Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, September 30, 2013

Tipikor di Humas Bolmut: Konspirasi Para Bedebah


MELURUSKAN sesuatu yang terlanjur bengkok dan sumir justru kerap mengungkap hal lain yang lebih buruk. Berita Totabuan.Co, Minggu, 29 September 2013, Kasie Pidsus: Penyelidikan Kasus di Bagian Humas Bolmut Sudah Ada Unsur Kerugian Negara (http://totabuan.co/2013/09/29/kasie-pidsus-penyelidikan-kasus-di-bagian-humas-bolmut-sudah-unsur-kerugian-negara/), memperjelas syak bahwa sejak mula penetapan Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut sebagai tersangka Tipikor, memang bau busuk persekongkolan jahat.

Pemberitaan Totabuan.Co itu adalah follow up publikasi sebelumnya, Senin, 23 September 2013, Kejaksaan Negeri Boroko Tetapkan Dua PNS Bagian Humas Sebagai Tersangka (http://totabuan.co/2013/09/23/kejaksaan-negeri-boroko-tetapkan-dua-pns-bagian-humas-sebagai-tersangka/), yang bersama berita sejenis di Swaramanado Online saya kritik sebagai ‘’praktek jurnalisme abot-abot’’. Di dua tulisan yang sudah dipublikasi di blog ini (Media, Jurnalis, dan ‘’Pers APBD’’ dan Bau Amis Penetapan Tersangka Tipikor di Bolmut) saya mempertanyakan pula dasar dan motif Kejari Boroko mentersangkakan dua birokrat itu.

Membaca penjelasan Kepala Seksi Pidana Khusus (Pidsus) Kejari Boroko, Budi Kristiarto, yang dikutip Totabuan.Co, tak urung saya menyemburkan serapah favorit, ‘’Dungu!’’ Bukti-bukti apa yang telah diteliti Kejari Boroko lalu berani-beraninya mereka memutuskan Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut sebagai tersangka? Apakah Tuan Jaksa Budi adalah sarjana hukum, sarjana administrasi negara, dan sarjana akutansi hingga mampu sekaligus melaksanakan tiga tugas dari tiga domain berbeda?

Pembaca, tinjauan kritis dan kritik saya terhadap isu itu sebenarnya tak bermaksud mengusik pihak manapun, termasuk jurnalis dan media di Sulut. Apa yang saya tuliskan di blog ini semata pertanyaan-pertanyaan umum dan normatif, khususnya karena dari aspek jurnalistik pemberitaannya terkesan dipaksa-paksakan. Penulis atau pewarta berpengalaman dengan gampang dapat mengendus sebuah berita memang ditujukan demi membeber fakta; atau dengan niat jahat tertentu, terutama pemerasan dan penghancuran nama baik.

Apalagi aparat berwenang (polisi, jaksa, hakim) menjadi pemeras, baik sendiri-sendiri karena wewenang yang dimilikinya maupun bekerjasama dengan oknum lain (termasuk wartawan), sudah pula menjadi pengetahuan umum di negeri ini. Waspada, kritis, dan mempertanyakan setiap isu hukum dan perilaku aparat penegaknya adalah cara terbaik agar tak jadi korban, juga sebagai tindakan preventif supaya para bajingan tidak memiliki cukup celah mempraktekkan modusnya.

Berdasar informasi di ranah publik, terutama dari dua media digital yang aktif mempublikasi beritanya, saya tak segan menuduh ditersangkakannya Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut sebagai konspirasi jahat antara kejaksaan dan sejumlah oknum wartawan. Konspirasi yang dilakukan dengan cara sangat amatiran ini, selain melanggar hukum, menunjukkan para pemainnya menganggap remeh komunikasi modern yang kian memudahkan orang ramai mengakses informasi dan bukti-bukti. Juga, mengadukan pelanggaran oleh penegak hukum ke insitusi di atasnya dan menggalang solidaritas publik bersama-sama melawan kesewenang-wenangan.

Saya ingin menunjuk hidung para bedebah dengan menggunakan bukti dari sumber yang sama, yang mulai mengangkat isu ini, khususnya Totabuan.Co. Di pemberitaan terbarunya, media ini menulis bahwa yang melaporkan adanya dugaan penyelewengan dana di Humas Pemkab Bolmut adalah Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Bolmut. Musababnya, sejumlah wartawan anggota PWI merasa dirugikan oleh (dugaan) pemalsuan tanda tangan dan cap/stempel milik sejumlah media cetak di kabupaten ini. Akibat dugaan pelanggaran hukum tersebut, para pengadu merasa dirugikan dalam proses pencairan dana advertorial di lingkungan Pemkab Bolmut.

Pertama, dugaan pemalsuan tanda tangan dan cap/stempel hingga merugikan proses pencairan dana advertorial di Pemkab Bolmut berarti: Ada advertorial yang sudah dipublikasi tetapi dananya sulit atau tak dapat dicairkan. Pertanyaan saya pada Tuan-tuan Jaksa di Kejari Boroko, di bagian mana ada kerugian negara bila barang/jasa yang harus dibayar dengan dana APBD dapat dibuktikan berwujud?

Kalau kemudian masalahnya adalah dugaan pemalsuan tanda tangan dan cap/stempel, ini tindak pidana biasa yang menjadi domain polisi; bukan urusan Kejari Boroko. Cuma jaksa dungu atau yang berniat jahat menyelewengkan penegakan hukum yang bersedia menerima laporan tindak pidana biasa dan memprosesnya dengan pelintiran sebagai kasus Tipikor.

Dan kedua, apa urusan PWI dalam kasus ini? PWI ini organisasi wartawan, organisasi media, atau tempat berlindung para pemeras berkedok jurnalis? Praktek jurnalistik bukanlah rocket science. Masyarakat tahu persis ada dua bagian besar yang sama sekali terpisah di setiap institusi media: redaksi dan usaha. Redaksi mengurusi apa yang akan dipublikasi (berita, feature, reportase panjang , atau reportase investigatif); sedang usaha menangani segala sesuatu yang berkaitan dengan aspek bisnis, termasuk iklan dan advertorial.

Dengan pembagian wilayah redaksi dan usaha yang ketat seperti itu, bila wartawan menemukan ada dugaan tindak pidana oleh oknum birokrasi, yang dia lakukan adalah mengumpulkan fakta, meminta pernyataan dari pihak-pihak terkait dan berwenang, kemudian menulis dan mempublikasikan temuannya. Publikasi wartawan di medianya, bila valid dan kredibel, dapat digunakan sebagai referensi bagi penegak hukum untuk menjalankan kewajibannya dengan melakukan penelitian, penyelidikan, dan penyidikan.

Adakah wartawan yang sebelumnya telah menulis dugaan penyelewengan yang kini dituduhkan ke Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut? Dari telisikan saya, sama sekali tak ada. Yang ada adalah pemberitaan tiba-tiba dan sumir ditetapkannya dua birokrat ini sebagai tersangka Tipikor.

Sejalan dengan pembagian kewenangan redaksi dan usaha, pemuatan iklan atau advertorial adalah pengikatan hukum antara media dan pemasang iklan atau advertorial. Kalau salah satu pihak melanggar kesepakatan, dia boleh jadi adalah kasus perdata atau pidana. Dalam kasus dugaan pemalsuan tanda tangan dan cap/stempel, tak lain adalah pidana biasa yang harus dilaporkan oleh jajaran pimpinan perusahaan media yang bersangkutan. Laporan ke pihak kepolisian memang boleh diwakilkan pada siapapun, termasuk wartawannya, sepanjang dia mengantongi surat kuasa dari pemimpinan perusahaan atau pemimpin umum.

Dengan demikian, tidak ada urusan dan wewenang apapun dari seorang wartawan, terlebih tanpa surat kuasa, melaporkan dugaan tindak pidana ke penegak hukum. Kecuali wartawan tersebut juga merangkap sebagai pemimpin umum, pemimpin perusahaan, pemimpin redaksi, redaktur pelaksana, redaktur, reporter, fotografer, tukang cetak, dan loper. Dia adalah pemilik sekaligus pengelola tunggal medianya. Dan media seperti ini, menurut saya, patut dipertanyakan kredibilitas dan kepantasannya sebagai mitra kerjasama.

Fakta-fakta yang dikonklusi dari dua pertanyaan besar itu menegaskan keyakinan saya, bahwa dugaan Tipikor yang ditimpakan pada Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut memang sejak awal didasarkan pada niat dan rencana jahat. Karenanya, saya (yang sama sekali tak bersentuhan, apalagi berkomunikasi dengan keduanya) berharap mereka mesti menggugat balik dengan melaporkan oknum-oknum di Kejaksaan Boroko ke Kejati Sulut dan Kejagung.

Akan halnya PWI Bolmut, dua birokrat yang kini berstatus tersangka berhak menyeret mereka ke kepolisian dengan sangkaan tindak pidana pencemaran nama baik, manipulasi, atau bahkan pemerasan. Sejalan dengan laporan ke kepolisian, pengaduan juga dilayangkan ke PWI Pusat dan Dewan Pers agar dua lembaga ini tahu ada pelanggaran etika dan penghinaan terhadap profesi pewarta di Bolmut oleh sejumlah oknum atas nama jurnalisme dan organisasi para jurnalis.***

Sunday, September 29, 2013

Skor 0-12 untuk Mama Ven Lawan Mama Didi


FOTO yang saya terima, Minggu (29 September 2013), sebenarnya biasa saja. Andai tak dilengkapi konteks peristiwa yang direkam, dia bakal dilihat sepintas, disenyumi, dan akhirnya terlupa. Tenggelam di tengah lalu-lintas informasi dan gambar yang setiap hari membanjiri perangkat elektronik kita: telepon genggam, tablet, atau komputer jinjing.

Tiga wanita yang ada di frame memang saya kenal. Ny Tutty Gobel-Gonibala, Ny Muslimah Mayulu-Mongilong, dan Ny Marlina Moha-Siahaan. Pose ketiganya tampak rileks. Ma Tut (panggilan akrab kami pada Ny Tutty) tampak tertawa, sementara Mama Ven (panggilan yang melekat pada Ny Muslimah) menjangkau mike yang ada di tangan Mama Didi (seluruh warga Mongondow mengenal Ny Marlina dengan sapaan ini).

Melihat foto tersebut, saya mengira momen itu menunjukkan keakraban tiga wanita yang cukup populer di Mongondow, yang di Pemilu 2014 mendatang tercatat sebagai Caleg dari tiga Parpol berbeda untuk DPR Provinsi Sulut: PAN, PDIP, dan PG. Walau dicalonkan tiga partai berbeda, di masa lalu, ketika Mama Didi masih menduduki kursi Bupati Bolmong (Induk), mereka pernah saling terikat di bawah naungan PG. Ma Tut adalan mantan anggota DPR Sulut dari PG; suami Mama Ven (kini Bupati Bolsel, Herson Mayulu) pernah duduk di DPR Bolmong dari PG; dan Mama Didi adalah tokoh kuat serta Ketua DPD PG Bolmong.

Tafsir saya tidak sepenuhnya keliru. Diambil di pesta pernikahan putera Hj Sasung Makalalag dan puteri mantan anggota DPR KK, Dolly Paputungan, yang dihelat di Lapangan Cokro, Desa Poyowa Besar I, Sabtu siang (28 September 2013), sejatinya foto itu adalah bagian dari keriaan sumbang-menyumbang lagu yang galib mewarnai hajatan sejenis di Mongondow.

Kisahnya, usai menikmati sajian makan siang dari pengundang, nyanyi-menyanyi pun dimulai, bergulir penuh suka ria hingga master of ceremony (MC) mengundang Mama Didi naik panggung. Pendaulatan ini dilakukan setelah Mama Ven usai mempersembahkan lagu untuk hadirin. Pembaca, Mama Didi adalah politisi matang dan salah satu bintang panggung yang tak banyak tandingannya di Mongondow. Menyerahkan mike ke Mama Didi, berarti menyerahkan ‘’kekuasaan terhadap orang-orang yang ada di hadapan’’ hingga kesempatan itu diakhiri oleh pengatur acara.

Maka tampillah Mama Didi yang apik dengan busana putih-merah, memberikan sepatah-dua pengantar, dan melantunkan lagu pertama, Masih Ada Waktu yang pernah dipopulerkan Ebiet G Ade. Di lagu kedua, Jangan Ada Dusta Diantara Kita dari Dewi Yull-Broery Marantika, Mama Didi mengundang mantan Kepala kantor Departemen Agama (Kakandepag) yang juga Caleg DPR Sulut dari PKB, Holil Domu, untuk berduet.

Hadirin yang adem dengan perut terisi dan sudah dihibur aneka lagu adalah asset yang harus dimanfaatkan tokoh publik atau politisi cerdas. Mama Didi yang jeli menangkap peluang itu, melanjutkan kesempatan dari MC dengan mengundang para ibu menjawab quiz yang ganjarannya adalah sejumlah rupiah bagi para penjawab. Taktik politik khas Mama Didi ini tetap ampuh menarik atensi orang banyak, terlebih pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan tidak berpusat pada dirinya, melainkan sekitar nomor urut Caleg-Caleg DPR Sulut dari Bolmong. Hadiah bagi para penjawab pun tidak diserahkan oleh Mama Didi, tetapi diwakilkan pada para Caleg yang hadir di hajatan itu.

Aksi Mama Didi rupanya memprovokasi Mama Ven, yang kemudian memerintah ajudan membawakan sejumlah uang. Bila hadiah dari Mama Didi senilai Rp 50 ribu, Mama Ven menandingi dengan Rp 100 ribu. Lalu terjadilah insiden itu, dimana Mama Ven merebut mike yang ada di tangan Mama Didi, yang kemudian foto kejadiannya dikirimkan ke saya lengkap dengan penjelasan kronologis yang (terus-terang) amat sangat lucu.

Bagaimana tidak menggelikan? Setelah mike berada di tangannya, Mama Ven dengan lantang mengatakan (kurang lebih), ‘’Sudah, so nda ada utang toh? Skarang sapa ngoni mo pilih, Mama Didi atau Mama Ven?’’ Bahkan, karena tak puas dengan respons tetamu dan jajaran tuan rumah, Mama Ven menegaskan, ‘’Nda’ usah tako skarang. Masa so berubah. Mama Didi so nda berkuasa. Mama Ven atau Mama Didi?’’

Menghadapi serangan dadakan itu, dari kesaksian sejumlah orang yang hadir di acara tersebut, Mama Didi membuktikan kualitas keterasaan politisi yang dua kali menjabat Bupati Bolmong dan tokoh publik yang matang dalam penguasaan diri. Dengan tenang, dingin, dan emosi terkontrol dia mengambil mike lain dan melanjutkan acara tanpa terganggu sinumum-ba’ dari Mama Ven.

Dari aspek sosial dan terlebih politik, peristiwa itu dengan telak menggiring orang-orang yang hadir memihak Mama Didi. Seandainya setelah insiden yang tampaknya dimaksudkan oleh Mama Ven untuk ‘’mengecilkan’’ ketokohan dan pengaruh sosial-budaya-politik Mama Didi, disigi pendapat orang-orang yang menyaksikan, saya yakin hampir seratus persen bakal memberikan suara pada Mama Didi. Keunggulan itu kian sempurna karena setelah sesi Mama Didi, MC pun mengakhiri seluruh rangkaian acara.

Pembaca, sebagai salah satu ‘’lawan politik’’ laten Mama Didi, saya tidak pernah meragukan bahwa dia adalah sedikit dari tokoh publik paling lihai di Mongondow. Apa yang dia lakukan di hajatan pernikahan itu, dengan mengedepankan Caleg-Caleg DPR Sulut dari Bolmong (tidak dirinya sendiri), bukanlah tindakan impulsif. Mama Didi telah mengkalkulasi, dengan demikian justru menegaskan posisi tawarnya lebih tinggi dan ekslusif dibanding para pesaing. Dan karena itu, dia tidak gentar merangkul siapapun yang akan berkompetisi di Pemilu 2014, termasuk lawan-lawan yang paling berpotensi mengerogoti dukungan terhadap dia.

Dibanding para Caleg lain yang hadir di hajatan itu, baik politisi berpengalaman seperti Ma Tut atau mantan birokrat semacam Holil Domu dan Kandoli Mokodongan, Mama Ven tergolong ‘’pemain baru’’ yang masih mudah gelap mata dan panas hati. Alih-alih menggunakan peluang yang tersedia demi menarik simpati publik, tindakan Mama Ven merebut mike dari tangan Mama Didi tak beda dengan maklumat tidak-kompeten dan tidak-mumpuninya dia memikul amanat politik orang banyak.

Andai saya ada dalam posisi Mama Ven dan Caleg-Caleg lain, di tengah aksi quiz dan bagi-bagi hadiah dari Mama Didi, dengan sopan saya meminta izin menyampaikan sedikit pernyataan. Isinya: Saya akan memuji Mama Didi sebagai mantan Bupati dan tokoh perempuan Mongondow terkemuka yang juga Caleg DPR Sulut di Pemilu 2014, yang menunjukkan kearifannya dengan mendorong agar Caleg-Caleg lain, terutama mereka yang belum pernah duduk di lembaga legislatif, berada di garda depan.

Saya akan menjadikan apa yang dilakukan Mama Didi sebagai ekspresi restu agar saya menjadi pilihan utama para konstituen. Bukankah politik adalah kepiawaian dan seni memanfaatkan apapun, termasuk yang tampaknya adalah kelemahan, menjadi keunggulan dan keuntungan?***

Saturday, September 28, 2013

Bau Amis Penetapan Tersangka Tipikor di Bolmut


KEJARI Boroko menetapkan Kabag Humas dan mantan Bendara Humas Pemkab Bolmut sebagai tersangka Tipikor dengan dugaan penyalahgunaan dana APBD yang menjadi tanggungjawab mereka. Dua media online, Swaramanado Online dan Totabuan.Co, menulis penetapan ini dengan mengutip Kejari Boroko, Dwianto Prihartono, SH, MH, yang menggelar konferensi pers pada Senin, 23 September 2013.

Dari aspek jurnalistik pemberitaan dua media itu miskin fakta, abu-abu, dan jauh dari jernih, bahkan sekadar memenuhi prasyarat dasar jurnalistik 5W + 1H. Hal lain, menurut hemat saya –yang kemudian ditulis di blog ini (Media, Jurnalis, dan ‘’Pers APBD’’, Rabu, 25 September 2013)--, kalau kejaksaan jeli, dalam urusan kerjasama antara Pemda dan media di Sulut, sebenarnya berserak aspek-aspek yang memenuhi kriteriaTipikor.

Contoh sederhananya, sudah menjadi pengetahuan umum ada sejumlah media dan Pemda yang bekerjasama dalam bentuk kontrak pemberitaan, yang dialokasikan di halaman tertentu di media bersangkutan. Adakah di antara orang banyak yang menelisik berapa persen halaman yang dikerjasamakan itu berisi informasi publik yang harus ditransparansi oleh Pemda ke masyarakat? Berapa persen berita yang tidak ada hubungannya dengan transparansi publik? Dan berapa persen pula materi lain (termasuk iklan) dari pihak yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepentingan Pemda?

Penggunaan dana Pemda, terlebih itu dicantumkan dalam APBD, untuk kepentingan diluar apa yang ditetapkan dalam kerjasama adalah penyelewengan. Nah, dengan menanggalkan sikap pura-pura bodoh dan naif (terutama untuk kalangan jurnalis dan pengelola media), berapa banyakkah penyelewengan yang dengan gamblang kita temukan di media-media di Sulut?

Namun bukan itu yang ingin lebih jauh saya ungkap berkenaan dengan penetapan Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Bolmut sebagai tersangka Tipikor oleh Kejari Boroko. Ada sejumlah tanda-tanya yang mestinya dijawab oleh media yang mempublikasi isunya, serta Kajari Boroko dan jajarannya. Pertama, siapa pihak yang mengadukan dugaan Tipikor di Humas Pemda Bolmut hingga Kejari Boroko melakukan penyelidikan dan akhirnya menetapkan tersangka. Dan kedua, dari mana dasar adanya kerugian negara yang diakibatkan oleh dua tersangka? Dokumen dan kesaksian pengadu(yang entah siapa itu)? Temuan Kejari? Atau audit oleh lembaga/institusi yang tugasnya memang mengawasi penggunaan dana negara?

Baik pemberitaan Swaramanado Online maupun Totabuan.Co sama sekali tidak ditemukan fakta yang menjawab dua pertanyaan itu. Lebih parah lagi, ada ketidak-sesuaian fakta dari media ini. Yang satu menulis TA 2011 dan 2012, lainnya menulis TA 2012 dan 2013. Mana yang benar? Yang paling sial tentu saja kalau diyakini dugaan Tipikor itu untuk TA 2012 dan 2013, yang lalu ditelan mentah-mentah oleh pewarta yang menulis. Dugaan Tipikor TA 2012 mungkin dapat ditelusuri dari audit yang dilakukan oleh inspektorat, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); tapi bagaimana dengan TA 2013? Memangnya sudah ada audit yang selesai dilaksanakan?

Di lain pihak, kalau versi dugaan yang diselewengkan adalah TA 2011 dan 2012, Kejari Boroko secara implisit justru tidak yakin terhadap ada-tidaknya kerugian negara yang timbul. Dua media yang menulis isunya sama-sama mengutip Kajari, bahwa kerugian negara masih menunggu perhitungan dari BPK.

Yang tak kurang membuat saya terlongo-longo adalah fakta bahwa salah seorang terduga yang diumumkan Kajari Boroko mengetahui penetapan tersangkanya dari media. Info ini terungkap dari komentar sang tersangka yang beredar di media sosial serta hak jawab yang dia kirimkan ke kalangan media yang oleh salah seorang kawan di-forward dan saya terima via email Jumat, 27 Sepember 2013.

Repotnya, walau telah berkali-kali menyimak pemberitaan yang berkaitan dengan isu itu, juga bolak-balik membaca komentar dan hak jawab dari salah seorang yang disebut-sebut sebagai tersangka, saya tak jua menemukan titik-terang apa sebenarnya penyelewengan yang dituduhkan? Saya malah menerima forward lain yang tak kalah lucu, yaitu komentar seseorang yang konon berprofesi wartawan, terhadap tulisan saya tetapi dengan bahasa yang hanya dia seorang yang paham.

Tampaknya yang mulia konon wartawan itu adalah saudara seperguruan Vicky Prasetyo, tukang tipu yang mendadak selebriti dengan ‘’Vickynisasi’’, yang pekan-pekan terakhir membuat para ahli bahasa harus mengkonsumsi obat sakit kepala sebelum mencoba menerjemahkan setiap perkataan yang terlontar dari mulutnya. Apa maksud kalimat ‘’Namun sesungguhnya seni menulis berita dibutuhkan waktu seharian dengan melintasi dimensi ‘ruang’ dan ‘waktu’ dari ‘dentingan’ detik ke detik penuh kesabaran untuk ‘menbedakan’ persepsi sumber berita bukan ‘menyatukan’ persepsi dalam suatu pemberitaan’’ yang ditujukan untuk mengkritik saya dan tulisan Media, Jurnalis, dan ‘’Pers APBD’’?

Saya memang bukan (lagi) seorang jurnalis. Tetapi menulis berita bukanlah mengendarai pesawat luar angkasa memasuki black hole ke galaksi lain. Menulis berita adalah menyandingkan fakta-fakta dari semua sumber dengan berimbang, tak peduli itu sekadar persepsi, analisis, igauan, atau omongan mabuk sang sumber. Perlukah seharian penuh menulis sebuah strait news yang dihasilkan dari konferensi pers, itu pun tanpa konfirmasi ke sumber lain? Wartawan yang tahu persis pekerjaannya, terlatih, dan berpengetahuan, bakal terbahak-bahak mengetahui ada koleganya yang membutuhkan waktu seharian penuh, mesti berpindah jagad, dengan menghitung setiap menit yang dilalui, sebelum akhirnya memproduksi satu strait news.

Sebelum saya mulai ikut-ikutan berpindah dimensi, tak beda dengan tuyul yang tak kasat mata tapi mampu menilep uang yang punya wujud, kita kembali pada isu penetapan Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut sebagai tersangka Tipikor. Konferensi pers yang dilakukan pihak Kejari Boroko dan pemberitaan media yang kurang fakta, tak dapat ditolak telah dengan sengaja mencemari kehormatan dua birokrat yang ditersangkakan itu. Wajar bila keduanya meradang dan mempertanyakan duduk-soal yang sebenarnya.

Lalu apa yang harus dilakukan? Pertama, agar isu itu tidak berubah menjadi bola liar fitnah dan duga-duga, semisal Kejari Boroko sedang mengail di air keruh, sepatutnya segera disampaikan apa penyelewengan yang dilakukan kedua tersangka, apa dasarnya, dan pasal yang dituduhkan. Dengan Kejari hanya menyampaikan sepotong informasi, sekadar ada tersangka yang ditetapkan, institusi ini sebenarnya telah secara terang-terangan melakukan pelanggaran hukum.

Kedua, kalau ternyata dalam konferensi pers Kejari Boroko lengkap membeberkan ihwal kasusnya, namun dua media yang mempublikasi (Swaramanado Online dan Totabuan.Co) tidak menulis komprehensif, mereka wajib mengoreksi pemberitaannya. Sebaliknya bila yang dimuat memang sebagaimana informasi yang disampaikan di konferensi pers, saya menyarankan jurnalis yang menulis untuk belajar kembali 5W + 1H atau berganti profesi saja jadi petani bawang merah.

Menulis berita, apalagi kasus yang melibatkan nama baik dan kehormatan seseorang, tanpa sikap kritis terhadap kelengkapan fakta, bukanlah pekerjaan seorang jurnalis profesional. Burung beo atau simpanse terlatih pasti mampu bekerja sama baiknya bila hanya sekadar menjadi penyulih pernyataan.

Dan ketiga, para pewarta yang keberatan dengan kritik saya, khususnya berkaitan dengan ‘’Pers APBD’’ dan ketidak-kompetensian umumnya wartawan di Sulut generasi belakangan, sebaiknya rajin mematut diri. Benarkah Anda seorang jurnalis yang bertugas merekam, menulis, dan mempublikasi fakta yang berimbang, menjadi kepentingan umum, serta layak diketahui orang banyak. Atau, ternyata Anda hanya tukang gonggong berbekal kartu pers atau identitas jurnalis.

Bagi saya, terbukti atau tidak Kabag Humas dan mantan Bendahara Humas Pemkab Bolmut melakukan penyelewengan dana yang menjadi tanggungjawab mereka, tidaklah penting. Yang utama adalah sejak mula mereka harus diperlakukan dengan adil dan semestinya, baik oleh Kejari Boroko, media yang menulis kasusnya, dan orang banyak yang persepsinya dibentuk oleh tindakan institusi hukum dan pemberitaan media.***

Friday, September 27, 2013

Kabupaten Boltim, Kabupaten Pelaksana Tugas


POLITIK dan pemerintahan di Boltim sungguh sangat dinamis sejak Pilwako KK usai. Di beberapa bual-bual sosial yang saya ikuti dipercakapkan bahwa tensi tinggi yang menghangatkan kabupaten ini, khususnya yang dipertunjukan Bupati Sehan Lanjar, tak lepas dari kekalahan kakaknya, Muhamad Salim Lanjar, di Pilwako.

Mengingat pertemanan dengan Eyang, biasanya saya dengan penuh semangat mendebat pengait-ngaitkan seperti itu. Bukan soal benar-tidaknya isu yang dikemukakan, tetapi lebih pada adu argumen adalah penyegar pikiran dan untuk menggali lebih banyak info. Salah satu sifat alamiah para politikus dan aktivis, terlebih di Mongondow, ketika pendapat atau pernyataan mereka ditentang, apa yang ada di dalam kantong dan hati tanpa disadari ditumpahkan habis-habisan.

Saya yakin, setelah hati dingin dan akal sehat kembali menghuni batok kepala, peninglah yang bersangkutan. Boleh jadi sesumbar yang terlanjur diucap berbusa-busa dengan ludah memercik kemana-mana itu ternyata bagai menggali kubur sendiri. Contoh terkini dari ketidak-mampuan mengontrol mulut dan lidah itu melibatkan seorang aktivis yang cukup dikenal di seantero Mongondow dan KPU KK.

Begini ceritanya: Masuknya nama (mantan) Walikota KK, DjM, di DCT Pemilu 2014 digugat oleh PAN ke DKPP. Yang menjadi terduga –demikianlah bahasa yang digunakan di lembaga ini— adalah KPU KK. Orang ramai pun memperbincangkan isu ini, termasuk di sejumlah tempat bereriungan di Kotamobagu seperti Kopi Jarod atau Korot.

Lalu muncullah tokoh kita ini, yang di mana-mana mengklaim dan menyatakan dirinya sebagai pemikir di balik PAN dan para petingginya (terutama Walikota KK, TB, dan anggota DPR RI Sulut asal PAN, Yasti Mokoagow). Salah satu sesumbar yang menggelagar adalah pengakuan bahwa gugatan ke DKPP adalah hasil olah pikir dan strategi yang dia rumuskan. Dan bahwa dengan gugatan tersebut para personil KPU KK saat ini terancam dipecat dan tamat eksistensinya.

Omongan panas disaat suhu isu menggelegak itu ditangkap lalu disebarkan oleh para pendengar dan penyimak hingga akhirnya tiba di kuping ketua dan anggota KPU KK. Apa yang terjadi berikutnya? Dari yang saya ketahui, personil-personil KPU KK merasa amat disakiti dan tengah menyiapkan langkah yang pasti akan memukul telak yang bersangkutan.

Kembali ke isu utama tulisan ini, Boltim dan dinamika politik serta pemerintahannya. Sebagai bagian dari komunitas politik dan aktivis, walau menikmati berbagai cerita dan ‘’bocoran’’, saya berusaha keras menjaga prinsip: Pertama, jangan pernah menyebutkan sumber informasi bila itu membahayakan yang bersangkutan. Dua, jangan perdulikan sesumbar dan omong besar karena kadar kesahihan informasinya biasanya 20 persen benar, 60 persen cuma abab, dan 20 persen lainnya sangat meragukan. Ketiga, cross check berulang-ulang setiap informasi yang penting agar pada akhirnya yang didapat adalah subtansi, bukan ikutan yang sekadar bumbu dan penyedap. Dan keempat, bila akhirnya harus disampaikan pada pihak yang menjadi obyek isu, maka sifatnya adalah kritik, masukan, atau bahkan pertanyaan, bukan provokasi.

Dapat dibayangkan bagaimana nasib seorang PNS di Boltim yang jengkel dengan tabiat Eyang hampir tiga bulan terakhir, yang di setiap apel PNS selalu menyemburkan kemarahan, bila saya nakal dan menginformasikan kutipan asli serapahnya? Kendati secara faktual belakangan Bupati Boltim memang gemar marah-marah di hadapan para birokrat bawahannya, tak beda dengan perempuan yang sedang ‘’datang bulan’’ atau bahkan memasuki masa menopause.

Tanpa mengutip lebih rinci apa saja yang menjadi keberatan dari umumnya birokrat di Boltim terhadap kebiasaan ‘’darah tinggi’’ Eyang, saya tak sungkan mencontohkan ancaman mutasi dan pencopotan terhadap PNS yang berdomosili di KK adalah salah satu yang dianggap paling menggores perasaan. Bagi beberapa orang yang langsung menyampaikan keluhan ke saya, adalah hak Bupati merumuskan dan mengambil kebijakan apapun. Tetapi kalau kebijakan itu terlebih dahulu digunakan sebagai alat dan alasan menakut-nakuti bawahan, menurut mereka, ‘’Eh, kalu mo copot, noh copot jo. Nyanda usah banya’ ba lamu’,’’

Bila ditarik ke belakang, ke awal 2013, sebenarnya Eyang kian tidak asing dengan ancaman copot-mencopot birokrat di jajarannya, khususnya para Kepala SKPD. Seingat saya, dia bahkan mengkampanyekan bakal membawa SK pencopotan ke mana-mana. Dokumen ini sudah ditandatangani dan siap dibubuhi nama pejabat yang disua melakukan pelanggaran berulang atau tak termaafkan.

Mungkin Eyang terlupa dengan yang pernah diperjanjikan itu. Atau, dia ingat tetapi memilih cara yang lebih halus: tak bosan memarahi jajarannya. Namun, dengan demikian di balik punggungnya Eyang kerap dipercakapkan sebagai sosok yang ‘’mudah berjanji, mudah pula melupakan janji.’’ Persepsi ini bahkan diusulkan oleh salah seorang kawan (yang juga mengenal dekat Eyang) sebagai materi kampanye calon penantangnya di suksesi Bupati-Wabup Boltim dua tahun ke depan. Kata kawan ini, ‘’Pasang saja baliho di samping balihonya Eyang dengan tagline, ’Nyanda pang ba janji sama dengan di sablah’.’’ Ide yang sungguh jenius sekaligus mendidik.

Lalu-lintas percakapan tentang Boltim dan Bupatinya itu tiba-tiba mencapai anti klimaks tatkala Eyang benar-benar melakukan rolling pada Kamis, 19 September 2012. Dari pemberitaan Kontraonline (http://kontraonline.com/13584/rolling-pejabat-dan-penandatanganan-pakta-integritas-pemkab-boltim/), Rolling Pejabat dan Penandatanganan Pakta Integritas Pemkab Boltim, saya melihat ada 20 pejabat setingkat Kepala Dinas, Kepala Badan, dan Staf Ahli, yang dilantik. Ini belum terhitung dengan jajaran di bawahnya, semisal Sekretaris Dinas atau Badan, serta Kepala Bidang (Kabid) dan Kepala Bagian (Kabag).

Karena tidak percaya dengan spekulasi bahwa birokrat Boltim yang bermukim di KK tidak akan kebagian kursi, saya tak mencermati dan membandingkan siapa dan bermukim di mana orang-orang yang mendapat giliran diembani amanat oleh Eyang itu. Saya lebih tertarik (pula tercengang-cengang) karena 20 pejabat setingkat Kepala Dinas dan Kepala Badan yang dilantik ternyata tak diangkat definitif. Mereka hanya ‘’Plt’’ atau ‘’pelaksana tugas’’. Tanpa repot-repot mengumpulkan informasi dari seluruh negeri, kita sah bersyak lewat rolling yang dia lakukan Eyang berhasil membawa Boltim memecahkan rekor kabupaten dengan jumlah Plt Kepala Dinas dan Badan terbanyak di Indonesia.

Lucunya, setelah pelantikan para Plt itu beberapa kali saya menyua berita yang mengutip pernyataan Eyang, bahwa dia memberi kesempatan tiga bulan pada kabinet baru itu untuk membuktikan kinerjanya. Pertanyaannya: Bagaimana kalau setelah tiga bulan kinerja birokrasi di Boltim tetap jalan di tempat? Apakah Eyang akan mencopot para Plt itu dan menggantikan dengan Plt yang lain?

Cukup tersediakah stok birokrat yang memenuhi syarat kepangkatan dan pengalaman untuk jabatan Kepala Dinas dan Badan, sekali pun sekadar Plt? Tidakkah dikuatirkan, karena terbatasnya sumber daya, setelah evaluasi dilaksanakan Eyang akhirnya hanya dapat menukar para Plt itu dari satu posisi ke posisi yang lain, mirip permainan dam?

Pembaca, saya sungguh ingin mengetahui alasan kebijakan Plt massal yang diambil Eyang, antisipasi jangka menengah dan panjangnya terhadap masalah sumber daya birokrasi di Boltim, serta apa sesungguhnya visi besarnya terhadap pemerintahan dan pembangunan di kabupaten ini? Mudah-mudahan dalam waktu dekat ‘’cuaca hati’’ Eyang sudah cerah dan dia punya keluangan waktu menerima telepon atau anjangsana saya.

Saya sungguh berhati-hati, sebab menelepon atau beranjangsana di waktu, tempat, dan suasana hati yang salah bisa-bisa membuat posisi sebagai ‘’teman’’ dia degradasi menjadi ‘’Plt teman’’.***