Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, February 27, 2014

Gayus Lumbuun, Sehan Lanjar, dan Tanggungjawab Pidana Media

HAKIM Agung Gayus Lumbuun diterjang tudingan tak sedap. Di tayangan Hitam Putih, Selasa (18 Februari 2014), yang dipandu Deddy Corbuzier dan disiarkan Trans7, dia diduga menerima Rp 700 juta dari artis Julia Peres agar MA segera menetapkan hukuman penjara untuk seterunya, artis dangdut Dewi Persik. Tudingan ‘’makan sorok’’ itu bahkan disertai dengan dipertunjukkannya bukti transfer dan gambar Gayus Lumbuun sebagai ilustrasi.

Di kalangan penggemar infotainment, perseteruan Julia Perez-Dewi Persik sempat menjadi isu panas. Dua artis yang kerap bikin sensasi ini terlibat cakar-cakaran, saling lapor ke pihak berwenang, dan akhirnya sama-sama dihukum kurungan penjara. Julia Perez lebih dahulu mencicipi jeruji besi, disusul Dewi Persik yang eksekusinya dilakukan Kamis, 13 Februari 2014 lalu, setelah Majelis Hakim MA (di mana Gayus Lumbuun menjadi salah satu anggotanya) mengetuk hukuman tiga bulan penjara.

Yakin tak menerima suap, Gayus Lumbuun bereaksi keras. Dia bukan hanya membantah dugaan itu, tetapi bahkan melaporkan Trans7 dan Deddy Corbuzier ke Mabes Polri, Rabu (26 Februari 2014). Menurut Hakim Agung yang juga Ketua IKAHI Cabang MA ini, apa yang dia lakukan adalah upaya agar pihak yang merekayasa tuduhan suap itu dapat diungkap tuntas.

Dikutip situs berita Vivanews (Deddy Corbuzier Minta Maaf, Ini Tanggapan Gayus Lumbuun, Kamis, 27 Februari 2014, http://nasional.news.viva.co.id/news/read/484748-deddy-corbuzier-minta-maaf--ini-tanggapan-gayus-lumbuun), Gayus Lumbuun mengemukakan, "Saya juga menyadari acara Hitam Putih bukan berita media, tapi ekspresi jurnalistik, infotainment. Oleh karena itu, saya tidak membawa ke KPI, tapi langsung pada tanggung jawab pidana.’’ Dia juga menegaskan, ‘’Saya hanya mengingatkan media berhati-hati menayangkan sesuatu yang sumbernya tidak valid atau janggal. Kemudian, memperhatikan kebenaran dari bukti yang disampaikan.’’

Langkah Gayus Lumbuun sepintas adalah reaksi normal dari seseorang yang memahami hukum dan mekanismenya, yang disudutkan tanpa bukti kuat (bahkan direkayasa). Namun, di konteks Indonesia, di mana media (terutama televisi dengan aneka infotainment dan talk show yang kerap kebablasan), tindakannya mengandung dua pesan penting: Pertama, media memang perkasa, tetapi bila Anda benar, jangan segan dan takut bersikap tegas. Dan  kedua, berita yang disiarkan oleh media harus dibuat dengan proses yang ketat dan menjunjung standar tinggi jurnalistik; terlebih lagi yang bukan berita tetapi ‘’disifati’’ sebagai berita.

Mengingat Hitam Putih bukanlah produk acara yang menggunakan pendekatan dan standar jurnalistik, baik Trans7 maupun Deddy Corbuzier boleh bilang tak berada di bawah lindungan UU Pers dan KEJ. Maka tepat adanya Gayus Lumbuun menuntut tanggungjawab pidana dari institusi penyiaran ini dan host Hitam Putih.

Kasus Gayus Lumbuun versus Trans7 dan Deddy Corbuzier kurang lebih sejalan dengan apa yang kini dihadapi Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang menjadi korban berita berbayar –lebih dikenal sebagai bbi atau bbk-- yang di publikasi di Harian Radar Bolmong, Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir, Jumat (21 Februari 2014). Gara-gara publikasi ini Bupati Boltim dituding melakukan penistaan terhadap agama dan sakralitasnya; dan bahkan sudah dilaporkan ke Polres Bolmong oleh pihak yang mengaku sebagai salah satu organisasi aliansi umat beragama.

Menghadapi gunjang-ganjing publikasinya, selama tiga hari berturut (Senin-Rabu, 24-26 Februari 2014) koran yang berada di bawah payung MPG itu memang mengumumkan permintaan maaf (walau mulanya tidak termasuk pada Bupati Boltim) dengan mengakui kutipan yang menyeret Sehan Lanjar tidak jelas sumbernya. Pengakuan di permintaan maaf ‘’tipu-tipu’’ ini  tidak disertai maklumat pencabutan berita atau kutipannya. Dengan kata lain, sumber berita berbayar itu diakui tidak jelas; tetapi beritanya sendiri tetap ‘’dianggap’’ sah sebagai bagian dari publikasi Radar Bolmong.

Perkembangan terkini, sebagaimana yang dilansir Kontraonline (Sehan Janji Laporkan Radar Bolmong Senin Depan, Kamis, 27 Februari 2014, http://kontraonline.com/2014/02/sehan-janji-laporkan-radar-bolmong-senin-depan/), tampaknya Bupati Boltim telah menyadari, bila tidak menempuh upaya hukum, dia bakal dua kali jadi korban. Sudah dipublikasikan sebagai penista agama dan sakralitasnya, coba-coba pula diperdaya dengan permintaan maaf pura-pura dari Radar Bolmong. Selain itu, Sehan Lanjar dan publik umumnya juga bakal tak mendapatkan kejelasan tanggungjawab pidana koran ini dan oknum-oknum (termasuk dalang) di balik  publikasi berita berbayar itu.

Sebagai isu yang menjadi sorotan warga Mongondow (dan lebih luas lagi), perkembangannya terus dicermati dengan saksama. Informasi yang mulanya sekadar dugaan dan spekulasi, perlahan-lahan terkuak dan terkonfirmasi. Misalnya, hampir dipastikan pencantuman inisial salah satu wartawan di berita berbayar itu sama sekali tanpa sepengetahuan yang bersangkutan. Dan bahwa berita berbayar itu dimuat atas pesanan salah seorang politikus di Boltim dengan imbalan (konon) hanya Rp 500 ribu.

Informasi-informasi itu mendudukkan Radar Bolmong di posisi bagai ‘’tikus terjepit di cakar kucing’’. Bila Pemred dan jajarannya mencari perlindungan UU Tentang Pers dan KEJ; telanjang bulat mereka pasti bersalah. Pasal 6 KEJ menyebutkan: ‘’Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.’’ Sebaliknya, melempar tanggungjawab dengan kilahan berita berbayar sama dengan iklan; dan karenanya menjadi tanggungjawab pihak yang mengeluarkan dana agar materinya dipublikasi, juga amat sangat keliru. Berita berbayar itu dilengkapi inisial wartawan yang bertanggungjawab dan (ini yang terpenting) sama sekali tidak dinyatakan sebagai iklan, advertorial, atau sejenisnya.

Cepat atau lambat, untuk kesekian kalinya praktek busuk cash in yang dijalankan Radar Bolmong tak terelakkan terus menjatuhkan korban. Bupati Boltim sudah menjadi korban nyata baru. Siapa yang harus bertanggungjawab di redaksi Radar Bolmong? Siapa pula tokoh yang diduga menjadi otak dan pendana berita berbayar celaka itu, yang mesti pula turut diminta pertanggungjawabannya?

Masalahnya, terus-terang saja, saya meragukan kemampuan Polres Bolmong (bahkan Polda Sulut) yang masih sibuk berputar-putar bagai anak anjing mengejar ekor sendiri meraba-raba UU Tentang Pers; KEJ; termasuk pasti beralasan perlu meminta pendapat Dewan Pers. Melihat pendekatan dan cara kerja polisi, saya tidak heran kasus ini bakal tak ketahuan juntrungannya, menyurut, dan akhirnya pupus di ingatan publik seperti geger foto mesum di halaman 1 Radar Bolmong edisi Selasa, 22 Oktober 2013.

Bagaimana pun juga, polisi kita, khususnya di Polres Bolmong, memang profesional, teguh, tangguh, dan hebat-hebat.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

bbi: berita berbayar iklan; bbk: berita berbayar koran; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; IKAHI: Ikatan Hakim Indonesia; KEJ: Kode Etik Jurnalistik; KPI: Komisi Penyiaran Indonesia; MA: Mahkamah Agung; MPG: Manado Post Group; Polda: Kepolisian Daerah; Polres: Kepolisian Resort; dan UU: Undang-undang.

Tuesday, February 25, 2014

Maaf Tipu-tipu Pemred ''Radar Bolmong''

UNGGAHAN di blog ini, Senin (24 Februari 2014), ‘’Koran Lei atau Kartas Toilet?’’ mengundang sejumlah reaksi, termasuk sindir-sindiran yang (lagi-lagi) menuding saya bersikap tak adil terhadap Radar Bolmong. Lepas dari kenyinyiran tanpa bukti itu, salah satu komentar cerdas yang dikutip seorang kawan dari status BBM seseorang, kurang lebih menyatakan, ‘’Isu sensitif SARA adalah extraordinary crime.’’

Hampir 16 tahun terakhir negeri ini mengalami dan belajar pahit dan rentannya isu SARA memicu rusuh. Poso, Maluku, Malut, dan sejumlah letupan konflik lainnya yang menjatuhkan ribuan korban jiwa dan harta benda terjadi karena silang-selisih SARA. Benar adanya memicu pertentangan berdasar SARA adalah ‘’kejahatan luar biasa’’ yang setara (bahkan lebih) mengerikan dari korupsi.

Di tengah konflik sipil SARA, media yang menyadari perannya lebih dari sekadar institusi bisnis, dengan sungguh-sungguh dan berhati-hati turut berikhtiar mencari jalan keluar. Maka lahirlah macam-macam istilah, termasuk jurnalisme damai yang lebih mengedepankan penghormatan terhadap keberagaman; nilai-nilai positif yang sama dari entitas yang berbeda; dialog saling memahami memperpendek dan menjembatani perbedaan; serta toleransi.

Pemahaman terhadap tanggungjawab, fungsi, dan peran media itulah yang berulang kali saya sampaikan merespons pernyataan, komentar, dan kritik terhadap unggahan ihwal isu sensitif SARA yang dipicu pemberitaan (berbayar pula) Radar Bolmong, Jumat (21 Februari 2014), yang menyeret Bupati Boltim, Sehan Lanjar. Namun koran ini, pengelola, dan kelompok yang memayunginya memang hebat. Mereka bergeming dengan kokoh terhadap telisikan, kritik, dan celaan; bahkan dengan tetap pongah dan tanpa malu-malu bersikap seolah mereka adalah institusi profesional yang kredibel.

Disudutkannya Bupati Boltim dengan kutipan yang mengesankan penghujatan terhadap dua tokoh sakral ajaran Islam (Nabi Muhammad) dan Kristen (Tuhan Yesus), memang segera dikoreksi dengan permintaan maaf. Sehan Lanjar, pembaca umumnya (termasuk umat dua agama ini yang tensinya menggelegak), mungkin terpuaskan dengan langkah jajaran redaksi Radar Bolmong; tapi tidak dengan orang-orang yang khatam memahami bahasa.

Perhatikan, maklumat Senin, 24 Februari 2014 yang ditajuki ‘’Permintaan Maaf’’ berisi pernyataan: ‘’Redaksi Harian Radar Bolmong menyampaikan permohonan maaf atas berita berjudul ‘’Sehan versus Sahrul di Pilbub 2015 Mulai Bergulir’’, di halaman Boltim, edisi Jumat 21 Februari 2014. Berita yang menulis nama Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus itu kami nyatakan tak jelas sumbernya. Kami juga meminta maaf kepada seluruh umat Islam dan Kristen atas isu berita itu. Dan redaksi menindaklanjutinya dengan memberikan sanksi kepada reporter dan editor berita tersebut. TTD Pemimpin Redaksi.’’

Mari saya tunjukkan di mana niat jahat terencana redaksi Radar Bolmong menyudutkan Bupati Boltim (saya juga punya bukti ‘’harapan’’ Pemred Radar Bolmong pada Jumat, 21 Februari 2014, pukul 11.18, ‘’Mudah-mudahan statemennya yang disorot pembaca, bukan korannya.’’). Bahwa memang sejak mula informasi dan pergunjingan media ini mempraktekkan ‘’pukul, rangkul, dan sedot’’ bukanlah rumor belaka.

Mula-mula lima jajaran Pemkab dan Pemkot di wilayah Bolmong dipukul dengan pemberitaan dan ancaman pengungkapan borok mereka; lalu dirangkul seolah-olah Radar Bolmong adalah kawan berhati mulia pendukung proses pemerintahan dan pembangunan; namun setelah itu ‘’tak ada makan siang gratis’’. Jajaran Pemkab dan Pemkot mesti bekerjasama dalam semua hal: pemberitaan, iklan, advertorial, dan apapun yang dapat dikapitalisasi dari hubungan pertemanan pura-pura itu. Dan yang disasar tentu saja dana APBD.

Kembali ke soal niat busuk terhadap Bupati Boltim dan perilaku pongah serta manipulatif manajemen dan redaksi Radar Bolmong.

Pertama, Pemred Radar Bolmong hanya meminta maaf pada seluruh umat Islam dan Kristen. Bupati Boltim, Sehan Lanjar, yang hampir saja jadi sasaran kemarahan dua umat beragama ini (tidak sebatas hanya di wilayah Mongondow) diabaikan dan baru ditambahkan (artinya ralat di atas ralat --betapa amatirnya) di maklumat yang dimuat Selasa, 25 Februari 2014, di halaman 1 koran ini.

Tidak adanya permintaan maaf terhadap Bupati Boltim, eksplisit dan implisit mengandung pesan Radar Bolmong tetap berkeyakinan Sehan Lanjar benar-benar menyatakan penghujatan terhadap Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus. Soalnya adalah, semata karena koran ini tidak memiliki bukti pendukung yang sahih, sebagaimana penegasan di frasa, ‘’Berita yang menulis nama Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus itu kami nyatakan tak jelas sumbernya.’’

Enak betul kilahan tidak bermutu itu. Pembaca Radar Bolmong dianggap segerombolan kodok yang enteng saja meniadakan kutipan pernyataan Sehan Lanjar (‘’Jangankan Sachrul Mamonto, Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus pun kalau di Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,’’ ujar Sehan, antara serius atau sekadar bercanda). Apa maksud ‘’tak jelas sumbernya’’? Bupati Boltim bukan sosok yang jelas; atau kutipan itu diakui memang hanya karang-karangan wartawan yang (dibayar) menulis beritanya?

Bukannya menjernihkan masalah, pengumuman itu justru adalah pelecehan terang-terangan terhadap Bupati Boltim. Karenanya, kalau Sehan Lanjar menerima permintaan maaf itu sebagai penyelesaian memadai isu penghujatan sakralitas agama (Islam dan Kristen), dengan menyesal saya mesti mengatakan, ‘’Anda tertipu, Pak Bupati. Cuma bagitu dang Bupati tercerdas di Mongondow pe langit?’’ Anda tertipu mentah-mentah, apalagi bila terlena dengan ‘’gosokkan’’ Sehan Patut Diteladani yang dipublikasi Radar Bolmong dan kerabatnya (Manado Post dan Posko), Selasa, 25 Februari 2014.

Dan kedua, pengumuman Pemred Radar Bolmong ditutup dengan pernyataan, ‘’Dan redaksi menindaklanjutinya dengan memberikan sanksi kepada reporter dan editor berita tersebut.’’ Ini ekspresi culas, angkuh, cuci tangan, dan menggampangkan masalah; sekaligus menunjukkan kompetensi Pemred koran ini memang cui!

Proses merencanakan, meliput, menuliskan, dan mengedit hingga satu isu memenuhi persyaratan publikasi di media massa, menjadi tanggung jawab Redpel, Korlip, redaktur, dan reporter. Tetapi begitu beritanya ditayangkan, Pemred-lah yang bertanggungjawab penuh. Memberikan sanksi, hukum pancung, atau dicubit hingga kelenger kepada reporter dan editor yang menulis dan menyiapkan berita (berbayar) itu adalah urusan internal. Urusan publik, pembaca dan orang banyak, adalah apa tanggungjawab nyata dari Pemred sebagai otoritas tertinggi redaksi? Secara hukum, Pemred-lah yang harus menghadapi aparat berwenang, bukan jajaran di bawahnya.

Mengumumkan permintaan maaf bertandatangan Pemred diimbuhi ‘’ada sanksi terhadap reporter dan editor’’ adalah cara cuci tangan pengecut. Pulia dalam kosakata Mongondow. Pula sok pahlawan dan mentang-mentang, mengingat galibnya ralat dan permintaan maaf akibat kesalahan publikasi media hanya diabsahkan dengan ‘’Redaksi’’.  Anehnya, manajemen Radar Bolmong (dan induknya) tetap mempertahankan Pemred dengan kualitas kertas toilet ini. Benarkah semata karena kepiawaiannya menyetorkan cash in tak mampu ditandingi pewarta lain yang lebih kredibel, berpengetahuan, dan profesional?

Apapun alasannya, Pemred Radar Bolmong harus dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana Pemred Majalah Sastra, HB Jassin, sebab mempublikasi cerpen Langit Makin Mendung dari Ki Panji Kusmin di edisi Agustus 1968. Dianggap ‘’melecehkan’’ Islam (Allah, Muhammad Rasulullah, dan Jibril), cerpen ini menyebabkan Majalah Sastra dilarang terbit dan HB Jassin dijatuhi hukuman (tunda) satu tahun.

Nah, apalagi yang dipertimbangan dan ditunggu Bupati Boltim yang dijadikan obyek dan pelecehan serta pihak berwenang yang semestinya mengambil tindakan tegas terhadap provokasi sensitif SARA oleh Radar Bolmong? Apakah mesti menunggu aksi umat Islam dan Kristen; atau anarki massal terhadap koran ini?***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Cerpen: cerita Pendek; Korlip: Koordinator Liputan; Malut: Maluku Utara; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; Pemkot: Pemerintah Kota; Pemred: Peminpin Redaksi; Redpel: Redaktur Pelaksana; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan; dan TTD: Tertanda.

Monday, February 24, 2014

‘’Koran Lei atau Kartas Toilet?’’

BERAGAM reaksi menyambangi telepon genggam saya, Minggu (23 Februari 2014), selepas ‘’Blasphemous’’ Bupati Boltim dan Media Hantu Belau diunggah di blog ini. Bila dikonklusi, umumnya komentar, pernyataan, dan protes yang berdatangan itu terbagi dalam tiga isu.

Pertama, saya cenderung mendukung dugaan penghujatan yang dilakukan Bupati Boltim. Supaya isu ini jernih, sebagai Muslim yang memahami sakralitas Islam, Al Qur’an, Muhammad Rasulullah, dan ajaran-ajaran luhur agama ini (juga menghormati sakralitas-sakralitas agama lain dan umatnya), spekulasi yang disampaikan itu saya sambut dengan terima kasih dan tawa lebar.

Mentakzimi religiusitas yang dianut, bagi saya hukumnya mutlak tak dapat dikompromikan; tetapi di saat yang sama saya sungguh pula berikhtiar memahami konteks (terutama dinamika kekinian) lengkap dengan keimanan dan kelapangan hati. Modernitas dan keberagaman manusia yang menghuni permukaan bumi misalnya, sangat mempengaruhi konteks sakralitas agama.

Dengan membuka hati seluasnya (sekaligus menegaskan yang ditulis ini tidak dengan niat menghujat --apalagi menista keberagamaan— serta permohonan maaf sebesar-besarnya pada kaum Muslim dan Kristian), saya ingin mengajukan pertanyaan retoris sederhana: Andai hari ini Muhammad Rasulullah menjadi salah satu kandidat Presiden AS, dari rasionalitas manusia dan fakta kekinian, masuk akalkah Nabi Allah ini pasti keluar sebagai pemenang? Sama halnya dengan: Mungkinkah hari ini Tuhan Yesus bakal terpilih sebagai Perdana Menteri bila tokoh sakral yang dimuliakan umat Kristiani ini mengikuti pemilihan umum di salah satu negara Islam di Timur Tengah?

Menurut hemat saya, jawaban terhadap dua pertanyaan itu bukanlah debat tentang seberapa tinggi keyakinan beragama seseorang; melainkan sejauh mana kita (sebagai umat yang mengimani dua tokoh sakral itu) khatam memahami peta sosial, politik, dan budaya setempat. Sebab itulah, dalam konteks pemberitaan Radar Bolmong, Jumat (21 Februari 2014), yang kemudian mendudukkan Bupati Boltim, Sehan Lanjar, sebagai terduga penista agama (Islam dan Kristen), saya lebih menitik-beratkan pada praktek jurnalistik profesional; bukan sentimen keyakinan beragama yang membabi-buta.

Kedua, di banyak isu yang berkaitan dengan Bupati Boltim, saya sukarela menghambakan diri di garda depan dan tanpa reserve membela Sehan Lanjar. Ah, tuduhan seperti ini tentu dilempar ke tong sampah. Pembaca yang sejak mula rutin menyimak blog ini tahu persis, bukan sekali-dua Bupati Boltim menjadi sasaran kritik pedas (bahkan‘’kegeraman’’) saya.

Sebagai politikus, Sehan Lanjar bukan tanpa cacat-cela. Dia khas kebanyakan politikus Indonesia, tetapi dengan sejumlah nilai lebih dan keunggulan. Dibanding umumnya Bupati/Walikota di Sulut, dia mampu membaca dan spontan bereaksi terhadap dinamika di sekitar yang pada akhirnya secara sosial dan politik mendatangkan nilai tambah dan magnet bagi khalayak. Sehan Lanjar juga selalu menunjukkan dia tulus dan apa adanya. Sikap ini mampu membuat khalayak menaruh kepercayaan besar, tak peduli dia sedang berakting menutupi kebohongan atau sejujur bocah usia bawah lima tahun.

Bahwa saya menyukai personalitas Bupati Boltim, juga sepak-terjangnya sebagai politikus dan pejabat publik, tidak akan mempengaruhi daya kritis dan ketegaan mengoreksi dia. Bila Radar Bolmong tidak compang-camping melansir isu penistaan agama (Islam dan Kristen) oleh Sehan Lanjar, saya tidak segan berdiri bersama-sama banyak pihak menuntut dia bertanggungjawab terhadap dugaan seram itu.

Dan ketiga, saya hanya menungganggi isu yang dipublikasi Radar Bolmong itu untuk melampiaskan niat buruk terhadap media ini. Beberapa orang bahkan menyampaikan dugaan (atau gugatan) disertai pertanyaan: Apa sebenarnya motif Anda? Apa tujuannya? Apakah menghancurkan Radar Bolmong, tempat di mana tak kurang 50 orang (termasuk warga Mongondow) menggantungkan nafkah akan memuaskan Anda?

Jawaban terhadap sederet pertanyaan itu saya dahului dengan: Apa motif Radar Bolmong mempublikasi berita berbayar Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir? Apakah tujuannya demi menguntungkan pemesan berita; menghancurkan kredibilitas Bupati Boltim; atau lebih buruk lagi menempatkan Sehan Lanjar sebagai musuh bersama umat Islam dan Kristen? Pula, apakah dengan mempublikasi isu sensitif SARA yang tak jelas di konteks apa dinyatakan, Radar Bolmong sedang memprovokasi agar wilayah Mongondow (dan Sulut) terjerumus pada kerusuhan antar umat beragama?

Akan halnya motif saya mengkritisi Radar Bolmong dan pemberitaan yang kini jadi isu panas itu tidak muluk-muluk: Institusi media yang tak profesional dan berpihak (juga bertanggungjawab) pada kebenaran dan publik, lebih dari pantas sesegeranya dibinasakan. Kalau kemudian apa yang saya lakukan ditafsir bertujuan hingga Radar Bolmong raib dari wilayah Mongondow, apa yang salah? Masyarakat Mongondow memang memerlukan media massa, tapi jelas bukan koran yang dikelola para kriminal tukang peras, yang isinya tak dapat dipertanggungjawabkan bahkan dari aspek paling dasar jurnalistik.

Jangan pula dilupakan, kehadiran Radar Bolmong di wilayah Mongondow kian nyata bukan dengan motif dan tujuan luhur media massa. Kewajiban cash in adalah bukti bahwa satu-satunya tujuan koran ini adalah menghimpun keuntungan ekonomi, tak peduli dengan cara melampaui akal sehat dan kewarasan adab bisnis modern.

Nah, bagian paling seram dari publikasi yang mendudukkan Bupati Boltim sebagai target umat Islam dan Kristen yang emosinya potensial tersundut isu penistaan agama, adalah saya memiliki bukti hal tersebut memang direncanakan dan sepengetahuan para petinggi redaksi Radar Bolmong. Saya kutipkan potongan ‘’instruksi’’ Pemred Radar Bolmong pada Jumat, 21 Februari 2014, pukul 11.22, yang menyatakan: ‘’Cuma besok-besok main save torang.... Boleh tulis Sehan tantang Tuhan dan Nabi saja, jangan detail.’’

Saya belum menunjukkan bukti yang ada di tangan saya ke Sehan Lanjar yang telah berlapang dada memaafkan Radar Bolmong dan tidak berniat menggugat media ini. Dengan mengetahui duduk-soal, bahwa dia dengan sengaja ditarget, tidak tertutup kemungkinan Bupati Boltim berubah pikiran dan menggugat koran ini lebih dari sekadar pasal pencemaran nama baik.

Celakanya, karena redaksi Radar Bolmong dipimpin bukan oleh wartawan kompeten, Senin (24 Februari 2014), lewat permintaan maaf yang ditanda-tangani Pemred-nya, koran ini justru mengumumkan secara terbuka mereka memang berniat busuk memprovokasi umat Islam dan Kristen untuk mengeroyok Bupati Boltim atau bahkan mendorong meletusnya konflik antar dua umat beragama ini. Permintaan maaf itu juga absah menjadi bukti bagi pihak berwenang, bahwa Radar Bolmong bukanlah institusi jurnalistik, melainkan alat kriminalitas yang berlindung di balik jurnalisme.

Tidak ada alasan lagi bagi pihak berwenang memperlakukan pemberitaan sensitif SARA yang potensial mendorong meletusnya anarki sipil itu sebagai kekhilafan jurnalistik. Media ini adalah pelaku subversi dan karena itu para pengelola dan wartawannya pantas dibui.

Lebih buruk lagi, setelah permintaan maaf yang berisi pengakuan berita Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Mulai Bergulir hanya karang-karangnya redaksi Radar Bolmong, masyarakat di wilayah Mongondow tak perlu lagi menduga-duga media ini hanya piece of s**t. Bukan wahana yang pantas dijadikan bacaan, apalagi rujukan. Bahwa koran ini memang cuma cocok dipotong-potong untuk kepentingan mengelap bokong di kakus umum usai bertandas.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Pemred: Pemimpin Redaksi; SARA: Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan; dan Sulut: Sulawesi Utara.

Sunday, February 23, 2014

‘’Blasphemous’’ Bupati Boltim dan Media Hantu Belau

NUKILAN dari ‘’King of Pop’’ Michael Jackson (Moonwalk, 1988 –pembaca, ini buku, bukan lagu)  “What happened to truth? Did it go out of style?” (Apa yang terjadi dengan kebenaran? Sudahkah dia menjadi hal kuno?) adalah salah satu dari 26 kutipan populer tentang media massa dan kebenaran. Bahkan selewat 26 tahun sejak dituliskan dan mega bintang ini telah tiada, pertanyaan yang dia ajukan menjadi kian relevan.

Media massa kini semakin mudah meliput hanya dengan mengandalkan bisik-bisik, posting di facebook, twitter, bahkan dengan mengarang-ngarang halusinasi dan imaji wartawannya sendiri. Berita adalah komoditas dan jurnalis tak beda dengan pekerja pabrik yang sekadar memiliki keterampilan seorang tukang. Profesionalismenya adalah membuat berita, bukan mewakili mata, telinga, dan hati nurani orang banyak; tidak pula demi niat luhur jurnalisme adalah sikap adil yang menjunjung norma, etika, dan standar-standar tinggi sosial-budaya.

Terjerembablah media dari sesuatu yang kredibel menjadi sekadar pamflet murahan atau selebaran provokasi. Mereka yang bekerja di media seperti itu tak pantas menyandang sebutan wartawan, pewarta, jurnalis, dan sejenisnya. Mereka cuma tukang yang tidak dilindungi UU Tentang Pers, kode etik, dan etika jurnalistik umumnya. Pendek kata, statusnya sama belaka dengan penjahat jalanan kelas teri: preman leput rendahan tukang menakut-nakuti, tukang peras, atau tukang bakuku.

Sachrul Lawan Sehan di Pilbup 2015 Bergulir  (tata bahasa judul ini sungguh kacau dan tak enak dibaca, khas wartawan yang tak lulus pelatihan dasar) yang dipublikasi Harian Radar Bolmong, Jumat (21 Februari 2014), menjadi contoh kesekian kali bagaimana koran ini dikelola semata alat kepentingan (ekonomi, politik, bahkan kriminal) segelintir orang; bukan institusi yang berpihak dan bertanggungjawab pada publik.

Bagaimana saya mempertanggungjawabkan pernyataan itu?

Pertama, sudah menjadi pengetahuan umum Radar Bolmong adalah koran yang wartawannya secara struktural diperintah menadahkan tangan hingga menonjok kepala setiap sumber (atau yang potesial menjadi sumber) berita demi cash in yang disetorkan ke menejemen dan pengelolanya. Tersebab isinya adalah iklan, apapun yang dipublikasi patut diduga adalah pesanan kepentingan seseorang atau sekelompok orang. Penandanya adalah “*” yang juga terdapat di berita Sachrul Lawan Sehan di Pilbub 2015 Bergulir --lengkapnya (rus/*/fir).

Kedua, frasa ‘’Jangankan Sachrul Mamonto, Nabi Muhammad dan Tuhan Yesus pun kalau di Boltim ini, masih bisa saya kalahkan,’’ ujar Sehan, antara serius atau sekadar bercanda adalah ‘’an evil intention’’. Memang sejak mula diniatkan menjahati Bupati Boltim Sehan Lanjar.

Jurnalisme mensyaratkan ketatnya penegakan standar tinggi (yang telah berulang kali saya tulis di blog ini), terutamanya verifikasi. Tanpa bermaksud membela Sehan Lanjar (yang bagi saya adalah adalah karib dan saudara), dari aspek jurnalistik apa yang ditulis pewarta Radar Bolmong pasti tak dapat dipertanggungjawabkan. Cara mengujinya adalah dengan pertanyaan: Apakah sang wartawan mendengar langsung? Memiliki rekaman atau bukti tak terbantahkan? Memahami konteksnya (bila pun pernyataan itu memang benar disampaikan Bupati Boltim)? Serta, yang terpenting, melakukan check, re-check, balance, dan verifikasi?  Kegagalan menjawab salah-satu di antara empat pertanyaan ini lebih dari cukup menyeret Radar Bolmong, penanggungjawab redaksi dan desk, serta wartawannya ke kursi pesakitan.

Tidak ada urusan dengan Dewan Pers sebagai lembaga yang menilai kerja para pewarta dan praktek jurnalistik di negeri ini. Berita buta, yang ditujukan menjerumuskan seorang tokoh publik pada potensi penghinaan terhadap keyakinan orang banyak (bahkan Tuhan), yang hanya menyatakan waktu kejadian (Kamis, 20 Februari 2014) tanpa menjelaskan konteks dan aspek-aspek fundamental lainnya; jelas ditungganggi kepentingan tercela.

Mari meluaskan cara pandang. Bahkan bila pun 100 persen benar Sehan Lanjar memberi pernyataan itu, baik dalam konteks bercanda maupun serius, di lingkungan yang sangat terbatas dan dekat; dia bukanlah perilaku penghujatan. Masyarakat di negara-negara Skandinavia mengenal kata blasphemy dengan turunan blasphemous language yang berarti penyataan yang tidak merespek Tuhan atau sesuatu yang sakral. Blasphemous bukanlah penghujataan (atau penistaan) karena dia justru ditujukan sebagai penghormatan terhadap Tuhan dan sakralitas religius yang dijunjung masyarakatnya.

Bagi yang ingin mendebat fenomena terbalik (sikap yang bagi masyarakat luar Skandinavia diartikan menghujat, sebaliknya untuk mereka adalah respek)  blasphemy, sebaiknya terlebih dahulu menyimak The Viking Manifesto dari Steve Strid dan Cales Andréasson (saya memiliki edisi 2008 yang diterbitkan Marshall Cavendish Asia). Blasphemy bukanlah aib melainkan spirit yang memperkokoh stabilitas sosial-budaya (juga keamanan) dan ekonomi negara-negara Skandinavia.

Dan ketiga, media yang curang, culas, dan dipenuhi niat jahat terencana adalah pelaku sekaligus alat provokasi efektif. Kutipan pernyataan Bupati Boltim yang tak ketahuan asbabul nuzul-nya memicu efek lanjutan: menggetarkan dan memicu amarah para penganut Islam dan umat Kristen (sekali pun kita tahu mustahil Nabi Muhammad dan Yesus berkompetisi di Pilbub Boltim). Sensitivitas umat yang kerap berlebihan tanpa menelisik muasal isu dengan mudah mendorong tindakan terhadap seseorang yang dianggap menista agama dan sakralitasnya hingga ke tahap anarkis.

Selang sehari setelah Radar Bolmong mempublikasi dugaan pernyataan Sehan Lanjar, reaksi sudah meletup. Adalah Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Raya yang melaporkan dugaan penistaan dan provokasi oleh Bupati Boltim dan wartawan Radar Bolmong ke Polres Bolmong (totabuan.co, Sabtu, 22 Februari 2014, http://totabuan.co/2014/02/22/bupati-boltim-dan-oknum-wartawan-dilapor-soal-pemberitaan/). Apalagi ini? Apakah Aliansi Masyarakat Muslim Bolmong Raya adalah institusi dengan dasar hukum yang dapat menakar seseorang atau sebuah institusi menista agama dan sakralitasnya; atau lembaga yang paham jurnalistik dan prakteknya, hingga berhak menjadi wakil orang Mongondow?

Aliansi antah berantah itu terlebih dahulu harus membuktikan mereka punya kekuatan legal sebelum mengajukan laporannya. Lain soal bila orang per orang, umat Muhammad Rasulullah (Muslim) atau Yesus (Kristian) yang berkeberatan dan melaporkan. Individu Muslim atau Kristian punya legal standing yang tak perlu diperdebatkan lagi. Akan halnya organisasi yang mendadak dideklarasikan, tanpa dokumen legal dan kepatuhan terhadap compliance lainnya, menurut hemat saya cuma kegenitan ‘’seolah-olah wakil orang banyak’’ agar isunya tampak ‘’wah!’’. Pula, sekadar upaya beberapa gelintir orang mencari panggung supaya dadanya boleh bungah.

Klaim dan atas nama-atas nama orang banyak sungguh menjengkelkan. Dan aparat berwenang, dalam hal ini Polres Bolmong, yang menindak-lanjuti laporan dugaan penistaan dan provokasi oleh Bupati Boltim dan wartawan (juga institusi Radar Bolmong) tanpa terlebih dahulu mencermati isi perut organisasi yang jadi pelapor, tak beda dengan kodok dalam tempurung yang tidak merespek tata laksana dan tata cara penegakan hukum.

Padahal, muara isu pernyataan Sehan Lanjar yang kini jadi kontroversi, memerahkan kuping umat Muslim dan Kristian, bahkan masalah hukum (formal), sederhana belaka: Radar Bolmong bukanlah media massa. Dia hanya alat pemerasan dan provokasi yang sama sekali tidak dilindungi UU Tentang Pers, kode etik jurnalistik, dan etika media umumnya. Karenanya, kehadiran institusi ini lebih banyak mudaratnya dibanding manfaat di wilayah Mongondow. Agar tak menimbulkan kerusakan dan kesemena-menaan berkelanjutan atas nama jurnalistik, sudah waktunya institusi ini disingkirkan sejauh mungkin.

Saya menguatirkan, pada akhirnya ancamanan ‘’menghabisi’’ wartawan atau membumi-hanguskan Radar Bolmong seperti yang beberapa waktu lalu beredar di pesan pendek, BBM, dan media sosial karena pemberitaan yang dianggap sekadar modus pemerasan dan lancung (dan memang demikian adanya), diwujudkan massa yang murka akibat provokasi, manipulasi, bahkan kebohongan. Terlebih, praktek efektif membungkan kriminalitas biasanya efektif hanya dengan dua cara: penegakan hukum tanpa pandang bulu dan proporsional oleh aparatnya; atau aksi massa yang tegas dan dingin (untuk tidak mengatakan brutal dan kejam).***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

BBM: BlackBerry Messenger; Bolmong: Bolaang Mongondow; Boltim: Bolaang Mongondow Timur; Pilbub: Pemilihan Bupati; dan UU: Undang-undang.