POLITIKUS di
Mongondow tampaknya memang gemar bikin sensasi, bahkan sebelum akal sehat
mereka usai memproses tindakan yang diambil. Kadang-kadang ulah itu bisa kita
nikmati sebagai lelucon, tontonan sambil mengudap goroho direbus dengan santan, atau yang paling buruk menjengkelkan
karena menunjukkan kualitas mereka yang tak lebih dari blanga goreng popolulu.
Pernyataan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Bolaang
Mongondow Selatan (DPR Bolsel), Riston Mokoagow, yang hari ini (Jumat, 31
Agustus 2012) saya baca di situs Kontraonline.Com,
menjadi salah satu contoh bagaimana politikus kita memang menerapkan aksi
‘’bicara dulu, berpikir kemudian’’. Perilaku itu celakanya dilakukan di
sembarang tempat, termasuk di Rapat Paripurna sepenting pembahasan Anggaran
Pembangunan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD-P) 2012. Sebagai bagian dari
pandangan fraksi pula.
Di Rapat Paripurna APBD-P Bolsel tahun 2012 yang berlangsung
di Molibagu, tulis Kontraonline.Com,
Riston menuding pemberitaan berkaitan aksi cap jempol darah yang
dilakukan tujuh anggota DPR Bolsel beberapa waktu lalu, adalah bagian dari
upaya memprovokasi hubungan eksekutif dan legislatif. Karena sudah menyudutkan
pihak DPR, janji Riston, dia dan
teman-teman (anggota DPR Bolsel) bakal melaporkan hal ini ke pihak kepolisian.
Sebagai anggota DPR (bahkan Wakil Ketua),
Riston tampaknya lebih banyak tidur dan main game
dibanding membaca-baca dan mempelajari hal-hal mendasar yang mesti diketahui
dan dipahami seorang politikus yang juga legislator. Atau dia bersikap
pura-pura buta-tuli bahwa kerja jurnalistik dilindungi undang-undang (UU) yang
bersifat lex specialist, yang artinya
bila ada masalah dengan pemberitaan oleh media, kasusnya dihadapkan ke Dewan
Pers, bukan polisi.
Ada pengecualian (saya yakin sebagian besar jurnalis
akan menentang pendapat ini), kalau pemberitaan oleh media ditulis 100 persen
tanpa fakta, menurut hemat saya wilayahnya bukan UU Pers, melainkan pidana.
Apakah pemberitaan cap jempol darah tujuh anggota DPR Bolsel berdasar kuat atau
sekadar karang-karangan para wartawan?
Dugaan saya, Riston Mokoagow dan enam anggota DPR Bolsel
yang pernah melakukan cap jempol darah kini tak berdaya namun tak ingin kehilangan
muka. Karena masih amatir dalam politik, bukannya bersiasat dengan cara
canggih, dia memilih jalan paling gampang: Menyelesaikan masalah dengan
menciptakan masalah baru.
***
Ihwal cap jempol darah tujuh anggota DPR Bolsel itu
pertama kali saya baca di Radar Sulteng Online (http://www.radarsulteng.co.id/index.php/berita/detail/rubrik/45/3450),
Selasa, 24 Juli 2012, dengan tajuk 7
Legislator Cap Jempol Darah. Judulnya yang ‘’gawat’’ mendorong saya
menyimak berita tersebut. Sayangnya tak ada penjelasan lebih jauh siapa dan
mengapa anggota-anggota DPR yang terhormat itu melakukan upacara ala sekte
fanatik atau kelompok kriminal terorganisir.
Tanda-tanya di kepala saya baru terjawab setelah membaca
situs Harian Manado Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=114009),
Rabu, 25 Juli 2012, yang mempublikasi Sumpah
Jempol Daerah Terkuak: 1 Legislator Ajukan 3 Petisi. Berita ini dilengkapi
foto petisi yang ditanda-tangani serta info grafis yang memperjelas poin demi
poinnya.
Nama-nama anggota DPR Bolsel yang menandatangani petisi
adalah Riston Mokoagow, Ibrahim Podomi, Jamaludin Rajak, Ismail Paputungan,
Sumitro Moha, Syamsudin Jamaludin dan Syafrudin Datu. Isi petisinya sendiri: 1)
Tidak akan mengikuti dan menghadiri HUT Bolsel (Paripurna). 2) Tidak akan
mengikuti dan membahas serta menetapkan atau pun menyetujui kebijakan umum
anggaran dan prioritas plafon anggaran sementara. Dan 3) Tak akan membahas dan
menetapkan perda-perda lainnya di Bolsel. Apabila Bupati Bolsel serta unsur
pemda lainnya tidak menyetujui dan mengikuti prinsip-prinsip keadilan yang
diinginkan oleh anggota dewan perwakilan daerah sebagai representasi dari
rakyat Bolsel.
Baiklah, ‘’para pendekar’’ penjempol-darah petisi telah
diketahui, demikian pula isinya, tapi latar belakang aksi itu tak jua terjawab.
Beberapa teman dan kenalan di Mongondow yang saya tanyai sambil lalu, juga
kompak menyatakan tidak tahu. Maka dengan menduga-duga, saya menyimpulkan
(sesuka hati saya), bahwa petisi dijempoli darah itu pasti tak lepas dari
masalah pembagian porsi ‘’kue’’ yang umum jadi isu di seantero negeri ini.
Bukan rahasia lagi, bila eksekutif (Bupati dan jajaran)
agak ketat melakukan bagi-membagi ‘’kue’’ ke legislatif, dapat dipastikan aneka
isu bakal bersemburan, membuat suhu politik dan pemerintahan meriang -–terlebih
bila yang dibagi onde-onde dan legislatif merasa mereka hanya kebagian bumbu
kelapanya. Dalam hati saya membathin: ‘’Begitu tujuh orang anggota DPR itu mendapat
masing-masing satu piring onde-onde, mereka bakal tak dapat membedakan lagi
apakah bekas jempol di petisi berwarna merah karena darah atau akibat gula yang
meluber.’’
Sudah pengetahuan umum yang lain bahwa kebanyakan
politikus kita (tak hanya di Mongondow) bisa mendadak cerewet dan gagah berani membela
rakyat; juga mendadak diam dengan alasan yang sama. Sementara rakyat yang
diatas-namakan hanya bisa melongo-longo bingung karena situasi dan kondisi
mereka ternyata cuma berubah seupil, atau bahkan sama sekali tidak.
***
Saya hampir melupakan perkara petisi cap jempol darah
itu hingga membaca berita Cap Jempol
Darah Dilanggar di situs Harian Manado
Post (http://www.manadopost.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=115018),
Rabu, 29 Agustus 2012. Saya terbahak membaca kutipan dari salah seorang anggota
DPR yang ikut menjempolkan darahnya, Jamaludin Razak, yang menyatakan, ‘’Tujuh
jenderal cap jempol darah kini sudah terkubur.’’
Rupanya hanya dalam jangka satu bulan darah yang
dibubuhkan di atas petisi yang mereka buat sudah berubah jadi gula merah
onde-onde.
Sebagaimana dimulainya, berakhirnya petisi juga tak
diketahui sebabnya. Tidak pula ada penjelasan apakah prinsip-prinsip keadilan
sebagaimana yang mereka cantumkan di poin tiga petisi akhirnya disetujui dan
diikuti oleh Bupati Bolsel dan unsur Pemda lainnya. Kalau pun disetujui dan
diikuti, apa sebenarnya makluk yang disebut sebagai ‘’prinsip-prinsip’’
keadilan itu?
Di antara sejumlah tanya dan misteri, Riston Mokoagow
yang namanya tercantum di nomor satu penjempol-darah tiba-tiba meradang pada
para jurnalis dengan ancaman menyeret mereka ke hadapan polisi. Lengkaplah
sudah tontonan ondel-ondel di DPR Bolsel dan karenanya izinkan saya mencaci
secara terbuka: Idiot!
Menghadapi politikus kelas kuaci seperti yang
ditunjukkan beberapa anggota DPR Bolsel, saya kira para jurnalis tak perlu
ikut-ikutan bertindak bodoh dengan beramai-ramai pula mengadu ke polisi. Cukup
kirimkan UU Pers, lup dan Cerebrovit X-Cel (nutrisi yang dapat memenuhi
kebutuhan vitamin, mineral tubuh dan otak) dengan iringan doa semoga jendela
pengetahuan dan kearifan segelintir legislator itu bolehlah sedikit terkuak.
Meladeni kebodohan dengan serius adalah perbuatan
sia-sia yang cuma membuang-buang umur.***