Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, April 30, 2014

Terpujilah Lagak Bajingan Oknum-oknum Polisi!

CERITA ini bukan rekaan. Peristiwanya masih berlangsung, melibatkan seorang guru (pria), murid (wanita) dan keluarganya, serta segelintir aparat di Reskrim Polres Bolmong.

Tersebutlah saat praktek mata pelajaran KKPI di kelas XI Jurusan Perbankan SMK Negeri 1 Kotamobagu, Sabtu, 26 April 2014, siswi bernama Febri Pandeirot justru asyik memainkan telepon selularnya. Febri kemudian ditegur guru yang bertanggungjawab, Kuswindra Kadayow, bahkan hingga tujuh kali. Sebab tak mengindahkan peringatan, Kuswindra akhirnya mengambil telepon milik Febri dan diletakkan di meja guru.

Febri ternyata bukan satu-satunya murid yang berulah. Ada Meilan Kantohe yang mendapat hukuman sama: telepon selularnya diambil dan ‘’diamankan’’.

Tindakkan Pak Guru tidak keliru. Selain mengganggu proses belajar-mengajar, dua siswi itu sesungguhnya terbukti menerabas aturan sekolah. Menurut informasi yang saya terima (semoga ini tidak keliru), SMK Negeri 1 Kotamobagu punya aturan melarang murid-muridnya membawa telepon selular ke sekolah. Aturan ini, sepengalaman saya, hampir berlaku di mana-mana; sekaligus dengan segala daya dilanggar (bahkan dengan sepengetahuan para orangtua) di mana-mana.

Urusan yang semestinya berakhir di sekolah dengan menyerahkan dua murid itu ke bagian yang menangani kesiswaan, berbelok tak karuan. Berbeda dengan Meilan yang langsung mengambil telepon selularnya setelah praktek selesai; milik Febri (sengaja atau tidak) ikut masuk tas kerja Kuswindra.

Pihak yang mengaku keluarga Febri pun melibatkan diri. Dimulai dari komunikasi antara Kuswindra dan perempuan yang mengaku Tante dari Febri, yang mengirimkan SMS ‘’ancaman (termasuk menyebut ayah Fabri pengusaha kaya di Poigar) hingga orang yang mengklaim Paman dan anggota Reskrim Polres Bolmong. Saling sahut antara Pak Guru dan ‘’Paman anggota Reskrim’’ ini berakhir dengan ‘’perintah’’ bertemu di ruang Reskrim Polres Bolmong.

Minggu petang, 27 April 2014, Kuswindra hadir di ruang Reskrim Polres Bolmong. Tak lama kemudian Febri dan Tantenya tiba. Debat di antara para pihak terjadi, terutama karena Pak Guru ini mempertahankan sikapnya bahwa peristiwa di sekolah selayaknya diselesaikan di internal sekolah. Lagipula telepon selular yang dipersoalkan ada dan dapat diambil oleh Febri ditemani orangtua di bagian kesiswaan, Senin, 28 April 2014.

Dari kronologi peristiwa yang saya terima (tentu dari versi Kuswindra), salah seorang polisi mengkonklusi memang selayaknya masalah ‘’penyitaan’’ telepon selular itu diselesaikan di sekolah. Selesaikah masalahnya? Tidak juga, sebab mendadak seorang polisi masuk dan tanpa ba-bi-bu mempotret Kuswindra. Tak terima dengan perlakukan itu, Pak Guru mendorong sang polisi sembari beranjak keluar ruangan.

Di gang di luar ruangan Reskrim tiba-tiba bogem melayang di pelipis Kuswindra. Selain tonjokan, dia juga menerima toyoran di belakang kepala. Akibat perlakuan polisi yang berlagak preman kampung itu, sebagaimana yang ditulis totabuan.co (http://totabuan.co/2014/04/pelipis-kiri-guru-smk-bengkak-diduga-dipukul-oknum-anggota-polisi/), Rabu, 30 April 2014, pelipis kiri pengajar KKPI ini bengkak.

Keberatan dengan tindak pidana yang terjadi di tempat di mana hukum mestinya ditegakkan dengan adil, Kuswindra melapor Propam Polres Bolmong. Di saat pengaduannya masih dalam proses, Selasa, 29 April 2014, dia mendapat Surat Panggilan Nomor S.Pgl/566/IV/2014/Reskrim dengan status sebagai tersangka penggelapan.

Terpujilah lagak bajingan oknum-oknum polisi itu! Luar biasa perilaku, pengetahuan hukum, dan gerak cepat mereka mengada-adakan celah mempersulit warga yang dianggap berada di posisi lemah. Berapa harga polisi-polisi keparat itu? Saya bersedia turut menanggung sogokan untuk mereka, yang menggunakan kewenangannya seolah-olah kehormatan seragam yang dikenakan hanya melindungi yang berduit, punya ‘’kekuatan’’, dan pengaruh.

Pertama, hanya dengan ‘’perintah’’ SMS Kuswindra bersedia menyambangi Reskrim Polres Bolmong. Bagi saya pribadi, ini bukan tindakan bijaksana. Ada hak apa polisi memanggil seseorang (di hari libur pula), terlebih hanya karena ada anak manja yang tidak tahu diri mengadu ke Pamannya yang ‘’konon’’ anggota Reskrim?

Paman yang polisi, yang tahu aturan dan hukum, semestinya menelisik dengan hati-hatinya masalahnya, menangani dengan kepala dingin, dan bila perlu menegur keponakan yang jelas-jelas melanggar aturan paling normatif di sekolahnya. Kalau kemudian yang dilakukan Kuswindra dianggap perbuatan melawan hukum; selayaknya dia dipanggil sesuai dengan tata cara yang menjunjung hukum.

Saya percaya masih sangat banyak polisi baik yang pantas jadi teladan di negeri ini. Tapi tentu tidak termasuk oknum yang menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya serta para bajingan yang meninju dan menoyor kepala Kuswindra, di kantor polisi pula.

Sepengetahuan saya Kapolres dan Wakapolres Bolmong, AKBP Hisar Siallagan dan Kompol Daru Tyas Wibawa, adalah generasi polisi yang khatam dan serius menegakkan kewajiban korpsnya melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, tanpa memandang pangkat, kedudukan, dan kekayaannya. Adakah kasus ini (utamanya perlakuan tak senonoh terhadap Pak Guru Kuswindra) akan ditangani dengan semestinya, seadil-adilnya, dan seproposionalnya, dengan mengindahkan semua kepatutan aturan dan hukum?

Dua, penyitaan telepon selular muridnya yang dilakukan Pak Guru Kuswindra sangat beralasan. Febri bukan hanya dua kali melanggar aturan sekolah (membawa gadget ke sekolah dan menggunakan saat belajar-mengajar berlangsung), tetapi juga terang-terangan menunjukkan sikap tak hormat. Bahwa dia keberatan karena telepon selular itu dibawa (atau terbawa) guru yang melakukan penyitaan, ajukan keberatan ke pihak sekolah dengan didampingi oleh orangtua atau walinya.

Sukar dibayangkan dampak pembiaran kelakuan bengkok murid-murid yang mengaku anak orang kaya atau putra-putri pejabat dan orang penting. Besok-lusa guru menjadi pihak yang paling tak berdaya dan profesi yang gampang dihinakan dan dikriminalisasi. Febri cuma ‘’katanya’’ anak orang kaya dan keponakan oknum anggota Reskrim. Bagaimana andai dia anak jutawan yang Gubernur dan keponakan Kapolres atau Kapolda? Boleh jadi dua tempurung lutut Guru Kuswindra bolong diterjang timah panas hanya karena menyita telepon selular.

Ketiga, mentersangkakan Kuswindra menunjukkan segelintir oknum di Polres Bolmong memang secara terencana berniat menyalahgunakan kewenangan hukum mereka. Apa alasannya? Begitu tidak adanyakah kesibukan di Reskrim Polres Bolmong hingga mereka mengambil alih masalah yang pertama-tama dan utama semestinya diselesaikan di tingkat SMK Negeri 1 Kotamobagu. Kalau Febri dinilai melanggar aturan dan disiplin sekolah, dia layak menerima sanksi. Demikian pula, bila sebagai guru Kuswindra melenceng dari tugasnya, dia pun harus menanggung hukuman.

Dan keempat, dengan perilaku Febri, keluarganya, dan oknum-oknum di Polres Bolmong, SMK Negeri 1 Kotamobagu berhak mengembalikan dia ke keluarganya untuk dididik di tempat lain yang lebih baik dan sesuai selera mereka: ‘’orang kaya yang juga punya pengaruh’’. Bahkan barangkali dia lebih tepat disekolahkan di Reskrim Polres Bolmong, yang tentu tak mengharamkan murid bermain telepon selular sesukanya di saat belajar-mengajar sedang berlangsung.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; Bolmong: Bolaang Mongondow; Kapolres: Kepala Kepolisian Resor; KKPI: Keterampilan Komputer Pengelola Informasi; Kompol: Komisaris Polisi; Polres: Kepolisian Resor; Propam: Profesi dan Pengamanan; Reskrim: Reserse Kriminal; SMK: Sekolah Menengah Kejuruan; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan Wakapolres: Wakil Kepala Kepolisian Resor.

Friday, April 25, 2014

Ironi Don Quixote dan Sancho Panza di Bolmong

SIDAK Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, Kamis (24 April 2014), memergoki  Kantor BPMD dan BNK yang nyaris melompong. Situs berita totabuan.com, http://totabuan.co/2014/04/bapati-bolmong-kesal-dua-pintu-kantor-skpd-ditutup/  (judulnya pun salah karena mencantumkan ‘’Bapati’’), menulis, kesal dengan ketak-disiplinan pimpinan dan stafnya, Bupati menutup pintu (utama) dua kantor SKPD ini dan menyerahkan kuncinya pada Kepala Satpol PP yang mendampingi saat inspeksi berlangsung.

Di kabupaten/kota lain, terlebih di tingkat provinsi, tindakan seorang Kepala Daerah seperti yang dilakukan Bupati Salihi itu, bakal membuat gemetar pimpinan SKPD dan stafnya. Tidak demikian di Bolmong, terlebih karena Bupati tak punya kejelasan tindakan lanjutan, setidaknya seperti yang dicerminkan dari pernyataannya, ‘’Senin pekan depan saya akan melakukan rapat evaluasi bersama Baperjakat. Dan tingkat kehadiran pejabat dipastikan akan mendapat catatan.’’

Pejabat dan PNS yang tidak disiplin sekadar mendapat catatan? Sikap macam apa itu?

Kurang bertumpukkah catatan yang dikumpulkan Bupati hingga dari waktu ke waktu? Bukankah sejak menduduki jabatan Kepala Daerah bersama Wabup Yani Tuuk pada 2011, kerjanya hanya sidak dan sidak? Atau karena catatan-catatan sidak Bupati Salihi, terutama yang dapat ditelusuri dari publikasi media, cuma memproduksi himbauan serta penegasan perlunya penegakan disiplin di jajaran birokrasi Pemkab Bolmong; dan karenanya mudah terlupa dan diabaikan?

Kemanakah sanksi yang mestinya ditimpakan di atas kepala dan pundak PNS yang berulah sesuka, seenak, dan semaunya sendiri? Saya mungkin melewatkan informasinya, tapi adakah umum punya rekaman dan ingatan Bupati Salihi pernah mengambil tindakan tegas terhadap jajarannya, yang membuktikan dia serius terhadap pernyataan (terlebih instruksi) di posisi sebagai Kepala Daerah?

Di era Bupati Salihi-Wabup Yani, birokrat dan birokrasi di Bolmong memang liar dan tak terkendali. Pemerintahan di daerah ini bagai bandul yang berpindah dari satu ektrim ke ektrim yang lain. Di bawah rezim Bupati Marlina Moha-Siahaan, para birokrat bagai simpanse dalam kerangkeng. Lalu setelah 10 tahun yang mengekang, terutama dorongan dan fantasi menerabas disiplin, profesionalisme, dan kepatutan perilaku PNS, mereka mendadak bebas se bebas-bebasnya.

Kita, orang Mongondow –dan terutama warga Bolmong— pun menyaksikan kerusakan sistem, tata laksana, tata cara, dan perilaku para birokrat yang belum pernah terjadi di seluruh Bolmong Raya. Hampir semua PNS berlomba memanfaatkan kenaifan, keluguan, ketidak-tahuan, dan ketidak-mengertian (khususnya) Bupati dengan berbagai cara dan trik. Tak mengada-ada bila patut diduga sebagian elit birokrasi Bolmong yang berada di lingkaran Bupati bahkan terang-terangan menipu dan menjerumuskan atasannya.

Pembobolan dana Rp 12 miliar di APBD yang kini tengah ditelisik Polres Bolmong adalah contoh paling aktual bagaimana Bupati dengan sengaja ditelikung jajarannya. Siapa-siapa bangsat yang mempermainkan duit negara itu, biarlah proses hukum yang membuktikan. Hanya saja, omong kosong belaka (sebab itu saya menyakini andai yang bersangkutan lepas, pasti ada duit dan jual-beli hukum yang terjadi) jika Kepala DPPKAD (ketika itu) Amri Arif tidak terlibat atau minimal tahu A-B-C-D dugaan penyelewengan ini.

Informasi sepak-terjang, tidak kompeten, sekaligus kelihaian Amri Arif mendapatkan dan mempertahankan jabatan basah yang disandangnya tidaklah asing buat saya. Itu sebabnya, saya justru heran mengapa Bupati baru mencopot dia setelah hampir tiga tahun petualangannya dengan wewenang terhadap APBD dan uang negara lainnya yang dikucur ke Bolmong. Lebih takjub lagi karena yang bersangkutan secara implisit berani melakukan perlawanan sebagaimana yang dipublikasi pekan lalu di totabuan.co, Dicopot dari Jabatan, Amri Arif Minta Kembalikan ke BPKP (http://totabuan.co/2014/04/dicopot-dari-jabatan-amri-arif-minta-kembalikan-ke-bpkp/).

Enak betul permintaannya agar segera dikembalikan ke institusi asal, BPKP. Amri Arif sepantasnya ‘’diparkir’’ terlebih dahulu sebagai Staf Ahli Bupati sembari menunggu proses pengungkapan dugaan penyelewengan dana Rp 12 miliar yang menyeret namanya. Dia juga mesti turut bertanggungjawab terhadap apapun hasil audit pengelolaan keuangan Pemkab Bolmong, yang tampaknya bukan kejutan bila kembali (tiga kali berturut) mendapat penilaian disclaimer.

Amri Arif hanya salah satu contoh birokrat yang piawai memanupulasi kenaifan, keluguan, ketidak-tahuan, dan ketidak-mengertian Bupati. Sekali pun begitu, dia masih membungkus dengan rapih hingga nyaris tak mengemuka di hadapan publik. Beda dengan Kepala Satpol PP, Linda Lahamesang, yang super over acting dan bahkan melampaui definisi loony. Menyebut nama salah satu selebriti utama di sekitar Bupati Bolmong ini, sebagian pembaca dengan kritis pasti menduga saya sedang mengubar sentimen negatif terhadap yang bersangkutan.

Begini, Pembaca, tulisan ini diawali dengan peristiwa sidak Bupati Salihi ke kantor-kantor SKPD dengan (antaranya) didampingi Kepala Satpol PP. Mengekornya Linda Lahamesang di bokong Bupati, terkait kedinasan atau tidak, bagi saya kian identik dengan pengambaran sastrawan Miguel de Carvantes Saavedra untuk Don Quixote dan Sancho Panza (The Ingenious Gentleman Don Quixote of La Mancha/l ingenioso hidalgo don Quijote de la Mancha, 1605, 1615) yang sungguh melipur lara para pembacanya.

Di foto sidak yang dipajang situs berita totabuan.co, tampak Linda Lahamesang gagah mengenakan pakaian lapangan loreng (patut diduga jenisnya adalah loreng Kopasus), lengkap dengan tanda pangkat dan emblem-emblem kecakapan di dada. Sejak kapan Satpol PP berhak mengenakan loreng (Kopasus)? Apa nanti kalau Bupati sidak ke Dinas Perikanan, Kepala Satpol PP yang mendampingi bersulih pula dengan seragam Laksamana? Mungkin perlu pula disediakan uniform penerbang tempur supaya dia tidak kagok mengantar-jemput Bupati di Bandara Sam Ratulangi. Coba cermati pula tanda pangkat serta emblem-emblem di dadanya, sudah tepatkah atau sekadar karang-karangan yang bahkan tergolong penipuan dan pelanggaran hukum?

Lampiran Peraturan Mendagri Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pakaian Dinas, Perlengkapan dan Peralatan Operasional Satuan Polisi Pamong Praja lugas (dilengkapi gambar) menjelaskan hingga detil apa yang wajib dan boleh dikenakan Satpol PP, termasuk Kepala Satuannya. Pakaian yang dikenakan Linda Lahamesang saat mendampingi Bupati melakukan sidak, 100 persen keliru dari kepala hingga ujung kaki; melanggar disiplin; menerabas Peraturan Mendagri; dan bahkan tergolong tindak pidana. Yang dia kenakan bukan seragam Satpol PP, melainkan kostum badut sirkus bagian aksi perang-perangan.

Badut Linda boleh menipu, memanipulasi, atau menduduki kepala Bupati, Wabup, Sekda, Bagian Hukum, bahkan inspektorat, tetapi publik di Mongondow tidaklah bodoh. Dia adalah Sancho Panza yang berlagak jadi kesatria, yang tanda pangkatnya pun patut digugat. Peraturan Mendagri bilang: Satu teratai untuk III/d, dua teratai untuk IV/a, dan tiga teratai untuk IV/b. Apa golongan kepegawaiannya saat ini?

Pada pengidap kelainan jiwa itulah Bupati Bolmong mengamanatkan wewenang turut menegakkan disipin PNS, aturan, serta ketatalaksanaan pemerintahan dan kemasyarakatan di Bolmong. Tidak heran bila birokrasi dan birokrat di daerah ini bertemperasan bagai kambing lepas kandang. Musababnya, Bupati –sadar atau tidak-- meluputkan gajah pelanggaran di pelupuknya sendirinya. Lalu disiplin apa yang dia harapkan dari jajaran lain di bawahnya?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; BNK: Badan Narkotika Kabupaten; BPKP: Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan; BPMD: Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa; Bolmong: Bolaang Mongondow; DPPKAD: Dinas Pengelolaan Pendapatan, Keuangan, dan Asset Daerah; Mendagri: Menteri Dalam Negeri; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PNS: Pegawai Negeri Sipil; PP: Pamong Praja; Satpol: Satuan Polisi; Sidak: Inspeksi Mendadak; Sekda: Sekretaris Daerah; SKPD: Satuan Kerja Perangkat Daerah; dan Wabup: Wakil Bupati.

Tuesday, April 22, 2014

Kebodohan Belum Berujung di Dumoga

PERTIKAIAN antar warga Desa Ikhwan dan Doloduo, Dumoga, Kabupaten Bolmong, meletus Sabtu malam (19 April 2014). Dari yang saya baca di sejumlah situs berita, rusuh ini dipicu ulah mabuk-mabukkan sejumlah anak muda kurang kerjaan, lalu merembet jadi tawur massal. Di saat yang sama satuan Brimob yang usai melakukan pengamanan pleno KPU Bolsel melintas di TKP.

Entah harus disebut apa kondisi itu: api bertemu bensin, atau bensin bersua kobaran. Yang jelas peluru berhamburan dan korban pun jatuh.

Ada dua fakta yang lalu jadi konsumsi umum: Pertama, versi kelompok yang mengaku korban, yang beredar di media-media sosial –termasuk BC Sehan Ambaru yang mengklaim sebagai juru bicara keluarga korban-- bahwa polisi bertindak semena-mena. Melentuskan bedil tanpa pandang bulu. Enam orang mesti digotong ke RS. Maka patut dituduh ada pelanggaran HAM berat. Dan kedua, sebagaimana keterangan Kapolres Bolmong, AKBP Hisar Siallagan, Minggu (20 April 2014), polisi bertindak tegas demi menggendalikan massa yang kalap. Ajudan Kapolres bahkan terkena peluru senapan angin.

Dengan simpati dan empati terhadap para korban yang jatuh, dua versi yang mengemuka itu sepantasnya diterima dengan pandangan kritis yang sama. Versi pertama, khususnya ‘’kampanye’’ bahwa polisi melakukan pelanggaran HAM berat, menurut hemat saya adalah provokasi pahlawan kesiangan. Bertahun-tahun pertikaian antar komunitas, antar desa, di Dumoga tak kunjung terselesaikan. Dia hanya mereda ketika aparat berwenang turun tangan dengan cara melampaui tegas.

Seingat saya, demi menjaga stabilitas dan keamanan, ada satu masa TNI mesti dikerahkan membantu polisi di wilayah ini. Jangan tanya lagi berapa banyak korban jiwa dan harta benda yang jatuh karena rusuh yang umumnya dipicu urusan-urusan kecil: mabuk-mabukkan berujung perkelahian, penghadangan dan pemerasan, dan sejenis kriminalitas kelas teri lainnya. Tatkala dua kelompok massa berhadap-hadapan dan memakan korban, kemana otak HAM PNS yang tetap gatal mengaku-ngaku aktivis seperti Sehan Ambaru?

Korban yang jatuh, terlebih yang terkena peluru aparat (entah sekadar terserempet hingga yang telak menghujam daging), pantas mendapat keadilan dengan diusut tuntasnya peristiwa ini. Tentu dengan memilah siapa korban yang tersebab memang ikut serta di kerumunan massa yang saling merengsek; dan mana yang dihajar peluru samata karena salah sasaran. Masalahnya, setidaknya yang tergambar di media, para korban tidaklah dilanggar timah panas saat meringkuk di balik selimut; selonjoran menonton televisi; atau sedang khusyuk sholat atau doa malam.

Mereka, sekali pun berjarak (demikian pengakuan yang saya simak di situs berita) cukup jauh dari kelompok yang sedang berhadap-hadapan dengan parang terhunus, seliweran panah wayer, dan tembakan senapan angin, semuanya berada di luar rumah. Risiko dari terlibat atau sekadar menonton bentrok massa adalah turut terseret. Kalau bukan akhirnya menjadi pelaku, ya, jatuh sebagai korban.

Sebaliknya, versi polisi bahwa tembakan diletuskan karena massa yang bertikai tak lagi terkendali, mulanya tak saya telan mentah-mentah. Satuan yang secara kebetulan memergoki rusuh adalah Brimob yang memang dilatih dan terlatih sebagai pasukan pemukul; bukan jenis polisi yang terampil menangani huru-hara dengan pendekatan persuasif. Dugaan saya, begitu menyua massa yang saling lantak, senjata dikokang dan peluru disemburkan. Terlebih mereka sedang dalam kondisi lelah setelah berhari-hari ditugaskan di mengawal pelaksanaan Pemilu.

Kombinasi penat jiwa dan raga, sejarah rusuh yang kunjung padam di Dumoga, serta massa yang jelas-jelas mengobarkan gangguan keamanan dan ketertiban, efektif memantik tindakan tanpa kompromi dari Satuan Brimob. Simpulannya, tak berlebihan bila tak ada cukup tindakan penenangan terhadap massa yang beringas sebelum peluru bicara.

Semasa masih berhobi demonstrasi, dua jenis aparat yang membuat kuduk bergidik adalah Brimob dan TNI (tak peduli dari angkatan dan satuan mana): Mereka biasanya menggebuk dulu baru bertanya. Beda dengan aparat kepolisian yang lebih terlatih dengan pendekatan yang tak semata-mata tegas (misalnya) dari satuan Sabhara, Intel, bahkan Reserse, yang umumnya bertanya dulu baru melayangkan tempeleng atau bogem.

Namun, Senin siang (21 April 2014), saya menganulir konklusi itu tatkala menerima kabar dari seorang kawan jurnalis yang sedang berada di TKP, bahwa bentrok Ikhwan dan Doloduo) berlanjut lagi. Tanpa peluru polisi, korban tak henti berjatuhan. Setidaknya, sebagaimana yang dipublikasi situs totabuan.co (http://totabuan.co/2014/04/dua-kelompok-masa-kembali-saling-serang-empat-orang-kena-senapan-angin-dan-panah-wayer/), empat orang lagi jadi korban kebodohan massal yang belum berujung di Dumoga akibat hujaman panah wayer dan pelor senapan angin.

Kemana akal sehat dan kewarasan warga dua desa ini? Tokoh-tokohnya, para orang tua, termasuk aktivis yang biasanya gempita bersuara? Masak sih khalayak yang lebih luas dari sekadar dua kelompok yang senang bertikai kalah pengaruh dan kekuatan? Atau memang warga di dua desa ini lebih suka menyelesaikan masalah paling sepele sekali pun dengan tebas-tebasan, panah-panahan, tembak-tembakan (dengan senapan angin), dan bakar-bakaran? Kalau begitu adanya, yang pantas dilakukan otoritas dan aparat berwenang adalah mengungsikan sesiapa yang tidak berniat berkonflik dan selebihnya mempersilahkan yang berkehendak bunuh-bunuhan untuk saling menghabisi.

Saya yakin orang banyak di Bolmong Raya sudah muak dan sakit perut dengan kelakuan segelintir orang yang gemar berhuru-hara itu. Kita juga tak habis pikir mengapa tawuran massal antar desa telah menjadi semacan budaya (mirip pesta panen) yang kian dilestarikan di wilayah Dumoga. Sama halnya dengan tanda-tanya seberapa serius aparat berwenang mengusut tuntas peristiwa sejenis, menyeret dalang dan aktor-aktornya ke bui dengan hukuman maksimal agar ada efek jera permanen. Pula, sejauh mana aparat sungguh-sungguh menjamin keamanan dan ketertiban dengan tak segan-segan menembak di tempat setiap perusuh yang tak kapok diperingatkan.

Akan halnya ancaman pelanggaran HAM, memangnya cuma orang-orang tak berotak itu yang punya hak asasi?

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

AKBP: Ajun Komisaris Besar Polisi; BC: Broadcast; Bolmong: Bolaang Mongondow; Bolsel: Bolaang Mongondow Selatan; Brimob: Brigade Mobil; HAM: Hak Asasi Manusia; Kapolres: Kepala Kepolisian Resort; KPU: Komisi Pemilihan Umum; Pemilu: Pemilihan Umum; PNS: Pegawai Negeri Sipil; RS: Rumah Sakit; TKP: Tempat kejadian Perkara; dan TNI: Tentara Nasional Indonesia.

Friday, April 18, 2014

Gelar Pahlawan untuk Tukang Tipu, Maling, Copet, dan Garong

HASIL PSU di TPS V Kelurahan Mongkonai, KK, Sabtu (12 April 2014), saya ketahui  di hari yang sama dari kabar yang tiba saat menghidupkan telepon di Bandara Soekarno-Hatta. Kendati turut bersuka sebab Caleg Nomor 9 PAN Dapil Kotamobagu Barat untuk DPR KK (yang memang secara pribadi dekat dengan saya), Anugrah Begie Chandra Gobel, meraih suara signifikan di TPS ini, saya tak langsung merespons informasi itu.

Lelah yang menggayuti punggung, berlanjutnya diskusi beberapa detil pekerjaan dengan Direktur Bisnis dan Administrasi A+ CSR Indonesia, Reza Ramayana (yang semobil dengan saya dari bandara ke rumah di Jakarta Selatan), ditambah menyempatkan diri mengunggah tulisan di blog ini, membuat saya baru mengontak adik-adik pada Minggu pagi (13 April 2014). Itu pun tidak spesifik tentang PSU, melainkan perkiraan hasil Pemilu di Dapil Kotamobagu Barat berdasar catatan yang  mereka himpun dari para relawan yang memantau perhitungan suara di TPS-TPS.

Kamis, 17 April 2014, di tengah perjalanan antara Balikpapan-Samarinda, BBM saya menerima protes dari seorang kawan jurnalis karena pekan lalu berada di Kotamobagu tapi menyembunyikan diri. Salah satu adik kandung saya bahkan bertanya, ‘’Ada di Mongkonai katu’ waktu PSU?’’ Mengingat saya bukan anggota komunitas hantu, jin, atau demit yang punya kemampuan berpindah tempat hanya sekejap mata, kebingunganlah yang menggantung di kepala.

Saya baru mengerti konteks protes dan pertanyaan itu setelah beberapa menit kemudian menerima pesan berisi tulisan Pitres Sombowadile, Hantu Sok Tahu Katamsi, yang tampaknya merespons Tragedi Kilah Akalbusyukus (Sabtu, 12 April 2014) dan Ideologi ‘’Salesman’’ Obat Cacing (Minggu, 13 April 2014) yang berturut saya unggah. Dengan tetap menjaga niat tak lagi memperpanjang debat tak bermutu dengan Pitres, saya menyimak tulisannya dan berhenti di bagian tuduhan pekan lalu saya (seolah-olah) berada di Kotamobagu dan sibuk dengan PSU di TPS V Kelurahan Mongkonai.

Saya sungguh iba dengan Pitres. Dia gelap mata dan tak mampu membungkus nafsu membabi-buta meruntuhkan kredibilitas saya, hingga memamah-biak informasi apa saja yang sekiranya dapat dijadikan senjata menyudutkan. Pit, sebagai orang yang pernah dianggap kawan (saya sendiri tetap menempatkan Pitres sebagaimana karib yang lain), saya sekadar mengingatkan: Tolong jangan persamakan saya dengan Anda yang terbiasa berdusta, manipulatif, senang mengklaim dan mengaku-ngaku, serta syur dengan duga-duga dan spekulasi.

Beberapa hari sebelum Pemilu hingga tulisan ini dibuat, hanya sesekali saya menengok urusan politik praktis. Saya tenggelam dengan pekerjaan yang mengharuskan menempuh perjalanan panjang dan menyita waktu, berpindah-pindah tempat dengan aneka moda transportasi. Dengan rendah hati saya mengakui, saya sedang disibukkan urusan perut, supaya tidak menadahkan tangan dan bergantung pada ‘’kebaikan hati’’ tuan dan puan politisi yang mesti di-services bahkan dengan menggadaikan harga diri dan ideologi.

Tak lama setelah BBM berisi tulisan Pitres, dua nomor telepon saya dibanjiri informasi yang sama, lengkap dengan dukungan agar bereaksi sama kerasnya. Tak hanya BBM dan SMS, beberapa kawan menelepon, termasuk yang pernah terlibat di Tabloid KABAR, menyampaikan pendapat dan komentar berkaitan dengan ‘’kekalapan’’ Pitres. Tanggapan saya pendek saja: ‘’Biar jo. Kita toh nyanda rugi apa-apa. Kalu karna Pitres pe tulisan lalu orang so nimau’ bergaul deng kita, trus apa depe masalah? Dia katu’ lagi cari makang.’’

Lagipula kalau mendiskreditkan saya membantu kawan mendapatkan gantungan hidup atau tetap dipekerjakan; tidak kehilangan ego dan kesombongan; tegak harga diri dan perasaan superior-nya, saya benar-benar telah mengikhlaskan. Saya sudah membuktikan Pitres memerlukan ‘’tanah air’’ di Mongondow dan dukungan orang-orang yang masih dapat dia kais simpati dan kekagumannya demi urusan asap dapur dan perut. Termasuk dengan berganti-ganti ‘’kulit’’ bagai bunglon. Selebihnya, tidak ada yang personal. Kalau dia kehilangan fokus lalu sibuk menyerang saya pribadi, orang boleh mengecek siapa yang punya teman abadi dan siapa yang tidak.

Percakapan via telepon dengan (saya terpaksa menyebut nama) Iverdixon Tinungki dan Reiner Ointoe, menyadarkan saya agar sekali lagi menulis ihwal polemik yang sudah jauh melenceng dengan Pitres. Namun, tulisan ini tidak ditujukan pada Pitres Sombowadile, melainkan sejumlah orang yang tahu duduk-soal yang dipercakapkan, yang dengan baik hati menyampaikan simpati terhadap saya.

Pertama, tentang penggunaan kata ‘’tragika’’. Tulisan yang menjadi isu bukanlah puisi atau sejenisnya. Pembaca yang paham berbahasa Indonesia yang baik dan benar, apalagi ahli bahasa (setidaknya mereka yang lulusan jurusan Bahasa Indonesia), tahu persis kebenaran koreksi saya. Bahwa ada pihak yang memaknai berbeda, urusan yang bersangkutanlah. Yang terang-benderang saja dikabur-kabur dan dibelit-belitkan, apalagi yang abu-abu dan samar.

Kedua, data, latar dan motif Pitres menulis PAN dan Tragika Yasti. Hasil survei yang dirilis lembaga-lembaga sigi (politik) sepanjang Januari hingga Maret 2014 sangat dinamis, berbeda, bahkan membingungkan kalangan awam. Tetapi seorang analis atau konsultan politik tentu punya pengetahuan dan kehati-hatian dalam mengkonklusi hasil survei. Lain soal kalau yang mengaku-ngaku itu ternyata sekadar keripik kentang.

LSI, misalnya, sebagaimana dikutip merdeka.com, Rabu (2 April 2014), berdasar survei 26-26 Maret 2014 di 33 provinsi menggunakan multistage random sampling dengan 1.200 responden, meramalkan PAN hanya mendapatkan 3,0 persen suara. Namun, 3,0 persen tidaklah benar tanpa mengindahkan ‘’peringatan’’ bahwa margin of error surveinya berada di kisaran 2,9. Artinya, 3,0 persen bisa berarti hanya 0,1 persen (yang jelas tidak masuk akal) atau justru 5,9 persen.

Pitres boleh berkelit dan berkilah dengan merujuk angka-angka lembaga survei mana pun. Tapi tak jujur mengemukakan margin of error, dia hanya menyampaikan sebagian kebenaran; sekaligus menyembunyikan kebenaran lain yang lebih mustahak dan penting bagi kesadaran politik khalayak. Dengan begitu analisisnya tentu cuma konsumsi tipu-tipu.

Sama dengan kepengecutan mengakui dia adalah tokoh utama tim pendukung Didi Moha saat menulis artikel ‘’mengecilkan’’ Yasti Soepredjo Mokoagow. Harus dinilai apakah perilaku seperti ini? Tokoh dengan kredibilitas dan integritas yang layak diberi dua jempol? Bila demikian adanya, sekalian saja kita beri gelar pahlawan pada para tukang tipu, maling, copet, dan garong.

Ketiga, saya baru tahu beberapa hal yang selama ini samar-samar tentang Tabloid KABAR. Tampaknya memang ada perbedaan ingatan antara fakta masa lalu dan apa yang dipercayai hari ini oleh satu orang. Ingatan saya –juga teman-teman lain yang berkontak dua hari terakhir—tidak ada yang berbeda. Contohnya, hanya ada tiga nama yang disepakati di akte institusi yang menerbitkan KABAR karena (sebagaimana alasan utama yang dikemukakan Pitres waktu itu) yayasan di mana tabloid ini berinduk ‘’terafiliasi’’ dengan gerakan gereja. Hal lain, mundurnya Reiner Ointoe (bersama Soewiryo Ismail) bukan karena saya; tetapi karena ada kutu busuk dalam pengelolaan manajemen dan keuangan.

Demi menghindari kesilapan, Jumat pagi (18 April 2014) saya sempat bertanya pada Reiner, apakah benar penyebab dia meninggalkan KABAR karena perbedaan pendapat teknis (keredaksian) dengan saya? Jawabannya, diiringi tawa lebar, ‘’Sapa yang bilang itu? Torang memang banyak berbeda pendapat. Bakalae lei. Tapi bukang itu depe soal.’’ Reiner juga mengkonfirmasi peristiwa di LBH Manado, di mana saya pernah dipersoalkan oleh sejumlah aktivis, bahwa memang semata karena kedekatan dengan seorang tokoh yang dianggap mengancam ‘’perjuangan’’ kelompok.

Selebihnya, saya enggan menggali-gali jasad dan hantu masa lalu. Bila orang-orang yang dulu pernah seiringan, berkarib dengan segala perbedaan pendapat dan laku didudukkan bersama-sama dan semua iblis-iblis yang dianggap sebagai ganjalan dibeber, saya yakin bukan saya yang malu dan kehilangan harga diri. Orang-orang yang disebut-sebut Pitres di seluruh tulisannya masih hidup, mudah dihubungi, dan tak akan menjadi pembela bila saya memang manipulator dan pembohong tak berintegritas.

Dan keempat, saya tak berminat berlebar-lebar ke urusan dengan pihak yang tak relevan seperti Bupati Bolmong Salihi Mokodongan atau institusi lain di mana saya dikait-kaitkan dan diulas oleh Pitres seolah-olah dia lebih tahu dan terlibat langsung (sebagaimana halusinasi saya terlibat mengurusi PSU di TPS V Mongkonai). Sikap saya sebagai orang Mongondow tegas dan diupayakan konsisten: Mengkritik yang pantas dicela, mengapresiasi yang layak diakui. Demikian pula, sebagai pribadi saya tak henti berikhtiar dengan kepala dingin dan akal sehat, sekali pun itu bertentangan dengan pendapat kawan seiring. Putusan pribadi ini tak akan dibuka di khalayak yang lebih luas kecuali orang per orang yang terkait langsung mengundang umum terlibat.

Saya merespek setiap orang, hubungan-hubungan dari masa lalu dan kini, dengan membedakan mana yang publik dan private. Mana yang layak diumbar dan mana yang sebaiknya ditutupi. Sebab itu, sekali pun mudah mengisahkan sisi-sisi gelap Pitres, saya membatasi hanya sampai di urusan yang terukur dan terkait dengan sepak terjang publiknya. Semoga saya tidak pernah tergelincir menjadi kalap, merongrong kredibilitasnya semata karena rivalitas yang tak perlu. Semata demi mempertahankan kepentingan sesaat, sesuatu yang rapuh, dan sumir.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Caleg: Calon Legislatif; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; KK: Kota Kotamobagu; LBH: Lembaga Bantuan Hukum; LSI: Lingkaran Survei Indonesia; PAN: Partai Amanat Nasional; PSU: Pemungutan Suara Ulang; SMS: Short Message/Pesan Pendek; dan TPS: Tempat Pemugutan Suara.