Bapak atau sekadar bercakap-cakap tentang situasi sekitar.

Di toko Ko’ Yunus, belanja bukan hanya perkara transaksional. Ada hubungan sosial yang dirawat lewat percakapan dan senda-gurau yang jauh dari basa-basi. Saya yakin, kala itu, tak banyak keturunan Tionghoa yang mampu cair dan melebur layaknya orang Mongondow seperti Ko’ Yunus.

Keluarga Ko’ Yunus yang Kristiani juga menjadi minoritas paling minor di Jalan Amal yang mayoritas Islam (bahkan saat ini pun saya berkeyakinan jumlah KK pemeluk Kristiani dan Hindu tidaklah signifikan di kawasan ini). Tapi keluarganya diperlakukan sebagaimana orang Jalan Amal bersosialisasi satu dengan yang lain. Mereka sama dihormati layaknya penghuni yang lain, termasuk ketika Natal dan Tahun Baru tiba, orang-orang datang dan pergi menyambangi toko yang juga menjadi kediaman Keluarga Ko’ Yunus.

Tapi tentang Natal, kenangan pertama yang terus melekat di benak saya justru bukan menyaksikan ‘’pohon terang’’ yang kelap-kelip di balik jendela toko (merangkap kediaman) Keluarga Ko’ Yunus. Bertahun yang lalu, di satu malam, saya dan adik-adik dibawa Ibu dan Bapak menyaksikan perayaan Natal RS Datoe Binangkang.

Malam itu saya, anak kecil yang masih terbata-bata belajar tentang Islam (sembari menikmati sekali-dua pecutan rotan karena lebih banyak main-main di pengajian), bersua kekudusan yang romantis. Ada pohon berhias lampu, bintang-bintang, dan bulan; juga miniatur pondok, domba-domba, dan fragmen kelahiran Yesus. Ada kidung-kidung dan doa khusyuk.

Pulang dari perayaan Natal itu, saya dibuai kantuk yang sangat dan tidur dengan damai.

Natal (juga Tahun Baru) di RS Datoe Binangkang, kemudian yang saya lihat setiap tahun di kediaman Keluarga Ko’ Yunus, atau di rumah kerabat-kerabat Ibu yang Kristiani di Kopandakan, selalu menjadi kenangan dan pengalaman penaut silaturahim. Ada yang mesra dan nostalgik dari ingatan-ingatan tentang dua hari besar ini di Mongondow, kemudian di Manado ketika saya punya keluarga dan rumah sendiri, yang berada di tengah komunitas Kristiani.

Saya, istri, dan juga anak-anak tak pernah tidak turut menikmati nuansa Natal dan Tahun Baru; sebagaimana kami mentakzimi Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, dan 1 Muharram. Di rumah kami di Kampung Loyang (yang sebenarnya jauh dari pengertian kampung) Malalayang, Natal dan Tahun Baru tak lebih riuh dari Ramadhan dan Idul Fitri. Umat Kristiani menderaskan nyanyian dan kidung dari pengeras suara di hari-hari jauh sebelum dan setelah Natal berlalu; sebaliknya kaum Muslismin juga menggelegarkan adzan dan pengajian di Ramadhan dan takbir di Idul Fitri dan Idul Adha.

Di Jalan Amal, juga di Malalayang, saya tidak menemukan fundamentalisme tanpa otak yang saling mengasah sentimen agama, mengotak-ngotakkan manusia karena anutannya, dan memprovokasi kebencian. Saya dan keluarga mungkin beruntung karena di dua tempat ini, setidaknya hingga kini, saya menemukan perbedaan agama adalah penghormatan terhadap kemanusiaan dan Sang Pencipta.

Persentuhan saya dengan banyak orang, terutama tokoh-tokoh seperti Kiai Arifin Assegaf (dengan bangga saya mengklaim beliau sebagai guru spiritual, selain Ayah saya), Pastor Yong Ohoitimur, atau tokoh GMIM seperti dr Bert Supit dan Pendeta Nico Gara, memperkuat keyakinan bahwa beragama adalah menuju pencerahan pribadi. Keyakinan ini dicapai dengan terantuk-antuk dan terbentur-bentur, dari belajar pada para bijak-bestari seperti Kiai Arifin hingga macam-macam bacaan yang merentang dari provokasi keimanan (Islam) saya hingga pikiran-pikiran dan ide yang disebut liberal tentang agama.

Memamah-biak Ibnu Taimiyah, Mansur Al-Hallaj, Al Gahazali, pemikir modern Islam seperti Fazlur Rahman, Riffat Hassan, Martin Lings Sang Sufi Terakhir Abad 21 yang bukunya (biografi Muhammad SAW) sungguh menggetarkan jiwa, atau Karen Amstrong yang mengupas sejarah Tuhan hingga perbenturan agama dari zaman kegelapan hingga fakta kontemporer, mempertegas keyakinan saya bahwa agama semestinya menjadikan manusia mahluk luhur. Bahwa perbedaan-perbedaan keyakinan dan prakteknya adalah pilihan yang mesti dihormati, sepanjang itu adalah ekspresikan keluhuran manusia.

Di titik ekstrem, saya bahkan tidak peduli seseorang menyembah Allah Yang Maha Besar atau pohon kecapi di pekarangan rumahnya, asal dia mampu menjadi manusia sebagaimana nilai-nilai, norma, dan perilaku tinggi yang menjadi hakikat kemanusiaan. Sebaliknya, persetan pula dengan mereka yang menyandang gelar atau status pemuka keagamaan, yang tampak taat dan sholeh, kalau pada akhirnya cuma kemunafikan.

Saya berkeyakinan tak akan kehilangan fundamentalisme (Islam) hanya karena menghormati kepercayaan dan praktek keberagamaan yang lain. Iman saya tidak akan terganggu karena, katakanlah, setiap tahun tulus mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru pada keluarga, teman-teman, dan kenalan Kristiani; sebagaimana mereka juga dengan sumringah menghaturkan selamat Idul Fitri dan guyub dalam silaturahmi di kediaman saya.

Keyakinan itu pula yang mudah membuat saya meradang tatkala urusan hubungan-hubungan sosial dicemari dengan syak dan sentimen keberagamaan yang di luar akal sehat. Wacana terkini di negeri ini, misalnya, yang sesungguhnya berulang (khususnya di kalangan Islam) hampir setiap tahun tentang boleh-tidak, halal-haram, menyampaikan selamat Natal dan Tahun Baru, sungguh mengusik nurani keberagamaan saya.

Namun, mengingat saya bukanlah ahli agama, dengan pengetahuan yang sangat terbatas, saya sekadar ingin bertanya pada para pemeluk Islam yang berada di sisi ‘’tidak’’ dan ‘’haram’’ mengucapkan Natal dan Tahun Baru: Di bagian manakah dari ajaran agama kita yang luhur menyatakan Allah Yang Maha Besar dan Muhammad SAW melarang umat Islam menghormati anutan dan keyakinan umat yang lain? Bukankah dalam Islam hubungan manusia dengan Alllah SWT tak lengkap tanpa dia membangun hubungan dengan sesama manusia?

Apakah ucapan selamat Natal dan Tahun Baru harus dilebar-lebarkan maknanya dari silaturahmi dan penghormatan terhadap sesama manusia, anutan dan kepercayaannya, ke ritual agama yang memang haram dicampur-adukkan? Bagi saya sederhana: Allah SWT tidak pernah menyatakan bahwa ‘’hubungan dengan sesama manusia’’ itu berarti hanya dengan manusia pemeluk Islam. Karenanya, mengucap selamat Natal dan Tahun Baru adalah keniscayaan yang wajar dalam konteks hubungan sosial antar manusia.

Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015 untuk kerabat, teman, dan kenalan tak hanya di Mongondow dan Sulut. Tuhan memberkati. Khusus di Mongondow, jika ada para fundamentalis yang tak sudi membangun hubungan sosial dengan Anda-Anda, tak usah dihiraukan. Kita toh tahu persis: Orang-orang yang cakrawalanya hanya setinggi pohon tomat memang terserak di mana-mana, tidak hanya di tengah umat Islam. Dan karena itu kita membutuhkan agama untuk mencerahkan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

GMIM: Gereja Masehi Injili Minahasa; KK: Kepala Keluarga; RS: Rumah Sakit; SAW: Shallallahu’alaihi Wa Sallam; SMA: Sekolah Menengah Atas; Sulut: Sulawesi Utara; dan SWT: Subhaanahu Wa Ta’aalaa.