Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, June 17, 2012

Tumbal-Tumbal CPNS KK 2009

VONIS itu dijatuhkan Senin (11 Juni 2012). Asisten II Pemerintahan Kota (Pemkot) Kotamobagu, Hardi Mokodompit, diganjar satu tahun kurungan dan denda Rp 50 juta atau diganti dengan tambahan sebulan kurungan.

Saya menerima kabar putusan terhadap Hardi, yang didakwa berkaitan dengan skandal penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) Kota Kotamobagu (KK) 2009, menjelang petang. Mengingat terlampau banyak bisik-bisik tidak bertanggungjawab, saya kemudian mengirim pesan pendek (SMS) dan BlackBerry Messenger (BBM), meng-cross check ke sejumlah orang. Termasuk ke beberapa kawan wartawan yang setahu saya intens mengikuti isu ini.

Ternyata info itu benar adanya, yang berarti Hardi Mokodompit menjadi terdakwa pertama yang sudah mendapatkan kepastian hukum (dua lainnya adalah mantan Sekretaris Kota –Sekkot, Muhamad Mokoginta dan mantan Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat Daerah, Idris Manoppo). Kendati, menanggapi vonis yang dia terima, Hardi menyatakan masih berpikir apakah banding atau menerima keputusan Majelis Hakim.

***

Di Jalan Amal, puluhan tahun silam, Hardi Mokodompit adalah salah seorang yang kami (yang berusia lebih muda) kagumi. Dia tergolong generasi pertama dari lingkungan kami yang menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan masuk Perguruan Tinggi (PT) dengan sangat smooth. Ketika akhirnya saya menyusul ke fakultas yang berbeda di Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Hardi sudah hampir menamatkan kuliahnya (dan tepat waktu).

Di era saya Hardi dikenal sebagai anak manis-baik. Jangankan membuat ulah, perkelahian antar kaum muda yang ketika itu sudah jadi semacam olahraga di Jalan Amal, dia sama sekali tak pernah terlibat. Orang-orang tua suka menjadikan dia contoh bagaimana anak-anak mesti bersikap. Saya kenyang mendengar omelan seperti, ‘’Lia pa Hardi, nyanda pernah bekeng ribut deng bekeng malo rupa ngoni-ngoni ini.’’

Tamat kuliah dia kembali ke Mongondow, menjadi birokrat dengan karir yang menanjak cepat dibanding rekan-rekan seangkatannya. Di beberapa kesempatan (terutama Idul Fitri), kami kerap bertemu dan bertukar cerita, apalagi dia kemudian membangun kediaman tepat berhadapan dengan rumah Ayah-Ibu saya.

Melihat karirnya, saya menyakini Hardi punya peluang terus meroket. Optimisme itu saya sampaikan ketika di hari kedua Idul Fitri 2011 lalu dia dan istri bertandang ke rumah Ayah-Ibu dan saya kebetulan ada. Sembari bergurau, saya mengatakan dia adalah kandidat terkuat Sekkot KK berikutnya. Kalau pun ada satu dan lain hal yang jadi pertimbangan, karena dia menyandang marga yang sama dengan Walikota: Mokodompit.

Di Mongondow, di mana marga menunjukkan hubungan kekerabatan, promosi politik dan birokrasi mudah dikait-kaitan dengan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Dan demikianlah faktanya. Walau percaya terhadap kompetensi Hardi, saya juga tidak menutup mata pasti ada sinisme bila dia dijadikan kandidat Sekkot. Mudah bagi warga KK meruyakkan spekulasi, ‘’Nyanda herang, sama-sama Mokodompit toh….’’

***

Sedih adalah sesuatu yang gampang dikatakan, tapi sulit didiskripsikan. Mendengar vonis yang dijatuhkan Majelis Hakim pada Hardi, saya mesti mengakui didera campuran antara sesal dan amarah. Di sidang-sidang skandal CPNS KK 2009 yang saya ikuti, antaranya yang terus-menerus dilaporkan oleh Tribun Manado (http://manado.tribunnews.com), tampak jelas para terdakwa sebenarnya terjerat hanya karena mematuhi perintah atasan.

Bagi awam hukum seperti saya, dari sisi hirarki birokrasi, Hardi Mokodompit berada di posisi tengah, di bawah Sekkot dan Walikota. Dengan demikian, bila secara hukum dia terbukti bersalah, maka otomatis Sekkot bersalah. Kesalahan yang sama juga tak dapat dielakkan oleh Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat KK.

Rabu (2 Mei 2012) Tribun Manado (Kedua Terdakwa Mengakui Keterlibatan Wali Kota Kotamobagu) menuliskan kesaksian Muhamad Mokoginta dan Idris Manoppo yang sudah menunjuk hidung: Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) KK ikut serta dalam ‘’permainan’’ CPNS KK. Aparat berwenang, terutama polisi, semestinya tidak tuli, buta, apalagi goblok, untuk segera menindak-lanjuti pengakuan (di bawah sumpah) yang dinyatakan di depan Majelis Hakim itu.

Atasan macam apa yang membiarkan bawahannya, yang hanya mematuhi perintah, harus menanggung risiko? Menurut hemat saya, atasan jenis ini bukan hanya tidak pantas dihormati, melainkan boleh diludahi tepat di kedua bola matanya. Sebaliknya, bawahan yang bersedia menerima risiko tanpa reserve atas sesuatu semata karena patuh, tidak lebih dari keledai.

Skandal CPNS KK bukan masalah administrasi atau kebijakan. Kasus ini adalah tindak-pidana. Sebab itu, kalau Hardi Mokodompit bersedia menerima hukuman yang dijatuhkan Majelis Hakim, dia berhak menggugat atasan yang telah menjerumuskan ke balik bui. Hal yang sama seharusnya dipahami pula oleh mantan Sekkot dan Kepala Badan Kepegawaian dan Diklat KK.

Di sisi lain, atasan yang mestinya melindungi dan mengarahkan bawahan selayaknya tahu diri. Pernyataan Walikota KK di Harian Manado Post, Rabu, 13 Juni 2012 (CPNS Tak Masalah), lebih pantas dimaknai sebagai kata-kata orang mabuk. Di mana logika skandal CPNS KK 2009 tidak berkaitan dengan korupsi sebagaimana pengertian yang umumnya diketahui orang?

Definisi korupsi mana yang tidak diketahui Walikota yang terakhir bergelar master ekonomi? Adoh, Pak Walikota, makanya jangan beli ijazah. Uang negara yang dihambur-hamburkan, gagalnya kesempatan negara (khususnya KK) mendapatkan sumber daya manusia (SDM) terbaik, serta sogok-menyogok demi meluluskan CPNS, jelas adalah tindak pidana korupsi. Untuk urusan CPNS KK, lebih baik Walikota Djelantik Mokodompit menutup rapat-rapat mulutnya, lalu rajin berdoa (tidak perlu ke dukun) supaya aparat berwenang tetap mau ‘’diberi makan’’ agar malas dan akhirnya memasukkan dugaan keterlibatannya ke dalam file kategori dark number.

Mengorbankan tiga orang birokrat papan atas KK (dengan kemungkinan ada lagi ikutannya), sudah cukup pahit bagi warga Kotamobagu. Belum lagi kalau kasus ini dipersoalkan sebagai cacat yang akhirnya menggugurkan seluruh proses rekrutmen CPNS KK 2009. Kabar buruk ini berarti: Seluruh CPNS 2009 yang lulus dibatalkan dan mereka yang kini menyandang PNS dipaksa menggembalikan uang negara yang sudah diterima.***

Thursday, June 7, 2012

Adipura dan Retorika Kota Bersih

LIMA kota dan kabupaten di Sulawesi Utara (Sulut) meraih Piala Adipura 2011-2012. Salah satunya adalah Kota Kotamobagu (KK) yang menerima penghargaan ini untuk pertama kalinya. Dengan kata lain, dibanding 2011 (yang hanya menerima piagam) semestinya tahun ini KK lebih bersih dan tertata.

Warga Mongondow patut membanggakan prestasi itu. Kota yang bersih dan tertata adalah impian masyarakat yang sadar terhadap kenyamanan wilayah yang dihuni. Apalagi resik serta terencananya keseimbangan pembangunan dan daya dukung lingkungan sebuah kota telah lama menjadi salah satu indikator tingkat peradaban yang telah dicapai penghuninya.

Selamat untuk KK di bawah pemerintahan Walikota Djelantik Mokodompit-Wakil Walikota (Wawali) Tatong Bara. Atau barangkali cukup selamat buat Walikota dan jajarannya karena dalam isu Adipura Wawali hampir tak terdengar suara dan kiprahnya. Ini pula yang barangkali membuat sejumlah komentar di media sosial (terutama facebook) menuding anugerah itu kental aroma politik dan kepentingan jangka pendek Walikota yang dipastikan mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua, 2013 mendatang. Atau seperti dugaan yang ditulis http://beritamanado.com/, Rabu (6 Juni 2012), Piala Adipura itu diperoleh sebagai hasil ‘’jual-beli’’ dengan tim penilai.

Saya tak hendak membahas lebih jauh kaitan penghargaan itu dengan dinamika politik (praktis) dan kepentingan pemilihan walikota (Pilwako) 2013. Walau harus diakui dan tak dapat dielakkan perkembangan politik terkini di KK sangat mempengaruhi cara warganya mengapresiasi capaian dan prestasi Pemerintah Kota (Pemkot).

Demikian pula, dugaan ‘’jual-beli’’ Adipura tak lepas persepsi masyarakat terhadap galibnya praktek curang di kalangan pemerintah dan birokrasi. Sudah terlampau banyak contoh, misalnya bagaimana provinsi, kabupaten, atau kota yang pengelolaan keuangannya mendapat predikat wajar tanpa pengeculian (WTP), tapi tak lama kemudian gubernur, bupati, atau walikotanya diseret ke balik jeruji bui karena terbukti korup.

***

Bagaimana sebuah kota yang ideal? Jawaban terhadap pertanyaan ini sungguh kompleks. Namun secara sederhana dapat diajukan sejumlah aspek utama yang meliputi: Pertama, perencanaan yang terintegrasi, yang mengakomodasi seluruh kebutuhan ruang warganya (hunian, komersil, hingga ruang publik dalam bentuk taman atau arena bermain umum).

Kedua, infrastruktur yang memadai (jalan, transportasi umum, pendidikan, layanan kesehatan, tempat ibadah, air bersih, hingga saluran air dan buangan). Aspek kedua ini tak lepas dari aspek pertama, karena sebuah kota tidak statis sehingga kebutuhan terhadap infrastruktur harus diperhitungkan jauh ke depan.

Ketiga, keterhubungan dan harmonisasi dengan wilayah di sekitarnya. Apa pun alasannya sebuah wilayah tidak dapat berdiri sendiri, sepenuhnya seperti enclave yang memenuhi kebutuhannya secara mandiri dan terus tumbuh. KK dengan luas wilayah relatif kecil dan terletak di tengah lembah Bolaang Mongondow (Mongondow), tak dapat ditolak memiliki ketergantungan tinggi terhadap daerah tingkat II lain.

Ketergantungan itu di jangka panjang dapat dipastikan bahkan hingga pada aspek-aspek paling dasar bagi kebutuhan warga KK. Tidak memerlukan analisis dengan kerumitan tinggi untuk menyebut, suplai air bersih serta produk-produk konsumsi hasil pertanian dan peternakan sebagai contoh. Terlebih sejak lepas dari Kabupaten Bolmong dan berdiri sebagai daerah otonom baru, secara alamiah KK harus menerima pilihan menjadi kota jasa.

Di atas peta seperti itu, menurut pendapat saya, Anugerah Adipura yang untuk pertama kalinya diterima semestinya disambut sebagai tanda awas. Menampilkan sebuah kota seperti KK mendadak jadi bersih selama dua tahun terakhir bukan pekerjaan sulit, apalagi bila setiap hari (dan khususnya Jumat) pegawai negeri sipil (PNS) habis-habisan dikerahkan bekerja bakti mengurusi sampah dan ikutannya.

Seberapa lama ‘’bersih’’ itu bertahan lama? Dengan definisi bersih yang seperti apa dan di bagian kota mana saja? Seluruh kota atau hanya di etalasenya, yang tak lebih dari ‘’menyapu debu dan sampah ke bawah karpet’’? Apakah pula bersih itu sejalan dengan tertatanya kota, pada tempatnya, serta sesuai dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota (RTRWK)?

Sepanjang pengetahuan saya kebersihan satu kota tak lepas dari manajemen lingkungan yang terencana, diaplikasi dengan baik, dievaluasi, dan terus-menerus disempurnakan. Pembaca, lebih khusus warga KK, apakah Anda pernah mendengar konsep pengelolaan sampah (dan lingkungan secara umum) dari Pemkot atau otoritas yang bertanggungjawab?

Konsep yang dimaksud termasuk hal-hal teknis seperti pengumpulan sampah, penampungan dan pengelolaan, penegakan disiplin dan sanksi terhadap aturan-aturan terkait (dalam Peraturan Daerah –Perda—Kebersihan Kota), hingga kampanye yang mendorong warga KK menerapkan budaya bersih dan peduli lingkungan. Mudah-mudahan saya keliru, tetapi sejauh ini yang ada adalah retorika yang dipaksakan, yang (apa boleh buat) menunjukkan program kebersihan kota hanyalah target politis jangka pendek.

Tidaklah keliru meletakkan kebersihan kota sebagai sebuah target jangka pendek. Tapi cara ini sekadar aspirin di saat kepala pening tanpa menelisik lebih jauh penyebabnya karena panas matahari, gejala flu, atau kanker otak. Berpuas diri setelah mencapai tujuan jangka pendek hanyalah awal dari pengabaian terhadap tujuan jangka panjang yang fundamental, semisal 3R (reduce, reuse, recycle), land and water management, atau isu-isu global lingkungan yang membutuhkan konsep dan manajemen lebih rumit.

***

Maka Piala Adipura 2011-2012 adalah prestasi yang sebaiknya disambut tanpa gegap-gempita. Pemkot dan jajarannya memang harus mampu membuat kota yang mereka kelolah bersih, karena itulah mereka digaji oleh uang negara yang berasal dari pajak, termasuk yang dikontribusikan oleh masyarakat KK.

Gaya Walikota Djelantik Mokodompit yang memboyong sejumlah pejabat (termasuk yang dinas atau lembaganya tak relevan) dan supporter lainnya ke Jakarta saat menerima anugerah itu, lebih mirip sirkus ketimbang ekspresi syukur. Apalagi KK bukan satu-satunya, tetapi hanya salah satu satu dari puluhan kota dan kabupaten di Indonesia yang menerima penghargaan ini.

Memperlakukan Piala Adipura sangat istimewa, termasuk mengarak keliling kota –seperti yang umum dilakukan oleh daerah lain di Sulut--, saya kira mengada-ada dan berlebihan. Alangkah lebih baiknya biaya rombongan Walikota ke Jakarta menonton seremoni beberapa menit dan arak-arakkan, misalnya dialokasikan sebagai insentif untuk petugas kebersihan kota. Mereka yang berada di garda depan ini, yang sehari-hari berlumur sampah dan bau busuknya, biasanya terlupa atau sengaja dilupakan ketika hasil kerja mereka berbuah prestasi.

Lagipula mengapa Adipura harus diarak sementara siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), atau Sekolah Menengah Umum (SMU dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di KK yang meraih nilai spektakuler di Ujian Akhir (UA) dan Ujian Nasional (UN) sama sekali tak dilirik oleh Pemkot, khususnya Walikota dan para elit politik serta birokrasi. Apakah karna nilai politis Adipura lebih seksi untuk kepentingan jangka pendek, ketimbang mengapresiasi generasi masa depan KK yang adalah urusan jangka panjang yang tak ada untungnya dilakukan hari ini?***

Tuesday, June 5, 2012

Kau yang Memulai, Kau yang Mengakhiri

HAMPIR sepanjang siang hingga malam, Minggu (3 Juni 2012), saya melahap karya James Fallows, Postcards from Tomorrow Square: Reports from Cina (Knopf, 2009). Tidak ada yang lebih nikmat dari membaca buku bagus yang ditulis seorang pencerita mahir.

James Fallows memang piawai. Apalagi yang harus diragukan dari penulis yang bertahun-tahun bekerja sebagai wartawan The Atlantic Monthly, editor U.S. News & World Report, serta Ketua Tim Penulis Pidato (Presiden) Jimmy Carter? Minatnya yang luas terekspresi dari buku-buku yang dipublikasi, semisal National Defense (Random House, 1981), Breaking the News: How the Media Undermine American Democracy (Pantheon Books, 1996), Blind into Baghdad: America's War in Iraq (Vintage,2006), hingga yang terbaru, China Airborne (Random House, 2012).

Di salah satu bagian dari buku yang tak hendak saya letakkan sebelum selesai hingga halaman terakhir, saya terbahak-bahak membaca bagaimana James Fallows menulis mantan Perdana Menteri Jepang, Junichiro Koizumi, sebagai ‘’si idiot’’. Penahbisan ini karena kunjungan kehormatannya ke pekuburan tentara Jepang dan korban Perang Dunia (PD) II, Yasukuni Shrine, pernah mengakibatkan hubungan Cina-Jepang meriang dan sentiment anti Jepang memanas di Cina.

Penilaian blak-blakkan terhadap PM Jepang itu bukan sekadar serapah yang tercetus begitu saja. James Fallows menuliskan alasan-alasan kuat mengapa akhirnya Junichiro Koizumi memang pantas disebut ‘’si idiot’’.

Seketika pula saya teringat pada sutradara film dokumenter dan penulis eksentrik, Michael Moore, yang menulis buku penuh hujatan dan serapah terhadap Presiden Amerika Serikat (AS), George Bush Jr. Stupid White Men (HarperCollins, 2001) menjadi salah satu buku favorit saya bukan semata karena itu hadiah sangat berarti, melainkan karena isinya memang asyik.

***

Senin siang (4 Juni 2012), di antara beberapa pesan BlackBerry Messenger (BBM) yang masuk, salah satunya berisi foto berita Harian Radar Totabuan, halaman 16, Katamsi-Fahri Diminta Debat Publik. Yang dikutip sebagai sumber masing-masing Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Kotamobagu (KK), Rubiyanto Suid, dan Ketua Karang Taruna KK, Sofian Bede.

Reaksi pertama saya adalah bertanya-tanya, ‘’Apa maunya Radar Totabuan?’’ Kamis pekan lalu (31 Mei 2012) harian ini memuat tulisan Fahri Damopolii yang isinya (sebagaimana dua tulisan sebelumnya) mencaci-maki saya secara verbal, fisik, dan bersifat pribadi. Di hari yang sama, lewat telepon Pemimpin Redaksi (Pemred) Radar Totabuan menyampaikan karna satu dan lain hal, tulisan tanggapan saya tidak akan dimuat lagi. Pendeknya: Radar Totabuan menghentikan sahut-sahutan antara saya dengan Fahri Damopolii.

Sekali lagi saya harus menuliskan, saya memahami sikap Radar Totabuan. Tetapi dengan pemberitaan terbaru koran ini, tampaknya harus diingatkan bahwa, pertama, Radar Totabuan-lah yang memulai genderang serangan yang bersifat pribadi dengan memuat tulisan A. R. Thomas atawa Fahri Damopolii. Kedua, tanggapan atas tanggapan tulisan saya oleh Fahri Damopolii, secara terang-terangan melanggar semua asas dan kepatutan publikasi media massa umum, yang anehnya tetap diberi ruang oleh Redaksi Radar Totabuan.

Asas dan kepatutan yang saya maksud adalah, media boleh memuat kritik, hujatan, hinaan, bahkan caci-maki verbal terhadap seseorang, sekelompok orang, lembaga, atau institusi, sepanjang itu punya dasar dan alasan yang kuat. Yang tak kurang penting, tidak bersifat tendensius, fisik, dan pribadi. Contohnya seperti yang ditulis James Fallows atau Michael Moore.

Ketiga, kalau pun sudah terlanjur –dengan alasan apa pun--, semestinya kedua pihak yang berhadap-hadapan mendapat porsi yang sama. Saya kira untuk isu saling sahut antara saya dan Fahri Damopolii, Redaksi Radar Totabuan harus mengakui telah bersikap semena-mena. Fahri Damopolii memulai serangan, saya tanggapi, dia menyerang lagi, saya tanggapi, dia terus menyerang, dan kemudian giliran saya ditutup. Apa boleh buat, Radar Totabuan yang memulai, Radar Totabuan pula yang mengakhiri. Puas atau tidak, itu sepenuhnya hak mereka.

Saya tidak heran bila ada spekulasi yang mengatakan Radar Totabuan memang berkonspirasi untuk menciderai sikap kritis saya, khususnya terhadap beberapa pejabat publik di Mongondow. Karena saya tidak menyukai spekulasi dan teori konspirasi, ya, duga-duga itu diabaikan saja.

Yang jelas, saya memang diperlakukan dengan tidak adil. Apalagi di satu sisi dicaci secara verbal, fisik, dan tanpa dasar kuat; sementara di sisi lain saya tetap setia pada sikap bahwa celaan –bahkan cacian dan hinaan-- sampai taraf yang brutal sekali pun, boleh sepanjang dasar dan alasannya kuat dan rasional. Sikap ini saya kira bisa diuji oleh satu panel independen yang khatam seluk-beluk tulis-menulis.

***

Pemberitaan Katamsi-Fahri Diminta Debat Publik pada akhirnya mengundang prasangka. Demi kepentingan apakah dan siapakah berita itu ditulis? Kalau kepentingan publik, apa yang harus diperdebatkan? Caci-maki pribadi Fahri Damopolii terhadap saya; atau sikap kritis saya, termasuk dengan membedakan wilayah publik dan private?

Kalau caci-maki pribadi, saya tidak punya niat sama sekali menyepelekan orang-orang Mongondow yang sudah tahu pasti mana yang wilayah pribadi dan mana ranah umum. Masak anak muda mengalomania yang merasa besar kepala sendiri harus ditanggapi serius?

Sikap kritis saya terhadap kepentingan publik? Bila isu ini yang akan diperdebatkan, siapa yang akan duduk berhadapan dengan saya? Apa masalah yang akan dikupas? Bukankah kepentingan publiklah yang saya tuliskan selama ini, yang sesungguhnya sudah menjadi pengetahuan umum yang di keseharian dilihat, didengar, dan diketahui masyarakat Mongondow? Bedanya saya menyuarakan dengan terbuka, sementara yang lain (dengan alasan yang hanya Tuhan dan orang per orang yang tahu) memilih menyikapi dengan cara masing-masing.

Dengan tetap menghormati Rubiyanto Suid dan Sofian Bede (utamanya sebagai ketua organisasi), saya menyarankan keduanya untuk lebih kreatif. Ada banyak isu lain yang memerlukan sumbang-saran Anda berdua. Mengusulkan debat tidak perlu bukan hanya lebay dan buang-buang waktu, tetapi juga mengundang prasangka lain: Niat apa lagi yang ada di balik usul yang seolah-olah atas nama kepentingan umum itu? Dan umum yang mana yang dimaksud?

Lebih elegan bagi KNPI KK melakukan terobosan demi kepentingan kaum muda, misalnya soal pendidikan, mentalitas, independensi, kreativitas, dan kejujuran. Demikian pula dengan Karang Taruna KK yang setahu saya namanya terdengar tetapi tak ada (bahkan sekadar) bunyi dan desau berkaitan dengan kerja nyatanya.

Namun bila debat tetap dianggap perlu, rumah kopi (Jalan Roda) KK bisa jadi arena yang akomodatif. Kalau dianggap kurang memadai dan seru, ada Jalan Roda di Manado. Dan percayalah, ‘’pembantaian’’ di Jalan Roda –terlebih di Manado—lebih kejam dari ruang opini Radar Totabuan.***

Sunday, June 3, 2012

Skandal TPAPD dan Rezim Tanpa Kata ‘’Tidak Boleh’’

SEKOLAH bukan salah satu kebisaan yang dapat saya banggakan. Tidak perlu ditutup-tutupi bahwa Pendidikan Tinggi (PT) saya kacau-balau. Pindah fakultas, banting setir dari satu bidang ilmu ke yang lain, lalu berakhir tanpa gelar. Belakangan ada yang bisa disematkan di belakang nama, tapi itu lebih pada pengakuan profesional ketimbang pendidikan dalam arti sekolah yang dipahami umum.

Tak ada embel-embel di depan dan belakang nama saya. Ketiadaan itu membuat saya mudah kagum membaca deretan gelar yang tersemat: Didahului Ir, nama, MSc dan diakhiri PhD. Atau diawali Dr, Drs, lalu nama, dan ditutup MSi. Keren betul dan menunjukkan yang bersangkutan paling tidak kenyang makan sekolahan. Empat-lima tahun S1, dua-tiga tahun S2, dan 4-5 tahun S3, pasti menghasilkan penguasaan digjaya bidang ilmu tertentu.

Kali pertama bertemu almarhum Dr HT Usup, saya memandang wajahnya dengan saksama dan mengulang-ngulang dalam hati: ‘’Ini orang hebat. Warga Mongondow yang studi hingga ke Belanda dan meraih gelar S3. Pasti pintarnya minta ampun.’’ Ke Belanda, apalagi ketika saya masih membayangkan negeri ini sama seperti memikirkan bulan, memerlukan lebih dari nasib mujur.

Persentuhan dengan almarhum selalu menyenangkan. Rendah hati dan (yang terpenting) penuh humor serta tawa segar. Khotbah Idul Fitri-nya, yang saya simak dengan khusyuk beberapa waktu sebelum almarhum berpulang, tak akan pernah terlupa: ‘’Rumput yang dipelihara dan dijaga lebih indah daripada kembang yang dibiarkan dan terlantar.’’ Sebuah kalimat sarat makna yang layak diabadikan sebagai kutipan.

***

Banyak di antara generasi saya, anak-anak Mongondow yang menyelesaikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di era mulai awal 1980-an, dikaruniai keberuntungan melanjutkan pendidikan S1, S2, dan S3 ke manca negara. Salah satunya adalah Suhardjo Makalalag (saya menyapanya ‘’Adjo’’) yang mendalami basic science.

Selain Adjo, ada beberapa lagi yang saya tahu (lebih karena persentuhan personal), seperti Chairil Anwar Korompot yang sepengetahuan saya telah lama berada di luar Indonesia dan sedang menyelesaikan studi S3. Atau yang terakhir Lily Djenaan (istri dari Suhendro Boroma) yang antusias mendalami pendidikannya di Boston (salah satu kota yang jadi pusat pendidikan dunia di Amerika Serikat).

Di dalam negeri, orang Mongondow yang menempuh pendidikan S2 (dari yang serius di PT-PT ternama hingga program kelas jauh dari PT di Sulut) sudah mencapai angka ratusan. Mudah-mudahan ke depan mereka yang menempuh pendidikan S3 bakal sama banyaknya.

Di antara semua anak-anak Mongondow itu, Suhardjo Makalalag adalah salah seorang yang menarik perhatian saya. Ilmu dasar (yang jadi fokus studinya) adalah pengetahuan yang (sejujurnya) saya sesali tak pernah benar-benar menjadi minat selepas SMA. Belakangan, saya menyadari maha pentingnya matematika dan fisika. Bahkan ilmu politik yang pernah saya anggap eksotis, sesungguhnya dapat dihitung dengan matematika. Ilmu politik sama eksak-nya dengan ilmu teknik.

***

Kekaguman terhadap anak-anak Mongondow yang serius bersekolah itu membuat saya jengkel ketika mengetahui Adjo pulang dan memulai karirnya sebagai birokrat di Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow (Pemkab Bolmong) sebagai Kepala Badan Pembangunan Penanaman Modal dan Statistika (BP3MS). Menurut hitungan saya (yang tidak pernah saya tanyakan langsung), saat itu semestinya dia sedang menyelesaikan disertasi doktor.

Namun birokrasi tampaknya tak cukup mengakomodasi idealisme (mungkin juga ambisi) Adjo, yang pada 2010 lalu tiba-tiba melompat ke politik dengan mencalonkan diri sebagai calon bupati (Cabup) Bolmong. Di pemilihan Bupati (Pilbup), pasangan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit kandas saat proses awal pencalonan. Mereka tidak lolos verifikasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Bolmong.

Gagal di politik, birokrasi masih membuka pintu. Di rolling yang dilakukan Bupati Salihi Mokodongan beberapa waktu lalu, dia kembali ke posisi eselon II setelah ditunjuk menjadi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Kadis Tamben). Secara pribadi saya berpendapat, idealnya Adjo kembali ke BP3MS. Walau dia berlatar ilmu dasar, tapi pengalamannya di luar negeri (Amerika Serikat dan Australia) setidak menjadi nilai tambah yang dibutuhkan bagi perencanaan terintegrasi di Bolmong.

Baru saja menduduki jabatan baru, kabar buruk itu menghempas: Polres Bolmong menetapkan Suhardjo Makalalag sebagai salah seorang tersangka raibnya Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) senilai hampir Rp 5 miliar. Selain Adjo, empat nama lain yang diduga terlibat adalah Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda), Iswan Gonibala; Kepala Bidang (Kabid) Perbendaharaan Dinas Pengelola Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD), Ikram Lasinguru; Kepala Bagian Pemerintahan Desa (Kabag Pemdes), Cimmy Wua; dan Staf Khusus Bupati Bolmong, Mursid Potabuga.

Kasus TPAPD mengundang perhatian saya berbulan-bulan lalu karena nama pertama yang disebut-sebut adalah Cimmy Wua. Ketika polisi akhirnya melakukan penyidikan, saya bertemu Cimmy dan sempat menanyakan kemana juntrungan dana tersebut. Cimmy hanya menjawab pendek, ‘’Saya akan bertanggungjawab.’’ Dari matanya, saat itu, saya tahu Cimmy bukan orang yang akan menggumbar cerita. Dan saya menghormati sikapnya –walau itu mungkin bentuk pengorbanan bodoh.

Hanya saya tidak percaya Cimmy yang keseharian hidupnya tergolong biasa saja mampu menilep hampir Rp 5 miliar tanpa meninggalkan bekas. Minimal mobil baru, baju bermerek, jam tangan, kalung emas sebesar kelingking, dan cincing kerlip-kerlip yang biasanya jadi perhiasaan orang-orang berduit di Mongondow.

Hari-hari belakangan tatkala jumlah tersangka bertambah, di media massa musabab kasus TPAPD ini samar-samar mulai diungkap. Di bawah permukaan, bisik-bisik yang beredar lebih seru, termasuk keyakinan sebagian orang bahwa sejumlah birokrat elit dan tokoh politik bakal turut diseret.

Tidak mudah bagi saya –berdasar pengalaman selama ini—mempercayai polisi akan menyingkap tuntas skandal TPAPD Bolmong hingga ke tokoh kuncinya. Tapi apalagi yang dapat dilakukan kecuali berharap, menghimbau, dan berdoa, terlebih kalau tokoh utama itu punya jejak dan hutang-piutang (termasuk budi) dengan elit Polres Bolmong (sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan umum sebagai simbiosis mutualisme antara politisi-aparat hukum berwenang).

Konsern saya sendiri adalah, skandal TPAPD ini jangan mengorbankan anak-anak muda, birokrat pintar berpendidikan bagus yang sedang menanjak menuju performa terbaik hanya karena di satu masa rezim yang berkuasa terlampau kuat dan tidak mengenal kata ‘’tidak boleh’’. Jangan sampai Adjo, Iswan, Ikram, Cimmy, dan Mursid yang mungkin adalah korban, berakhir sebagai pelaku yang menanggung hukuman karena mereka tak piawa berpolitik dan cigulu-cigulu hukum.***

Korupsi dan Cerita Tentang Sebuah Rumah

MATAHARI menghangatkan udara autumn di Western Australia, Sabtu (2 Juni 2012), ketika saya dan beberapa mahasiswa University of Western Australia (UWA) berjalan kaki menuju Stasiun Kereta Fremantle. Kami baru saja mengunjungi Shipwreck Museum yang punya koleksi luar biasa, antaranya (yang membuat saya ternganga-nganga) sepotong lambung Kapal Batavia yang tenggelam pada 1629.

Di tengah jalan tiba-tiba tebersit ide melewati Penjara Fremantle yang riwayatnya tak bisa dipisahkan dari kota ini. Selesai dibangun pada 1850-an dan digunakan hingga 1991 sebagai tempat mengerangkeng orang-orang hukuman yang diangkut dari Inggris, penjara ini masih berdiri kokoh dan menjadi salah satu lanskap kota sekaligus tujuan wisata populer.

Kami yang berjalan berombong bersepakat mengagumi ketahanan konstruksinya. Lalu satu per satu mulai membagi pengetahuan dan pengalaman dari negeri masing-masing berkenaan dengan peninggalan sejarah, terutama bangunan-bangunan tua dan antik yang tetap berdiri (dan digunakan) kendati sudah berusia ratusan tahun.

Percakapan kian seru ketika menyentuh topik sensitif: Mengapa di banyak tempat (termasuk Indonesia) peninggalan masa lalu dirobohkan dan diganti dengan gedung-gedung modern –yang kerap justru jauh dari ideal disandingkan dengan sekitarnya. Yang tidak mengenakkan, bangunan-bangunan baru (lebih luas lagi infrastruktur lain) yang dikategorikan sebagai fasilitas publik, dikonstruksi asal-asalan dan sekadar jadi. Alhasil, jangankan mencapai usia ratusan, hitungan puluh tahun  saja tidak.

Topik terus bergeser hingga ke problem klasik, korupsi yang menggerogoti peradaban manusia.

***

Di depan gerbang Penjara Fremantle, di bawah naungan tembok tua yang tak berubah banyak di usia hampir dua abad, salah seorang mahasiswa UWA asal Jamaika yang sedang menjalani studi S2 Forensic Sciance, Kimberlyn Campbell, berkisah tentang dua orang sahabat dimana yang satu lebih berdaya secara ekonomi dibanding yang lain.

Satu hari, tutur Kimberlyn, si sahabat kaya meminta bantuan temannya yang kebetulan paham seluk-beluk kontruksi dan manajemen teknik untuk membangun sebuah rumah. Seluruh urusan, kecuali dana yang disediakan didepan, sepenuhnya diserahkan pada sang teman. Mulai dari mencari tanah, mendesain, memilih material, membangun hingga rumah itu siap huni. Pesannya cuma satu: Bangunlah rumah itu seperti membangun milik sendiri.

Bagai mendapat durian runtuh, teman yang diserahi kepercayaan itu bergegas mengerjakan tanggungjawab yang disepakati. Sayangnya, keuntungan sesaat membutakan matanya. Tanah yang dipilih bukanlah di lokasi terbaik. Disain bangunan yang semestinya prima, dibuat sekadarnya. Demikian pula, material yang digunakan untuk kontruksi serta fasilitas pendukung bukanlah yang berkualitas nomor satu.

Sebuah rumah akhirnya berdiri dan siap huni. Tetapi dibanding biaya yang disediakan, apa yang tersaji jauh dari ‘’harga sepantasnya’’.

Di hari kunci akan diserahkan, teman berpunya yang baik hati itu datang dan memeriksa rumah yang telah dibangun. Dia berkeliling, mengecek satu per satu tanpa suara, hingga mereka berdua duduk berhadap-hadapan di ruang tamu. Lalu dengan tenang dia menyodorkan kunci rumah pada sahabatnya dan berkata, ‘’Terimalah rumah yang kau bantu bangun ini sebagai hadiah atas persahabatan kita. Sejak mula ini memang diniatkan menjadi milik dan hakmu.’’

***

Cerita Kimberlyn melekat di kepala di sisa hari yang diwarnai percakapan aneka topik, lelucon, dan tawa. Kalau pun kisah dua orang sahabat itu hanya pengadaian inspirasional atau pembangkit semangat (yang biasanya dijajakan para motivator), saya mengakui ampuh jadi reminder jendela kesadaran. Sedihnya yang tampak adalah Mongondow dengan orang-orang yang telah menyia-nyiakan ‘’rumah yang semestinya mereka bangun untuk mereka sendiri’’.

Beberapa jam sebelumnya di Kontraonline saya membaca Selasa pekan lalu (29 Mei 2012) Kantor Bupati Bolaang Mongundow Utara (Bolmut) kembali nyaris terbakar. Digunakannya frasa ‘’kembali nyaris terbakar’’ karena menurut catatan wartawan yang menulis, peristiwa yang sama pernah pula terjadi beberapa bulan lampau, tepatnya Kamis 23 Februari 2012. Penyebabnya sama, hubungan pendek arus listrik yang diduga diakibatkan penggunaan kabel yang tak sesuai spesifikasi.

Kabel yang tak sesuai spesifikasi jelas tindak manipulasi dan korupsi. Kerugian yang ditimbulkan bukan hanya uang atau kian rusaknya kepercayaan terhadap pemerintah dan aparatnya, tetapi juga goyahnya kebanggaan masyarakat Bolmut terhadap eksistensi mereka yang direpresentasikan melalui simbol-simbol seperti Kantor Bupati atau fasilitas umum penting lainnya.

Tapi di manakah di empat kabupaten dan satu kota di seantero Mongondow yang fasilitas dan infrastruktur umumnya benar-benar dapat dibanggakan? Kantor Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) di Lolak atau Bolaang Mongondow Timur (Boltim) di Tutuyan yang baru dibangun, tidak lebih baik dari yang ada di Bolmut, yang bila instalasi listriknya tetap dipertahankan tinggal menunggu waktu pasti memercikkan api lagi.

Kantor Bupati sebagai titik pusat kabupaten terang-terangan dibangun sesukanya, bagaimana dengan infrastruktur yang tingkat kepentingannya berada di prioritas dua atau tiga? Bupati dan Walikota di Mongondow boleh berbusa-busa pidato tentang pentingnya pengembangan ekonomi, misalnya, namun faktanya mereka tak peduli terhadap pasar (dalam pengertian infrastruktur) sebagai aspek pendukung yang langsung bersentuhan dengan rakyat banyak.

Dua pasar rakyat Kota Kotamobagu (KK), Genggulang dan Poyowa Kecil, adalah contoh bagaimana ‘’rumah sendiri’’ pun dibangun serampangan dan sekadar ada. Pemerintah Kota (Pemkot) KK mengabaikan bahwa fasilitas ini akan menjadi bagian dari tanggungjawabnya untuk waktu sangat panjang.

Keuntungan jangka pendek yang dinikmati segelintir orang telah mengabaikan hajat hidup orang banyak. Padahal kita –tak hanya di Mongondow, melainkan sebagai warga Indonesia-- memiliki dan hidup di ‘’rumah yang sama’’, yang akan diwariskan pada generasi berikut.*** 

Friday, June 1, 2012

Bibit Korup Intelektual ‘’Kudul’’ (2)

APAKAH pula saya menyebut dua tokoh publik di mana Fahri Damopolii meletakkan seluruh lidah dan harga dirinya itu sebagai tindakan menyeret-nyeret pihak lain? Ide-ide mayoritas tulisan saya tentang Mongondow sejak 2007 adalah kontrol terhadap perilaku pejabat publik, para politisi dan birokrat yang diberi tanggungjawab mengurusi orang banyak. Masak hal sepenting ini tak bisa ditangkap lulusan Perguruan Tinggi (PT) dengan kepintaran seperti Fahri Damopolii?

Sebaliknya, apa ide yang dituliskan Fahri Damopolii, baik atas nama A. R. Thomas maupun dirinya sendiri –termasuk sebagai PNS KK? Kalau caci-maki dan menyerang pribadi adalah sebuah ide, mentalitas dan kewarasannya hanya mampu diurusi dokter-dokter di Rumah Sakit (RS) Ratumbuysang Manado (kebetulan Direkturnya orang Mongondow bermarga Mokoagow, mungkin dia boleh mendapat perlakuan agak khusus).

***

Ini kisah tentang orang-orang dengan kewarasan di bawah standar normatif. Tersebutlah seorang pejabat tinggi Indonesia yang baru melepas kursinya dan bergiat di bidang sosial. Minat dan konsern tokoh kita ini antaranya adalah mereka yang dicap gila karena memang berkelakuan ‘’meheng’’. Salah satu tempat di mana mereka yang tidak beruntung itu dirawat adalah Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol, Jakarta.

Satu hari bertahun-tahun yang lampau mantan pejabat tinggi itu memutuskan melakukan kunjungan ke RSJ Grogol. Sebagai tokoh nasional yang dikenal welas asih, santun, dan lurus, kehadirannya adalah berkah. Tak kurang Direktur sendiri yang menyambut dan menemani ‘’turne’’ keliling RSJ, melihat fasilitas yang ada dan menemui orang-orang yang tengah menjalani perawatan.

Di hadapan sejumlah pasien, dengan santun Direktur memperkenalkan sang mantan. Beberapa menit berlalu dalam diam, lalu tiba-tiba salah seorang penghuni terlama RSJ Grogol maju dan menyalami tokoh kita ini sembari berucap, ‘’Selamat datang…. Yang sabar, ya, Pak. Pertama kali masuk ke sini saya juga mengaku sebagai Jenderal Sudirman dan yang itu (sambil menunjuk seorang pasien) yakin dia adalah Pangeran Diponegoro….’’

Fahri Damopolii dengan halusinasinya mungkin sedang menyakini dia salah satu tokoh penulis dunia; pangeran dari negeri antah berantah; atau pendekar digjaya dari pedepokan tak terkalahkan. Saya tak heran sebab orang-orang dengan masalah kejiwaan tak bisa lagi membedakan konteks, siapa dia sebenarnya, dan di mana tempatnya berdiri.

***

Tapi orang tak waras mana yang mengakui dia ‘’tak genap’’? Supaya tidak melanggar hak asasi manusia (HAM), kita sepakati saja Fahri Damopolii sepenuhnya sehat jiwa raga. Dia hanya tukang bohong yang tertangkap tangan, malu, lalu menyalahkan apa saja yang ada di hadapan.

Di dua tulisan di Radar Totabuan dia gagap menghadapi simpulan saya bahwa A. R. Thomas hanyalah alias. Penulis sesungguhnya adalah Fahri Damopolii, yang dengan pengecut dan culas menyembunyikan diri dan motifnya di balik nama lain.

Boleh-boleh saja analisis stilistika diperdebatkan, tapi bagaimana dengan penggunaan emailnya sebagaimana yang saya tuliskan di Sarkasme ‘’Kasian Deh, Lu….’’? Pembohong yang buruk memang selalu payah. Saya berkeyakinan bila sahut-sahutan antara saya dan dia di hadapkan pada penilaian pembaca, sebaiknya Fahri Damopolii tak perlu melihat ka arah orang banyak yang jadi juri, kecuali bila dia benar-benar tak mengerti arti malu dan tahu diri.

Orang banyak yang didaulat oleh Fahri Damopolii sendiri sebagai penilai akhir juga tak bakal senang bila saya sodorkan BlackBerry Messenger (BBM) –termasuk permintaan maafnya— dan rekaman percakapan kami. Tentu tak pernah dia duga, terhadap orang-orang dengan niat yang sudah terduga jahat dan bathil, saya selalu wasdapa agar tidak teperdaya.

Yang menyedihkan, bohong selalu menjadi akar perilaku tercela lain. Ada adagium yang mengatakan: Pembohong biasanya juga seorang pencuri. Dan pencuri selalu mati-matian berbohong. Dengan mentalitas rusak, kebiasaan berbohong yang dilembagakan, tidak usah heran kalau 5-10 tahun mendatang kita menyua Fahri Damopolii tak lain salah seorang koruptor handal di lingkungan Pemkot KK.

***

Memancing-mancing saya dengan caci-maki fisik dan pribadi agar turut kalap adalah pekerjaan sia-sia. Itu sebabnya saya kembali saja pada subtansi isu.

Pertama, saya berhak mengkritik tokoh-tokoh dan jabatan publik bertanggungjawab terhadap hajat-hidup orang banyak, sebagaimana orang Mongondow lainnya, di mana saja mereka berada. Bahwa kritik itu kerap menyakitkan, karena perilaku mereka yang faktanya memang bengkok lebih memedihkan lagi.

Kedua, ranah publik tidak boleh dicampur-aduk dengan wilayah private. Ketidak-mampuan membedakan dua area ini menunjukkan bahwa siapa pun yang melakukan kritik sesungguhnya sekadar menutupi agenda jahatnya. Terlebih dengan menyembunyikan identitas, manipulatif, culas, tak terhormat, dan pengecut.

Ketiga, kontrol terhadap tokoh-tokoh dan jabatan publik tidak boleh dengan memilih-milih sasaran. Kritik atas nama kepentingan umum terhadap Bupati Bolmong, Salihi Mokodongan, harusnya berlaku sama terhadap tokoh atau pejabat publik lainnya di Mongondow. Tak peduli apakah itu Walikota KK, Djelantik Mokodompit, atau Bupati, pejabat publik, politikus, atau birokrat lain di seluruh Mongondow.

Keempat, independensi, mentalitas, dan kredibilitas (utamanya di kalangan generasi terkini Mongondow) adalah masalah yang patut jadi konsern serius. Berkaca dari perilaku yang ditunjukkan Fahri Damopolii, saya menguatirkan generasi yang seharusnya menjadi masa depan Bolaang Mongondow sebagai sebuah wilayah dan entitas utuh, khususnya mereka yang terdidik dan kini bergiat di sektor-sektor publik (politik dan pemerintahan), kian jauh dioptimisi menjadi kabar baik dan kebahagiaan.

Dan kelima, sejalan dengan poin keempat, orang-orang Mongondow yang peduli dengan daerahnya dan mengekspresikan lewat kontrol publik (kritik, koreksi, atau sekadar masukan), harus siap menghadapi perlawanan para oportunis yang bersedia melakukan apapun demi keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompoknya. Bahkan sekali pun keuntungan itu dibayar dengan menggadaikan jiwanya.

***

Tapi bagaimana sikap saya terhadap caci-maki fisik dan pribadi dari Fahri Damopolii? Juga kilahan, pemelintiran, dan kebohongan yang dia semburkan dengan penuh amarah di dua tulisan yang dipublikasi Radar Totabuan?

Tanpa ragu sekali lagi saya menyatakan (ini juga jawaban ketika Ayah saya menegur agar tak lagi menanggapi pelanggaran ‘’batas api’’ yang keterlaluan itu): Saya tak pernah menganggap seorang Fahri Damopolii penting. Caci-maki fisik dan pribadi yang dia hujamkan tak akan mengganggu kredibilitas saya. Saya merespons perilaku barbarnya lebih agar orang-orang muda di Mongondow belajar bahwa pendidikan, setinggi apa pun, mudah berubah dari pencerahan menjadi pembenar perilaku manipulatif, culas, tak terhormat, dan pengecut, ketika seseorang terjebak pada ambisi di luar daya jangkaunya.

Semakin saya membaca tulisan-tulisannya, iba ini kian menggunung. Terlebih ada satu pertanyaan yang belum mampu saya jawab: Apa sesungguhnya yang membuat Fahri Damopolii begitu marah, dendam, dan kalap? Sekadar kalah kelas, kalah ganteng, kalah congkak, pasti ekspresinya tidak sebodoh dan serendah itu.

Kalau pun boleh menduga, satu-satunya yang terlintas di kepala, ‘’Iblis di mana Fahri Damopolii menggadaikan jiwa pasti memerihkan sadisnya, hingga dia tak lagi peduli pada harga diri, malu, dan akal sehat. Dan kasihan betul si iblis sebab korbannya ternyata berkualitas cuma sebegitu.’’***

Bibit Korup Intelektual ‘’Kudul’’ (1)

SEMBARI berjalan menuju gerbang keberangkatan, mengejar waktu sempit transit, saya bercakap-cakap dengan Pemimpin Redaksi (Pemred) Radar Totabuan, Taufiq Adam. Singkatnya, dengan sangat menyesal dia menyampaikan tulisan saya merespons caci maki Fahri Damopolii, Kambing Terbang, Alamat Palsu dan Sakit Jiwa (Radar Totabuan,Kamis siang, 31 Mei 2012), tidak akan dipublikasi.

Koran yang dia pimpin, jelas Taufik, mengakui kecolongan memuat tulisan yang sudah menyerang pribadi. Untuk itu, mereka memutuskan menghentikan  sahut-sahutan tersebut.

Bila hanya mengikuti ego, terlebih karena tahu di posisi yang pantas menuntut, saya bisa bersikap keras kepala. Tapi sembari tertawa saya mengatakan sangat memahami situasi yang dihadapi Taufik. Lagipula, pembaca yang berpengetahuan dan cukup punya kewarasan tahu pasti, sejak awal saya memposisikan Fahri Damopolii sekadar coro yang empuk diolok-olok.

Tidak dimuat di media, saya punya blog yang dibaca cukup banyak orang. Bahkan tulisan-tulisan yang bertebaran di media cetak terbitan lokal sejak 2007 lalu, sedianya ditulis untuk konsumsi http://orangmongondow.blogspot.com/ dan http://kronikmongondow.blogspot.com/, termasuk tulisan yang akhirnya memicu Fahri Damopolii bercakalele.

***

Menjejer sejarah sebuah isu adalah cara mendekati masalah dengan jujur dan terhormat. Lewat tulisan ini saya akan menunjukkan bahwa sejak awal Radar Totabuan kecolongan karena memuat tulisan atas nama A. R. Thomas; kemudian juga artikel Fahri Damopolii yang substansinya menyerang saya pribadi, bukan isu-isu publik yang memang penting dikritisi.

Sudah benar bila Fahri Damopolii harus meminta maaf pada pembaca Radar Totabuan. Pura-pura merendah, dengan berulang-ulang mekalumatkan dia bukan apa-apa, adalah bentuk penonjolan ego dengan cara yang buruk. Alih-alih tampak menarik, kepura-puraan itu hanya memperjelas dia memang culas, munafik, dan seorang pembohong kepepet yang mengais-ngais simpati terakhir seolah-olah adalah korban (setelah gagal membantah bahwa bangsat di balik bantal ternyata dia seorang).

Apalagi serangan pribadi terhadap saya tergolong sangat kasar, di mana orang-orang berpedidikan bisa sampai pada simpulan: Benarkah yang bersangkutan pernah makan sekolahan? Seberapa bengkok dan terganggu jiwanya? Dan apa motifnya?

Berulang kali saya menuliskan, caci maki adalah mengatakan (dan menuliskan) sekadar kata-kata kotor; sedangkan menghina adalah menuliskan (atau mengatakan) sesuatu yang menunjukkan kelas subyek, tetapi dengan ketrampilan tinggi. Fahri Damopolii mencaci-maki saya; sedangkan saya memang menghina dia (apalagi yang paling pantas untuk kecoak?). Yang satu cukup mengumpulkan serapah, sementara saya mengajari dia kelihaian olah otak dan bahasa.

Tak dipungkiti bahwa kritik saya terhadap tokoh-tokoh dan pejabat publik di Mongondow bermuatan tonte’ek dan –beberapa—bahkan hinaan. Tapi hanya itu yang dapat dilakukan oleh orang kebanyakan (sekaligus juga hiburan yang membesarkan hati) melihat perilaku mereka yang jauh dari dapat dipercaya dan amanah.

Perihal menghina sebagai olah otak dan bahasa, ini contoh kepiawaian itu: Fahri, cobalah berkaca, pasti Anda akan melihat seorang laki-laki pendek, berkecenderungan gendut (bayangkan jenis hewan seperti apa itu), dengan wajah dipenuhi bekas lobang jerawat, gigi tak putih dan bolong-bolong, dengan rambut disemir agar ketombe tak bertaburan. Nah, apa yang tampak di kaca adalah Anda. Tidak ganteng bukan?

Lalu cobalah hembuskan nafas, sesap bagaimana bau got bercampur terasi yang menguar. Anda pasti tahu derajat mual yang menghantam batok kepala. Kalau tidak percaya, tanyakan pada teman-teman di sekitar yang itu-itu juga. Anda pasti tahu mengapa mereka agak segan bercakap berhadap-hadapan muka.

Jenis manusia seperti itu pasti asupan makanannya bertahun-tahun patut dipertanyakan sumber kehalalan dan kebersihannya.

***

Manakah yang benar, hemaprodit atau hermaprodit? Sebelum mengunggah Nyali Hemaprodit ‘’Daong Lemong’’, seorang kawan yang duduk di samping saya –kami sedang menikmati kopi bersama-- mengoreksi yang benar adalah ‘’hermaprodit’’. Saya mengiyakan sekaligus menjelaskan bahwa saya memang sengaja menuliskan kesalahan ini, bahkan sebagai judul.

Saya yakin Fahri Damopolii bakal terbirit-birit mencari tahu arti katanya dan bakal menemukan yang benar adalah ‘’hermaprodit’’. Bagai lele kelaparan, umpan itu disambar. Benar bukan, seperti yang sudah saya tuliskan, beberapa jenis fauna air mudah dipancing, dengan kudul sekali pun. Tingkat kecerdasan dan intelektualitasnya, yang dia sangka sudah di atas angin, tak lebih senilai ‘’kudul’’.

Dengan tahu apa itu ‘’hermaprodit’’ seharusnya dia paham inilah cara menyindir tingkat tinggi. Mainan para pemikir, bukan gaya orang jalanan yang sekadar menggelung lengan baju dan berteriak-teriak di pinggir jalan.

Katakanlah bersusah payah menulis kritik untuk Penjabat Bupati Gun Lapadengan, kemudian menulis atas nama A. R. Thomas dan terakhir menyumpah-serapahi saya pribadi adalah bentuk kontrol publik. Kalau demikian, kenapa dia tidak berani melakukan hal yang sama terhadap Walikota Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit, dan anggota DPR Sulut, Raski Mokodompit? Padahal Fahri  Damopolii adalah penduduk dan pegawai negeri sipil (PNS) di KK, juga ‘’katanya’’ sobat Raski Mokodompit (patut diduga keduanya pasti kesulitan mendifinisikan apa itu ‘’Tupoksi’’). Sama bingungnya dengan membedakan yang mana yang publik dan private, mana yang profan dan sakral.

Anggap saja sebagian besar bantahan dan alasan Fahri Damopolii berkaitan dengan sepak-terjang Walikota KK sahih. Tapi bagaimana dengan dusta dan sesumbar Djelantik Mokodompit berkaitan dengan isu Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2009, dimana dia mempertaruhkan jabatannya? Bagaimana pula dengan kenyataan bahwa Raski Mokodompit tak beda dengan ayam kena teluh saat ujian sarjana karena tak mampu menjawab pertanyaan apa itu ‘’Tupoksi’’ –anehnya dia tetap gagah menyandang gelar Sarjana Hukum? Kontrol publik apa yang dia lakukan? Gundukkan di kejauhan mampu diteropong kok bukit kotoran di depan mata sama sekali tak tampak? (Bersambung)