Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, March 28, 2013

Solilokui untuk Ayu Basalamah


ANGGAP saja apa yang dituliskan ini sekadar sesuatu yang ingin dikatakan. Mumbling atau gumaman samar-samar di keriuhan, yang lebih ditujukan untuk diri sendiri. Bukan agar sesiapa di sekitar memberi atensi, melainkan semata karena ada yang mendesak dinyatakan. Hanya dinyatakan, lalu biarkan dia terbang bersama angin atau luruh dalam pikuk.

Ayu Basalamah, gumam itu bukan tentangmu, tetapi ihwal ketidak-berdayaan manusia, entah karena alasan manusiawi, zalimnya kekuasaan, atau tersebab kita makin individualis dan tak peduli. Semua boleh disimpulkan dalam satu kata yang semestinya netral: tega.

Ya, ketika orang yang kemudian disebut-sebut sebagai ajudan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, dan seseorang lain yang patut diduga sebagai kerabat dekat keluarganya menjemputmu di Kotamobagu, saya tahu ‘’tega’’ adalah kata yang dapat berarti pula sebagai pelanggaran hukum, sewenang-wenang, mentang-mentang, dan mungkin biadab. Terlebih terduga utama penjemput itu ternyata bukan ajudan. Dia hanya salah satu oknum yang ditugaskan menjamin keamanan kediaman Bupati --yang kita sapa dengan akrab dengan Eyang— dan keluarganya.

Menjaga keamanan rumah Bupati, juga seisinya, tentu tak disertai tiket menggunakan kendaraan dinas (resmi) salah seorang pejabat di jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boltim, menjemput seseorang yang akhirnya lantak dianiaya. Ayu Basalamah, saya tidak tahu apakah pejabat yang mobilnya dipakai menjemputmu itu tahu kepercayaannya telah disalah gunakan. Sama tidak tahunya dengan apakah Eyang merestui tindakan itu atau tidak.

Yang saya tahu, ketika ada tangan mendarat di tubuhmu yang tidak setangguh badan kurus kami, sebagaimana kesaksian yang diabasahkan banyak orang, Eyang berseru (kurang lebih), ‘’Jangan pukul pa dia. Dia kita pe sudara.’’ Dia yang dimaksud Eyang adalah engkau yang bersimpuh menundukkan muka, mengekspresikan salah dan penyerahan diri. Yang mengaku takluk, meminta maaf, dan memohon keridaan Eyang.

Mencaci Eyang, seorang Bupati dan panutan, memang mengundang amarah. Terlebih bila serapah itu tersebab engkau tak tahu, bahwa dengan segala upaya, Eyang telah berikhtiar agar Novia Bachmid (bintang yang juga kau dukung) mampu mengukir prestasi tertinggi di Pentas Idola Cilik RCTI 2013. Ayu Basalamah, engkau tergelincir karena mulut memang lebih licin dari lantai marmer basah; pun ucapan lebih tajam dari tombak; serta sebuah kata yang salah tempat, salah waktu, dan diucapkan orang tanpa ‘’nomor punggung’’, tak beda dengan gong harakiri.

Kini, setelah wajah porak diterjang tinju dan tempeleng, badan payah diremuk tendangan dan pitingan, engkau belajar salah satu hal terpenting dalam peradaban panjang manusia: Jaga tutur dan tingkah. Yang tak perlu jangan diucap dan dilaku. Apalagi di hadapan kekuasaan yang tak punya akal sehat orang kecil dimangsa bagai tikus dipermainkan kucing. Tapi akankah engkau membiarkan takdir tikus memang adalah makanan kucing, atau membuktikan kemungkinan lain yang dipercayai sebagai ultimate situation dari sikap mengalah: Tikus pun akan balik menggigit kucing bila terpojok dan harus mempertahankan diri?

Apakah derita di hari nahas itu, ketika usai bermaafan dengan Eyang dan engkau tak dipulangkan ke Kotamobagu tetapi ke sebuah tempat dimana tangan-tangan dan kaki bertemperasan mendera, kita anggap selesai saja? Sebagai laki-laki yang tumbuh di era berkelahi adalah olahraga tradisional di Mogolaing, di setiap pertarungan sedapatnya aku menghitung berapa bogem, tempeleng, sikut, dan tendangan yang mampir ke tubuh. Tiap hutang mesti dibayar, bila perlu dengan bunga dan bonus.

Engkau bukan kepala batu yang doyang adu otot seperti anak-anak Jalan Amal di zaman kami remaja. Kepal oknum yang mengaku-ngaku ajudan saja pasti langsung melengkingkan ampun, apalagi ditambah hingga 11 pasang tinju dan kaki lain. Mereka juga terlatih dan ‘’haus’’ melampiaskan naluri binatangnya.

Lagipula sampai kapan pun menata rambut, mempercantik wajah, mengkilap-muluskan kulit bukanlah ketrampilan membela diri di tengah bentrok fisik. Walau, kebisaan ini dapat menjadi pembawa pesan damai bahkan di tengah perang seperti yang dilakukan Deborah Rodriques. Ayu Basalamah, engkau dan kaummu mungkin tak pernah mendengar, apalagi membaca, Kabul Beauty School (Random House, 2007) yang berkisah tentang tentang seorang penata rambut dan kecantikan yang jadi kabar suka untuk para wanita di tengah muramnya perang di Afganistan.

Kabul Beauty School adalah perlawanan di tengah ketak-berdayaan. Bahwa akhirnya kekuasaan yang zalim dan tanpa nurani tetap memakan korban, kian mempertegas pentingnya kita terus-menerus mesti menolak laku barbar dan anarkis. Menutup mata, berpasrah menyesali diri, lalu berserah pada nasib hanya membuka pintu jatuhnya korban Ayu-Ayu Basalamah lain di masa datang. Yang tak hanya menanggung lebam dan satu mata tertutup bengkak biru-ungu, tapi mungkin sesosok tubuh kaku dan dingin yang disua di selokan atau di balik rimbun sesemakan.

Melawanlah. Jangan berhenti meminta polisi mengusut, menangkap, dan menyeret gerombolan yang  petantang-petenteng karena merasa bakal mendapat perlindungan. Yang menganiaya karena tahu persis satu-satunya daya yang kau punya adalah melolongkan ampun. Tak usah peduli yang dihadapi tembok dan karang. Tak ada lagi padas yang terlampau kokoh di zaman ini. Generasi kita tidak sedang menunggu tetesan air melobangi batu. Kita punya palu, bahkan dinamit.

Seperti yang sudah aku tuliskan, engkau tak sendiri. Lukamu adalah tikaman yang melelehkan darah di banyak nurani orang Mongondow. Simpati dan empati orang banyak ini  adalah harapan yang tak boleh disia-siakan. Kendati dalam banyak hal tindakan polisi mengundang skeptis dan patah hati, kali ini kita menyisahkan sedikit percaya bahwa mereka tak akan membiarkan dukamu menjadi salah satu nomor gelap tumpukan arsip terlupa.

Bila pun tidak, artinya Eyang, Kapolres, dan semua otoritas berwenang membiarkan hukum rimba dipratekkan, maka ingatkan: Saya akan datang bersama sejumlah orang, menyambangi Eyang dan Kapolres, memohon penuh hormat untuk menyelesaikan dengan cara kuno. Bukan demi kau, Ayu Basalamah, tetapi agar kami tetap tidur nyenyak dan punya percaya, bahwa Mongondow adalah tempat di mana beradab masih di terus diikhtiarkan di tengah kian gilanya jagad manusia.*** 

Tuesday, March 26, 2013

HUT Bolmong: Parade Nista Kaum Dungu


PELECEHAN terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Aditya Moha, di upacara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) ke-59, Senin (25 Maret 2013), tepat seperti yang saya duga: Ditanggapi dengan kilah, pemelintiran, bahkan dusta. Orang-orang yang terlibat dan bertanggungjawab, beserta pendukung dan penyokong mereka, berupaya mengalihkan isu dari laku nista sejumlah pejabat di jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bolmong, menjadi sabotase politis.

Lihat saja bagaimana di media-media utama terbitan Sulut, Selasa (26 Maret 2013), kasus memalukan itu terpolarisasi dalam dua cara pandang. Sebagian besar menilai batalnya Sidang Peripurna Istimewa HUT Bolmong karena Ketua DPR, Abdul Kadir Mangkat, dan anggota Fraksi Partai Golkar (FG) lebih mengedepankan kepentingan kelompok dibanding kemaslahatan orang banyak. Hanya sedikit media yang setia menyajikan fakta, bahwa boikot Ketua DPR dan Fraksi PG dilatari peristiwa yang mendorong mereka mengambil sikap tegas.

Sekali lagi, sebagai bagian dari masyarakat Mongondow, saya mendukung penuh sikap Abdul Kadir Mangkat dan anggota Fraksi PG. Dukungan ini disertai pernyataan, siapa pun yang menyayangkan, mengecam, atau mengkritik apa yang lakukan sebagian anggota DPR Bolmong itu, otaknya tidak lebih baik dari keledai. Dungu, sok tahu, tidak mengenal etika, jauh dari beradab, dan asal bunyi.

***

Tahukah Anda, wahai para komentator (dari birokrat elit, anggota DPR, politikus, hingga tikus yang mengaku aktivis –celakanya media pun suka rela mengutip mereka), diam-diam hari ini berlangsung rapat sangat tertutup yang membahas menghilangnya penyerahan Mobil Reaksi Cepat Penanggulangan Kecelakaan Kerja bantuan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) ke Pemkab Bolmong dari daftar acara?

Begitu tertutupnya rapat tersebut, bahkan tidak membolehkan wakil yang dikirim Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berhalangan, ikut serta. Dari dalam ruang rapat saya mendapat laporan rinci, salah satu aktor utama konspirasi busuk dan memuakkan itu ngalor-ngidul tak karuan, (persis seperti yang sudah pula saya tuliskan) bagai orang mabuk cap tikus. Tanpa malu-malu dia mengkambing-hitamkan jajaran Hubungan Masyarakat (Humas) yang memang menjadi penanggungjawab seluruh rangkaian acara upacara peringatan HUT Bolmong.

Pejabat pongah itu lupa mengecek, Humas Pemkab punya sejumlah bukti mereka sudah melaksanakan tugas dengan maksimal. Penyerahan fasilitas kesehatan bergerak untuk para pekerja yang akan dilakukan anggota Komisi IX DPR RI, Didi Moha, yang juga mengemban mandat sebagai wakil Pemerintah Pusat, tercantum dalam susunan acara. Ini diperkuat naskah pidato Bupati Salihi Mokodongan yang juga menyinggung penerimaan bantuan tersebut. Termasuk ucapan terima kasih Bupati pada Depnakertrans.

Bukti lain, di gladi resik yang dilaksanakan satu hari sebelum puncak acara, penyerahan bantuan Depnakertrans masuk dalam simulasi seluruh rangkaian kegiatan. Dengan kata lain, mempersalahkan Humas menunjukkan mentalitas oknum-oknum birokrat yang duduk di jajaran elit Pemkab Bolmong telah sedemikian luar biasa bobroknya. Mereka seperti maling yang tertangkap tangan lalu mengamuk membabi-buta.

Tak dapat disangkal, menghilangnya penyerahan bantuan tersebut dilakukan di menit-menit saat upacara peringatan berlangsung. Aktor yang menjadi operator lapangan adalah Kepala Bagian Tata Usaha Pimpinan (Kabag TUP) Pemkab Bolmong, Teguh Krisjati, yang bagai lintah menempeli master of ceremony (MC) demi memastikan pembatalan itu berlangsung mulus.

Kalau Teguh Krisjati merasa nama baiknya dicemarkan, dia boleh menggugat saya! Tapi ingat, upacara peringatan HUT Bolmong diliput media, direkam, disaksikan ratusan kepala. Posisinya adalah tikus yang terperangkap, terlebih apa urusannya Kabag TUP yang tugas pokok dan fungsinya adalah mengurusi administrasi terkait dengan Bupati, Wakil Bupati, dan Sekretaris Daerah (Sekda) dengan suksesnya tugas MC? Memangnya dia suami atau pacar si MC, yang demi ketenangan hati dan perasaan, harus menjaga kekasih tercinta dari godaan dan tatapan mesum hidung belang yang kebetulan terselip di antara hadirin?

Skenario pembatalan penyerahan bantuan oleh Didi Moha adalah konspirasi terencana. Tidak perlu otak dan tangan dingin seorang pakar untuk membedah siapa inisiator, pelaku, dan apa motif hingga pelecehan terhadap institusi negara (yang diwakili Didi) dan pejabat negara (Didi sebagai anggota DPR RI) terjadi. Cukup Teguh Krisjati kita tempeleng beramai-ramai (seperti yang dilakukan gerombolan biadab di sekitar Bupati Bolaang Mongondow Timur –Boltim—terhadap Ayu Basalamah beberapa hari lalu), dia pasti segera menyanyikan siapa dalang dan oknum-oknum bejat di baliknya.

***

Langkah menunda (kemudian dituduh sebagai ‘’sabotase’’ dan ‘’boikot’’ oleh sejumlah mulut asal bunyi) yang diambil Ketua DPR Bolmong dan anggota Fraksi PG, sesungguhnya adalah penyelamatan harga diri masyarakat Bolmong. Bagaimana orang Mongondow, khususnya yang tercatat sebagai penduduk Bolmong (Induk), lega beriaan di HUT kabupatennya sementara anggota DPR RI asal daerah ini yang hadir pula sebagai wakil Pemerintah Pusat dinista semata karena sentimen dan dendam pribadi seseorang di elit Pemkab?

Pernahkah, sejak Bolmong resmi berdiri sebagai kabupaten puluhan tahun silam, secara komunal kita bersepakat pelecehan atas nama sentimen dan dendam pribadi absah bila itu dilakukan oleh mereka yang berpangkat dan punya jabatan? Kalau tokoh sekelas Didi Moha (usianya memang muda, tetapi dia adalah anggota DPR RI) boleh dilecehkan, besok-lusa meludahi Bupati, Wabup, Sekda, atau Kepala SKPD kita nyatakan dan sepakati saja sebagai bagian dari budaya luhur orang Mongondow.

Ketimbang mencela dan mencerca Ketua DPR dan Fraksi PG, para pengkritik itu sebaiknya langsung pada sumber mala yang tepat terpacak di depan mata mereka. Bupati yang kepemimpinannya bagai kapal patah layar di tengah deraan ombak; para pejabat yang sikut-sikutan, asyik menjilat, dengan agenda pribadi masing-masing; serta pendukung dan penyokong pemerintahan Bupati-Wabup 2011-2016 yang kian lama suaranya makin mendekati bunyi radio rusak.

Berkilah, memelintir, apalagi mengarang-ngarang dusta demi membela para peleceh di HUT Bolmong ke-59, sama artinya dengan mendorong kabupaten ini lebih cepat karam.*** 

Palsu-Palsu Memang Menggoda


DI MONGONDOW, khususnya Bolaang Mongondow Timur (Boltim), selain Bupati Sehan Lanjar, ada dua politisi yang selalu mengundang perhatian saya. Mereka adalah Sopian Alhabsyi dan Sunarto Kadengkang.

Tiap kali bersua Sopian Alhabsyi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Boltim dari Partai Bintang Reformasi (PBR) yang lebih populer sebagai Aba Um, saya menikmati percakapan penuh semangat. Tentu ditemani kopi dan kepul-kepul asap kretek bagai cerobong kereta api berbahan bakar batubara. Dalam soal ceplas-ceplos dan keterus-terangan, Aba Um hampir setara Eyang (sapaan akrab Bupati Boltim ini selalu saya tuliskan dengan penuh respek).

Dengan Eyang dan Aba Um, saya bagai berada di tengah karib yang tumbuh bersama dari masa kanak. Membahana dalam tukar cerita, tertawa lepas, bahkan tak ada halangan mengulas topik-topik sensitif dan very-very confidential.

Di sisi lain, sikap easy going Aba Um dibarengi pula dengan temperamennya yang mirip balon. Salah sentuh sedikit, dia bakal meledak. Sekaligus gampang teduh. Bagi Aba Um tampaknya tak ada yang benar-benar dimasukkan dalam hati, kecuali yang menggores harga diri dan kehormatannya.

Sikap terbuka (dan berani) Aba Um tak pandang bulu pula. Mencuatnya dugaan penyalahgunaan anggaran Makan Minum (MaMi) di DPR Boltim, misalnya, dengan enteng dia tanggapi. Menurut Aba Um’, sebagaimana dikutip Kontra Online (http://kontraonline.com/11561/alhabsyi-siap-ungkap-informasi-dugaan-korupsi-dana-ma-mi-dprd-boltim/), dia akan kooparatif memberikan semua keterangan yang diperlukan pihak berwenang. Kita patut menduga, pernyataan itu diam-diam mengundang geram koleganya yang ‘’mungkin’’ bakal turut terjerat.

Politisi lain adalah Sunarto Kadengkang yang (setidaknya sampai saat ini) duduk di DPR Boltim lewat Partai Golkar (PG). Saya tidak akrab dengan sosok yang dikenal dengan panggilan Om To’ (dia juga mungkin sama sekali tak tahu tentang saya) ini. Namun dalam percaturan percakapan politik Mongondow, Om To’ kerap disebut, terutama urusan humor-humor segar dan original-nya. Tanpa terkatan, telah lama saya menjadi fans Om To’ dalam pengertian sebenarnya.

Karena tak cukup dekat mengenal Om To’, sulit bagi saya menggambarkan seperti apa dia di balik permukaan. Namun dengan mengikuti dinamikanya sebagai politikus, terutama yang dipublikasi di media, saya menyimpulkan Om To’ dan Aba Um punya kemiripan dalam soal ceplas-ceplos. Apapun yang mereka komentari, dengan gaya dan cara masing-masing, mengalir bebas dan tanpa beban.

***

Sebagai pengagum Om To’, saya menjadi salah satu warga Mongondow yang kaget ketika mengetahui dia ditangkap polisi atas dugaan penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba). Saya bersimpati dan berempati. Setiap orang berpotensi keliru dan bertindak salah. Dan itu tidak menghapus kesan baik, lucu, dan manusiawi dari benak saya terhadap Om To’.

Dukungan saya hanyalah, semoga  Om To’ dapat melewati proses hukum yang kini dijalaninya dengan tabah. Badai pasti berlalu.

Ketersentakan yang sama menghantam saya ketika isu materai palsu mencuat dan nama yang terkait adalah Aba Um. Sintesa dari lalu lintas informasi yang saya ketahui menyebutkan, materai palsu yang jadi pokok soal bersumber dari Aba Um. Fakta ini tak dibantah, bahkan diperjelas, antara lain lewat Kontra Online, Jumat (22 Maret 2013), Soal Materai Palsu, Alhabsyi Mengaku Ditipu Wanita Pramuria Jakarta (http://kontraonline.com/11773/soal-materai-palsu-alhabsyi-mengaku-ditipu-wanita-pramuria-jakarta/).

Aba Um tanpa tedeng aling-aling membeberkan riwayat hingga materai palsu yang kini jadi dugaan tindak pidana tiba ke tangannya. Dia juga mengungkap barang palsu ini beredar karena niatnya membantu yang memerlukan. Misalnya kelompok nelayan yang mengurus dokumen yang membutuhkan materai.

Terang-benderanglah hal ihwal palsu itu. Dengan kata lain, Aba Um adalah korban penipuan dan dia berhak mendapatkan perlindungan hukum. Apalagi sebagai korban dia tidak menggunakan barang palsu yang dikuasai untuk mendapatkan keuntungan, tetapi dimanfaatkan demi kepentingan yang bersifat sosial dan suka rela.

Kita tentu tidak perlu mengutak-ngatik lebih jauh mengapa pelaku penipuan terhadap Aba Um adalah ‘’wanita pramuria’’ di salah satu pub di Jakarta. Mengulik informasi tidak perlu hanya melahirkan spekulasi dan gosip. Bisa-bisa kemudian ada pertanyaan: Ketemunya di pub ya? Dalam rangka studi banding, konsultasi DPR, bimbingan teknis, atau jalan-jalan pribadi?

Aba Um, harap maklum, mulut iseng di Mongondow memang suka mencari-cari celah, menggali cerita yang dapat dipertukarkan sebagai menu tambahan di warung kopi, arisan, atau sekadar reriungan berbual membuang-buang waktu. Saya kira pertanyaan tidak penting seperti itu tak perlu ditanggapi.

Penipuan yang dilakukan ‘’wanita pramuria’’ sudah dilaporkan ke pihak berwajib. Polisi telah pula mengusut. Sebagai korban, Aba Um dan para pengguna materai palsu itu tak boleh dikriminalisasi.

***

Selesaikah masalahnya? Tidak juga. Menurut pendapat saya, kita memang mesti mewaspadai merajalelanya segala yang palsu. Sekadar cinta palsu, hubungan palsu, janji palsu (khususnya di musim kampanye), ijazah palsu, bahkan polisi dan tentara palsu, sudah jadi konsumsi harian kita. Jangan ditanya lagi barang-barang konsumsi palsu yang bahkan banyak di antara kita bangga menggunakannya.

Memang mana tahan melihat barang-barang palsu, yang di tangan pemalsu kelas empu tampak lebih luar biasa dan tanpa cela bahkan dibanding aslinya. Saya tentu tak sedang bicara tentang kaos, celana, sepatu, jam tangan, tas, atau perhiasan ber-merk yang di-KW-kan. Melainkan yang tak dilebeli dan hanya dapat dideteksi oleh para pakarnya.

Dengan terlebih dahulu meminta maaf, siapa sih (termasuk politisi dan anggota DPR berpengalaman seperti Aba Um) yang mampu mendeteksi senyum sumringah dari wajah ayu, tubuh bagai dewi Yunani, dengan kepribadian aduhai, ternyata semuanya palsu. Senyumnya hasil latihan akting, wajah manis adalah kreasi ahli bedah plastik di Singapura, dan tubuh moi ternyata tak beda dengan body mobil, penuh plastik, dempul, dan disempurnakan dengan sedot lemak.

Yang palsu tapi sukar dideteksi ini menjadi pintu masuk membanjirnya palsu-palsu yang lain. Soalnya adalah kita tak bisa membandingkan, seperti menyanding Nike atau Adidas original dan KW, yang cukup dilakukan dengan membawa ‘’barang terduga palsu’’ ke gerai yang digaransi memang hanya menjual produk asli.

Nah, sebelum saya melantur dan mengundang kecaman dari para penggiat gender dan advokasi perempuan, kita tutup saja tulisan ini. Lagipula, peringatan terhadap godaan palsu ini bukan hanya pada kaum pria semata. Para wanita pun sebaiknya siaga terhadap senyum menggoda, wajah flamboyan, dan postur macho. Boleh jadi itu juga hasil pemalsuan, pembuka pintu menuju palsu-palsu selanjutnya. Terlebih kalau yang bersangkutan mengaku anggota DPR, pejabat tinggi, perwira teras, atau pengusaha terkemuka.***

Monday, March 25, 2013

Wabah Lupa Daratan di Bolmong


HARI Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) ke-59, Sabtu (23 Maret 2013), jatuh bersamaan dengan libur akhir pekan hingga baru diperingati Senin (25 Maret 2013). Galibnya HUT, serangkaian acara pun dihelat yang puncaknya adalah upacara peringatan dipimpin Bupati Salihi Mokodongan serta Sidang Paripurna Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bolmong.

Kemeriahan HUT yang dipusatkan di Ibukota Bolmong, Lolak, itu dilengkapi kehadiran sejumlah tokoh dan orang penting, antaranya anggota Komisi IX DPR RI asal Mongondow, Aditya Moha. Sejatinya politikus muda yang akrab disapa Didi ini tidak sekadar diundang, tetapi dia mewakili DPR RI dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menyerahkan bantuan Mobil Reaksi Cepat Penanggulangan Kecelakaan Kerja.

Bolmong adalah satu-satunya daerah di Sulut yang menerima bantuan fasilitas bergerak untuk para pekerja ini. Tidak salah kalau mobil dan peralatan pendukungnya itu diserahkan secara resmi bersamaan dengan upacara peringatan HUT Kabupaten.

Namun, mendadak serah terima yang direncanakan itu menghilang dari susunan acara yang sebelumnya sudah diinformasikan, termasuk ke Didi Moha yang juga telah hadir di tempat upacara berlangsung. Kabar yang saya terima menyebutkan, akhirnya penyerahan bantuan tetap dilaksanakan di akhir acara, tetapi setelah Ketua DPR Bolmong, Abdul Kadir Mangkat, meradang karena menganggap jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) melecehkan Didi dan mandat yang dibawanya.

Tak hanya Ketua DPR yang tak dapat menerima penghinaan yang sengaja dilakukan jajaran Pemkab itu. Sejumlah anggota DPR, terutama dari Fraksi Partai Golkar (PG), bereaksi tak kalah kerasnya. Mereka kemudian memilih balik kanan, meninggalkan Sidang paripurna Istimewa yang semestinya berlangsung setelah upacara peringatan selesai.

Tanpa Ketua DPR dan sejumlah anggotanya, sidang batal dilaksanakan. Dan untuk pertama kalinya, sejak mengenal institusi DPR, saya menyatakan mendukung langkah mereka. Bahkan jangan berhenti hanya menunda Sidang Parupurna Istimewa HUT Bolmong, tetapi juga memanggil Bupati mempertanggungjawabkan pelecehan terhadap Didi Moha (dalam kedudukannya sebagai pengemban mandat Komisi IX DPR RI dan Depnakertrans), bila perlu membentuk Panitia Khusus (Pansus) yang target akhirnya memakzulkan Salihi Mokodongan.

***

Masyarakat Mongondow umumnya cepat bereaksi terhadap peristiwa yang dianggap tak biasa. Memang, gosip dan bisik-bisik segera  menyebar, mengabarkan bahwa Didi Moha dengan sengaja dilecehkan karena ada persoalan pribadi yang belum selesai antara dia dengan salah seorang pejabat teras di jajaran Pemkab Bolmong, yang kebetulan pula menjadi lingkaran dekat Bupati. Kata kabar yang saya terima, kisikan maut sang pejabat ini juga didukung dua birokrat lain yang dikenal sebagai orang dekat Bupati.

Oh, rupanya dagelan tak sedap yang ditonton pula oleh undangan dan tamu dari luar Mongondow itu adalah pelampiasan dendam pribadi? Sebagai warga Mongondow saya tidak ambil pusing siapa yang benar dan salah di antara keduanya; tetapi ulah mensabotase penyerahan bantuan dari Depnakertrans yang akhirnya melecehkan Didi Moha dan mandat yang dia emban, pantas diganjar dengan pencopotan si pejabat dari jabatannya.

Seingat saya, di bawah pemerintahan rezim sebelumnya, ketika Bupati Marlina Moha-Siahaan (yang juga Ibunda Didi Moha) berkuasa, belum pernah terjadi pelampiasan kemarahan dan dendam pribadi di tengah berlangsungnya event resmi pemerintah. Mantan Bupati Marlina bukan tak pernah berselisih paham, bertabrakan, konflik dengan lawan politik, bersetru dengan sesama pejabat di dalam dan di luar Sulut, atau dengan ‘’perang’’ dengan birokrat di jajarannya. Namun semuanya, sepengetahuan saya, di lakukan diam-diam dan di luar arean publik.

Benarkah sabotase terhadap Didi Moha dan penyerahan bantuan fasilitas bergerak untuk para pekerja itu semata didasari sentimen dan persoalan pribadi? Kalau bukan, lalu apa? Belum selesainya rivalitas antara Didi Moha dan Salihi Mokodongan karena kompetisi mereka di Pemilihan Bupati (Pilbub) Bolmong 2011 lalu? Atau justru ulah itu ditujukan terhadap mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan, yang alasannya juga patut diduga kurang lebih sentimen dan balas dendam? Sebab meniadakan salah satu acara dari rangkaian peringatan HUT Bolmong ke-59 bukanlah khilaf, apalagi terkait dengan pemberian bantuan fasilitas yang wujudnya tepat terpantek di depan para hadirin.

Hanya Bupati Salihi Mokodongan dan para konspirator di sekitarnya yang punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Dan kilahan apapun yang bersiliweran dari jajaran Pemkab Bolmong, tak dapat menghadang fakta bahwa pemerintahan di kabupaten ini dalam dua terakhir terakhir dijalankan bagai kapal dengan penggendali kapten yang sedang mabuk. Pada seorang kawan yang iseng bertanya, saya mengatakan Bupati memerintah bagai ‘’lupa daratan’’. Mungkin karena dia memang hanya terbiasa main di laut. Dan lupa daratan itu juga penyakit yang sangat menular, terutama ke para elit dan pejabat di sekitarnya.

Wabah itu mengerikan. Bupati yang dengan segala hormat saya sebut naif (tersebab saya bosan selalu menuliskan dia tak tahu apa-apa dan tak mau diberitahu), dengan sengaja membiarkan jajaran di bawahnya berulah hingga taraf menghina dan melecehkan dia; lalu berkembang ke penghinaan dan pelecehan terhadap tokoh dan lembaga lain yang bahkan berada di derajat yang lebih tinggi. Pemerintah dan pemerintahan macam apa ini?

***

Lalu apa gunanya saya menuliskan kepedulian, karena pasti tak bakal diindahkan juga? Bupati Bolmong dan jajarannya tak perlu merasa sedang dikritisi dan dikritik. Catatan ini adalah rekaman dan renungan untuk generasi kini dan nanti di Mongondow, bahwa rezim yang dipimpin orang pintar, seberapa busuk pun, selalu lebih baik daripada pemerintahan yang dikuasai orang-orang dengan pikiran dan logika hanya setara biji kacang.

Sialnya lagi, sudah di bawah standar, mereka juga terus-menerus dibuai mabuk.***