Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, December 19, 2012

Ulang Tahun (Lagi): ‘’Asang-Asang’’ di Bolsel


KABAR itu datang tak lama setelah saya mengunggah Ulang Tahun dan Waspada ‘’Ba Aceng-Aceng Sadiki’’. Sang pembawa kisah menginformasikan Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu, marah dan maraju karena pada Minggu, 16 Desember 2012, tak satu pun jajaran di sekitarnya yang ingat (apalagi mengucapkan syukur) dua tahun kepemimpinannya sebagai Bupati.

Ya, ampun, saya pun baru sadar bahwa hari itu Herson Mayulu dan (almarhum) Samir Badu memang genap berusia dua tahun dilantik sebagai Bupati dan Wakil bupati (Wagub) Bolsel. Betapa cepat waktu berlalu.

Nubuat marah dan maraju ini kian dramatis karena satu-satunya orang yang mengingat ulang tahun pemerintahan Bupati Herson Mayulu (sebagai kerabat dan –orang yang merasa—kawannya saya menyapa dengan ‘’Oku’’ atau ‘’Ama’ i Feni’’) hanyalah Hud Gobel. Dengan hormat saya menyampaikan salut pada Hud Gobel, staf penata peralatan di Pemkab Bolsel, atas ingatan tajam, simpati, dan empatinya.

Manusiawi dan harus dimahfumi bila Oku kecewa dengan memori pendek orang-orang di sekitarnya. Saya membayangkan hari itu, sejak subuh dia terjaga (walau tak mengharap) menunggu surprise atau minimal ucapan selamat dua tahun jadi Bupati dari jajaran di bawahnya (kendati mungkin sekadar basa-basi yang umum dipertontonkan para birokrat terhadap atasan mereka).

Yang ada adalah Ahad panjang yang dijeda ketakziman seorang Hud Gobel. Lalu hari berlalu begitu saja.

Andai penilaian terhadap promosi seorang staf birokrasi sefleksibel sektor swasta, dengan berani saya mengusulkan kenaikan pangkat dan jabatan khusus untuk Hud Gobel. Minimal dia menunjukkan loyalitas (walau itu personal) dan keawasan terhadap kepentingan atasannya.

Kalau di daerah lain di Bolaang Mongondow (Bolmong) Raya Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) bahkan sukarela berbondong terbang keluar daerah hanya untuk merayakan hari ulang tahun (HUT) putri Walikota, masak momen sepenting dua tahun masa jabatan dilupakan begitu saja. Halooo…, mereka duduk di jabatannya karena Oku menjabat sebagai Bupati. Bila bukan dia, mungkin karir para Kepala SKPD itu juga berbelok ke arah yang berbeda dari sekarang.

Saya membayangkan perasaan sepi dan sendiri seperti apa yang mengecamuk Oku saat itu. Dan kesepian seorang penguasa (bukankah Bupati adalah sosok tertinggi di daerahnya) lebih menyakitkan dari rasa yang sama yang mendera kita, orang kebanyakan.

Mereka yang akrab dengan karya sastra Amerika Latin dan pernah membaca Gabriel Garcia Marquez dengan segera bisa megingat salah satu karya terbaiknya, The Autumn of the Patriarch (1975), dan mengontekskan pada kekuasaan dan kesepian. Kesepian seorang penguasa berlipat kali lebih berat dibanding memikul kekuasaan itu sendiri.

Hiburan yang sering saya dengar mengatakan, ‘’Sabar. Belum ada orang yang meninggal karena sabar.’’ Mungkin karena koran dan media tidak pernah menyiarkan ada orang yang mati karena sabar, hingga kata-kata seperti ini dianggap memiliki tuah. Beda dengan sepi dan sendiri, yang dalam banyak penelitian kesehatan, terbukti bisa mendorong orang memperpendek umur. Post power syndrome adalah salah satu varian dari ‘’rasa sepi dan sendiri; atau kehilangan’’ itu.

Tanpa memihak Oku, menurut hemat saya, ulang tahun pemerintahan bagi seorang Bupati (sebagai kepala Daerah) adalah momentum penting yang semestinya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Pertama, dia mengevaluasi sejauh mana efektivitas, efisiensi dan tepat gunanya arahan, putusan, dan kebijakan yang diambil. Kedua, mengevaluasi jajaran di bawahnya, yang telah membantu pelaksanaan tanggungjawabnya sebagai pemimpin. Tiga, peringatan bahwa waktu terus berjalan dan kian pendek untuk membuktikan visi dan misi yang dijanjikan saat terpilih.

Kilahan bahwa ulang tahun pemerintahan Oku sebagai Bupati Bolsel jatuh di hari Minggu, boleh jadi alasan yang agak masuk akal. Kendati dalih ini cukup didebat dengan kalimat pendek: Memangnya di Ahad seorang Kepala SKPD turun pangkat jadi staf? Memangnya pula di Ahad segala fasilitas (birokrasi) dan wewenang yang ada di tangannya dilucuti?

Apa boleh buat, momentum penting itu terlewatkan. Saya tidak heran, di akhir tahun Kepala SKPD biasanya mendadak sibuk. Kesibukan yang sebenarnya tidak perlu bila sepanjang tahun mereka bekerja dengan benar dan profesional. Mengurusi surat perintah perjalanan dinas (SPPD) atau kemana sisa anggaran harus dialokasikan, sungguh tidak perlu bila good governance benar-benar dipaktekkan.

Drama lupa itu belum berakhir. Selasa malam (18 Desember 2012) serial hikayat ini tiba di telepon genggam saya. Entah karena merasa bersalah, kata sahibul cerita, dipimpin salah seorang Asisten, para Kepala SKPD menyiapkan doa syukur (tentu lengkap dengan makan-makannya) memperingati dua tahun kepemimpinan Bupati. Sedianya  mintahang ini dilaksanakan di Rumah Dinas(Rudis) Bupati (lama) di Molibagu. Tersebab Bupati kadung jengkel, (saya tidak tahu dengan alasan apa, karena lupa ditanyakan ke si pembawa info) rencana syukuran itu kemudian dipindahkan ke Rudis (baru) di Pinolosian.

Tampaknya para inisiator acara syukuran itu memegang teguh prinsip: Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Mereka lupa, kejengkelan yang dipupuk tak lebih dari menabur garam dan asam jeruk di atas luka yang masih segar.

Lucunya, syukuran kepemimpinan Bupati itu justru tak dihadiri Oku. Kata sang pengabar, Bupati yang tiba menjelang malam di Rudis dari perayaan Natal di Pinolosian Timur, melaksanakan sholat Magrib, dan setelah itu bersigegas ke Posigadan untuk acara lain yang sudah dijadwalkan. Akan halnya syukuran dimaksud, terus berlangsung lengkap dengan aneka hidangan.

Yang lupa saya tanyakan, apakah pula ‘’kuah asang kepala ikan’’ turut disajikan dalam syukuran tersebut? Saya yakin menu penggoda liur ini layak mewakili perasaan Bupati Herson Mayulu.***

Tuesday, December 18, 2012

Ulang Tahun dan Waspada ‘’Ba Aceng-Aceng Sadiki’’


MERAYAKAN hari ulang tahun (HUT) hampir tak pernah tercatat di jadwal saya.

Lahir dari keluarga yang cukup tapi tak berlebihan, sejak masa kanak kami kakak-beradik merayakan HUT dengan mintahang. Itu pun kerap dikaitkan dengan kepentingan lain: Mintahang lulus sekolah atau mintahang menjelang Ramadhan.

Saya baru mengenal perayaan HUT setelah menikah dan punya anak. Itu pun bukan untuk diri sendiri. Mula-mulanya ide itu muncul dari istri dan adik-adik. Niatnya sekadar lucu-lucuan dan supaya ada alasan menggelar makan-minum sembari berbual-bual. Tak kurang penting, memuaskan naluri ibu-ibu mengurusi printilan goody bag untuk para bocah. Bagi istri, adik ipar, dan adik perempuan saya, belanja permen, kue, mainan dan asesoris goody bag membawa kenikmatan sendiri.

Ketika anak-anak tumbuh melewati balita (bawah lima tahun), perayaan HUT kian ringkas. Cukup berpesta di mall atau restoran cepat saji.  Yang ber-HUT, undangan, dan para orangtua tinggal hadir dan duduk manis. Segala sesuatu sudah tersedia, lengkap dengan badut dan master of ceremony (MC) handal (yang kelasnya tergantung seberapa dalam Ayah-Ibu merogoh kantong).

Beda generasi, beda ekspresi. Satu saat saya pernah mengomentari perayaan HUT anak kedua, yang dia inginkan digelar di restoran cepat saji, sebagai sesuatu yang tidak saya kenal di masa kanak. Jawaban berandal kecil itu adalah: ‘’Masa kecil Papa kan teve saja masih hitam putih. Mall belum ada. Jadi mana bisa bergaya.’’

Gaya, di dunia kini, memang penting. Maka saya mencoba tidak heran ketika membaca ada anak Walikota di Mongondow yang ber-HUT sembari mengundang grup musik pujaan remaja (tentu dengan honor se-ho oh besarnya). Saya berpayah-payah mahfum pula kalau mendadak di hari kerja hampir seluruh Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) tiba-tiba raib karena menghadiri perayaan HUT anak atasan mereka di Jakarta, seperti dilansir Beritamanado.Com, Senin, 10 Desember 2012 lalu (http://beritamanado.com/totabuan/puluhan-kepala-skpd-kotamobagu-hilang/146120/).

Padahal semestinya apa yang dilakukan para Kepala SKPD itu, bahkan untuk standar normatif, cukup memalukan. Mirip bocah yang rela meraung-raung dan mengepel lantai dengan bokong andai tidak diijinkan menghadiri HUT kawannya. Tidak adakah alasan yang lebih bermartabat daripada meninggalkan tanggungjawab melayani orang banyak demi HUT anak atasan?

Membayangkan orang-orang dewasa bertingkah seperti itu, saya teringat kilahan lain anak kedua tatkala saya memprotes keinginannya menghadirkan seorang pesohor sebagai MC di HUT-nya. Katanya, ‘’Ya, HUT Papa kan memang cukup dengan baca doa. Papa kan anak pegawai negeri. Saya anak manajer di perusahaan multi nasional.’’

Waduh, kebas mulut ini. Anak-anak modern memang punya seribu akal dan jutaan dalil. Sama dengan politikus dan birokrat yang kian piawai bersiasat. Kalau pun ada yang bersoal tentang terbang bergerombol di hari kerja demi HUT anak Walikota, jawaban mereka tak jauh dari: ‘Sebagai Kepala SKPD kami loyal pada atasan (tidak jelas definisi atasan di sini, apakah ayah si ahlul HUT atau yang ber-HUT).’’ Atau, ‘’Menghadiri HUT bukanlah pelanggaran. Justru demi membangun tali silaturrahim.’’

***

Sungguh saya tidak anti budaya HUT. Tidak pula sungkan mengucap atau menghadiri perayaannya (kendati kemudian diam-diam menyelinap pulang karena sudah sejak lama saya mengindap phobia  bersuka-ria di tengah kebisingan), terlebih terhadap orang-orang yang menjadi sahabat atau saya kenal baik. Mengingat dan (minimal) mengucapkan selamat HUT adalah ekspresi simpati dan empati.

Terlebih, sebagai pemeluk Islam, saya tahu persis (seperti pula kutipan-kutipan yang kerap di-broad cast di jaringan BlackBerry Message), bahwa: Di setiap HUT dunia pelan-pelan meninggalkan, sebaliknya akhirat terus mendekat.

Senin, 17 Desember 2012, saya mengirim selamat HUT dan doa untuk Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar. Saya tidak menuliskan HUT ke berapa, sebab untuk kaum pria tampaknya momen yang selalu diingat adalah usia 7, 12 (saat akil baliq), 17, 21 dan syukur-syukur 70 tahun. Jadi buat Eyang (demikian dia akrab disapa), ‘’Selamat HUT ke 21.’’ Usia kami tidak terpaut terlampau jauh, karena saya sendiri baru menginjak 18 tahun.

Eyang sedang berada di usia puncak, energik, produktif, dan Alhamdulillah duduk di kursi Bupati. Tentu tak perlu puja-puji, sebab tak ada manusia yang sempurna. Sebagai Bupati pun dia perlu dikritik, semisal dalam pengelolaan keuangan Boltim yang dua tahun terakhir disclaimer, kasus operasi tambang biji besi di Paret yang rusuh (sementara Eyang menjanjikan akan mencabut izinnya –yang kabarnya hinggak kini tak ketahuan rimbanya), dan aneka isu lain yang membuat langit politik Boltim gemerlap.

Namun sebagai pribadi saya respek, menghormati, dan menyayangi Eyang. Dia adalah salah satu dari sangat sedikit politikus yang menjadi pejabat publik yang tak surut dalam perkawanan hangat dan apa adanya. Eyang tetap manusia dengan kecerdasan, kecerdikan, trik dan (kerap) perilaku komikalnya  --perpaduan antara Abunawas dan Nasrudin Hoja. Dia juga tidak alergi terhadap kritik dan caci. Paling-paling dengan tawa lebar dia berkilah, ‘’Jang bagitu kua’. Bupati ini….’’

Lalu adakah yang harus diingatkan pada Eyang di momen istimewa ini? Saya ingin mengutip pernyataan dari istrinya (oleh kalangan dekat disapa ‘’Umi’’), yang berasal dari BlackBerry Message seorang kawan.  Mengomentari Eyang di usia matangnya, Umi bilang, ‘’Eyang itu romantis skali, maar so mulai ba aceng-aceng sadiki.’’

Aceng-aceng? Ini kata yang sama sekali tak saya kenal, yang setelah beberapa penjelasan barulah terang-benderan. Yang dimaksud dengan ‘’ba aceng-aceng sadiki’’ itu merujuk pada kelakuan Bupati Garut, Aceng Fikri, yang kini jadi mega isu gara-gara (konon) sukses marathon menikahi delapan perempuan, satu di antaranya bahkan dicerai hanya dalam hitungan empat hari.

Kata-kata Umi cocok dipadankan dengan pernyataan yang berulang kali saya dengar dari Eyang, bahwa, ‘’Kita nyanda tako dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Maar kita tako skali dengan KUA (Kantor Urusan Agama).’’ Dengan kata lain, untuk urusan korupsi (Insya Allah) Eyang tahu dia siap membentengi diri. Lain soal dengan ‘’ba aceng-aceng sadiki’’ yang tampaknya dia sadari setiap saat mengintai bagai demit.

Selamat HUT, Eyang. Waspadalah pada ‘’ba aceng-aceng sadiki’’ itu. Doa kami bersamamu dan keluarga.***

Monday, December 17, 2012

Kabinet Tersangka dan Narapidana


ALBERT Einstein bukan hanya salah seorang ilmuwan jenius paling berpengaruh dalam peradaban manusia. Dia (di banyak biografinya) digambarkan pula sebagai pembangkang ugal-ugalan dengan mulut dan kata-kata yang kerap tak terduga.

Tak sedikit kata-kata yang pernah dilontarkan (atau ditulis) Einstein yang kini menjadi kutipan populer. Salah satu yang paling saya sukai adalah, ‘’The difference between stupidity and genius is that genius has its limits.’’ Yeah, kita tidak akan memperdebatkan bahwa kebodohan memang tak punya batas.

Kalimat nakal Einstein itu kerap dijajar dengan pernyataan lainnya, ‘’Two thins are infinite: the universe and human stupidity; and I’m not sure about the universe.’’  Ringkasnya, mogul fisika teoritis yang merumuskan teori relativitas khusus, terori relativitas umum dan teori kuantum ini ingin menegaskan, bahkan jagad raya yang maha luas mungkin ada batasnya. Tidak dengan kebodohan manusia.

Dua kutipan itu segera berkelebat (lagi) di benak saya ketika membaca Kontra Online, Kamis (29 November 2012), yang menulis tentang ditangkapnya salah satu birokrat papan atas Bolaang Mongondow (Bolmong) karena dugaan korupsi (http://kontraonline.com/10388/kepala-inspektorat-bolmong-ditahan-kejaksaan/). Tidak main-main, yang dicokot Cabang Kejaksaan Negeri (Cabjari) Kotamobagu itu adalah Kepala Inspektorat Bolmong, Suwondo Moka.

Kalau pejabat yang berwenang sebagai ‘’penjaga’’ ketertiban birokrasi (lebih khusus dalam soal anggaran) digelandang ke bui karena dugaan korupsi, seperti apa sebenarnya wujud isi perut Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bolmong? Patut diduga ditangkapnya Suwondo Moka hanya puncak gunung es kerusakan birokrasi, di mana yang lebih besar dan maha gawat sesungguhnya masih berlangsung diam-diam di bawah permukaan.

Hampir dua pekan berselang, Selasa (11 Desember 2012), saya terpaksa menggaruk-garuk kepala membaca situs yang sama, yang memajang tajuk Polda Sulut Terus Seriusi Pengusutan Dugaan Ipal Bupati Bolmong (http://kontraonline.com/10586/polda-sulut-terus-seriusi-pengusutan-dugaan-ipal-bupati-bolmong/). Dugaan pelanggaran hukum berkaitan dengan ijazah Bupati Salihi Mokodongan ini tampaknya jadi semacam ‘’mainan’’ bagi aparat di Polda Sulut.

Sejak lebih dua tahun terakhir, saya tak habis pikir setiap kali menyua isu ijazah Bupati Bolmong itu di media massa terbitan Sulut. Polisi yang sudah sedemikian canggih, yang katanya ‘’sebagai pelayan dan pengayom masyarakat’’ segera menindak-lanjuti setiap isu yang berpotensi menggangu ketertiban dan kenyamanan umum, bisa-bisanya begitu lambat dan majal dalam soal sesederhana membuktikan benar-tidaknya ijazah Salihi Mokodongan.

Apa boleh buat, saya percaya saja pada duga-duga (tak bertanggungjawab) yang meruyak, bahwa polisi memang sengaja memelihara isu dugaan ijazah abal-abal Bupati Bolmong, yang lalu digunakan sebagai alat dagang. Kasarnya: setiap kali ada kepentingan, isu ini dimainkan di depan publik sembari Bupati terpiuh-piuh karena kakinya terkunci mati.

Garukan di kepala kian kencang (saya kuatir lama-kelamaan rambut bakal rontok bukan karena usia atau terlalu banyak mikir) karena berita lain yang diunggah Kontra Online (http://kontraonline.com/10669/sunge-gantikan-peran-bupati-ancam-roling-kepala-skpd/), Sunge Gantikan Peran Bupati, Ancam Roling (seharusnya Rolling) Kepala SKPD, Kamis, (13 Desember 2012). Musabab meradangnya Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah (BKDD) Bolmong, Sunge Paputungan, karena para Kepala Satuan Kerja perangkat Daerah (SKPD) dianggap membangkang terhadap permintaannya memasukkan analisis jabatan (Anjab) untuk kepentingan rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) 2013.

Aimak, Einstein bukan hanya tak terbantahkan (setidaknya hingga kini) berkaitan dengan teori relativitas khusus dan teori relativitas umumnya; melainkan juga dalam soal tak ada batasnya kebodohan manusia.

Bapak Kepala BKDD Bolmong yang terhormat, lebay betul Anda ini. Anjab untuk CPNS 2013 ke laut dulu, deh. Yang mendesak dilakukan saat ini adalah menganalisis kembali jabatan dan pejabat birokrasi di Bolmong, yang faktanya berantakan dan tak karu-karuan. Bagi saya pribadi, Bolmong tak merekrut CPNS 2013, tidak bakal merugikan siapa-siapa. Paling-paling hanya membuat para fresh graduate yang mimpi jadi CPNS meradang membaca sikap saya.

Bolmong barangkali satu-satunya kabupaten di Indonesia yang mengoleksi tersangka dan narapidana di daftar pejabat birokrasinya. Berapa banyak Kepala Bagian (Kabag) dan Kepala Dinas (Kadis) yang sekarang jadi tersangka atau sudah divonis masuk kerangkeng? Dan berapa pula yang berstatus tersangka? Tidakkah Anda sadar bahwa Sekretaris Daerah (Sekda) Bolmong –baik yang mantan maupun yang sedang menjabat—juga terdaftar sebagai tersangka?

Analisis macam apa yang sudah dilakukan saat Bupati melakukan rolling jabatan beberapa waktu lalu? Apa yang sudah Anda sarankan sebagai pejabat yang berwenang mengurusi kompetensi, profesionalisme, dan kepatutan penempatan para birokrat di Bolmong? Ancam-mengancam atas nama Bupati bukan hanya semena-mena dan menganggap enteng Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Bolmong, tetapi secara tegas mengindikasikan pula bahwa yang mulia Kepala BKDD tidak tahu dan tidak punya kompetensi dalam melaksanakan tugasnya.

Dengan begitu berderetnya nama-nama calon tersangka, tersangka, dan narapidana di jajaran birokrasi Pemkab Bolmong, hanya satu simpulan yang paling pas: Kabinet Salihi Mokodongan-Yani Tuuk saat ini pantas dikata sebagai ‘’Pemerintahan Para Tersangka dan Napi’’.

Untuk membayangkan seperti apa keriuhan kabinet macam itu, pikirkan saja apa yang dapat dihasilkan sekelompok rampok, maling, tukang copet, dan tukang tipu yang dikumpulkan dalam satu ruangan untuk mengatur ketertiban dan uang orang banyak.

Rolling birokrasi di Bolmong, suka atau tidak, dengan ancaman Kepala BKDD atau tidak, adalah keniscayaan. Sudah terbukti sejak pengumuman kabinetnya beberapa waktu lalu, Pemerintahan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk jauh dari kinerja yang baik dan profesional. Fakta yang tak terbantah, perlahan-lahan pemerintahan di kabupaten ini menuju situasi sinking ship.

Namun belajar dari pengalaman, saya pribadi tidak optimis dengan rolling yang bakal (dan sudah pula dikatakan berulang kali) dilakukan Bupati Salihi Mokodongan. Bukan rahasia lagi, menempatkan siapa, di mana, dan untuk apa di pemerintahan Bolmong kini, tidak berada di genggaman Bupati dan Wabup. Terlampau banyak tangan-tangan siluman yang bermain dan mengatur urusan birokrasi di Bolmong, yang celakanya secara kasat mata juga tampak dibiarkan begitu saja oleh Bupati.

Karena keyakinan itu, saya ingin menutup tulisan ini dengan kembali menukil Einsten (lewat surat untuk Heike Kamerlingh Onnes, 12 April 1901, dan Marcel Grossmann, 14 April 1901): ‘’ God created the donkey and gave him a thick skin’’ (Tuhan menciptakan keledai dan memberinya kulit yang tebal).***

Sunday, December 16, 2012

Lelucon Bodoh Mengkorupsi Profesi Jurnalis


MENJADI kanak-kanak kampung di era 1970-an (hanya beberapa tahun setelah ‘’momok’’ G30S PKI meletus), bagi saya lebih berwarna dibanding dunia para bocah masa kini. Apalagi ketika itu bahkan Jalan Amal, Mogolaing, yang kini padat penghuni, masih didominasi kebun dan persawahan.

Di masa itu pula, dari koran yang dibawa pulang Bapak (tentu terlambat berhari-hari dari tanggal terbitnya), kepala kecil saya menyimak aneka peristiwa yang datang dan pergi. Termasuk Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) 1974. Samar-samar ketika itu nama semacam Komkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang –dalam imaji anak usia 7 tahun—punya kekuatan setara dewa.

Dan Komkamtib itu berseragam, punya senjata api pula. Benak saya dengan pengetahuan sangat terbatas menyimpulkan: Pokoknya yang berseragam dan bersenjata, tidak peduli itu tentara, polisi, atau pertahanan  sipil (Hansip), harus ditakuti. Kalau tidak, minimal Anda babak-belur, masuk bui, atau paling sial dot!

‘’Awas ada tentara!’’ atau ‘’Awas ada polisi!’’ cukup membuat kuduk berdiri.

Kenangan dari masa kecil itu membuat saya takut berurusan dengan tentara atau polisi. Semasa Sekolah Menengah Atas (SMA), terjerat tilang karena ada saja yang tak beres dari Honda 700 yang saya kendarai, sudah cukup membuat keringat dingin membanjir dan bikin lemas sendi-sendi.

Di masa Perguruan Tinggi (PT), ketakutan terhadap seragam dan bedil perlahan-lahan menguap. Selain mata saya mulai terbuka terhadap dunia yang lebih besar, era itu penuh gempita perlawanan terhadap kekuasaan Presiden Soeharto. Demonstrasi memprotes pemerintah menjadi semacam uji nyali dan ekspresi idealisme.

Ah, masa yang penuh gejolak dan kenangan indah. Memimpin rapat-rapat gelap mempersiapkan demonstrasi, sembari berkelit dari intaian intel tentara dan polisi, menjadi semacam candu. Konon adrenalin yang bergolak kerap tak beda dengan menghidu narkotik.

Menjadi aktivis mendekatkan saya pada banyak tentara dan polisi (sebagian besar mereka kini purnawirawan atau masih duduk dengan bintang di pundak). Sebaliknya, di saat yang sama kerap benjol karena adu otot dengan sebagian mereka. Ketika itu pentungan, tendangan, atau popor senjata dimaknai sebagai  ‘’ijazah’’ yang menunjukkan seorang aktivis (dan demonstran) telah lulus inisiasi ideologi dan nyali.

Yang tidak pernah saya cicipi adalah penjara dalam waktu lama. Sekadar ditahan di Komando Distrik Militer (Kodim) atau Polres, anggap saja liburan kuliah. Memang ada satu-dua tentara atau polisi yang kasar dan mentang-mentang, tetapi selebihnya mereka cukup baik. Makan-minum dan rokok tersedia gratis.

***

Lalu saya meninggalkan kampus, menjadi wartawan. Berhenti jadi wartawan, pindah ke private sector, sembari tetap memelihara keawasan dan kewarasan (juga ketrampilan) menulis. Teman-teman tentara dan polisi kian banyak, mulai dari yang pangkatnya rendah hingga kelas jenderal galak.

Ketakutan terhadap seragam dan bedil juga tampaknya tak tersisa lagi. Otak saya sudah menggembang, (sedikit) diisi pengetahuan tentang undang-undang (UU), sejarah militer dan ketertiban sipil, hak asasi manusia (HAM), dan macam-macam lainnya. Prinsipnya, sepanjang mereka yang berseragam dan bersenjata melaksanakan tugasnya dengan etis, baik, benar, dan profesional, mari kita acungi jempol.

Sebaliknya, siapa pun yang berseragam, bersenjata, mendapat wewenang (juga jaminan) dari aturan dan UU, tapi bertindak keliru, tak patut atau berlebihan, harus dikritik, diprotes, bahkan didorong untuk dijerat. Di depan hukum tak peduli siapa, semua warga negara sama tinggi-rendahnya.

Lagipula, di Indonesia kini, publik juga mengawasi aparat berwenang dengan penuh telisik. Bobrok tentara, polisi, jaksa, dan hakim, secara terbuka dipapar di muka umum. Namun di satu sisi orang senegeri berubah, di sisi lain masih ada mereka yang masuk golongan ‘’aparat berwenang’’ itu yang bagai hidup di belantara. Asyik dengan pikiran, rencana, dan dunianya sendiri; sembari tampak bodoh atau mencoba membodoh-bodohi masyarakat.

***

Bodoh! Itu reaksi pertama saya ketika membaca Kontra Online (http://kontraonline.com/10611/kasat-reskrim-bakal-rekrut-wartawan-menjadi-tim-ungkap/). Di berita yang diunggah Rabu (12 Desember 2012) ini, Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Bolaang Mongondow (Bolmong) mengungkapkan pihaknya akan membentuk tim pengungkap fakta yang tujuannya mengumpulkan fakta-fakta kasus yang menonjol.

Mulia benar ide Kasat Reskrim. Tapi, penjelasan berikutnya, tim pengungkap fakta itu juga akan merekrut wartawan, yang dalam tugasnya mendapat rekomendasi dari kepolisian. Waduh, apakah Kasat Reskrim Polres Bolmong ini lulusan Akademi Kepolisian? Baca koran dan mengikuti perkembangan dunia? Apakah dia sudah pula menjadi perwakilan atau cabang Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) atau Aliansi Jurnalis Independen (AJI)?

Sebelum menyerapahkan ‘’bodoh!’’, saya mengontak Pemimpin Redaksi Kontra, Ahmad (Matt Jabrik) Ishak, memastikan bahwa media yang dia pimpin tak salah tulis dan kutip. Kepada Ahmad Ishak saya juga mengemukakan bahwa ide jenius Kasat Reskrim ini bukan hanya tak patut dan berlebihan, tetapi bertentangan dengan UU Pers No 40 Tahun 1999 serta etika dan profesi kewartawanan di Indonesia.

Dalam menjalankan tugasnya, polisi dan wartawan sama dan sederajat. Dijamin oleh UU yang satu dengan yang lain sama derajatnya. Mengungkap info atau peristiwa yang menjadi kepentingan publik, semisal kasus korupsi, sudah menjadi kewajiban wartawan. Dengan menjadi bagian dari tim –atau apa pun—namanya yang dibentuk Kasat Reskrim, apalagi ‘’dalam menjalankan tugas mendapat rekomendasi dari polisi’’, sama artinya dengan meruntuhkan UU Pers, etika dan profesi jurnalistik.

Memangnya kalau wartawan di Bolmong mengumpulkan informasi atau mengungkap (misalnya) kasus korupsi tanpa rekomendasi pihak kopolisian, lalu apa yang ditulis atau diberitakan tak valid? Melanggar hukum? Memberikan rekomendasi kepada wartawan dalam menjalankan tugasnya justru dapat ditafsir sebagai upaya awal menghalang-halangi penegakan profesi jurnalistik, yang (tanpa perlu diperdebatkan) jelas bertentangan dengan UU Pers.

Ketimbang ikut campur urusan wartawan, yang tak beda dengan tindakan ‘’mengkorupsi’’ profesi ini, sebaiknya Kasat Reskrim Bolmong (yang baru dilantik) mulai saja bekerja dengan benar. Terlampau banyak pekerjaan rumah (PR) kepolisian di Mongondow yang tak jelas ujung pangkalnya.

Saya sebutkan beberapa yang menonjol: Kasus calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kota Kotamobagu (KK) yang sudah menjerat mantan Sekretaris Kota (Sekkot) dan beberapa petinggi birokrasi KK, tapi tak menyentuh Walikota –padahal di persidangan (yang juga diliput media) namanya berulang kali disebut oleh para terdakwa lain. Kasus Tunjangan Pendapatan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Bolmong. Atau kasus (dugaan) ijazah palsu Bupati Bolmong.

Tanpa merekrut, mengatur, dan mengkorupsi tugas kerja profesi jurnalis yang tak beda dengan lelucon bodoh, saya sarankan Kasat Reskrim membolak-balik seluruh kliping dan pemberitaan media di Sulut sejak beberapa tahun terakhir, terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus kriminal menonjol di Bolmong. Saya yakin hasilnya adalah para wartawan sudah lama mengerjakan bagian mereka, bagaimana dengan Polres Bolmong?***