Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, November 16, 2014

Menggelar-gelar Gelar Adat

TAUTAN situs detikKawanua.com saya terima di tengah rapat serius, Jumat petang (14 November 2014). Berita yang disebarkan bertajuk Hisar Kapolres Pertama Yang Dapat Gelar Itoy Guhanga (http://www.detikawanua.com/2014/11/hisar-kapolres-pertama-yang-dapat-gelar.html), lengkap dengan pose Ketua Amabom, Jemmy Lantong.

Saya tak bisa menahan gelak. Lelucon apa lagi yang kali ini dipentaskan oleh Amabom?

Menukil detikKawanua.com, Ketua Amabom memapar, Kapolres Bolmong, Hisar Siallagan yang baru mengakhiri masa jabatannya pantas diberi gelar karena sukses mengoyomi dan melindungi masyarakat adat di Mongondowi. Pengganti Hisar, Wiliam Simanjuntak diharapkan melanjutkan apa yang pernah dilakukan pendahulunya. Ganjarannya, menurut Jemmy Lantong, ‘’Barangkali gelar yang sama juga bisa didapat.’’ Ketua Amabom, menggelikan betul dandi in kulit in bibig-mu.

Hisar Siallagan yang saya kenal adalah polisi yang mencoba merangkul dan akrab dengan siapapun, dari kalangan manapun. Teman-teman wartawan yang bertugas di Bolmong misalnya, kerap menutur bagaimana mereka bergaul bebas dengan Hisar. Dia jenis polisi (sebagaimana Wakapolres-nya, Daru Tyas Wibawa) yang jauh dari jaim dan --yang terpenting-- tidak bertelinga tipis.

Bukan sekali-dua saya menulis kritik pedas ke jajaran Polres Bolmong; sembari tetap berhubungan baik dengan Kapolres dan Wakapolres. Saya mudah menelepon Hisar, demikian pula BBM-an dengan Daru Tyas. 

Dari komunikasi dengan keduanya, saya menyimpulkan Hisar bukan hanya berikhtiar mengayomi dan melindungi masyarakat adat (Mongondow) yang entah apa definisi absahnya menurut versi Amabom. Jajaran Polres Bolmong di bawah kepemimpinan Hisar –-juga beberapa Kapolres lain, lengkap dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing—berupaya mengayomi dan melindungi seluruh masyarakat di Bolmong. Tidak peduli dia berlatar adat Bali, Bugis, Jawa, atau Sangihe. Tidak peduli dia berhimpun di LSM semacam Amabom, aliansi wartawan, perkumpulan pilot bentor, konsersium transgender, atau grup kanak-kanak penggemar cenge-cenge’ di Jalan Amal.

Tentu hanya mengulang-ulang ejekan tidak perlu bila saya menyarankan aneka kelompok itu, resmi atau sekadar judul-judulan, turut pula menganugerahkan gelar untuk Hisar. Tinggal pilih versi mana. Wartawan boleh melekatkan ‘’don para jurnalis’’, Pilot bentor tak apalah melebeli dia ‘’pilot terpuji’’, konsersium transgender melekatkan ‘’cowok paling moi’’, dan grup kanak-kanak mengalungkan ‘’polisi paling diimpikan se-Bolmong’.

Namun, terlepas dari kandungan komedi pemberian gelar kepada Hisar Siallagan, sepak-terjang Amabom harus terus-menerus dikoreksi dengan serius. Organisasi ini, yang sejatinya LSM, dengan tidak tahu dirinya berakting seolah-olah lembaga yang yang mewakili hajat adat orang Mongondow. Apa yang disebut masyarakat adat? Lembaga atau institusi adat? Tokoh adat? Saya berani bertaruh, Ketua Amabom bakal seperti kakatua salah pakan bila dimintai penjelasan ihwal apa itu masyarakat, lembaga atau institusi, dan tokoh adat.

Apa perlu dia ditempeleng dengan literatur yang rinci mengupas tentang kebudayaan, adat, tradisi, dan sekadar kebiasaan sebuah komunitas atau masyarakat? Jemmy Lantong adalah karib saya dari masa kanak, tetapi saya kira otaknya terlalu majal untuk menerima bahwa masyarakat adat bukan sekadar etnis tertentu mendiami wilayah tertentu. Masyarakat adat adalah sebuah tatanan yang dibangun di atas landasan filosofi hingga praktek-praktek praktis yang diakui, diterima, dijalankan, dan dipatuhi.

Maka, masih adakah masyarakat adat di Mongondow? Masih adakah tatanan, tata aturan, hukum, dan turunannya dari masa lalu (yang hampir seluruhnya tidak tertulis) yang diakui, diterima, dijalankan, dan dipatuhi oleh masyarakat yang mendiami Bolmong?

Banyak upacara pernikahan atau kematian dengan aneka pernak-peniknya, misalnya, yang selama ini disebut-sebut sebagai adat Mongondow, sesungguhnya sekadar tradisi atau bahkan kebiasaan. Memangnya lembaga tertentu atau orang banyak dapat memberi sanksi bila ada keluarga Mongondow yang menikahkan anaknya cukup dengan melamar, menghadap penghulu, dan menggelar pesta tanpa repot-repot berurusan dengan serangkaian upacara yang disebut ‘’prosesi adat’’?

Masyarakat adat Mongondow telah lama berubah menjadi sekadar ‘’masyarakat kebiasaan’’.  Boleh diakui, diterima, dijalankan, dan dipatuhi; boleh pula diabaikan saja. Di tengah masyarakat seperti itu, klaim masyarakat adat versi Amabom tak lebih dari tipu-tipu belaka. Sama bahlul-nya dengan mendadak sejumlah tanah di sekitar operasi PT J Resources Bolaang Mongondow (JRBM) tiba-tiba dipatok dengan papan ‘’tanah ulayat’’.

Saya mengetahui papan ‘’tanah ulayat’’ itu dari omelan dan sumpah-serapah seorang kawan yang menelepon. Sekitar dua-tiga bulan lampau, kawan itu mendadak mengontak dan bertanya status Amabom di tengah masyarakat Mongondow dan aksi patok-mematok lahan dengan papan ‘’tanah ulayat’’ yang ‘’katanya’’ dilabeli nama organisasi ini.

Berhubung saya belum pernah melihat papan patok itu, juga karena tahu persis bahwa Amabom cuma LSM yang bergaya sok penting dan merasa seolah-olah lembaga yang disepakati orang masyarakat Mongondow sebagai ‘’penjaga adat-istiadatnya’’, sambil lalu saya menjawab: ‘’Coba tanya pa Amabom apa definisi dan pengertian tanah ulayat? Kalu dorang nintau depe jawaban, toki kasana dengan papan patok.’’

Masyarakat mana yang punya tanah yang diklaim sebagai ‘’ulayat’’ itu? Bagaimana mereka mendapatkan tanahnya? Bagaimana membuktikan bahwa itu adalah tanah ulayat dan yang menguasai memiliki hak absah?

Pertunjukan pemberian gelar adat terhadap Hisar Siallagan masih bisa dirasionalisasi dengan penghiburan bahwa LSM seperti Amabom boleh melakukan apa mau-maunya mereka. Seperti LSM atau institusi lain di Indonesia (semacam MURI) mereka berhak memberikan gelar versinya, sepanjang tidak membawa-bawa masyarakat Bolmong. Toh kebanyakan orang Mongondow juga tidak peduli dan menganggap gelar itu sekadar lucu-lucuan belaka. Bahwa Hisar yang seorang polisi saja masih dipermainkan dengan tipu-tipu seolah-olah, ya, salah dia sendiri yang tidak lebih dahulu lirik kiri-kanan mencari tahu.

Namun, sebagai bagian dari Mogondow, saya sangat keberatan bila Amabom terus-menerus melacurkan masyarakat di Bolmong dan tatanannya demi kepentingan dan alasan yang antah-berantah. Lebih buruk lagi kalau ternyata modusnya demi keuntungan sumir segelintir orang di Amabom, terutama ketuanya.***

Singkatan dan Istilah yang digunakan:

Amabom: Aliansi Masyarakat Adat Bolaang Mongondow; BBM: BlackBerry Messenger; Bentor: Becak Bermotor; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; MURI: Museum Rekor Indonesia; dan Wakapolres: Wakil Kepala Kepolisian Resor.